Samstag, 28. Dezember 2013

#flashfiction - Satu Lagi


            “Toeeeettoeeeeeet!”
“Preeeeeetpretpret!”   
“Abang Udiiiiiiin! Abaaaaaang!”
Gempita tahun baru mulai membahana. Bunyi terompet menyahut dimana-mana. Melihat temannya asik membunyikan terompet, Ucup tak mau kalah.
“Kenapa, Cup?”
“Abang, Ucup mau terompet kayak Lela sama Jaenudin, Bang! Beliin, Bang!”
“Jaenab juga, Bang!” adik bungsunya menambahi.
“Yailah, kagak usah beli, Cup. Pinjem aja. Abis taun baru juga kagak dipake lagi terompetnya.”
“Malu, Bang, pinjem mainan mulu. Lagian, kata Lela, terompetnya kagak boleh dipinjem, Bang. Takut bau jigong katanya. Ya kan, Nab?”
“Iya, betul, Bang!”
Mau bagaimana lagi, memang masuk akal alasan adik Udin kali ini. Untuk mainan lain—dengan alasan menghemat pengeluaran, Udin meminta adiknya untuk meminjam saja. Tetapi, untuk terompet, mana mungkin ada yang mau meminjamkan? Kalau sudah begini, bertambah satu lagi target ngamen Udin. Uang kontrakan, listrik yang belum dibayar, serta uang untuk membeli terompet.
  ***
Pukul 11.57 WIB. Adzan dzuhur berkumandang ketika matahari siang sedang semangat-semangatnya menyinari bumi. Udin bergegas ke masjid, meninggalkan perempatan lampu merah yang biasa menjadi tempat mangkalnya.
Jangan sampe kelewatan shalat jama’ah di masjid nih..” gumamnya dalam hati.
Mungkin, kerasnya hidup mengajarkannya untuk semakin taat pada Tuhan. Shalat tepat waktu, berdoa, memohon kepada Tuhan agar dibukakan ‘pintu’.
***
           “Bang Udin, bagus amat, Bang, terompetnya! Beli dimana, Bang? Ini bukannya mahal, Bang?” Ucup tidak mampu menutupi rasa sumringah karena terompet-yang-sepertinya-mahal itu kini menjadi miliknya.
            “Iya, Bang! Wah, temen-temen pasti ngiri sama kita ya, Bang Ucup, soalnya terompet kita lebih bagus dari punya mereka.”
            “Iya, bagus kan? Untuk sementara, itu dipake berdua dulu, ya. Besok, abang bawain satu lagi. Biar kalian pake terompetnya nggak usah gantian.”
            “Wah, bener nih, Bang?! Asiiiiiik!” seru Ucup dan Jaenab.
            “Besok saya harus datang ke masjid lebih awal lagi nih. Supaya bisa leluasa ngambil terompet  yang penjualnya lagi sholat jama'ah. Satu terompet lagi aja kok. Satu lagi.” gumam Udin dalam hati.

Freitag, 20. Dezember 2013

#3 Kontemplasi

Pernah nggak sih lo berada pada masa berat yang sangat super duper berat? Masa dimana rasa-rasanya lo ingin menegasikan semua ketentuan Tuhan, anjuran Tuhan, atau bahkan eksistensitas-Nya. Lo menentang apa yang selama ini lo terima dan lo yakini sebagai sesuatu yang benar. Pikiran lo lepas, menyelidik, menalar hingga ke akar setiap hal. Ketika rasa yang sama-sama kita sebut iman, semacam berguncang, berontak dari tempatnya semula, jatuh pada titik paling lumpuh.

Tapi kemudian, Tuhan dengan segala kuasa-Nya, menyembuhkan luka itu. Meniadakan takaran berat itu. Kita pun semacam terlahir kembali. Dengan semangat berkali lipat. Dengan pundak yang kian siap dengan segala kehendak. Lalu, lo pun semakin sadar, betapa Tuhan begitu menyayangi lo. Betapa kemudian, euforia akan manisnya keimanan kembali membuncah di dada. Namun dengan energi yang bertambah besar dan bertambah besar.

Mungkin memang seperti itu ya hidup. Bersiklus. Sedih senang, susah gampang, suka duka. Termasuk juga keimanan yang kadang naik, sebentar kemudian turun.


