Freitag, 4. Mai 2012

Indonesia, Pertaruhan Nyawa Terakhirmu

Berbicara tentang nasionalisme, maka kadang pikiran kita akan langsung tertuju pada segala hal yang berkaitan dengan rasa cinta tanah air, rasa kebangsaan, atau segala hal yang berhubungan dengan kenegaraan. Ssecara garis besar pendapat itu tidak sepenuhnya salah. Berkaitan dengan konsep Indonesia sebagai sebuah nation-state, rasa nasionalisme lebih sering diartikan sebagai sebuah ‘ideologi’ rasa kebangsaan, dimana kata nation menjadi national (ajektifa) ditambah dengan imbuhan -isme sebagai sufiks. Maka jadilah nasionalisme sebagai sebuah ideologi kebangsaan, yang juga banyak diartikan sebagai sebuah rasa cinta bangsa. Namun itu kan hanya secara teoretis, yang menjadi pertanyaan disini adalah bagaimana sebenarnya bentuk konkret dari nasionalisme itu sendiri? Apa iya, kita sudah dapat dikatakan memiliki rasa nasionalisme ketika kita rajin mengikuti upacara bendera di sekolah? Atau ketika kita selalu bisa mengangkat tangan dengan benar setiap kali si pemimpin upacara memerintahkan kita untuk hormat pada bendera? Atau ketika kita selalu tertib menundukkan kepala setiap lagu Mengheningkan Cipta dinyanyikan? Atau ketika kita mengikuti ekstrakurikuler Paskibra di sekolah? Atau ketika kita suka menonton film - film berbau perang kemerdekaan? Atau ketika kita selalu menggunakan baju made in Indonesia, sepatu made in Indonesia, serta tas juga made in Indonesia? Saya rasa tidak demikian.
Menurut saya, beberapa hal yang saya sebutkan sebelumnya hanyalah contoh hal - hal yang dilakukan kita atau orang-orang di sekitar kita, baik secara sadar maupun tidak sadar, untuk menimbulkan rasa nasionalisme. Sedangkan ada tidaknya rasa nasionalisme itu sendiri, atau seberapa besar rasa nasionalisme itu ada dalam dirir kita, tidak akan pernah bisa terukur hingga kita mengalami kejadian berisiko tinggi (Loh, apa nih maksudnya?). Jadi, kejadian berisiko tinggi disini adalah dengan kondisi kita sebagai warga negara Indonesia dan kita dihadapkan kepada beberapa pilihan, yang salah satu pilihannya adalah terus menjadi bagian dari Indonesia atau memisahkan diri dari Indonesia. Kemudian, jika kita berfikir menggunakan akal sehat, terus menjadi bagian dari Indonesia adalah pilihan terakhir atau bisa dibilang sebagai kemungkinan terburuk yang akan kita pilih diantara alternatif lain. Nah, bingung deh, maksudnya apa ya?
Mungkin in-my-opinion-nya saya tentang nasionalisme ini bisa dimengerti dengan contoh berikut ini. Saat itu saya sedang menikmati salah satu acara di stasiun TV yang berlogo burung, kurang tahu burung apa, yang jelas nama stasiun TV-nya Metro TV (ups sebut merek). Sekalian sebut aja kali ya kalo acara TV-nya itu Kick Andy hahaha. Oke, jadi saat itu saya lupa topik utamanya tentang apa, yang jelas saat itu, si Andy (sok akrab) membahas tentang lepasnya TimorTimor dari Indonesia. Salah satu bintang tamunya adalah seorang ibu berusia sekitar 30 tahunan yang akhirnya tetap memilih untuk menjadi bagian dari ratusan juta penduduk Indonesia yang jangankan bisa menjanjikan kesuksesan, menjanjikan kehidupan yang layak sebatas kebutuhan dasar terpenuhi pun pemerintah Indonesia mungkin akan berpikir ulang sekian ratus kali untuk memberikannya, apalagi tempat tinggal mereka jauh di beranda Indonesia sana. Tak terpikir sedikit pun bagi si Ibu itu untuk pindah kewarganegaraan karena sebegitu kuatnya rasa cintanya pada tanah air, sekalipun jika beliau pindah menjadi warga Timor Timor, setidaknya hidup beliau sedikit lebih terjamin. Salut.
Menurut saya, itulah rasa nasionalisme sebenarnya, tanpa imbalan atau iming-iming apapun. Hanya bermodalkan rasa cinta tanah air, si Ibu rela mengorbankan masa depannya, masa depan keluarganya.  Intinya, menurut saya, rasa nasionalisme adalah sesuatu yang hadir di luar common sense, tidak hanya keluar sebagai kata-kata, tetapi tindak nyata. Dan jangan pernah bilang bahwa dirimu bernasionalisme tinggi, jika belum pernah dihadapkan pada pilihan sekrusial itu. Jika Indonesia belum menjadi pertaruhan nyawa terakhirmu.

