Sonntag, 12. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 1]

Kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya 'berkenalan' dengan YSEALI hingga akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018 dan mendapat pengumuman diterima pada Selasa (7/8) lalu.

Pertama, tujuan saya menulis ini untuk give back, karena saat masa-masa daftar YSEALI yang penuh drama resah gelisah bahkan demam diare itu, saya benar-benar mengandalkan tulisan-tulisan di blog para alumni yang berbagi pengalaman YSEALI mereka. Saya banyak mencari clue-clue mengenai proses aplikasi, seperti kriteria kandidat terpilih, tips wawancara, linimasa program dan sebagainya dari sana. Tulisan-tulisan itu luar biasa membantu sekali lho, Mas Mbak Alumni. Terima kasih banyak.

Kedua, tulisan ini untuk refleksi saya di masa datang, that it's always my choice to take or ignore what universe has offered. Thus, i need to be fully aware of the consequences yet be respectful with the process. Kalau gagal ya dinikmati, kalau berhasil ya disyukuri, karena masa datang nanti adalah akumulasi konsekuensi dari pilihan-pilihan yang saya ambil.

Ketiga, tulisan ini untuk alarm diri sendiri, bahwa hidup itu Allah yang mengendalikan. Kadang, segala hal berjalan di luar kalkulasi manusia. Makanya, saya harus selalu melibatkan Allah pada setiap hal yang saya lakukan, sesepele apapun hal itu. Dan, yang paling penting, kalau saya inginnya banyak, doanya harus lebih banyak, syukurnya apalagi.

Okedeh, sekarang yuk mari kita mulai!


Berkenalan dengan YSEALI

YSEALI (Young Southeast Asia Leaders Initiative) merupakan sebuah program kepemudaan yang diselenggarakan dan dibiayai penuh oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan sekaligus memperkuat jaringan para pemuda di Asia Tenggara. YSEALI pertama kali diluncurkan pada tahun 2013 dan fokus pada beberapa topik utama, seperti kewarganegaraan (civic engagement), pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pendidikan (education) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth).

Program-program YSEALI sendiri beragam:
1. Professional Fellowship ke Amerika Serikat
2. Academic Fellowship ke Amerika Serikat
3. Regional Workshop (Biasanya diadakan di negara-negara Asia Tenggara)
4. Grant Funding (Lebih dikenal dengan YSEALI Seeds for the Future Grant)

Oleh karena itu, jangan heran kalau kamu mendengar temanmu lolos seleksi YSEALI tapi berangkatnya bukan ke US, karena memang tidak semua program dilaksanakan di US. Lebih lengkap tentang YSEALI bisa cek disini.

Saya lupa kapan pertama kali saya mendengar tentang YSEALI, yang pasti, saat itu saya masih kuliah dan sedang semangat-semangatnya mengikuti berbagai kegiatan kepemudaan, baik di dalam maupun di luar kampus. Kalau nggak salah, waktu itu YSEALI Academic Fellowship sedang buka pendaftaran. Saya sempat baca deskripsi programnya sepintas. Keren juga yaks, ke US lima minggu, fully funded pula. Biasanya kan program yang begitu harus cari sponsor sendiri, pikir saya.

Saat itu, aplikasi YSEALI masih menggunakan formulir Ms. Word (kalau tidak salah). Saya coba cek persyaratannya. Duh, ribet sekali, harus bikin esai, harus minta surat rekomendasi juga. Singkat cerita, saya tidak jadi mendaftar karena yakin tidak akan terpilih. Bukannya apa-apa, saya sudah sering daftar program fully funded yang 'jauh' begitu dan belum pernah tembus berangkat. Jadi, ya udah males duluan untuk coba.

Secara tidak langsung, pikiran saya itu menutup kemungkinan saya untuk mendaftar program YSEALI pada pembukaan-pembukaan selanjutnya. To be honest, that moment, I thought this program was too prestigious. It would waste my time to struggle on things that are impossible to conquer. Apalah saya, cuma sebentuk udara yang terperangkap di bubble wrap. Dipencet sedikit, terjadi letusan kecil, dan hilang tak berbekas. 

