Dienstag, 18. Juni 2013

Ciliwung Kini. Hilir-Hulunya Dulu, Tak Begini.

Essay untuk seleksi k2n. Duh, semoga ya. #semoga



Ciliwung Kini.
Hilir-Hulunya Dulu, Tak Begini

                Siapa yang tak kenal Sungai Ciliwung? Salah satu sungai yang berani-beraninya melenggang tenang membelah kota Jakarta dari Gunung Pangrango, Jawa Barat hingga bermuara di Teluk Jakarta. Salah satu sungai yang dulu diunggulkan Belanda karena memiliki pelabuhan terbaik di nusantara dengan muaranya yang cukup ‘dalam’. Salah satu sungai yang selalu menjadi muara kutukan, karena dianggap pembawa banjir kiriman. Sungai Ciliwung memang menyimpan banyak cerita. Sebagai saksi bisu tingkah laku budaya (cultural behavior), peninggalan benda budaya (cultural artifact), serta alat rekam abadi pengetahuan budaya (cultural knowledge)[1] yang menjadi dasar pemahaman masyarakat dalam melihat perkembangan kearifan lokal dan sudut pandangnya terhadap lingkungan. 
Sayangnya, Ciliwung kini tak sama dengan yang dulu. Ciliwung tidak dapat lagi diharapkan sebagai sumber kehidupan. Mengacu pada evaluasi dan hasil pelaksanaan Pemantauan Kualitas Air 33 Propinsi Tahun 2011 oleh Pusarpedal Kementerian Lingkungan Hidup yang disampaikan dalam Rakernis PKA 33 Provinsi di Jayapura, Papua, didapatkan fakta bahwa dari 51 sungai yang dipantau di Indonesia, 74% masuk dalam kategori tercemar berat, dan salah satunya adalah Sungai Ciliwung.[2] Selain itu, Pusat Penelitian Limnologi LIPI juga menyatakan bahwa sungai Ciliwung telah terbukti mengandung merkuri sekitar 0,7 – 1,0 ppb. Kandungan merkuri tersebut semakin meningkat menjadi 1,8 – 2,8 ppb di Bendungan Katulampa. Padahal, kadar merkuri yang sekitar 0,0012 ppb saja, telah tergolong kronis dan membahayakan biota sungai, bahkan jentik nyamuk pun tak akan bisa hidup. Hal ini diakibatkan pembuangan limbah rumah tangga dan pabrik, seperti deterjen, tinja serta bahan-bahan kimia tak terurai lainnya, yang dilakukan tanpa responsibilitas terhadap daya dukung lingkungan di masa depan.[3]
Pada dasarnya, program pelestarian Sungai Ciliwung telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, program tersebut memiliki banyak kelemahan, seperti kebijakan pendukung yang tidak fleksibel, lemahnya penegakan hukum, tidak ada ruang penataan yang disepakati oleh seluruh pihak terkait, serta yang paling penting, pelaksanaan setiap program yang masih sangat sentralistik.[4] Pelaksanaan program pelestarian Ciliwung yang sentralistik ini membuat setiap program yang ada terkesan jalan di tempat. Hal ini terjadi karena jarang sekali ada komunikasi yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat setempat pada proses perencanaannya. Sehingga, program-program yang ditelurkan pun tidak kontekstual, tidak sesuai dengan kearifan dan kebudayaan masyarakat lokal. Karenanya, tidak jarang kita melihat bahwa pemerintah bergerak sendiri, tanpa dukungan masyarakat setempat—atau justru mendapat penolakan, dalam mengimplementasikan program pelestarian Ciliwung. Penyebabnya, lagi-lagi karena pemerintah gagal men-transfer kesadaran akan kritisnya kondisi Ciliwung kepada masyarakat, karena kebijakan yang sentralistik itu tadi.
Dengan demikian, saya melihat perlu adanya semacam mekanisme yang berbasis masyarakat dalam upaya penyelamatan Sungai Ciliwung. Bukan saatnya lagi bagi pemerintah untuk bekerja sendiri-sendiri dalam menyelamatkan sungai. Responsibilitas terhadap keberlangsungan peradaban sungai Ciliwung harus ditularkan ke masyarakat dalam skala mikro, yaitu melalui pelibatan mereka dalam berbagai aksi penyelamatan dan perawatan. Mengutip sedikit perkataan Fauzi Bowo, mantan Gubernur DKI Jakarta, ketika ditanyakan tentang bagaimana seharusnya upaya penyelamatan Ciliwung dilakukan, beliau berujar, “Pola pikir semua Pemda dan masyarakat harus diubah. Ini bukan soal daerah hulu milik siapa dan hilir punya siapa, tetapi ini adalah ‘us’—punya kita bersama dan yang berkepentingan agar sungai ini bersih adalah ‘we’—kita semua.”
Bentuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sungai Ciliwung dapat dilakukan dengan melakukan pengorganisasian masyarakat setempat. Pengorganisasian masyarakat sendiri diartikan sebagai proses membangun kekuatan dengan melibatkan konstituen sebanyak mungkin melalui proses menemu-kenali ancaman yang ada secara bersama-sama, menemu-kenali penyelesaian-penyelesaian yang diinginkan terhadap ancaman-ancaman yang ada, menemu-kenali orang,  struktur, birokrasi, serta perangkat yang ada, agar proses penyelesaian yang dipilih menjadi mungkin dilakukan, menyusun sasaran yang harus dicapai dan membangun sebuah institusi yang secara demokratis diawasi oleh seluruh konstituen. Sehingga, mampu mengembangkan kapasitas untuk menangani ancaman dan menampung semua keinginan dan kekuatan konstituen yang ada (Dave Beckwith dan Cristina Lopez, 1997 dalam Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB[5]). Pada umumnya, pengorganisasian masyarakat, berdasarkan pada bentuk yang disarankan Racelis (1994), dilakukan dengan melakukan beberapa tahapan, seperti pengintegrasian, penyidikan sosial, program percobaan, pembuatan landasan kerja, pertemuan teratur, permainan peran, mobilisasi atau aksi, evaluasi, refleksi, dan terakhir terbentuklah organisasi kemasyarakatan, baik formal atau pun informal .[6]
Beberapa contoh pengorganisasian masyarakat daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung yang cukup baik terlaksana adalah pembentukan Komunitas Pecinta dan Pemulih Sungai Ciliwung oleh Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basan (ECOTON). ECOTON sendiri seringkali mengadakan pelatihan-pelatihan bagi masyarakat setempat terkait dengan upaya pelestarian sungai Ciliwung dalam skala mikro. Seperti pelatihan fasilitator biotilik kesehatan Ciliwung yang dilakukan di Desa Cisampay, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Biotilik adalah cara pemantauan kualitas air dengan mengaduk dasar sungai menggunakan jaring, lalu mengambil beberapa sampel air tersebut, kemudian memisahkan biota air yang nampak bergerak-gerak pada air tersebut ke dalam plastik-plastik cetakan es batu  dengan menggunakan sendok. Penggunaan alat-alat yang cukup sederhana membuat metode ini sangat mudah, murah dan sesuai untuk diplikasikan di masyarakat.Pada pelatihan tersebut, 66 peserta dari berbagai elemen masyarakat setempat, baik guru, pelajar, komunitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), turut berpartisipasi.[7]
Asun Sudirman sendiri, salah satu peserta pelatihan yang juga merupakan anggota Ciliwung Institute ini, secara implisit mendukung upaya pelestarian sungai Ciliwung dengan skala mikro melalui pengorganisasian masyarakat. Menurutnya, konsep dan pendekatan pengendalian pencemaran dan pemulihan sungai yang ada selama ini, jauh dari pelibatan masyarakat, sentralistik, dan eksklusif. Padahal, Indonesia yang memiliki keanekaragaman habitat dan ekosistem, dengan pengaruh kondisi lingkungan yang berbeda, tidak seharusnya diterapkan metode yang seragam dalam pemantauan kualitas air dan upaya pemulihan daerah aliran sungainya.
Intinya, sudah bukan saatnya lagi kita saling tuding tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas meluapnya sungai Ciliwung, yang menyebabkan banjir selalu rutin terjadi dan datang tepat waktu. Bukan saatnya lagi kita saling tunjuk tentang apa salah siapa ataupun siapa salah apa, yang di hulu yang di hilir sama saja tanggung jawabnya. Sungai yang mengalami ‘urbanisasi’ ini, dari desa hingga ke kota tidak boleh lagi diperlakukan seragam. Setiap wilayah punya kearifan lokalnya masing-masing. Mereka punya cara bijaknya sendiri tentang bagaimana sebaiknya memperlakukan si sungai tua ini. Maka, pengorganisasian masyarakat lokal adalah salah satu pilihan yang harus dipertimbangkan. Karena Ciliwung yang ada kini, hilir-hulunya dulu, tak begini.
 




