Posts mit dem Label edu-cat-e werden angezeigt. Alle Posts anzeigen
Posts mit dem Label edu-cat-e werden angezeigt. Alle Posts anzeigen

Mittwoch, 15. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 2]

Sekarang, saya akan berbagi langkah-langkah yang saya lakukan dalam mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018. Ingat, ini langkah yang saya lakukan, cuma referensi buat kamu, bukan langkah yang 'seharusnya' kamu lakukan ya. So, you may have your own steps in doing the application. That would be very much okay :)


1. Minta Izin ke Atasan Kantor

Kalau kamu adalah karyawan seperti saya, minta izin ke atasan di masa-masa awal sebelum daftar adalah sesuatu yang penting, karena program ini akan berjalan selama 5 pekan. Belum lagi, kamu harus mengikuti orientasi sebelum keberangkatan dan, yang paling krusial, kamu akan riweuh mengurus visa. Jadi, ada baiknya atasanmu paham dengan rencanamu itu. Dari sana, akan ketahuan, atasanmu mendukung atau tidak. Kalau mendukung, aman. Kalau tidak, kamu harus mulai berpikir, jika kamu benar-benar diterima nanti, apa kamu sudah yakin untuk menukar karirmu di tempat kerja dengan perjalanan ke US melalui YSEALI? Atau justru melepas kesempatan di YSEALI adalah pilihan terbaik? 


2. Memilih Referee

It's such a tricky part, karena siapa referee kita akan memengaruhi bagaimana kualitas surat rekomendasi yang kita submit. Walaupun, saya sendiri kurang paham seberapa besar bobot surat rekomendasi pada seleksi YSEALI. Tapi, saya cukup yakin jika surat rekomendasi saya sangat-sangat memengaruhi keputusan reviewer dalam meloloskan saya. Karena yaa kita tahu, kesempatan untuk meyakinkan reviewer melalui aplikasi sangat terbatas. Bayangin aja, kita harus meyakinkan reviewer untuk memilih aplikasi kita dibandingkan ratusan pendaftar lain dengan hanya melihat riwayat aktivitas dan esai super singkat yang tidak lebih dari 250 kata. Kalau kamu jadi reviewer, pasti kamu akan mencari pertimbangan lain kan? Nah, surat rekomendasi ini lah yang jadi salah satu referensi mereka. 

Lalu, bagaimana caranya memilih referee yang tepat? Untuk YSEALI (ini belum tentu berlaku pada program lain ya), saya sarankan pilih referee yang tidak sekadar punya nama besar. Tapi, pastikan beliau memang mengenal kita dengan baik. Sehingga, rekomendasi yang beliau berikan bisa detailed dan personalized, tidak memberikan kesan template. Misalnya, kalau kamu berada dalam sebuah organisasi kemasyarakatan, jangan langsung menyasar ketua organisasi tersebut sebagai referee-mu, hanya karena beliau cukup dikenal di masyarakat. Beliau sendiri kenal kamu dengan baik ndak? Jangan-jangan selama ini cuma saling lempar senyum doang lagi *lah berasa sama gebetan dong.

Ndak apa-apa lho kalau kita minta rekomendasi ke orang di level manajer atau bahkan officer, yang penting kalian rutin berkomunikasi dan beliau paham perkembangan diri kamu. Etapi, bukan berarti temen main yang se-level juga boleh ya, pilih mentor atau supervisor lah paling nggak. Biar isi surat rekomendasinya nggak sebatas: she is good; she is a hard worker; she is attentive to detail; dan parahnya, she is beautiful. eyyaa. 

Selain itu, pastikan referee-mu itu mengenalmu dalam lingkup kegiatan yang berkaitan dengan tema program YSEALI yang kamu pilih. Sehingga, pemaparan yang beliau sampaikan tentangmu dapat spesifik dihubungkan dengan tema program yang kamu pilih itu. Misalnya, saya memilih tema Social Entrepreneurship and Economic Development. Saya tidak meminta rekomendasi dari dekan kampus, dosen pembimbing atau atasan di kantor. Tetapi, saya minta rekomendasi dari orang yang menjadi mentor saya saat mewakili SiMaggie mengikuti sebuah program inkubasi social enterprise. Jadi, beliau paham betul dengan perjalanan saya dan SiMaggie selama ini.

Surat rekomendasi yang beliau tulis untuk saya cukup detail. Maklum, saya berada di bawah asistensinya secara langsung selama beberapa bulan. Beliau juga tahu betul bagaimana tertariknya saya dengan konsep social entrepreneurship. Semua pemahaman beliau tentang saya itu ditulis dengan menyertakan contoh konkret. Dengan begitu, saya sendiri yang membaca tulisan beliau merasa bahwa surat rekomendasi tersebut sangat meyakinkan. Sehingga, walaupun di akhir surat referee saya menulis posisinya sebagai program officer, karena isi suratnya sudah meyakinkan, posisinya tidak membuat rekomendasinya diragukan.

Entahlah, ini asumsi saya sih, yang jelas, walau jabatan referee-mu mentereng di tingkat CEO sekalipun, kalau konten surat rekomendasinya cuma common sense, sayang aja sih.

"Ya tapi kan kualitas surat rekomendasi yang ditulis referee di luar kendali kita."

Makanya, pilih referee yang tepat. Dan perbaiki hubunganmu dengan orang-orang di sekelilingmu. Dari sekarang. Jangan dateng pas butuh aja. Misalnya, ke dosen pembimbing jaman kuliah, founder startup yang dulu pernah kamu ajak kenalan, ketua organisasi X yang pernah kamu ajak kerjasama, supervisor di mantan kantor atau bahkan sekadar temen lama, jaga hubungan baik dengan mereka. Keep the relationship 'alive'. Kita nggak pernah tahu kapan kita butuh mereka.

"Kok nyambungnya kesana?"

Lha iya, kalau kamu udah lama nggak kontak-kontakan sama dosenmu atau mantan atasanmu, tau-tau kamu dateng ke doi minta surat rekomendasi. Beliau-beliau yang terhormat bisa apa selain menulis surat rekomendasi seadanya dengan template hasil searching di Google? Bukan salah mereka, kan kalian sudah lama tidak berinteraksi. They just simply have no idea what to put in the letter.

Lanjut. Setelah kamu memutuskan siapa orang yang kamu pilih untuk dimintai rekomendasi, pastikan untuk tidak menghubunginya dekat dengan deadline. Ingat, kita sedang minta bantuan orang, dan orang yang kita mintai bantuannya pasti punya urusan lain. Jangan tempatkan ia di posisi sulit karena harus kamu kejar-kejar untuk menyelesaikan apa yang menjadi kebutuhanmu.


3. Memahami dan Mengisi Form Aplikasi

Seperti yang sudah saya sebutkan pada tulisan sebelumnya, formulir aplikasi YSEALI Academic Fellowship tahun ini berupa Google Form. Artinya, ketika mengisi formulir tersebut, tidak ada pilihan 'save draft'. Oleh karena itu, sebelum mulai mengisi, saya menyarankan teman-teman untuk mempelajari baik-baik formulirnya. Kalau perlu, di-'save page' saja agar kalian bisa buka sewaktu-waktu.

Mempelajari formulir aplikasi ini penting sekali untuk mengantisipasi ketentuan-ketentuan yang tidak kalian duga. Misalnya, pada bagian akhir formulir aplikasi Fall 2018 (tidak tahu apakah ketentuan yang sama juga diminta pada periode sebelumnya), saya diminta untuk mengetik ulang surat rekomendasi pada box di Google Form. Bisa dibayangkan, mengetik ulang surat rekomendasi cukup time-consuming. Kalau hal ini tidak kamu ketahui sejak awal, mungkin kamu tidak akan menyiapkan waktu untuk itu. Akibatnya, kamu bisa jadi terlambat untuk submit aplikasi. Kesalahan yang tidak perlu.

Saat mempelajari Google Form itu pula, teman-teman bisa memilah, mana pertanyaan-pertanyaan yang bisa dijawab on the spot dan mana pertanyaan-pertanyaan yang butuh dipikir matang-matang. Untuk pertanyaan yang bisa dijawab on the spot, misalnya pertanyaan tentang data diri, detail paspor, food restrictions, dll., insyaAllah akan aman-aman saja. Kalian cukup mempersiapkan dokumen terkait, seperti KTP, Paspor, bukti kemampuan bahasa Inggris, dll. Anyway, bukti kemampuan bahasa Inggrisnya nggak harus hasil tes IELTS atau TOEFL kok. Bisa berupa bukti keikutsertaan les bahasa Inggris, acara internasional, dll. Cek sendiri nanti di formulirnya ya.

Sedangkan, untuk pertanyaan yang butuh dipikir dan dipertimbangkan matang, contohnya pengalaman organisasi, pengalaman bekerja dan magang, keanggotaan pada komunitas, dsb. Saat mengisi pertanyaan tersebut, saya sarankan kalian untuk mengetik jawaban kalian di Ms. Word atau note terlebih dahulu agar kalian punya back up data. Setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut selesai dijawab, coba eliminasi poin-poin jawaban yang tidak relevan dengan tema program yang kamu pilih. Pastikan semua jawabanmu spesifik dan mengerucut pada tema program. Tujuannya, agar reviewer bisa melihat ketertarikan dan keseriusanmu pada tema yang kamu pilih dari konsistensi pengalamanmu.

Metode yang sama bisa kamu gunakan ketika mengerjakan esai. Walaupun esai yang diminta hanya 250 kata dan sangat mungkin dikerjakan dalam waktu kurang dari satu jam, pastikan kamu membuatnya dengan sangat matang. Ketik esaimu di Ms. Word atau note, lalu minta tolong mentormu untuk proofread esaimu. Edit, baca lagi, edit, baca lagi, dan seterusnya. Ingat, 250 kata itu yang akan menentukan kamu diundang interview atau tidak. 

Saat menulis esai, kamu tidak perlu menyertakan data yang skalanya terlalu luas, misalnya data statistik angka kemiskinan di Indonesia, data jumlah pengangguran di Jakarta, dll. Fokus untuk menjelaskan dirimu, latar belakangmu, kegiatan yang kamu geluti dan apa yang kamu cari dari mengikuti program YSEALI ini. Data statistik atau analogi-analogi tidak penting akan membuat arah esaimu menjadi kabur, kuncinya fokus pada siapa kamu, spesifik dan konkret atas apa yang kamu kerjakan, serta realistis pada implementasinya.

Kalau semua pertanyaan pada formulir aplikasi sudah terjawab dan ter-back up dengan baik, kamu bisa mulai menyalin jawaban tersebut pada Google Form sesungguhnya. Pastikan tidak mepet dengan deadline ya. Selalu sediakan waktu untuk kemungkinan terburuk yang terjadi.

Meskipun, saya sendiri waktu itu submit aplikasi jam 11.43 AM while the application was due at 1 PM. Ehehe. Jangan ditiru ya, mentemen. Saat itu saya kost di Bojonegoro, nggak punya paket internet, karena kalau pun punya, sinyalnya syulit. Terus, nggak mau juga nongkrong di kafe untuk sekadar numpang internet karena saya anaknya nggak mau rugi wkwk. Kebetulan, kantor cabang saya lagi libur karena waktu itu hari libur nasional. Tapi, karena saya agak nggak tau malu, saya tetep ke kantor cabang dan duduk di emperan cabang, belum mandi, masih pake celana tidur, terus numpang submit aplikasi di sana deh. Heheu.