Tapi, saat itu saya tetap mendaftar sebagai YSEALI member. Jadi, update tentang program-program YSEALI selalu masuk ke email setiap bulan. Walaupun, saya pribadi sudah tidak punya lagi keinginan untuk mendaftar. Semacam berpikir, "yailah nggak mungkin berangkat, Lil". Ditambah lagi, di tahun-tahun akhir kuliah, saya sibuk dengan berbagai urusan magang dan skripsi, serta percintaan sesekali. Wkwk boong deng.

Di masa setelah kelulusan, saya bekerja di sebuah social enterprise asal Singapura dan ditempatkan di pelosok Sumba, NTT. Hidup bersama warga desa dengan budaya yang benar-benar baru, tanpa listrik, tanpa gemerlap ibukota, membuat saya menemukan kesenangan baru yang cukup menyita perhatian. Hem, apa itu YSEALI? Saya sudah lupa. 


Titik Balik

Tahun 2016 akhir, saya keluar dari social enterprise asal Singapura itu. Aaakk, sedih sekali, tapi sepertinya memang demikian jalannya. Saya lalu bergabung dengan Water.org dan ditugaskan untuk mendampingi cabang-cabang salah satu microfinance partner mereka yang berada di Jawa Timur. Kebayang nggak sih, berawal dari hidup penuh keterbatasan di pelosok Sumba, dalam waktu sekian bulan, hidup saya berubah menjadi gerilyawan di sudut-sudut kabupaten di Jawa Timur.

Pekerjaan saya itu membuat saya banyak berinteraksi dengan warga desa. Pertama sih karena sebagian besar waktu kerja saya memang dihabiskan di lapangan, bertemu dengan ibu-ibu mitra dan suaminya yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan peternak. Kedua, work load di kantor cabang juga memang nggak terlalu padat, jadi saya punya banyak waktu luang buat melipir di jam kantor dan ngobrol-ngobrol semi khozip dengan warga sekitar. Dari sana, saya banyak terpapar informasi mengenai 'drama kehidupan' yang mereka hadapi, dari masalah-masalah serius yang menyangkut ummat (asiks), semacam isu pertanian, sumber daya desa, ketersediaan akses terhadap kebutuhan dasar, sampe urusan pribadi, macam uang belanja dari suami yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup, rasa insecure si suami yang berpaling ke lain hati dan segala printilan problematika manusia.

Singkat cerita, dari ngobrol sama mitra-mitranya kantor cabang, saya kepikiran untuk menggali potensi ide social enterprise saya dengan niat idealis nan bombastis menyelesaikan persoalan petani sekaligus melawan hegemoni produk-produk serupa yang tidak ramah lingkungan. Pret banget dah. Tapi, hamdalah, di pertengahan 2017, lahirlah SiMaggie, sebuah social enterprise yang saya kembangkan bersama beberapa teman (baru) saya. Kenapa baru? Karena emang kita kenalan juga baru aja. Saya sendiri nggak paham, ada wangsit darimana sampai mereka percaya sama saya dan mau gabung. Nanti ya, saya buat tulisan khusus tentang SiMaggie.

Hari-hari setelah itu, selain bekerja, saya sibuk merintis SiMaggie. Saya sibuk mentransformasi konsep-konsep yang kami rancang di atas kertas menjadi wujud nyata. Wqwq. Saya juga sibuk bolak-balik Nganjuk-Surabaya-Nganjuk, Kediri-Surabaya-Kediri, Tulungagung-Surabaya-Tulungagung, berangkat subuh, pulang hampir tengah malam, setiap wiken, untuk belajar tentang startup, business model canvas, idea validation, dll melalui program 1000 Startup Digital. Capek banget, tapi seru. 