[1] Dikutip dari buku Ekspedisi Ciliwung; Mata Air, Air Mata hal. 263, diterbitkan oleh Kompas Gramedia tahun 2009.
[2] Dikutip dari artikel berjudul Pelatihan Fasilitator Biotilik Kesehatan Ciliwung oleh ECOTON yang ditulis oleh Prigi Arisandi, dimuat pada https://www.lingkungankita.com/media/set/?9362300027&type=1 dan diakses pada 9 Juni 2013 pkl. 03.02 WIB
[3] Dikutip dari artikel berjudul Air Sungai Ciliwung Mengandung Zat Berbahaya yang dimuat dalam http://www.beritabogor.com/2013/03/air-sungai-ciliwung-mengadung-zat.html, diakses pada tanggal 16 Juni 2013 pkl. 12.48 WIB.
[4] Kompas Gramedia, op. cit., hal. 265
[5] Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB hal. 2 diakses dari http://www.scribd.com/doc/80864332/MODUL-Pengorganisasian-Masyarakat pada tanggal 14 Juni 2013 pkl. 08.22 WIB.
[6] Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB hal. 5 – 6 diakses dari http://www.scribd.com/doc/80864332/MODUL-Pengorganisasian-Masyarakat pada tanggal 14 Juni 2013 pkl. 08.22 WIB.
[7] Dikutip dari artikel berjudul Pelatihan Fasilitator Biotilik Kesehatan Ciliwung oleh ECOTON yang ditulis oleh Prigi Arisandi, dimuat pada https://www.lingkungankita.com/media/set/?9362300027&type=1 dan diakses pada 9 Juni 2013 pkl. 03.02 WIB.

after-meeting-you taste

After meeting you, i can exactly define the criteria of the one I love.

Mittwoch, 5. Juni 2013

Indonesia Movement Conference 2013 #1

Halo, teman-teman! So, It's been about 3 weeks since the IMC 2013 be held. But too bad, I am getting forget every single detailed events happened there whereas I haven't written anything about it here. So, before all the moments fly away from my head, I'm now starting to make it everlasting hahaha

So, Indonesia Movement Conference 2013, or IMC 2013 for short, is a conference for Indonesian youth, organized by the students board of Prasetiya Mulya Business School and held in May 17-19, 2013. In this event, every province was represented by one youth delegate, and maybe because it was their first debut, the province participants are only 26 provinces. And I'm the delegate representing DKI Jakarta yeaaaaay

Anyway, ini kenapa gue jadi speaking english gini? Oke, haha so, in IMC 2013 we discussed much about things to do to make a better Indonesia. Besides, we shared knowledge, ideas, and spirit to be the driver of change in our own province! haha

To specify our focus, the committee divided us (the 26 delegates) into 5 clusters (education, environment, entrepreneurship, youth & leadership, culture) based on our social project. Ahya, before chosen to be delegates, we have to take the selection process which included short essay writing, application form filling, social project paper submission, and so on. Social project I submitted is my Trash me, it works! Movement hahah that's why it was grouped into the environment cluster. Then, in those clusters, we presented our sospro in front of the judges who are experts in every cluster. The 5 best social projects will get an amount of grants to realize their project. So, let's guess then did I become the best 5 social projects? *drumroll* the answer is NOOOOOOOO hahaha

so, are you eager enough to know why I wasn't chosen to be the 5 best projects? to be continued yaak guys, my mom is calling. asking me to nyuci piring. haha
fixed, postingan ini ditutup dengan sangat tidak elit haha


Dienstag, 18. Juni 2013

Ciliwung Kini. Hilir-Hulunya Dulu, Tak Begini.