4. Mari Berdoa!

Setelah aplikasimu terkirim, perjuanganmu belum selesai. Selalu dampingi aplikasimu dengan doa ya. Ingat, ada 'logika langit' di samping logika manusia yang bekerja. Biasanya, proses seleksi ini akan memakan waktu kurang lebih satu bulan. Pada periode seleksi Fall 2018 sendiri, deadline aplikasi adalah 1 Juni 2018 pukul 13.00 WIB, sementara saya mendapatkan email undangan interview di tanggal 3 Juli 2018, tepat ketika saya sedang mendampingi petugas cabang di lapangan. Eyyaa, mengenang dikit.

Sedihnya, pemberitahuan apakah kita melaju ke tahap interview atau tidak hanya disampaikan kepada applicant yang lolos saja. Hal ini membuat kita jadi was-was, bahwa kabar baik yang tidak kunjung datang itu, apakah karena kita memang tidak lolos atau karena proses seleksi masih berlangsung. Tapi gapapa, justru di masa-masa ini lah kita benar-benar butuh pasrah dan husnudzan sama Allah. Saya paham betul nggak enaknya masa-masa menanti pengumuman itu, bahkan lebih tidak menyenangkan dari  menanti jodoh yang tidak kunjung datang wkwk. Makanya, tips paling mudah dari saya sih, setelah apply, lupakan dan ikhlaskan. Kalau programnya memang jadi jodoh kita, maka Alhamdulillah, kabar baik insyaAllah datang. Tapi, kalau bukan, yaa ikhlaskan. Yakin aja, Allah pasti punya rencana lain yang lebih baik untuk kita.

Selanjutnya, perjalanan saya untuk menjenguk Juminten ini belum selesai, teman-teman. Saya masih akan berbagi pengalaman ketika saya menjalani interview YSEALI. Simak disini!


Montag, 30. April 2018

Things I Don't Tell People about My IELTS Journey [Bagian Pertama]

Tanggal 20 Januari 2018 lalu, saya baru saja mengikuti tes IELTS di IALF Surabaya. Sekitar dua minggu kemudian, kalau nggak salah sih awal Februari, hasil tesnya keluar. Alhamdulillah, skornya sungguh ajaib dan di luar perkiraan saya. Allah memang super baik lah.

Saya sempat bercerita ke beberapa teman, dosen, mentor, dll soal hasil tes ini. Tujuannya bukan untuk memamerkan hasil, perihal minta doa untuk sebuah hajat dan laporan atas hasil yang didapat memang sudah jadi hobi saya. Bukan cuma ke orang tua, tetapi juga ke adek saya sendiri, pembimbing akademik jaman kuliah, mentor, senior, adek kelas, teman kantor atau bahkan orang yang baru saya kenal macam babang-babang Go-Jek, tukang nasi goreng, ibu kosan, dll. Hem, karena saya selalu percaya, kita nggak akan pernah tahu, doa apa yang terucap dari mulut siapa yang akan dikabulkan sama Allah.

Bisa jadi, saya udah banyak-banyak doa sama Allah, tapi dosa-dosa saya yang nggak kalah banyak menghalangi terkabulnya doa tersebut. Sebaliknya, babang Go-Jek yang hatinya tulus bantu penumpang, bisa jadi doanya akan langsung diijabah sama Allah. Bisa jadi.

Balik lagi ke hasil tes, karena kebanyakan teman saya juga sedang dalam ikhtiar untuk S2, makanya saat saya cerita ke mereka, banyak yang balik tanya tips mempersiapkan IELTS. Kalau muncul pertanyaan begitu, jujur saya bingung jawabnya. Saya intensif mempersiapkan IELTS dalam waktu kurang dari sebulan. Itu pun bener-bener serius belajarnya cuma dua minggu awal, karena menjelang tes, saya demam, mules dan udah nggak konsen.

Tapi, saya nggak pengen, karena cerita saya itu, orang lain jadi berpikir bahwa boleh-boleh aja prepare IELTS dalam waktu sebulan. Kecuali kita memang udah jago bahasa Inggris banget sih. Tapi, tetep deh, sejago-jagonya kita, IELTS itu bukan semata-mata ngetes bahasa Inggris aja. IELTS tuh ngetes ketangkasan terhadap waktu, ketelitian, skill berbahasa, dll. Pertaruhannya pun uang registrasi yang bisa dipake buat beli smartphone high end. Jadi, sejago apa pun, mending persiapan lebih matang sih, jangan cuma sebulan menjelang tes.

Lah, itu lo sendiri prepare-nya kurang dari satu bulan? Ngerasa jago luuuuuu?

Itu dia! Ada banyak hal yang sulit saya jelaskan setiap kali ada orang nanya gimana saya mempersiapkan IELTS. Karena ceritanya panjang dan kadang waktu ngobrolnya sedikit. Jadi, nggak sempet nyeritain. Ehe. Atau saya nya yang nggak bisa ngeringkas cerita ya wkwk (maklum ekstrovert, selalu ngerasa banyak yang harus diceritain). Makanya, untuk membayar kekhawatiran tersebut, saya coba menggambarkan perjalanan saya mempersiapkan IELTS sejak awal sekali disini.

Oh ya, brace yourself, nanti kontennya akan lebih banyak memuat curhat-curhat receh saya. Karena saya sekaligus mau mengabadikan momen perjuangan jaman baheula. So, if you're looking for practical tips for your IELTS test or simple ways to boost your IELTS score, too bad, you've landed to the wrong blog :(

Oke, mari kita mulai. Perjalanan saya mempersiapkan IELTS sudah dimulai sejak tahun 2015. Sedangkan, saya baru ngambil tes di awal 2018. Lama banget kan?! Jadi, saat itu, saya lulus kuliah dan bekerja di ChapterW.org (dulu namanya Nusantara Development Initiatives/ NDI). Saya ditugaskan di Sumba, NTT, sebelum pulau itu terkenal kayak sekarang.

Sebelum berangkat, saya ingat sekali, salah satu persiapan saya adalah pergi ke Barel (anak UI pasti paham, Barel itu singkatan dari Belakang Rel, semacam gang sempit yang banyak tukang fotokopi murah). Di sana, saya print beberapa ebook IELTS Cambridge di tukang fotokopi langganan jaman skripsian. Baru masuk kerja kenapa udah mikir tes IELTS? karena saat itu saya ingin S2 secepat-cepatnya. Paling nggak setahun setelah kerja lah. Padahal, itu cara berpikir yang salah gengs. Kapan-kapan ya, saya bahas soal ini.

Kalau nggak salah, ebook IELTS yang saya print waktu itu jilid 9, jilid 8, jilid 6 dan jilid 1. Saya lupa, beneran jilid-jilid itu atau nggak, yang pasti saya print 4 buku. Saya bawa 4 buku tersebut selama tugas pindah-pindah desa di Sumba. Harapannya, biar bisa ngisi waktu luang dengan belajar IELTS.

Terus, beneran dibaca nggak tuh? Nggak lah! Hahahaha. Saat itu saya baru ngerasain, kerja di lapangan sungguh sangat melelahkan. Selain karena medan desa yang menguras energi dan adrenalin, di sana juga nggak ada listrik. Jadi, energi yang habis di siang hari ditambah cahaya yang cuma remang-remang saat malam semakin jadi justifikasi buat saya untuk menunda-nunda belajar. Duh, kebayang nggak sih anak-anak asli sana yang harus belajar malem-malem? Sedih deh.

Ohya, meskipun begitu, setiap weekend, saya masih bisa ngerjain 5-4 soal, tapi nggak konsisten sih. Karena, walaupun waktu luang saat weekend lebih banyak, saya lebih tertarik nobar Master Chef di laptop temen daripada belajar IELTS wkwk.

Terlepas dari itu, walaupun saya nggak berhasil menyelesaikan satu buku pun selama satu tahun bekerja di NDI, setidaknya, karena saya udah bolak-balik bawa buku-buku tersebut kemana-mana, saya jadi cukup familiar dengan vocab-vocab yang ada di dalamnya. Nah, tips pertama nih, mungkin kamu bisa coba bawa buku IELTS kemana-mana walau nggak yakin bakal dibaca haha.

Ahya, since bos saya di NDI adalah orang Singapura, kami kalau ngomong ke Pak Bos full English, dan itu cukup intensif. Teman-teman satu tim saya (saat itu kami berlima cewek semua) juga kebanyakan punya pengalaman satu-dua tahun hidup di luar negeri. Terutama Kak Ay, teman berantem saya yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di India. Dari mereka, saya membiasakan diri ngomong daily English, walaupun saat itu English saya sungguh kacau. Tapi mayanlah, dari bahasa formal, slang, sampe swearing dengan uncommon words saya pelajari dari mereka. Hahaha

Waktu itu juga ada tim NDI yang sedang menanti keberangkatan master degree-nya di Univ of Glasgow intake tahun 2016, namanya Kak Cutin. Seneng banget jadi bisa tanya-tanya banyak soal S2 dan persiapannya ke doi. Termasuk soal IELTS, dia orang yang menginspirasi saya untuk mempersiapkan IELTS secara mandiri tanpa bergantung sama les-lesan yang harganya nggak masuk akal. Nah, tips kedua nih, ketika kamu memutuskan akan tes IELTS, praktekin tuh English-nya di aktivitas sehari-hari. Cari lingkungan yang kondusif untuk kamu praktek.

Lanjut, akhir 2016, saya pindah kerja ke Water.org, yang kemudian menugaskan saya untuk mendampingi microfinance partner di Jawa Timur. Dari timur Nusa Tenggara ke timur Jawa, akankah ini pertanda jodoh saya orang timur? Yak, mulai halu.......

Pertama kali tugas di Jawa Timur, saya penempatan di Madiun. Saya belum lupa dengan mimpi saya untuk S2 di luar negeri. Makanya, print-an ebook IELTS yang wujudnya sudah tak layak itu, padahal belum saya pelajari itu, tetap saya bawa berkelana. Kampus impian dan target skor IELTS saya tulis besar-besar di kertas dan saya tempel di dinding kosan searah kiblat. Biar nggak lupa masuk list doa setiap selesai sholat.

Seiring dengan pengalaman bekerja dan insight dari senior, target berangkat S2 saya bergeser menjadi setelah 2 - 3 tahun bekerja. Namun, tetap saja, waktu persiapan saya semakin sempit. Sementara, saya tidak semakin yakin untuk mengambil tes IELTS. Yaiyalah, belajarnya kan nggak konsisten. Saya pun terpikir untuk mengikuti les persiapan IELTS. Dari pada uangnya habis untuk mengikuti tes IELTS berkali-kali, lebih baik habis untuk persiapan tes saja. Mahal tak apa, yang penting melenggang menuju tes dengan penuh keyakinan, pikir saya waktu itu. Haiyah, berasa bimbel SNMPTN.

Sayangnya, Madiun kan kota kecil. Nggak ada kursus macam itu di sana (tapi Inul Vizta ada lho). Sampai suatu hari, seorang senior yang cukup saya kenal baik di kampus merekomendasikan kursus persiapan IELTS online, sebut saja Kursus X. Sepertinya sih beliau itu bagian dari tim marketing-nya. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, saya pun daftar kursus online tersebut.