Dari rutinitas tersebut, semakin hari, saya merasa semakin paham apa yang saya mau, apa minat saya. Saya semakin punya gambaran di masa depan mau jadi apa. Kalau orang bilang, semacam i discovered my passion kali ya. Saya semakin merasa social entrepreneurship adalah jalan hidup saya. Isu yang saya minati pun semakin mengerucut, seputar pemberdayaan desa, pertanian dan pangan. 

Dari sana, karena merasa butuh lebih banyak sarana aktualisasi diri dalam mengembangkan SiMaggie, saya jadi banyak daftar program inkubasi dan kompetisi startup. Ada yang lolos dan menang, tapi lebih banyak yang gagal. Hahaha. Gapapa, yang penting pengalaman dan pembelajaran yang didapat selama prosesnya.

Sekitar tahun 2018 awal, keputusan saya bulat untuk kuliah lagi dan mengambil bidang spesifik social entrepreneurship. Saya merasa, dengan latar belakang pendidikan saya yang social science murni dan pengalaman dalam bisnis yang paling mentok ngurus online shop, saya agak kesulitan ketika harus mengambil keputusan-keputusan penting untuk SiMaggie. Saya bingung, variabel-variabel apa yang harus dipertimbangkan ketika akan membuat keputusan bisnis, entah itu menyangkut urusan operasional, marketing, legal, dll. Saya juga lemah dalam urusan forecasting kondisi finansial, apa sebuah bisnis masih sehat atau nggak. Padahal, itu kan krusial banget, dan SiMaggie sudah merasakan imbas dari kesalahan saya dalam mengambil keputusan finansial itu ehe. Makanya, framework dasarnya harus dipelajari lagi nih. 

Selanjutnya, karena saya tahu bahwa semua cikal bakal social entrepreneurship itu berasal dari US, termasuk Bapak Social Entrepreneurship dunia yang kita kenal, si Om Bill Drayton, juga dari US, saya pengen banget-banget belajar social entrepreneurship di negara pencetusnya langsung. Jadilah saya mulai perjalanan saya mencari beasiswa S2 dengan daftar Fulbright Scholarship biar bisa kuliah di Amerikah. Ajaibnya, aplikasi Fulbright yang saya kerjakan cuma semalam itu tembus sampe wawancara (Ya Allah, ini jangan ditiru, guys. Selayaknya makan nasi, yang dimasak matang selalu lebih enak dari yang setengah matang. Duh apasih. Intinya, makin matang aplikasi kamu, makin bagus lah pokoknya. Jangan bikin aplikasi beasiswa dalam semalam, kita bukan Roro Jonggrang).

Btw, I would not tell you whether or not my Fulbright interview went well. Bcz, of course it didn't haha (I'll write a separate post about my Fulbright journey later). Terlepas dari itu, momen wawancara Fulbright ini lah yang menjadi titik balik saya daftar YSEALI Academic Fellowship.

Alkisah, ejie, wawancara Fulbright saya berjalan dengan penuh kesuraman. Dimulai dengan minim persiapan, saya dicecar berbagai pertanyaan dari empat interviewer yang bikin gelagapan. Di akhir wawancara, kayaknya salah satu interviewer bule kasian sama saya yang keliatan hopeless banget. Lalu, dengan senyum tulus, doi nanya in English yang artinya kurang lebih: "Kamu tau YSEALI nggak? Coba kamu daftar itu". Gitu. Petuah dari si bule tidak lantas membuat saya termotivasi daftar YSEALI. Yang ada, saya justru mikir, "Duh, ini aja gue tembus Fulbright sampe interview karena beruntung. Yakali keberuntungan bisa keulang dua kali. Apalagi di YSEALI." Saya pun keluar ruang wawancara tanpa intensi sedikit pun untuk coba daftar YSEALI. Nggak mungkin tembus lah.


Memantapkan Hati

Selesai wawancara Fulbright (9/4), saya tidak mengalami masa harap-harap cemas menanti pengumuman. InsyaAllah sudah haqqul yaqin nggak akan lolos hahaha. Jadi, saya menyibukkan diri dengan hal lain. Sampai suatu siang menjelang sore di tanggal 15 Mei, saya cek gmail dan menemukan ada monthly update dari YSEALI yang menyebutkan bahwa pendaftaran YSEALI Academic Fellowship untuk Fall 2018 baru saja dibuka, deadline-nya tanggal 1 Juni 2018 (kalau kamu YSEALI member, pasti kamu juga akan dapat info ini).