Essay untuk seleksi k2n. Duh, semoga ya. #semoga



Ciliwung Kini.
Hilir-Hulunya Dulu, Tak Begini

                Siapa yang tak kenal Sungai Ciliwung? Salah satu sungai yang berani-beraninya melenggang tenang membelah kota Jakarta dari Gunung Pangrango, Jawa Barat hingga bermuara di Teluk Jakarta. Salah satu sungai yang dulu diunggulkan Belanda karena memiliki pelabuhan terbaik di nusantara dengan muaranya yang cukup ‘dalam’. Salah satu sungai yang selalu menjadi muara kutukan, karena dianggap pembawa banjir kiriman. Sungai Ciliwung memang menyimpan banyak cerita. Sebagai saksi bisu tingkah laku budaya (cultural behavior), peninggalan benda budaya (cultural artifact), serta alat rekam abadi pengetahuan budaya (cultural knowledge)[1] yang menjadi dasar pemahaman masyarakat dalam melihat perkembangan kearifan lokal dan sudut pandangnya terhadap lingkungan. 
Sayangnya, Ciliwung kini tak sama dengan yang dulu. Ciliwung tidak dapat lagi diharapkan sebagai sumber kehidupan. Mengacu pada evaluasi dan hasil pelaksanaan Pemantauan Kualitas Air 33 Propinsi Tahun 2011 oleh Pusarpedal Kementerian Lingkungan Hidup yang disampaikan dalam Rakernis PKA 33 Provinsi di Jayapura, Papua, didapatkan fakta bahwa dari 51 sungai yang dipantau di Indonesia, 74% masuk dalam kategori tercemar berat, dan salah satunya adalah Sungai Ciliwung.[2] Selain itu, Pusat Penelitian Limnologi LIPI juga menyatakan bahwa sungai Ciliwung telah terbukti mengandung merkuri sekitar 0,7 – 1,0 ppb. Kandungan merkuri tersebut semakin meningkat menjadi 1,8 – 2,8 ppb di Bendungan Katulampa. Padahal, kadar merkuri yang sekitar 0,0012 ppb saja, telah tergolong kronis dan membahayakan biota sungai, bahkan jentik nyamuk pun tak akan bisa hidup. Hal ini diakibatkan pembuangan limbah rumah tangga dan pabrik, seperti deterjen, tinja serta bahan-bahan kimia tak terurai lainnya, yang dilakukan tanpa responsibilitas terhadap daya dukung lingkungan di masa depan.[3]
Pada dasarnya, program pelestarian Sungai Ciliwung telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, program tersebut memiliki banyak kelemahan, seperti kebijakan pendukung yang tidak fleksibel, lemahnya penegakan hukum, tidak ada ruang penataan yang disepakati oleh seluruh pihak terkait, serta yang paling penting, pelaksanaan setiap program yang masih sangat sentralistik.[4] Pelaksanaan program pelestarian Ciliwung yang sentralistik ini membuat setiap program yang ada terkesan jalan di tempat. Hal ini terjadi karena jarang sekali ada komunikasi yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat setempat pada proses perencanaannya. Sehingga, program-program yang ditelurkan pun tidak kontekstual, tidak sesuai dengan kearifan dan kebudayaan masyarakat lokal. Karenanya, tidak jarang kita melihat bahwa pemerintah bergerak sendiri, tanpa dukungan masyarakat setempat—atau justru mendapat penolakan, dalam mengimplementasikan program pelestarian Ciliwung. Penyebabnya, lagi-lagi karena pemerintah gagal men-transfer kesadaran akan kritisnya kondisi Ciliwung kepada masyarakat, karena kebijakan yang sentralistik itu tadi.
Dengan demikian, saya melihat perlu adanya semacam mekanisme yang berbasis masyarakat dalam upaya penyelamatan Sungai Ciliwung. Bukan saatnya lagi bagi pemerintah untuk bekerja sendiri-sendiri dalam menyelamatkan sungai. Responsibilitas terhadap keberlangsungan peradaban sungai Ciliwung harus ditularkan ke masyarakat dalam skala mikro, yaitu melalui pelibatan mereka dalam berbagai aksi penyelamatan dan perawatan. Mengutip sedikit perkataan Fauzi Bowo, mantan Gubernur DKI Jakarta, ketika ditanyakan tentang bagaimana seharusnya upaya penyelamatan Ciliwung dilakukan, beliau berujar, “Pola pikir semua Pemda dan masyarakat harus diubah. Ini bukan soal daerah hulu milik siapa dan hilir punya siapa, tetapi ini adalah ‘us’—punya kita bersama dan yang berkepentingan agar sungai ini bersih adalah ‘we’—kita semua.”
Bentuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sungai Ciliwung dapat dilakukan dengan melakukan pengorganisasian masyarakat setempat. Pengorganisasian masyarakat sendiri diartikan sebagai proses membangun kekuatan dengan melibatkan konstituen sebanyak mungkin melalui proses menemu-kenali ancaman yang ada secara bersama-sama, menemu-kenali penyelesaian-penyelesaian yang diinginkan terhadap ancaman-ancaman yang ada, menemu-kenali orang,  struktur, birokrasi, serta perangkat yang ada, agar proses penyelesaian yang dipilih menjadi mungkin dilakukan, menyusun sasaran yang harus dicapai dan membangun sebuah institusi yang secara demokratis diawasi oleh seluruh konstituen. Sehingga, mampu mengembangkan kapasitas untuk menangani ancaman dan menampung semua keinginan dan kekuatan konstituen yang ada (Dave Beckwith dan Cristina Lopez, 1997 dalam Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB[5]). Pada umumnya, pengorganisasian masyarakat, berdasarkan pada bentuk yang disarankan Racelis (1994), dilakukan dengan melakukan beberapa tahapan, seperti pengintegrasian, penyidikan sosial, program percobaan, pembuatan landasan kerja, pertemuan teratur, permainan peran, mobilisasi atau aksi, evaluasi, refleksi, dan terakhir terbentuklah organisasi kemasyarakatan, baik formal atau pun informal .[6]
Beberapa contoh pengorganisasian masyarakat daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung yang cukup baik terlaksana adalah pembentukan Komunitas Pecinta dan Pemulih Sungai Ciliwung oleh Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basan (ECOTON). ECOTON sendiri seringkali mengadakan pelatihan-pelatihan bagi masyarakat setempat terkait dengan upaya pelestarian sungai Ciliwung dalam skala mikro. Seperti pelatihan fasilitator biotilik kesehatan Ciliwung yang dilakukan di Desa Cisampay, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Biotilik adalah cara pemantauan kualitas air dengan mengaduk dasar sungai menggunakan jaring, lalu mengambil beberapa sampel air tersebut, kemudian memisahkan biota air yang nampak bergerak-gerak pada air tersebut ke dalam plastik-plastik cetakan es batu  dengan menggunakan sendok. Penggunaan alat-alat yang cukup sederhana membuat metode ini sangat mudah, murah dan sesuai untuk diplikasikan di masyarakat.Pada pelatihan tersebut, 66 peserta dari berbagai elemen masyarakat setempat, baik guru, pelajar, komunitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), turut berpartisipasi.[7]
Asun Sudirman sendiri, salah satu peserta pelatihan yang juga merupakan anggota Ciliwung Institute ini, secara implisit mendukung upaya pelestarian sungai Ciliwung dengan skala mikro melalui pengorganisasian masyarakat. Menurutnya, konsep dan pendekatan pengendalian pencemaran dan pemulihan sungai yang ada selama ini, jauh dari pelibatan masyarakat, sentralistik, dan eksklusif. Padahal, Indonesia yang memiliki keanekaragaman habitat dan ekosistem, dengan pengaruh kondisi lingkungan yang berbeda, tidak seharusnya diterapkan metode yang seragam dalam pemantauan kualitas air dan upaya pemulihan daerah aliran sungainya.
Intinya, sudah bukan saatnya lagi kita saling tuding tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas meluapnya sungai Ciliwung, yang menyebabkan banjir selalu rutin terjadi dan datang tepat waktu. Bukan saatnya lagi kita saling tunjuk tentang apa salah siapa ataupun siapa salah apa, yang di hulu yang di hilir sama saja tanggung jawabnya. Sungai yang mengalami ‘urbanisasi’ ini, dari desa hingga ke kota tidak boleh lagi diperlakukan seragam. Setiap wilayah punya kearifan lokalnya masing-masing. Mereka punya cara bijaknya sendiri tentang bagaimana sebaiknya memperlakukan si sungai tua ini. Maka, pengorganisasian masyarakat lokal adalah salah satu pilihan yang harus dipertimbangkan. Karena Ciliwung yang ada kini, hilir-hulunya dulu, tak begini.
 