Biaya yang harus saya bayarkan Rp 800.000.00 untuk satu paket program. Kalau tidak salah, Rp 600.000,00 itu untuk biaya kursusnya, sedangkan Rp 200.000,00 sisanya sebagai uang jaminan yang akan dikembalikan jika saya mengikuti seluruh prediction test di setiap sesi. Saya lupa-lupa ingat, satu paket program berjalan selama berapa sesi, kalau tidak salah sih 5 sesi ya. Jadi, kalau saya tidak mengerjakan sekali prediction test, uang jaminan saya akan dipotong Rp 40.000,00. Kalau tidak salah begitu. Semoga benar.

Kursus tersebut dimulai pada pertengahan Februari 2017. Setiap sesi diadakan seminggu sekali selama lima sesi. Sistemnya, kita akan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp yang isinya mentor kita, si senior yang menawari program ini dan peserta belajar lain yang kebetulan jumlahnya 8 orang. Di grup tersebut, kita akan berdiskusi membahas soal prediction test atau phone call dengan si mentor. Mentor saya adalah alumni S2 kampus luar negeri yang S1-nya di sebuah institut teknologi ternama di Bandung, skor IELTS-nya 7.0 (kalau tidak salah), sudah menikah dan memiliki anak kecil perempuan, bahasa kekiniannya papah muda kali ya. Duh, ngapain lo jelasin sedetil itu, Li? Karena ternyata, itu mempengaruhi performance dia dalam mengajar kami :(

Seingat saya, jadwal belajar itu sesuai dengan kesepakatan kita, mau hari apa dan jam berapa. Nah, karena saya merasa bayar, jadi dong saya nggak mau rugi, berusaha untuk selalu online tepat waktu dan siap dengan berbagai pertanyaan diskusi. Tapi oh tapi, si papah muda ini suka terlambat join diskusi atau bahkan izin untuk nggak join hari itu. Lah pegimane, Bang?! Alasannya beliau ini beragam, karena mengantar istrinya, anaknya tidak ada yang menjaga, dll. Feedback yang dia berikan terhadap hasil latihan kita juga super lambat. Semacam, dia itu udah sibuk bekerja, sibuk jadi papah muda dan masih memaksakan diri jadi mentor program tersebut. Entah karena dipaksa atau kemauan dia sendiri tuh.

Alhasil, saya jadi males join diskusi wkwk. Prediction test (yang sesungguhnya itu diambil dari soal-soal IELTS Cambridge) jadinya jarang saya kerjakan (excuse wk). Padahal kan saya orangnya pantang merugi, tapi jadi semales itu dan nggak peduli dengan uang jaminan hahahaha. Satu-satunya hal yang paling menghibur dari si mentor adalah suaranya yang sungguh menenangkan untuk didengar.

Jadilah semenjak itu, saya nggak pernah lagi percaya dengan kursus-kursus online IELTS. Saya pun tidak merekomendasikan teman-teman saya untuk belajar dari kursus-kursus online macam itu. Percayalah, itu sama saja dengan kita belajar sendiri, justru kalau kita disiplin, lebih efektif belajar sendiri. Bisa hemat uang juga. Kecuali kalau lesnya gratis yass.

Oh ya, disclaimer biar saya nggak diamuk pelaku industri serupa, cerita saya barusan adalah testimoni real berdasarkan pengalaman saya mengikuti SALAH SATU online course IELTS prep ya. Tidak berlaku untuk semua kursus online. Saya juga tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak mana pun. Kalau kalian merasa produk les-lesan IELTS kalian nggak begitu, silakan istiqomah dengan jalan kalian. Pun bagi kalian yang merasa ikut kursus IELTS online justru sangat membantu, silakan membuat tulisan opini di blog kalian sendiri, Ehe.


-Bersambung. Bisa cek di postingan selanjutnya yaa :)

Sonntag, 30. März 2014

XL Future Leaders 2nd Batch: The Uncensored Story Part #2


Setelah beberapa bulan penantian, finally woro-woro tentang pembukaan pendaftaran seleksi program XL Future Leaders Batch II pun dibuka. Kalo nggak salah deadline-nya itu akhir Juni 2013.

Tahapan seleksi pertama adalah seleksi berkas. Seingat saya, saat itu peserta yang berminat diminta untuk mengisi formulir pendaftaran, menjawab beberapa pertanyaan tentang leadership, serta membuat essay singkat tentang pengalaman memimpin. Sebenarnya, untuk ukuran program se-prestis XL Future Leaders, syarat berkas tersebut tidak terlalu ribet. Karena saya pengalaman banget loh ngisi form aplikasi untuk berbagai lomba, conference, summer program, youth forum dan sebagainya (pengalaman ngisi form doang loh yaa, nggak semuanya lolos, bahkan lebih banyak gagalnya haha. tapi tetep semangat!!). Nah, secara logika, kalo form-nya nggak terlalu sulit, harusnya saya bisa get it done as soon as possible dong yaa haha. Tapi begitulah hidup, it will be flat until dealing with the deadline. Dan kebetulan bulan Mei - Juni - Juli adalah bulan-bulan padat agenda, dari mulai JMUN sampe K2N, jadi saya selalu punya excuse untuk menunda submit application form hehe.

Saya masih ingat betul, saat itu saya sedang mengikuti program K2N (Kuliah Kerja Nyata) Tematik UI dari Kemahasiswaan UI di Puncak, Bogor, ketika deadline untuk submit formulir pendaftaran sudah semakin dekat. Untuk hal ini, saya sendiri masih kagum dengan bagaimana Allah mengatur segalanya. Ah, Allah :)
Jadi, sedikit keluar dari topik ya. Saya pribadi selalu berusaha untuk melakukan perencanaan masa kuliah saya sebaik mungkin, se-well-prepared mungkin. Mengingat, masa-masa kuliah kan cuma 4 tahun. Tetapi ada banyak sekali hal yang ingin saya coba, karenanya semua waktu harus benar-benar digunakan seefektif mungkin. Sejujurnya, di tahun kedua kuliah saya, tepatnya di semester 5, saya berencana untuk exchange satu semester. Namun, sepertinya Allah berkehendak lain. Saat itu, karena harga tes TOEFL LBI naik jadi Rp 350.000,00 dan uang saya belum cukup haha, ditambah lagi saya belum pernah tes TOEFL ataupun mengikuti TOEFL Preparation Class, maka dengan persiapan yang sangat minim, saya takut tidak mampu memenuhi standard score 500 yang diminta International Office UI saat itu. Sayang 350.000-nya kalo gagal hiks. Oleh karena itu, saya putuskan untuk merombak ulang planning hidup saya. Saya putuskan saat itu untuk mencapai target saya yang lain, mengikuti K2N UI sambil terus belajar TOEFL, dan mengikuti exchange di tahun 2014. Amin Ya Allah. Kebetulan di UI, program K2N UI adalah program idaman. Kuotanya sedikit, namun pengalaman yang ditawarkan melimpah ruah, karena lokasinya di perbatasan Indonesia. Maka menjadi bagian dari peserta K2N Perbatasan UI adalah target saya saat itu.

Namun, Allah memang sebaik-baik pembuat rencana. Kualifikasi peserta K2N Perbatasan tahun 2013 dirubah oleh panitia, calon peserta diwajibkan telah memenuhi minimal 90sks. SKS saya yang saat itu menjadi genap 90sks jika ditambah dengan mata kuliah yang sedang diambil pun ditolak mentah-mentah oleh panitia. Dan ajaibnya, mendapat penolakan tersebut, saya justru tidak meneruskan untuk mendaftar. Padahal biasanya saya selalu nekat, kan tagline saya: apapun yang penting submit berkas! haha. Mungkin karena saat itu ada banyak paper kuliah yang juga sudah mendekati deadline. Sehingga, saya memilih untuk tidak mengambil risiko dengan memaksakan diri mendaftar K2N Perbatasan (dengan tugas membuat essay yang cukup memakan waktu), sementara saya harus mengerjakan paper-paper kuliah saya yang juga sudah darurat deadline. Singkat cerita, saya membiarkan seleksi K2N Perbatasan berjalan tanpa berkas saya. Bye K2N!! Padahal usut punya usut, karena peserta yang mendaftar kurang dari target, panitia akhirnya memperbolehkan orang-orang dengan sks (menuju) 90 seperti saya untuk mendaftar. Duh Ya Allah.. hidup memang pilihan ya.

Nah, masih seputar K2N. Allah itu memang penuh dengan tebakkan, saya yang sedang sedih karena belum punya kemampuan baik finansial maupun intelektual untuk mengikuti TOEFL Test sebagai syarat exchange dan berarti harus menunda mimpi exchange menjadi tahun depan, masa iya harus kehilangan kesempatan untuk K2N. Hingga akhirnya, Allah bilang, "Tidak Lili, kamu tetap bisa ikut  K2N kok dengan manfaat dan pengalaman yang akan didapatkan sama besarnya dengan yang didapatkan peserta K2N Perbatasan. Yang penting, kamu tetap membuka diri dan bersyukur ya." (Heem, Allah nggak literally ngomong gitu ke saya ya. Itu hanya hasil intrepretasi saya atas beebagai hal yang saya hadapi.)

Daaan, jengjengjeng, muncullah K2N Tematik UI. Teretoreng toreng. Sebelumnya agak males pake banget deh ikutan program ini, alasan pertama, utama, dan yang paling utama sih karena lokasinya yang cuma di Puncak! Aduh ya, itu mah berasa jalan-jalan doang kali yak, nggak bisa belajar banyak. Haha sombong banget ya saya saat itu, Astaghfirullah. Temen-temen saya juga nggak terlalu tertarik sama program beginian. Makanya bikin tambah males. Tapi kemudian, saya merasa tertampar ketika mengobrol dengan teman saya. Kira-kira begini dialognya...

Saya          : Melati (Nama Disamarkan), ikut K2N Tematik, yuk!
Melati        : Yaaah, K2N Tematik males ah, Li. Cuma di Puncak gak seru. Nggak bisa sambil jalan-jalan.
(Entah kenapa, waktu denger temen saya ngomong kayak gitu, saya jadi ngerasa tersinggung haha. Saya nggak suka aja sama alasan dia nggak mau ikutan K2N Tematik. Masa karena seru dan nggak seru, karena nggak bisa jalan-jalan. Ya keleus. Kalau saya ya, saya males ikutan itu at least karena mikir, pelajaran unik apa yang bisa saya dapet dari warga yang tinggal di sekitaran Jakarta. Apa bedanya sama studi lapangan biasa? Nah, bukan karena di bisa jalan-jalan apa nggak.)

Makanya, setelah denger alasan temen nggak tertarik ikut K2N Tematik itu karena seru nggak seru, bisa jalan-jalan atau nggak, keputusan saya jadi bulet banget ikut K2N Tematik. Saya nggak mau berada pada golongan yang sama dengan mereka yang berpikir kayak gitu. Ini sebagai bentuk protes saya. Saya mau tunjukkin, kalo there will be so much reason for them being so regretful cause letting this opportunity go.