Samstag, 28. Dezember 2013

#flashfiction - Satu Lagi


            “Toeeeettoeeeeeet!”
“Preeeeeetpretpret!”   
“Abang Udiiiiiiin! Abaaaaaang!”
Gempita tahun baru mulai membahana. Bunyi terompet menyahut dimana-mana. Melihat temannya asik membunyikan terompet, Ucup tak mau kalah.
“Kenapa, Cup?”
“Abang, Ucup mau terompet kayak Lela sama Jaenudin, Bang! Beliin, Bang!”
“Jaenab juga, Bang!” adik bungsunya menambahi.
“Yailah, kagak usah beli, Cup. Pinjem aja. Abis taun baru juga kagak dipake lagi terompetnya.”
“Malu, Bang, pinjem mainan mulu. Lagian, kata Lela, terompetnya kagak boleh dipinjem, Bang. Takut bau jigong katanya. Ya kan, Nab?”
“Iya, betul, Bang!”
Mau bagaimana lagi, memang masuk akal alasan adik Udin kali ini. Untuk mainan lain—dengan alasan menghemat pengeluaran, Udin meminta adiknya untuk meminjam saja. Tetapi, untuk terompet, mana mungkin ada yang mau meminjamkan? Kalau sudah begini, bertambah satu lagi target ngamen Udin. Uang kontrakan, listrik yang belum dibayar, serta uang untuk membeli terompet.
  ***
Pukul 11.57 WIB. Adzan dzuhur berkumandang ketika matahari siang sedang semangat-semangatnya menyinari bumi. Udin bergegas ke masjid, meninggalkan perempatan lampu merah yang biasa menjadi tempat mangkalnya.
Jangan sampe kelewatan shalat jama’ah di masjid nih..” gumamnya dalam hati.
Mungkin, kerasnya hidup mengajarkannya untuk semakin taat pada Tuhan. Shalat tepat waktu, berdoa, memohon kepada Tuhan agar dibukakan ‘pintu’.
***
           “Bang Udin, bagus amat, Bang, terompetnya! Beli dimana, Bang? Ini bukannya mahal, Bang?” Ucup tidak mampu menutupi rasa sumringah karena terompet-yang-sepertinya-mahal itu kini menjadi miliknya.
            “Iya, Bang! Wah, temen-temen pasti ngiri sama kita ya, Bang Ucup, soalnya terompet kita lebih bagus dari punya mereka.”
            “Iya, bagus kan? Untuk sementara, itu dipake berdua dulu, ya. Besok, abang bawain satu lagi. Biar kalian pake terompetnya nggak usah gantian.”
            “Wah, bener nih, Bang?! Asiiiiiik!” seru Ucup dan Jaenab.
            “Besok saya harus datang ke masjid lebih awal lagi nih. Supaya bisa leluasa ngambil terompet  yang penjualnya lagi sholat jama'ah. Satu terompet lagi aja kok. Satu lagi.” gumam Udin dalam hati.

Freitag, 20. Dezember 2013

#3 Kontemplasi

Pernah nggak sih lo berada pada masa berat yang sangat super duper berat? Masa dimana rasa-rasanya lo ingin menegasikan semua ketentuan Tuhan, anjuran Tuhan, atau bahkan eksistensitas-Nya. Lo menentang apa yang selama ini lo terima dan lo yakini sebagai sesuatu yang benar. Pikiran lo lepas, menyelidik, menalar hingga ke akar setiap hal. Ketika rasa yang sama-sama kita sebut iman, semacam berguncang, berontak dari tempatnya semula, jatuh pada titik paling lumpuh.

Tapi kemudian, Tuhan dengan segala kuasa-Nya, menyembuhkan luka itu. Meniadakan takaran berat itu. Kita pun semacam terlahir kembali. Dengan semangat berkali lipat. Dengan pundak yang kian siap dengan segala kehendak. Lalu, lo pun semakin sadar, betapa Tuhan begitu menyayangi lo. Betapa kemudian, euforia akan manisnya keimanan kembali membuncah di dada. Namun dengan energi yang bertambah besar dan bertambah besar.

Mungkin memang seperti itu ya hidup. Bersiklus. Sedih senang, susah gampang, suka duka. Termasuk juga keimanan yang kadang naik, sebentar kemudian turun.


Popular posts