[1] Dikutip dari buku Ekspedisi Ciliwung; Mata Air, Air Mata hal. 263, diterbitkan oleh Kompas Gramedia tahun 2009.
[2] Dikutip dari artikel berjudul Pelatihan Fasilitator Biotilik Kesehatan Ciliwung oleh ECOTON yang ditulis oleh Prigi Arisandi, dimuat pada https://www.lingkungankita.com/media/set/?9362300027&type=1 dan diakses pada 9 Juni 2013 pkl. 03.02 WIB
[3] Dikutip dari artikel berjudul Air Sungai Ciliwung Mengandung Zat Berbahaya yang dimuat dalam http://www.beritabogor.com/2013/03/air-sungai-ciliwung-mengadung-zat.html, diakses pada tanggal 16 Juni 2013 pkl. 12.48 WIB.
[4] Kompas Gramedia, op. cit., hal. 265
[5] Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB hal. 2 diakses dari http://www.scribd.com/doc/80864332/MODUL-Pengorganisasian-Masyarakat pada tanggal 14 Juni 2013 pkl. 08.22 WIB.
[6] Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB hal. 5 – 6 diakses dari http://www.scribd.com/doc/80864332/MODUL-Pengorganisasian-Masyarakat pada tanggal 14 Juni 2013 pkl. 08.22 WIB.
[7] Dikutip dari artikel berjudul Pelatihan Fasilitator Biotilik Kesehatan Ciliwung oleh ECOTON yang ditulis oleh Prigi Arisandi, dimuat pada https://www.lingkungankita.com/media/set/?9362300027&type=1 dan diakses pada 9 Juni 2013 pkl. 03.02 WIB.

after-meeting-you taste

After meeting you, i can exactly define the criteria of the one I love.

Mittwoch, 5. Juni 2013

Indonesia Movement Conference 2013 #1

Halo, teman-teman! So, It's been about 3 weeks since the IMC 2013 be held. But too bad, I am getting forget every single detailed events happened there whereas I haven't written anything about it here. So, before all the moments fly away from my head, I'm now starting to make it everlasting hahaha

So, Indonesia Movement Conference 2013, or IMC 2013 for short, is a conference for Indonesian youth, organized by the students board of Prasetiya Mulya Business School and held in May 17-19, 2013. In this event, every province was represented by one youth delegate, and maybe because it was their first debut, the province participants are only 26 provinces. And I'm the delegate representing DKI Jakarta yeaaaaay

Anyway, ini kenapa gue jadi speaking english gini? Oke, haha so, in IMC 2013 we discussed much about things to do to make a better Indonesia. Besides, we shared knowledge, ideas, and spirit to be the driver of change in our own province! haha

To specify our focus, the committee divided us (the 26 delegates) into 5 clusters (education, environment, entrepreneurship, youth & leadership, culture) based on our social project. Ahya, before chosen to be delegates, we have to take the selection process which included short essay writing, application form filling, social project paper submission, and so on. Social project I submitted is my Trash me, it works! Movement hahah that's why it was grouped into the environment cluster. Then, in those clusters, we presented our sospro in front of the judges who are experts in every cluster. The 5 best social projects will get an amount of grants to realize their project. So, let's guess then did I become the best 5 social projects? *drumroll* the answer is NOOOOOOOO hahaha

so, are you eager enough to know why I wasn't chosen to be the 5 best projects? to be continued yaak guys, my mom is calling. asking me to nyuci piring. haha
fixed, postingan ini ditutup dengan sangat tidak elit haha


Popular posts