Yaudalah intinya, finally setelah berbagai dinamika, cailah, saya ikut K2N Tematik UI, yang pada akhirnya, sebenernya Allah udah mengatur ini semua. Karena mengurus segala paper UAS, ikut beberapa event dalam dan luar kampus, saya jadi tidak sempat menyelesaikan formulir XLFL saya. Hingga akhirnya, hari H deadline datang juga. Yeaaaay welcome the deadline!!!!

Daaan, karena ternyata jadwal para peserta K2N Tematik itu juga sangat-sangat padat, maka saya baru bisa menyelesaikan malam setelah semua peserta K2N pergi bobo. Selain itu juga karena kebetulan tempat tinggal kami tidak terlalu besar, sehingga spot tidur sangat terbatas. Bahkan kakak fasilitator kami pun berbaik hati dengan bersedia tidur di dapur saking tidak ada ruang sedikit pun (huhu Ka Choi dan Ka Pipin :3 Makasih pengorbanannya kak!!) Jadi, saya harus memastikan jika saya tidak mengambil spot tidur orang lain ketika menyelesaikan aplikasi saya, dan yang paling penting, di spot saya tersebut harus ada sinyal internet hahaha. Nah ini dia yang saya bilang kenapa saya bersyukur sekali karena tidak jadi mengikuti K2N Perbatasan. Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya, lokasi K2N Perbatasan adalah di ujung-ujung perbatasan Indonesia. Sehingga, jarak tempuh menuju ke sana pun berhari-hari, karena menggunakan kapal laut. Rasanya pasti saya tidak punya energi lagi untuk apply ini itu ketika bertugas K2N disana. Apalagi sinyal! Duh, menurut cerita teman-teman, disana susah sekali mendapatkan sinyal yang lemah sekalipun. Sedangkan, untuk di K2N Tematik, walaupun letaknya di Puncak, namun sinyal internet sudah cukup baik. Walaupun, hanya ada di beberapa spot tertentu, dan pada spot lain sinyalnya hilang. Haha.

Beberapa hari sebelum deadline program XLFL, saya sedikit mempromosikan program ini ke teman-teman peserta K2N Tematik lainnya. Ini yang selalu ingin saya terapkan pada diri saya, berbagi informasi. Saya selalu berusaha untuk men-share setiap informasi entah lomba, beasiswa, youth forum dan segala hal lain yang saya tahu ke orang-orang di sekitar saya. Beberapa orang bertanya, apa saya tidak merasa rugi atau dikhianati (cailah) karena seringnya, yang lolos seleksi bukan saya, tetapi teman-teman yang saya ajak untuk ikut haha. Ah, tapi itu semua tidak penting buat saya, justru itu membuat saya jadi semakin termotivasi. Hem, agak terkesan normatif ya? Tapi begitulah. Saya selalu percaya bahwa setiap orang punya 'momentum'-nya masing-masing. Jika Allah sudah berkehendak, menjadikan sebuah moment sebagai 'momentum'-nya, maka, kita bisa apa selain mengambil pelajaran darinya?

Nah, kembali ke awal, dari beberapa orang yang saya ceritakan tentang program ini, yang tampaknya tertarik adalah Mayang. Dan, jadilah kami berdua menghabiskan menit-menit terakhir hari itu dengan mengisi formulir aplikasi untuk program XLFL Batch II.

Daaaan, bagaimana hasilnya? Tunggu di postingan selanjutnya ya! It has been too long i think.

XL Future Leaders 2nd Batch: The Uncensored Story Part #1

Dan yak, setelah membuat kesal beberapa orang dengan blog berjudul super panjang tapi super nggak penting (Emm, atau justru tidak ada yang kesal, karena memang tidak ada yang mengunjungi. haha. *Lili edisi hopeless*) beberapa menit kemudian, saya pun meng-click compose button lagi haha. But now, i've decided what things i will share first.

Jadi, kali ini saya mau berbagi cerita sedikit tentang program XL Future Leaders (XLFL) yang saya ikuti. Jengejerejeeeeeng, ayo kalian yang lagi baca, heboh-heboh gitu ya sebelum kita menuju tulisan utama. Wuhuuuu wuhuuuu. Oke stop being stupid, Li :)
Sebelumnya, saya mau mengingatkan, cerita saya kali ini kan bukan cerita komersil berbayar ya haha, jadi maaf jika nantinya, isi tulisan justru lebih banyak curhat dan sedikit memberikan informasi. heheu.

Oke, semuanya bermula di kost-an Lita (Nama lengkap: Nurlita Dewi Ramadhani | Kuliah: Vokasi UI 2011 | Status: InsyaAllah jomblo hingga menikah). Jadi, saat itu siang menjelang sore, saya dan beberapa teman lain berkumpul di kost-an Lita untuk rapat program Kampung Banana yang merupakan proyek pemberdayaan masyarakat yang saat itu hingga kini masih berusaha kami kembangkan di Beji, Depok (more info tentang Kampung Banana disini). Saya masih ingat dengan sangat detail, hampir semua teman-teman saya saat itu sibuk membicarakan program XLFL. Ternyata, beberapa dari mereka lolos tahapan seleksi awal dan bersiap untuk seleksi wawancara. Nah, saya yang saat itu nggak tau program XLFL itu apa, hanya diam (tapi menyimak), yaa paling saya nanya-nanya seadanya lah haha. Saya agak sebel juga, kenapa saya bisa nggak dapet kabar sama sekali tentang itu program. Belakangan saya tau, kalo ternyata XL Future Leaders itu adalah program leadership yang diadakan untuk pertama kalinya oleh sebuah provider *piiip*. Nama providernya dirahasiakan ya hahahaha you know lah. Makanya, saya nggak terlalu menyalahkan diri gitu sih, karena nggak tau informasi tentang program ini. Tapi, gimana caranya itu temen geng gaul di Kampung Banana pada tau soal program XLFL? Saya juga nggak tau sih haha. Yang saya tau, begitulah culture kita, setiap ketemu, pasti update event atau lomba hahahahaha.

Singkat cerita, pas udah di rumah, saya langsung cari tau deh tuh info tentang XL Future Leaders. Saya catet segala kontak, website, twitter, dan sebagainya, buat jaga-jaga untuk seleksi tahun depan. Pokoknya saya nggak mau ketinggalan info lagi. Even saat itu, saya pun belom tau banget benefit apa aja yang bisa kita dapet kalo kepilih nanti. Yang penting buat saya, daftar aja. Itu kan program leadership, lolos nggak lolos, there must be priceless values we could get, right? Haha. Sounds ambitious? Oh no, guys! It's what we usually call it as stra-te-gy hahahah.

Setelah masa seleksi program XLFL Batch I selesai, saya ikut berbahagia karena dari geng Kampung Banana, ternyata ada satu orang yang lolos sampai tahap akhir, please welcome..... Irfaaaaaaaaaannnnn!!! Yuhuuuu. Sejujurnya, gue nggak ngerasa amazed banget sih knowing that he passed the selection process. Pertama, karena dia emang cukup kece, kan temen gue di Kampung Banana. Pokoknya anak Kampung Banana itu keren-keren semua haha. Jadi kan kita pernah ikut satu program student development gitu, jadi taulah saya gimana track record dia hahaha. Nah, tapi, setelah denger beberapa kali cerita Irfan tentang program-program XLFL yang kereeen banget, gimana dia dapet pendampingan dari para fasilitator yang merupakan konsultan dari lembaga yang sangat kredibel, gimana kurikulum programnya sangat menyenangkan, gimana metode belajarnya yang fun, gimana dia seleksi via regional Yogya (biar chance-nya lebih gede dari regional Jakarta katanya. which means emang seleksinya ketat banget, bahkan lebih ketat dari leggingnya penyanyi dangdut), dan yang paling penting gimana ikhlasnya XL menginvestasikan banyak fasilitas (HP touch screen, notebook, modem, pulsa) ke para peserta-- fixed banget semua hal itu bikin saya semakin bulat untuk ikut seleksi XL Future Leaders tahun berikutnya.

Yaaak, udah cukup panjang yaa ceritanya. Tapi bahkan, setengah cerita pun belom ini hahaha. Oke, jadi lanjut ke postingan selanjutnya ya.


Montag, 8. Oktober 2012

Terdidik bukan Terdikte #EssayGUIM


Ibarat sebuah perang, maka pendidikan merupakan sebuah dapur tempat mencetak prajurit-prajurit baru untuk diterjunkan ke medan perang. Pada dapur tersebut, prajurit-prajurit dididik dengan sebaik – baiknya tentang strategi perang, cara menggunakan senjata dan segala hal lain yang nantinya dapat membuat para prajurit siap menghadapi musuh. Dengan demikian, dapat dilihat betapa pentingnya arti pendidikan bagi keberlangsungan suatu negara. Namun, bagaimana jika ternyata dapur tersebut tidak berfungsi dengan baik? Mungkinkah akan tetap ada prajurit - prajurit unggul yang akan mampu berjuang di medan perang? Masihkan optimisme kemenangan ada di tangan?
Celakanya, menurut pengamatan saya, Indonesia berada pada kondisi dimana 'dapur'-nya tidak berfungsi dengan baik. Walaupun mungkin pemahaman saya tentang sistem pendidikan yang baik masih terlalu dangkal untuk digunakan menilai pendidikan Indonesia. Tetapi, bukankah lebih baik demikian karena itu berarti Anda terlepas dari indikator - indikator teoretis yang terkadang utopis?
Pendidikan, harus mampu mendampingi siswanya dalam menjalani masa tumbuh kembang serta menemani mereka menghadapi dunia. Ketika kita berbicara tentang masa tumbuh kembang dan dunia yang dihadapi, maka kita tidak lagi berbicara dalam konteks siswa dan kepintaran dirinya. Namun, disini kita dipaksa untuk bermain-main pada area kehidupan yang lebih luas, yang memaksa siswa untuk dapat respek terhadap orang di sekitarnya, peduli terhadap lingkungannya, siap menerima caci dan puji yang datang selalu tanpa undangan.
Menyadari hal tersebut, jelaslah disini terlihat bahwa pendidikan tidak bermain pada hanya satu aspek dalam kehidupan siswanya. Tidak bermain di pinggir pantai dengan ombak – ombak rendah tenaga. Tidak bermain pada api lilin dengan goyang temaram. Ya, karena pendidikan bermain pada seluruh aspek kehidupan, tidak pada pantai namun pada laut itu sendiri, tidak pada api lilin namun pada merahnya bara yang mengapi. Sehingga pintar saja dirasa tidak cukup untuk menghadapi dunia, butuh kecerdasan baik secara akademis, spiritual maupun emosional. Oleh karena itu disinilah pentingnya pendidikan berkarakter. Dimana pendidikan bukan hanya sebagai ajang tanam nilai-nilai akademis, namun juga nilai-nilai kehidupan. Karena itu lah yang membedakan manusia dengan hewan sirkus yang ada di pentas-pentas. Karena melalui pendidikan, kita terdidik bukan terdikte.