Lili Nur Indah Sari - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Peserta UI-Student Development Program 2012

Freitag, 4. Mai 2012

Indonesia, Pertaruhan Nyawa Terakhirmu

Berbicara tentang nasionalisme, maka kadang pikiran kita akan langsung tertuju pada segala hal yang berkaitan dengan rasa cinta tanah air, rasa kebangsaan, atau segala hal yang berhubungan dengan kenegaraan. Ssecara garis besar pendapat itu tidak sepenuhnya salah. Berkaitan dengan konsep Indonesia sebagai sebuah nation-state, rasa nasionalisme lebih sering diartikan sebagai sebuah ‘ideologi’ rasa kebangsaan, dimana kata nation menjadi national (ajektifa) ditambah dengan imbuhan -isme sebagai sufiks. Maka jadilah nasionalisme sebagai sebuah ideologi kebangsaan, yang juga banyak diartikan sebagai sebuah rasa cinta bangsa. Namun itu kan hanya secara teoretis, yang menjadi pertanyaan disini adalah bagaimana sebenarnya bentuk konkret dari nasionalisme itu sendiri? Apa iya, kita sudah dapat dikatakan memiliki rasa nasionalisme ketika kita rajin mengikuti upacara bendera di sekolah? Atau ketika kita selalu bisa mengangkat tangan dengan benar setiap kali si pemimpin upacara memerintahkan kita untuk hormat pada bendera? Atau ketika kita selalu tertib menundukkan kepala setiap lagu Mengheningkan Cipta dinyanyikan? Atau ketika kita mengikuti ekstrakurikuler Paskibra di sekolah? Atau ketika kita suka menonton film - film berbau perang kemerdekaan? Atau ketika kita selalu menggunakan baju made in Indonesia, sepatu made in Indonesia, serta tas juga made in Indonesia? Saya rasa tidak demikian.
Menurut saya, beberapa hal yang saya sebutkan sebelumnya hanyalah contoh hal - hal yang dilakukan kita atau orang-orang di sekitar kita, baik secara sadar maupun tidak sadar, untuk menimbulkan rasa nasionalisme. Sedangkan ada tidaknya rasa nasionalisme itu sendiri, atau seberapa besar rasa nasionalisme itu ada dalam dirir kita, tidak akan pernah bisa terukur hingga kita mengalami kejadian berisiko tinggi (Loh, apa nih maksudnya?). Jadi, kejadian berisiko tinggi disini adalah dengan kondisi kita sebagai warga negara Indonesia dan kita dihadapkan kepada beberapa pilihan, yang salah satu pilihannya adalah terus menjadi bagian dari Indonesia atau memisahkan diri dari Indonesia. Kemudian, jika kita berfikir menggunakan akal sehat, terus menjadi bagian dari Indonesia adalah pilihan terakhir atau bisa dibilang sebagai kemungkinan terburuk yang akan kita pilih diantara alternatif lain. Nah, bingung deh, maksudnya apa ya?
Mungkin in-my-opinion-nya saya tentang nasionalisme ini bisa dimengerti dengan contoh berikut ini. Saat itu saya sedang menikmati salah satu acara di stasiun TV yang berlogo burung, kurang tahu burung apa, yang jelas nama stasiun TV-nya Metro TV (ups sebut merek). Sekalian sebut aja kali ya kalo acara TV-nya itu Kick Andy hahaha. Oke, jadi saat itu saya lupa topik utamanya tentang apa, yang jelas saat itu, si Andy (sok akrab) membahas tentang lepasnya TimorTimor dari Indonesia. Salah satu bintang tamunya adalah seorang ibu berusia sekitar 30 tahunan yang akhirnya tetap memilih untuk menjadi bagian dari ratusan juta penduduk Indonesia yang jangankan bisa menjanjikan kesuksesan, menjanjikan kehidupan yang layak sebatas kebutuhan dasar terpenuhi pun pemerintah Indonesia mungkin akan berpikir ulang sekian ratus kali untuk memberikannya, apalagi tempat tinggal mereka jauh di beranda Indonesia sana. Tak terpikir sedikit pun bagi si Ibu itu untuk pindah kewarganegaraan karena sebegitu kuatnya rasa cintanya pada tanah air, sekalipun jika beliau pindah menjadi warga Timor Timor, setidaknya hidup beliau sedikit lebih terjamin. Salut.
Menurut saya, itulah rasa nasionalisme sebenarnya, tanpa imbalan atau iming-iming apapun. Hanya bermodalkan rasa cinta tanah air, si Ibu rela mengorbankan masa depannya, masa depan keluarganya.  Intinya, menurut saya, rasa nasionalisme adalah sesuatu yang hadir di luar common sense, tidak hanya keluar sebagai kata-kata, tetapi tindak nyata. Dan jangan pernah bilang bahwa dirimu bernasionalisme tinggi, jika belum pernah dihadapkan pada pilihan sekrusial itu. Jika Indonesia belum menjadi pertaruhan nyawa terakhirmu.

Lili Nur Indah Sari - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Peserta UI-Student Development Program 2012

Popular posts