--
tanpa editan apapun, dibuat untuk memenuhi salah satu rangkaian seleksi pengajar GUIM.
sangat-sangat tidak maksimal essay-nya. substansi dan konklusinya kabur.
maklum baru ngerjain 20 menitan sebelum deadline. ini juga dengan memodifikasi
essay yang udah ada. hahaha *tawamiris
walaupun begitu tapi semoga ya. #semoga
Posts mit dem Label edu-cat-e werden angezeigt. Alle Posts anzeigen
Posts mit dem Label edu-cat-e werden angezeigt. Alle Posts anzeigen

Mittwoch, 15. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 2]

Sekarang, saya akan berbagi langkah-langkah yang saya lakukan dalam mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018. Ingat, ini langkah yang saya lakukan, cuma referensi buat kamu, bukan langkah yang 'seharusnya' kamu lakukan ya. So, you may have your own steps in doing the application. That would be very much okay :)


1. Minta Izin ke Atasan Kantor

Kalau kamu adalah karyawan seperti saya, minta izin ke atasan di masa-masa awal sebelum daftar adalah sesuatu yang penting, karena program ini akan berjalan selama 5 pekan. Belum lagi, kamu harus mengikuti orientasi sebelum keberangkatan dan, yang paling krusial, kamu akan riweuh mengurus visa. Jadi, ada baiknya atasanmu paham dengan rencanamu itu. Dari sana, akan ketahuan, atasanmu mendukung atau tidak. Kalau mendukung, aman. Kalau tidak, kamu harus mulai berpikir, jika kamu benar-benar diterima nanti, apa kamu sudah yakin untuk menukar karirmu di tempat kerja dengan perjalanan ke US melalui YSEALI? Atau justru melepas kesempatan di YSEALI adalah pilihan terbaik? 


2. Memilih Referee

It's such a tricky part, karena siapa referee kita akan memengaruhi bagaimana kualitas surat rekomendasi yang kita submit. Walaupun, saya sendiri kurang paham seberapa besar bobot surat rekomendasi pada seleksi YSEALI. Tapi, saya cukup yakin jika surat rekomendasi saya sangat-sangat memengaruhi keputusan reviewer dalam meloloskan saya. Karena yaa kita tahu, kesempatan untuk meyakinkan reviewer melalui aplikasi sangat terbatas. Bayangin aja, kita harus meyakinkan reviewer untuk memilih aplikasi kita dibandingkan ratusan pendaftar lain dengan hanya melihat riwayat aktivitas dan esai super singkat yang tidak lebih dari 250 kata. Kalau kamu jadi reviewer, pasti kamu akan mencari pertimbangan lain kan? Nah, surat rekomendasi ini lah yang jadi salah satu referensi mereka. 

Lalu, bagaimana caranya memilih referee yang tepat? Untuk YSEALI (ini belum tentu berlaku pada program lain ya), saya sarankan pilih referee yang tidak sekadar punya nama besar. Tapi, pastikan beliau memang mengenal kita dengan baik. Sehingga, rekomendasi yang beliau berikan bisa detailed dan personalized, tidak memberikan kesan template. Misalnya, kalau kamu berada dalam sebuah organisasi kemasyarakatan, jangan langsung menyasar ketua organisasi tersebut sebagai referee-mu, hanya karena beliau cukup dikenal di masyarakat. Beliau sendiri kenal kamu dengan baik ndak? Jangan-jangan selama ini cuma saling lempar senyum doang lagi *lah berasa sama gebetan dong.

Ndak apa-apa lho kalau kita minta rekomendasi ke orang di level manajer atau bahkan officer, yang penting kalian rutin berkomunikasi dan beliau paham perkembangan diri kamu. Etapi, bukan berarti temen main yang se-level juga boleh ya, pilih mentor atau supervisor lah paling nggak. Biar isi surat rekomendasinya nggak sebatas: she is good; she is a hard worker; she is attentive to detail; dan parahnya, she is beautiful. eyyaa. 

Selain itu, pastikan referee-mu itu mengenalmu dalam lingkup kegiatan yang berkaitan dengan tema program YSEALI yang kamu pilih. Sehingga, pemaparan yang beliau sampaikan tentangmu dapat spesifik dihubungkan dengan tema program yang kamu pilih itu. Misalnya, saya memilih tema Social Entrepreneurship and Economic Development. Saya tidak meminta rekomendasi dari dekan kampus, dosen pembimbing atau atasan di kantor. Tetapi, saya minta rekomendasi dari orang yang menjadi mentor saya saat mewakili SiMaggie mengikuti sebuah program inkubasi social enterprise. Jadi, beliau paham betul dengan perjalanan saya dan SiMaggie selama ini.

Surat rekomendasi yang beliau tulis untuk saya cukup detail. Maklum, saya berada di bawah asistensinya secara langsung selama beberapa bulan. Beliau juga tahu betul bagaimana tertariknya saya dengan konsep social entrepreneurship. Semua pemahaman beliau tentang saya itu ditulis dengan menyertakan contoh konkret. Dengan begitu, saya sendiri yang membaca tulisan beliau merasa bahwa surat rekomendasi tersebut sangat meyakinkan. Sehingga, walaupun di akhir surat referee saya menulis posisinya sebagai program officer, karena isi suratnya sudah meyakinkan, posisinya tidak membuat rekomendasinya diragukan.

Entahlah, ini asumsi saya sih, yang jelas, walau jabatan referee-mu mentereng di tingkat CEO sekalipun, kalau konten surat rekomendasinya cuma common sense, sayang aja sih.

"Ya tapi kan kualitas surat rekomendasi yang ditulis referee di luar kendali kita."

Makanya, pilih referee yang tepat. Dan perbaiki hubunganmu dengan orang-orang di sekelilingmu. Dari sekarang. Jangan dateng pas butuh aja. Misalnya, ke dosen pembimbing jaman kuliah, founder startup yang dulu pernah kamu ajak kenalan, ketua organisasi X yang pernah kamu ajak kerjasama, supervisor di mantan kantor atau bahkan sekadar temen lama, jaga hubungan baik dengan mereka. Keep the relationship 'alive'. Kita nggak pernah tahu kapan kita butuh mereka.

"Kok nyambungnya kesana?"

Lha iya, kalau kamu udah lama nggak kontak-kontakan sama dosenmu atau mantan atasanmu, tau-tau kamu dateng ke doi minta surat rekomendasi. Beliau-beliau yang terhormat bisa apa selain menulis surat rekomendasi seadanya dengan template hasil searching di Google? Bukan salah mereka, kan kalian sudah lama tidak berinteraksi. They just simply have no idea what to put in the letter.

Lanjut. Setelah kamu memutuskan siapa orang yang kamu pilih untuk dimintai rekomendasi, pastikan untuk tidak menghubunginya dekat dengan deadline. Ingat, kita sedang minta bantuan orang, dan orang yang kita mintai bantuannya pasti punya urusan lain. Jangan tempatkan ia di posisi sulit karena harus kamu kejar-kejar untuk menyelesaikan apa yang menjadi kebutuhanmu.


3. Memahami dan Mengisi Form Aplikasi

Seperti yang sudah saya sebutkan pada tulisan sebelumnya, formulir aplikasi YSEALI Academic Fellowship tahun ini berupa Google Form. Artinya, ketika mengisi formulir tersebut, tidak ada pilihan 'save draft'. Oleh karena itu, sebelum mulai mengisi, saya menyarankan teman-teman untuk mempelajari baik-baik formulirnya. Kalau perlu, di-'save page' saja agar kalian bisa buka sewaktu-waktu.

Mempelajari formulir aplikasi ini penting sekali untuk mengantisipasi ketentuan-ketentuan yang tidak kalian duga. Misalnya, pada bagian akhir formulir aplikasi Fall 2018 (tidak tahu apakah ketentuan yang sama juga diminta pada periode sebelumnya), saya diminta untuk mengetik ulang surat rekomendasi pada box di Google Form. Bisa dibayangkan, mengetik ulang surat rekomendasi cukup time-consuming. Kalau hal ini tidak kamu ketahui sejak awal, mungkin kamu tidak akan menyiapkan waktu untuk itu. Akibatnya, kamu bisa jadi terlambat untuk submit aplikasi. Kesalahan yang tidak perlu.

Saat mempelajari Google Form itu pula, teman-teman bisa memilah, mana pertanyaan-pertanyaan yang bisa dijawab on the spot dan mana pertanyaan-pertanyaan yang butuh dipikir matang-matang. Untuk pertanyaan yang bisa dijawab on the spot, misalnya pertanyaan tentang data diri, detail paspor, food restrictions, dll., insyaAllah akan aman-aman saja. Kalian cukup mempersiapkan dokumen terkait, seperti KTP, Paspor, bukti kemampuan bahasa Inggris, dll. Anyway, bukti kemampuan bahasa Inggrisnya nggak harus hasil tes IELTS atau TOEFL kok. Bisa berupa bukti keikutsertaan les bahasa Inggris, acara internasional, dll. Cek sendiri nanti di formulirnya ya.

Sedangkan, untuk pertanyaan yang butuh dipikir dan dipertimbangkan matang, contohnya pengalaman organisasi, pengalaman bekerja dan magang, keanggotaan pada komunitas, dsb. Saat mengisi pertanyaan tersebut, saya sarankan kalian untuk mengetik jawaban kalian di Ms. Word atau note terlebih dahulu agar kalian punya back up data. Setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut selesai dijawab, coba eliminasi poin-poin jawaban yang tidak relevan dengan tema program yang kamu pilih. Pastikan semua jawabanmu spesifik dan mengerucut pada tema program. Tujuannya, agar reviewer bisa melihat ketertarikan dan keseriusanmu pada tema yang kamu pilih dari konsistensi pengalamanmu.

Metode yang sama bisa kamu gunakan ketika mengerjakan esai. Walaupun esai yang diminta hanya 250 kata dan sangat mungkin dikerjakan dalam waktu kurang dari satu jam, pastikan kamu membuatnya dengan sangat matang. Ketik esaimu di Ms. Word atau note, lalu minta tolong mentormu untuk proofread esaimu. Edit, baca lagi, edit, baca lagi, dan seterusnya. Ingat, 250 kata itu yang akan menentukan kamu diundang interview atau tidak. 

Saat menulis esai, kamu tidak perlu menyertakan data yang skalanya terlalu luas, misalnya data statistik angka kemiskinan di Indonesia, data jumlah pengangguran di Jakarta, dll. Fokus untuk menjelaskan dirimu, latar belakangmu, kegiatan yang kamu geluti dan apa yang kamu cari dari mengikuti program YSEALI ini. Data statistik atau analogi-analogi tidak penting akan membuat arah esaimu menjadi kabur, kuncinya fokus pada siapa kamu, spesifik dan konkret atas apa yang kamu kerjakan, serta realistis pada implementasinya.

Kalau semua pertanyaan pada formulir aplikasi sudah terjawab dan ter-back up dengan baik, kamu bisa mulai menyalin jawaban tersebut pada Google Form sesungguhnya. Pastikan tidak mepet dengan deadline ya. Selalu sediakan waktu untuk kemungkinan terburuk yang terjadi.

Meskipun, saya sendiri waktu itu submit aplikasi jam 11.43 AM while the application was due at 1 PM. Ehehe. Jangan ditiru ya, mentemen. Saat itu saya kost di Bojonegoro, nggak punya paket internet, karena kalau pun punya, sinyalnya syulit. Terus, nggak mau juga nongkrong di kafe untuk sekadar numpang internet karena saya anaknya nggak mau rugi wkwk. Kebetulan, kantor cabang saya lagi libur karena waktu itu hari libur nasional. Tapi, karena saya agak nggak tau malu, saya tetep ke kantor cabang dan duduk di emperan cabang, belum mandi, masih pake celana tidur, terus numpang submit aplikasi di sana deh. Heheu.


4. Mari Berdoa!

Setelah aplikasimu terkirim, perjuanganmu belum selesai. Selalu dampingi aplikasimu dengan doa ya. Ingat, ada 'logika langit' di samping logika manusia yang bekerja. Biasanya, proses seleksi ini akan memakan waktu kurang lebih satu bulan. Pada periode seleksi Fall 2018 sendiri, deadline aplikasi adalah 1 Juni 2018 pukul 13.00 WIB, sementara saya mendapatkan email undangan interview di tanggal 3 Juli 2018, tepat ketika saya sedang mendampingi petugas cabang di lapangan. Eyyaa, mengenang dikit.

Sedihnya, pemberitahuan apakah kita melaju ke tahap interview atau tidak hanya disampaikan kepada applicant yang lolos saja. Hal ini membuat kita jadi was-was, bahwa kabar baik yang tidak kunjung datang itu, apakah karena kita memang tidak lolos atau karena proses seleksi masih berlangsung. Tapi gapapa, justru di masa-masa ini lah kita benar-benar butuh pasrah dan husnudzan sama Allah. Saya paham betul nggak enaknya masa-masa menanti pengumuman itu, bahkan lebih tidak menyenangkan dari  menanti jodoh yang tidak kunjung datang wkwk. Makanya, tips paling mudah dari saya sih, setelah apply, lupakan dan ikhlaskan. Kalau programnya memang jadi jodoh kita, maka Alhamdulillah, kabar baik insyaAllah datang. Tapi, kalau bukan, yaa ikhlaskan. Yakin aja, Allah pasti punya rencana lain yang lebih baik untuk kita.

Selanjutnya, perjalanan saya untuk menjenguk Juminten ini belum selesai, teman-teman. Saya masih akan berbagi pengalaman ketika saya menjalani interview YSEALI. Simak disini!


Montag, 30. April 2018

Things I Don't Tell People about My IELTS Journey [Bagian Pertama]

Tanggal 20 Januari 2018 lalu, saya baru saja mengikuti tes IELTS di IALF Surabaya. Sekitar dua minggu kemudian, kalau nggak salah sih awal Februari, hasil tesnya keluar. Alhamdulillah, skornya sungguh ajaib dan di luar perkiraan saya. Allah memang super baik lah.

Saya sempat bercerita ke beberapa teman, dosen, mentor, dll soal hasil tes ini. Tujuannya bukan untuk memamerkan hasil, perihal minta doa untuk sebuah hajat dan laporan atas hasil yang didapat memang sudah jadi hobi saya. Bukan cuma ke orang tua, tetapi juga ke adek saya sendiri, pembimbing akademik jaman kuliah, mentor, senior, adek kelas, teman kantor atau bahkan orang yang baru saya kenal macam babang-babang Go-Jek, tukang nasi goreng, ibu kosan, dll. Hem, karena saya selalu percaya, kita nggak akan pernah tahu, doa apa yang terucap dari mulut siapa yang akan dikabulkan sama Allah.

Bisa jadi, saya udah banyak-banyak doa sama Allah, tapi dosa-dosa saya yang nggak kalah banyak menghalangi terkabulnya doa tersebut. Sebaliknya, babang Go-Jek yang hatinya tulus bantu penumpang, bisa jadi doanya akan langsung diijabah sama Allah. Bisa jadi.

Balik lagi ke hasil tes, karena kebanyakan teman saya juga sedang dalam ikhtiar untuk S2, makanya saat saya cerita ke mereka, banyak yang balik tanya tips mempersiapkan IELTS. Kalau muncul pertanyaan begitu, jujur saya bingung jawabnya. Saya intensif mempersiapkan IELTS dalam waktu kurang dari sebulan. Itu pun bener-bener serius belajarnya cuma dua minggu awal, karena menjelang tes, saya demam, mules dan udah nggak konsen.

Tapi, saya nggak pengen, karena cerita saya itu, orang lain jadi berpikir bahwa boleh-boleh aja prepare IELTS dalam waktu sebulan. Kecuali kita memang udah jago bahasa Inggris banget sih. Tapi, tetep deh, sejago-jagonya kita, IELTS itu bukan semata-mata ngetes bahasa Inggris aja. IELTS tuh ngetes ketangkasan terhadap waktu, ketelitian, skill berbahasa, dll. Pertaruhannya pun uang registrasi yang bisa dipake buat beli smartphone high end. Jadi, sejago apa pun, mending persiapan lebih matang sih, jangan cuma sebulan menjelang tes.

Lah, itu lo sendiri prepare-nya kurang dari satu bulan? Ngerasa jago luuuuuu?

Itu dia! Ada banyak hal yang sulit saya jelaskan setiap kali ada orang nanya gimana saya mempersiapkan IELTS. Karena ceritanya panjang dan kadang waktu ngobrolnya sedikit. Jadi, nggak sempet nyeritain. Ehe. Atau saya nya yang nggak bisa ngeringkas cerita ya wkwk (maklum ekstrovert, selalu ngerasa banyak yang harus diceritain). Makanya, untuk membayar kekhawatiran tersebut, saya coba menggambarkan perjalanan saya mempersiapkan IELTS sejak awal sekali disini.

Oh ya, brace yourself, nanti kontennya akan lebih banyak memuat curhat-curhat receh saya. Karena saya sekaligus mau mengabadikan momen perjuangan jaman baheula. So, if you're looking for practical tips for your IELTS test or simple ways to boost your IELTS score, too bad, you've landed to the wrong blog :(

Oke, mari kita mulai. Perjalanan saya mempersiapkan IELTS sudah dimulai sejak tahun 2015. Sedangkan, saya baru ngambil tes di awal 2018. Lama banget kan?! Jadi, saat itu, saya lulus kuliah dan bekerja di ChapterW.org (dulu namanya Nusantara Development Initiatives/ NDI). Saya ditugaskan di Sumba, NTT, sebelum pulau itu terkenal kayak sekarang.

Sebelum berangkat, saya ingat sekali, salah satu persiapan saya adalah pergi ke Barel (anak UI pasti paham, Barel itu singkatan dari Belakang Rel, semacam gang sempit yang banyak tukang fotokopi murah). Di sana, saya print beberapa ebook IELTS Cambridge di tukang fotokopi langganan jaman skripsian. Baru masuk kerja kenapa udah mikir tes IELTS? karena saat itu saya ingin S2 secepat-cepatnya. Paling nggak setahun setelah kerja lah. Padahal, itu cara berpikir yang salah gengs. Kapan-kapan ya, saya bahas soal ini.

Kalau nggak salah, ebook IELTS yang saya print waktu itu jilid 9, jilid 8, jilid 6 dan jilid 1. Saya lupa, beneran jilid-jilid itu atau nggak, yang pasti saya print 4 buku. Saya bawa 4 buku tersebut selama tugas pindah-pindah desa di Sumba. Harapannya, biar bisa ngisi waktu luang dengan belajar IELTS.

Terus, beneran dibaca nggak tuh? Nggak lah! Hahahaha. Saat itu saya baru ngerasain, kerja di lapangan sungguh sangat melelahkan. Selain karena medan desa yang menguras energi dan adrenalin, di sana juga nggak ada listrik. Jadi, energi yang habis di siang hari ditambah cahaya yang cuma remang-remang saat malam semakin jadi justifikasi buat saya untuk menunda-nunda belajar. Duh, kebayang nggak sih anak-anak asli sana yang harus belajar malem-malem? Sedih deh.

Ohya, meskipun begitu, setiap weekend, saya masih bisa ngerjain 5-4 soal, tapi nggak konsisten sih. Karena, walaupun waktu luang saat weekend lebih banyak, saya lebih tertarik nobar Master Chef di laptop temen daripada belajar IELTS wkwk.

Terlepas dari itu, walaupun saya nggak berhasil menyelesaikan satu buku pun selama satu tahun bekerja di NDI, setidaknya, karena saya udah bolak-balik bawa buku-buku tersebut kemana-mana, saya jadi cukup familiar dengan vocab-vocab yang ada di dalamnya. Nah, tips pertama nih, mungkin kamu bisa coba bawa buku IELTS kemana-mana walau nggak yakin bakal dibaca haha.

Ahya, since bos saya di NDI adalah orang Singapura, kami kalau ngomong ke Pak Bos full English, dan itu cukup intensif. Teman-teman satu tim saya (saat itu kami berlima cewek semua) juga kebanyakan punya pengalaman satu-dua tahun hidup di luar negeri. Terutama Kak Ay, teman berantem saya yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di India. Dari mereka, saya membiasakan diri ngomong daily English, walaupun saat itu English saya sungguh kacau. Tapi mayanlah, dari bahasa formal, slang, sampe swearing dengan uncommon words saya pelajari dari mereka. Hahaha

Waktu itu juga ada tim NDI yang sedang menanti keberangkatan master degree-nya di Univ of Glasgow intake tahun 2016, namanya Kak Cutin. Seneng banget jadi bisa tanya-tanya banyak soal S2 dan persiapannya ke doi. Termasuk soal IELTS, dia orang yang menginspirasi saya untuk mempersiapkan IELTS secara mandiri tanpa bergantung sama les-lesan yang harganya nggak masuk akal. Nah, tips kedua nih, ketika kamu memutuskan akan tes IELTS, praktekin tuh English-nya di aktivitas sehari-hari. Cari lingkungan yang kondusif untuk kamu praktek.

Lanjut, akhir 2016, saya pindah kerja ke Water.org, yang kemudian menugaskan saya untuk mendampingi microfinance partner di Jawa Timur. Dari timur Nusa Tenggara ke timur Jawa, akankah ini pertanda jodoh saya orang timur? Yak, mulai halu.......

Pertama kali tugas di Jawa Timur, saya penempatan di Madiun. Saya belum lupa dengan mimpi saya untuk S2 di luar negeri. Makanya, print-an ebook IELTS yang wujudnya sudah tak layak itu, padahal belum saya pelajari itu, tetap saya bawa berkelana. Kampus impian dan target skor IELTS saya tulis besar-besar di kertas dan saya tempel di dinding kosan searah kiblat. Biar nggak lupa masuk list doa setiap selesai sholat.

Seiring dengan pengalaman bekerja dan insight dari senior, target berangkat S2 saya bergeser menjadi setelah 2 - 3 tahun bekerja. Namun, tetap saja, waktu persiapan saya semakin sempit. Sementara, saya tidak semakin yakin untuk mengambil tes IELTS. Yaiyalah, belajarnya kan nggak konsisten. Saya pun terpikir untuk mengikuti les persiapan IELTS. Dari pada uangnya habis untuk mengikuti tes IELTS berkali-kali, lebih baik habis untuk persiapan tes saja. Mahal tak apa, yang penting melenggang menuju tes dengan penuh keyakinan, pikir saya waktu itu. Haiyah, berasa bimbel SNMPTN.

Sayangnya, Madiun kan kota kecil. Nggak ada kursus macam itu di sana (tapi Inul Vizta ada lho). Sampai suatu hari, seorang senior yang cukup saya kenal baik di kampus merekomendasikan kursus persiapan IELTS online, sebut saja Kursus X. Sepertinya sih beliau itu bagian dari tim marketing-nya. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, saya pun daftar kursus online tersebut.

Biaya yang harus saya bayarkan Rp 800.000.00 untuk satu paket program. Kalau tidak salah, Rp 600.000,00 itu untuk biaya kursusnya, sedangkan Rp 200.000,00 sisanya sebagai uang jaminan yang akan dikembalikan jika saya mengikuti seluruh prediction test di setiap sesi. Saya lupa-lupa ingat, satu paket program berjalan selama berapa sesi, kalau tidak salah sih 5 sesi ya. Jadi, kalau saya tidak mengerjakan sekali prediction test, uang jaminan saya akan dipotong Rp 40.000,00. Kalau tidak salah begitu. Semoga benar.

Kursus tersebut dimulai pada pertengahan Februari 2017. Setiap sesi diadakan seminggu sekali selama lima sesi. Sistemnya, kita akan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp yang isinya mentor kita, si senior yang menawari program ini dan peserta belajar lain yang kebetulan jumlahnya 8 orang. Di grup tersebut, kita akan berdiskusi membahas soal prediction test atau phone call dengan si mentor. Mentor saya adalah alumni S2 kampus luar negeri yang S1-nya di sebuah institut teknologi ternama di Bandung, skor IELTS-nya 7.0 (kalau tidak salah), sudah menikah dan memiliki anak kecil perempuan, bahasa kekiniannya papah muda kali ya. Duh, ngapain lo jelasin sedetil itu, Li? Karena ternyata, itu mempengaruhi performance dia dalam mengajar kami :(

Seingat saya, jadwal belajar itu sesuai dengan kesepakatan kita, mau hari apa dan jam berapa. Nah, karena saya merasa bayar, jadi dong saya nggak mau rugi, berusaha untuk selalu online tepat waktu dan siap dengan berbagai pertanyaan diskusi. Tapi oh tapi, si papah muda ini suka terlambat join diskusi atau bahkan izin untuk nggak join hari itu. Lah pegimane, Bang?! Alasannya beliau ini beragam, karena mengantar istrinya, anaknya tidak ada yang menjaga, dll. Feedback yang dia berikan terhadap hasil latihan kita juga super lambat. Semacam, dia itu udah sibuk bekerja, sibuk jadi papah muda dan masih memaksakan diri jadi mentor program tersebut. Entah karena dipaksa atau kemauan dia sendiri tuh.

Alhasil, saya jadi males join diskusi wkwk. Prediction test (yang sesungguhnya itu diambil dari soal-soal IELTS Cambridge) jadinya jarang saya kerjakan (excuse wk). Padahal kan saya orangnya pantang merugi, tapi jadi semales itu dan nggak peduli dengan uang jaminan hahahaha. Satu-satunya hal yang paling menghibur dari si mentor adalah suaranya yang sungguh menenangkan untuk didengar.

Jadilah semenjak itu, saya nggak pernah lagi percaya dengan kursus-kursus online IELTS. Saya pun tidak merekomendasikan teman-teman saya untuk belajar dari kursus-kursus online macam itu. Percayalah, itu sama saja dengan kita belajar sendiri, justru kalau kita disiplin, lebih efektif belajar sendiri. Bisa hemat uang juga. Kecuali kalau lesnya gratis yass.

Oh ya, disclaimer biar saya nggak diamuk pelaku industri serupa, cerita saya barusan adalah testimoni real berdasarkan pengalaman saya mengikuti SALAH SATU online course IELTS prep ya. Tidak berlaku untuk semua kursus online. Saya juga tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak mana pun. Kalau kalian merasa produk les-lesan IELTS kalian nggak begitu, silakan istiqomah dengan jalan kalian. Pun bagi kalian yang merasa ikut kursus IELTS online justru sangat membantu, silakan membuat tulisan opini di blog kalian sendiri, Ehe.


-Bersambung. Bisa cek di postingan selanjutnya yaa :)

Sonntag, 30. März 2014

XL Future Leaders 2nd Batch: The Uncensored Story Part #2


Setelah beberapa bulan penantian, finally woro-woro tentang pembukaan pendaftaran seleksi program XL Future Leaders Batch II pun dibuka. Kalo nggak salah deadline-nya itu akhir Juni 2013.

Tahapan seleksi pertama adalah seleksi berkas. Seingat saya, saat itu peserta yang berminat diminta untuk mengisi formulir pendaftaran, menjawab beberapa pertanyaan tentang leadership, serta membuat essay singkat tentang pengalaman memimpin. Sebenarnya, untuk ukuran program se-prestis XL Future Leaders, syarat berkas tersebut tidak terlalu ribet. Karena saya pengalaman banget loh ngisi form aplikasi untuk berbagai lomba, conference, summer program, youth forum dan sebagainya (pengalaman ngisi form doang loh yaa, nggak semuanya lolos, bahkan lebih banyak gagalnya haha. tapi tetep semangat!!). Nah, secara logika, kalo form-nya nggak terlalu sulit, harusnya saya bisa get it done as soon as possible dong yaa haha. Tapi begitulah hidup, it will be flat until dealing with the deadline. Dan kebetulan bulan Mei - Juni - Juli adalah bulan-bulan padat agenda, dari mulai JMUN sampe K2N, jadi saya selalu punya excuse untuk menunda submit application form hehe.

Saya masih ingat betul, saat itu saya sedang mengikuti program K2N (Kuliah Kerja Nyata) Tematik UI dari Kemahasiswaan UI di Puncak, Bogor, ketika deadline untuk submit formulir pendaftaran sudah semakin dekat. Untuk hal ini, saya sendiri masih kagum dengan bagaimana Allah mengatur segalanya. Ah, Allah :)
Jadi, sedikit keluar dari topik ya. Saya pribadi selalu berusaha untuk melakukan perencanaan masa kuliah saya sebaik mungkin, se-well-prepared mungkin. Mengingat, masa-masa kuliah kan cuma 4 tahun. Tetapi ada banyak sekali hal yang ingin saya coba, karenanya semua waktu harus benar-benar digunakan seefektif mungkin. Sejujurnya, di tahun kedua kuliah saya, tepatnya di semester 5, saya berencana untuk exchange satu semester. Namun, sepertinya Allah berkehendak lain. Saat itu, karena harga tes TOEFL LBI naik jadi Rp 350.000,00 dan uang saya belum cukup haha, ditambah lagi saya belum pernah tes TOEFL ataupun mengikuti TOEFL Preparation Class, maka dengan persiapan yang sangat minim, saya takut tidak mampu memenuhi standard score 500 yang diminta International Office UI saat itu. Sayang 350.000-nya kalo gagal hiks. Oleh karena itu, saya putuskan untuk merombak ulang planning hidup saya. Saya putuskan saat itu untuk mencapai target saya yang lain, mengikuti K2N UI sambil terus belajar TOEFL, dan mengikuti exchange di tahun 2014. Amin Ya Allah. Kebetulan di UI, program K2N UI adalah program idaman. Kuotanya sedikit, namun pengalaman yang ditawarkan melimpah ruah, karena lokasinya di perbatasan Indonesia. Maka menjadi bagian dari peserta K2N Perbatasan UI adalah target saya saat itu.

Namun, Allah memang sebaik-baik pembuat rencana. Kualifikasi peserta K2N Perbatasan tahun 2013 dirubah oleh panitia, calon peserta diwajibkan telah memenuhi minimal 90sks. SKS saya yang saat itu menjadi genap 90sks jika ditambah dengan mata kuliah yang sedang diambil pun ditolak mentah-mentah oleh panitia. Dan ajaibnya, mendapat penolakan tersebut, saya justru tidak meneruskan untuk mendaftar. Padahal biasanya saya selalu nekat, kan tagline saya: apapun yang penting submit berkas! haha. Mungkin karena saat itu ada banyak paper kuliah yang juga sudah mendekati deadline. Sehingga, saya memilih untuk tidak mengambil risiko dengan memaksakan diri mendaftar K2N Perbatasan (dengan tugas membuat essay yang cukup memakan waktu), sementara saya harus mengerjakan paper-paper kuliah saya yang juga sudah darurat deadline. Singkat cerita, saya membiarkan seleksi K2N Perbatasan berjalan tanpa berkas saya. Bye K2N!! Padahal usut punya usut, karena peserta yang mendaftar kurang dari target, panitia akhirnya memperbolehkan orang-orang dengan sks (menuju) 90 seperti saya untuk mendaftar. Duh Ya Allah.. hidup memang pilihan ya.

Nah, masih seputar K2N. Allah itu memang penuh dengan tebakkan, saya yang sedang sedih karena belum punya kemampuan baik finansial maupun intelektual untuk mengikuti TOEFL Test sebagai syarat exchange dan berarti harus menunda mimpi exchange menjadi tahun depan, masa iya harus kehilangan kesempatan untuk K2N. Hingga akhirnya, Allah bilang, "Tidak Lili, kamu tetap bisa ikut  K2N kok dengan manfaat dan pengalaman yang akan didapatkan sama besarnya dengan yang didapatkan peserta K2N Perbatasan. Yang penting, kamu tetap membuka diri dan bersyukur ya." (Heem, Allah nggak literally ngomong gitu ke saya ya. Itu hanya hasil intrepretasi saya atas beebagai hal yang saya hadapi.)

Daaan, jengjengjeng, muncullah K2N Tematik UI. Teretoreng toreng. Sebelumnya agak males pake banget deh ikutan program ini, alasan pertama, utama, dan yang paling utama sih karena lokasinya yang cuma di Puncak! Aduh ya, itu mah berasa jalan-jalan doang kali yak, nggak bisa belajar banyak. Haha sombong banget ya saya saat itu, Astaghfirullah. Temen-temen saya juga nggak terlalu tertarik sama program beginian. Makanya bikin tambah males. Tapi kemudian, saya merasa tertampar ketika mengobrol dengan teman saya. Kira-kira begini dialognya...

Saya          : Melati (Nama Disamarkan), ikut K2N Tematik, yuk!
Melati        : Yaaah, K2N Tematik males ah, Li. Cuma di Puncak gak seru. Nggak bisa sambil jalan-jalan.
(Entah kenapa, waktu denger temen saya ngomong kayak gitu, saya jadi ngerasa tersinggung haha. Saya nggak suka aja sama alasan dia nggak mau ikutan K2N Tematik. Masa karena seru dan nggak seru, karena nggak bisa jalan-jalan. Ya keleus. Kalau saya ya, saya males ikutan itu at least karena mikir, pelajaran unik apa yang bisa saya dapet dari warga yang tinggal di sekitaran Jakarta. Apa bedanya sama studi lapangan biasa? Nah, bukan karena di bisa jalan-jalan apa nggak.)

Makanya, setelah denger alasan temen nggak tertarik ikut K2N Tematik itu karena seru nggak seru, bisa jalan-jalan atau nggak, keputusan saya jadi bulet banget ikut K2N Tematik. Saya nggak mau berada pada golongan yang sama dengan mereka yang berpikir kayak gitu. Ini sebagai bentuk protes saya. Saya mau tunjukkin, kalo there will be so much reason for them being so regretful cause letting this opportunity go.

Yaudalah intinya, finally setelah berbagai dinamika, cailah, saya ikut K2N Tematik UI, yang pada akhirnya, sebenernya Allah udah mengatur ini semua. Karena mengurus segala paper UAS, ikut beberapa event dalam dan luar kampus, saya jadi tidak sempat menyelesaikan formulir XLFL saya. Hingga akhirnya, hari H deadline datang juga. Yeaaaay welcome the deadline!!!!

Daaan, karena ternyata jadwal para peserta K2N Tematik itu juga sangat-sangat padat, maka saya baru bisa menyelesaikan malam setelah semua peserta K2N pergi bobo. Selain itu juga karena kebetulan tempat tinggal kami tidak terlalu besar, sehingga spot tidur sangat terbatas. Bahkan kakak fasilitator kami pun berbaik hati dengan bersedia tidur di dapur saking tidak ada ruang sedikit pun (huhu Ka Choi dan Ka Pipin :3 Makasih pengorbanannya kak!!) Jadi, saya harus memastikan jika saya tidak mengambil spot tidur orang lain ketika menyelesaikan aplikasi saya, dan yang paling penting, di spot saya tersebut harus ada sinyal internet hahaha. Nah ini dia yang saya bilang kenapa saya bersyukur sekali karena tidak jadi mengikuti K2N Perbatasan. Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya, lokasi K2N Perbatasan adalah di ujung-ujung perbatasan Indonesia. Sehingga, jarak tempuh menuju ke sana pun berhari-hari, karena menggunakan kapal laut. Rasanya pasti saya tidak punya energi lagi untuk apply ini itu ketika bertugas K2N disana. Apalagi sinyal! Duh, menurut cerita teman-teman, disana susah sekali mendapatkan sinyal yang lemah sekalipun. Sedangkan, untuk di K2N Tematik, walaupun letaknya di Puncak, namun sinyal internet sudah cukup baik. Walaupun, hanya ada di beberapa spot tertentu, dan pada spot lain sinyalnya hilang. Haha.

Beberapa hari sebelum deadline program XLFL, saya sedikit mempromosikan program ini ke teman-teman peserta K2N Tematik lainnya. Ini yang selalu ingin saya terapkan pada diri saya, berbagi informasi. Saya selalu berusaha untuk men-share setiap informasi entah lomba, beasiswa, youth forum dan segala hal lain yang saya tahu ke orang-orang di sekitar saya. Beberapa orang bertanya, apa saya tidak merasa rugi atau dikhianati (cailah) karena seringnya, yang lolos seleksi bukan saya, tetapi teman-teman yang saya ajak untuk ikut haha. Ah, tapi itu semua tidak penting buat saya, justru itu membuat saya jadi semakin termotivasi. Hem, agak terkesan normatif ya? Tapi begitulah. Saya selalu percaya bahwa setiap orang punya 'momentum'-nya masing-masing. Jika Allah sudah berkehendak, menjadikan sebuah moment sebagai 'momentum'-nya, maka, kita bisa apa selain mengambil pelajaran darinya?

Nah, kembali ke awal, dari beberapa orang yang saya ceritakan tentang program ini, yang tampaknya tertarik adalah Mayang. Dan, jadilah kami berdua menghabiskan menit-menit terakhir hari itu dengan mengisi formulir aplikasi untuk program XLFL Batch II.

Daaaan, bagaimana hasilnya? Tunggu di postingan selanjutnya ya! It has been too long i think.

XL Future Leaders 2nd Batch: The Uncensored Story Part #1

Dan yak, setelah membuat kesal beberapa orang dengan blog berjudul super panjang tapi super nggak penting (Emm, atau justru tidak ada yang kesal, karena memang tidak ada yang mengunjungi. haha. *Lili edisi hopeless*) beberapa menit kemudian, saya pun meng-click compose button lagi haha. But now, i've decided what things i will share first.

Jadi, kali ini saya mau berbagi cerita sedikit tentang program XL Future Leaders (XLFL) yang saya ikuti. Jengejerejeeeeeng, ayo kalian yang lagi baca, heboh-heboh gitu ya sebelum kita menuju tulisan utama. Wuhuuuu wuhuuuu. Oke stop being stupid, Li :)
Sebelumnya, saya mau mengingatkan, cerita saya kali ini kan bukan cerita komersil berbayar ya haha, jadi maaf jika nantinya, isi tulisan justru lebih banyak curhat dan sedikit memberikan informasi. heheu.

Oke, semuanya bermula di kost-an Lita (Nama lengkap: Nurlita Dewi Ramadhani | Kuliah: Vokasi UI 2011 | Status: InsyaAllah jomblo hingga menikah). Jadi, saat itu siang menjelang sore, saya dan beberapa teman lain berkumpul di kost-an Lita untuk rapat program Kampung Banana yang merupakan proyek pemberdayaan masyarakat yang saat itu hingga kini masih berusaha kami kembangkan di Beji, Depok (more info tentang Kampung Banana disini). Saya masih ingat dengan sangat detail, hampir semua teman-teman saya saat itu sibuk membicarakan program XLFL. Ternyata, beberapa dari mereka lolos tahapan seleksi awal dan bersiap untuk seleksi wawancara. Nah, saya yang saat itu nggak tau program XLFL itu apa, hanya diam (tapi menyimak), yaa paling saya nanya-nanya seadanya lah haha. Saya agak sebel juga, kenapa saya bisa nggak dapet kabar sama sekali tentang itu program. Belakangan saya tau, kalo ternyata XL Future Leaders itu adalah program leadership yang diadakan untuk pertama kalinya oleh sebuah provider *piiip*. Nama providernya dirahasiakan ya hahahaha you know lah. Makanya, saya nggak terlalu menyalahkan diri gitu sih, karena nggak tau informasi tentang program ini. Tapi, gimana caranya itu temen geng gaul di Kampung Banana pada tau soal program XLFL? Saya juga nggak tau sih haha. Yang saya tau, begitulah culture kita, setiap ketemu, pasti update event atau lomba hahahahaha.

Singkat cerita, pas udah di rumah, saya langsung cari tau deh tuh info tentang XL Future Leaders. Saya catet segala kontak, website, twitter, dan sebagainya, buat jaga-jaga untuk seleksi tahun depan. Pokoknya saya nggak mau ketinggalan info lagi. Even saat itu, saya pun belom tau banget benefit apa aja yang bisa kita dapet kalo kepilih nanti. Yang penting buat saya, daftar aja. Itu kan program leadership, lolos nggak lolos, there must be priceless values we could get, right? Haha. Sounds ambitious? Oh no, guys! It's what we usually call it as stra-te-gy hahahah.

Setelah masa seleksi program XLFL Batch I selesai, saya ikut berbahagia karena dari geng Kampung Banana, ternyata ada satu orang yang lolos sampai tahap akhir, please welcome..... Irfaaaaaaaaaannnnn!!! Yuhuuuu. Sejujurnya, gue nggak ngerasa amazed banget sih knowing that he passed the selection process. Pertama, karena dia emang cukup kece, kan temen gue di Kampung Banana. Pokoknya anak Kampung Banana itu keren-keren semua haha. Jadi kan kita pernah ikut satu program student development gitu, jadi taulah saya gimana track record dia hahaha. Nah, tapi, setelah denger beberapa kali cerita Irfan tentang program-program XLFL yang kereeen banget, gimana dia dapet pendampingan dari para fasilitator yang merupakan konsultan dari lembaga yang sangat kredibel, gimana kurikulum programnya sangat menyenangkan, gimana metode belajarnya yang fun, gimana dia seleksi via regional Yogya (biar chance-nya lebih gede dari regional Jakarta katanya. which means emang seleksinya ketat banget, bahkan lebih ketat dari leggingnya penyanyi dangdut), dan yang paling penting gimana ikhlasnya XL menginvestasikan banyak fasilitas (HP touch screen, notebook, modem, pulsa) ke para peserta-- fixed banget semua hal itu bikin saya semakin bulat untuk ikut seleksi XL Future Leaders tahun berikutnya.

Yaaak, udah cukup panjang yaa ceritanya. Tapi bahkan, setengah cerita pun belom ini hahaha. Oke, jadi lanjut ke postingan selanjutnya ya.


Montag, 8. Oktober 2012

Terdidik bukan Terdikte #EssayGUIM


Ibarat sebuah perang, maka pendidikan merupakan sebuah dapur tempat mencetak prajurit-prajurit baru untuk diterjunkan ke medan perang. Pada dapur tersebut, prajurit-prajurit dididik dengan sebaik – baiknya tentang strategi perang, cara menggunakan senjata dan segala hal lain yang nantinya dapat membuat para prajurit siap menghadapi musuh. Dengan demikian, dapat dilihat betapa pentingnya arti pendidikan bagi keberlangsungan suatu negara. Namun, bagaimana jika ternyata dapur tersebut tidak berfungsi dengan baik? Mungkinkah akan tetap ada prajurit - prajurit unggul yang akan mampu berjuang di medan perang? Masihkan optimisme kemenangan ada di tangan?
Celakanya, menurut pengamatan saya, Indonesia berada pada kondisi dimana 'dapur'-nya tidak berfungsi dengan baik. Walaupun mungkin pemahaman saya tentang sistem pendidikan yang baik masih terlalu dangkal untuk digunakan menilai pendidikan Indonesia. Tetapi, bukankah lebih baik demikian karena itu berarti Anda terlepas dari indikator - indikator teoretis yang terkadang utopis?
Pendidikan, harus mampu mendampingi siswanya dalam menjalani masa tumbuh kembang serta menemani mereka menghadapi dunia. Ketika kita berbicara tentang masa tumbuh kembang dan dunia yang dihadapi, maka kita tidak lagi berbicara dalam konteks siswa dan kepintaran dirinya. Namun, disini kita dipaksa untuk bermain-main pada area kehidupan yang lebih luas, yang memaksa siswa untuk dapat respek terhadap orang di sekitarnya, peduli terhadap lingkungannya, siap menerima caci dan puji yang datang selalu tanpa undangan.
Menyadari hal tersebut, jelaslah disini terlihat bahwa pendidikan tidak bermain pada hanya satu aspek dalam kehidupan siswanya. Tidak bermain di pinggir pantai dengan ombak – ombak rendah tenaga. Tidak bermain pada api lilin dengan goyang temaram. Ya, karena pendidikan bermain pada seluruh aspek kehidupan, tidak pada pantai namun pada laut itu sendiri, tidak pada api lilin namun pada merahnya bara yang mengapi. Sehingga pintar saja dirasa tidak cukup untuk menghadapi dunia, butuh kecerdasan baik secara akademis, spiritual maupun emosional. Oleh karena itu disinilah pentingnya pendidikan berkarakter. Dimana pendidikan bukan hanya sebagai ajang tanam nilai-nilai akademis, namun juga nilai-nilai kehidupan. Karena itu lah yang membedakan manusia dengan hewan sirkus yang ada di pentas-pentas. Karena melalui pendidikan, kita terdidik bukan terdikte.

--
tanpa editan apapun, dibuat untuk memenuhi salah satu rangkaian seleksi pengajar GUIM.
sangat-sangat tidak maksimal essay-nya. substansi dan konklusinya kabur.
maklum baru ngerjain 20 menitan sebelum deadline. ini juga dengan memodifikasi
essay yang udah ada. hahaha *tawamiris
walaupun begitu tapi semoga ya. #semoga

Popular posts