Saat itu, tidak ada 'Aha' momen dimana saya merasa tertantang untuk daftar, termotivasi, terilhami atau apalah ala ala motivator. Saya cuma ingat, waktu masih kuliah, saya merasa aplikasi YSEALI sulit dan proses seleksinya ketat, lebih ketat dari legging Via Vallen. Saya pun mencoba mengingat lagi, kenapa saya merasa demikian, apa saya sudah pernah daftar dan tidak lolos atau jangan-jangan itu cuma ketakutan semu akan kegagalan aja, karena saya terlanjur berasumsi bahwa program ini nggak mungkin saya tembus (Yang saya lakukan ini mirip metode Chunking di ilmu parenting, cmiiw. Kamu bisa coba terapkan setiap kamu merasa ragu atas sesuatu. Sebelum ambil keputusan, coba breakdown dulu, kamu ragunya karena apa, penyebab ragunya dari dalam diri atau luar diri, bisa diintervensi atau nggak, dsb. Cukup memudahkan untuk assess berbagai emosi positif atau negatif di diri kita sih).

Ternyata, setelah saya ingat-ingat lagi, saya belum pernah sekali pun daftar program YSEALI yang ke US, baik Academic maupun Professional Fellowship. Pernahnya itu, saya daftar YSEALI Regional Workshop sebanyak dua kali. Pertama, YSEALI Impact XL Workshop di Myanmar, kedua, YSEALI Generation GR3EN di Brunei Darussalam. Terakhir, saya daftar YSEALI Seeds for the Future Grant, dengan project yang diajukan adalah SiMaggie. Tapi, Alhamdulillah, tiga-tiganya nggak ada yang lolos wkwkwk.

Dari sana, saya mencoba reframing pola pikir saya dan bilang ke diri sendiri, "Oke, Lil, lo belum pernah coba, berarti belum bisa bilang sulit." Setelah itu, saya ceki-ceki lebih jauh, ini program ngapain sih, kenapa banyak peminatnya (selain karena ke US gratis). Ternyata, oemji, program ini menawarkan intensive course di kampus US dengan pilihan tema yang salah satunya Social Entrepreneurship! Waw, bidang yang selama ini saya tekuni, di US pula- the country where the term social entrepreneurship was first born. Aaaakk, pengen! Saya pun kepo-kepo alumninya, banyak orang keren dan beberapa orang yang saya kenal di bidang startup pernah ikutan program ini. Hem, bisa dibilang, this is a sort of benchmark program before you embark your career choice lah. Okesip, di momen itu, saya mantapkan hati untuk daftar. 

Saat itu juga, saya coba mempelajari segala printilan tentang YSEALI, jenis-jenis programnya, kegiatan selama program, kriteria kandidat yang dipilih, dll. Saat cek eligibility criteria, saya nyaris nggak bisa apply, karena untuk Academic Fellowship, batas usianya ternyata 25 tahun, dan, kalau nggak salah, maksimal graduated 4 tahun. Ya Allah, nyarissss. Detil tentang requirement dan eligibility criteria Academic Fellowship bisa dicek disini ya. 

Anyway, saya juga sempat memastikan seribet apa aplikasinya, apakah rumit seperti yang selama ini saya asumsikan. Ternyata, sama sekali nggak ribet dong! Aplikasinya bener-bener cuma ngisi Google Form dan menyertakan satu surat rekomendasi. Udah itu aja. I-tu-a-ja. Saya juga coba ngisi Google Form-nya, biar ada gambaran isi pertanyaannya apa aja, biasanya kan beranak pinak gitu ya. Ternyata, sederhana saja, keluarga berencana, nggak beranak pinak. Di Google Form bener-bener cuma ditanyain data diri, latar belakang pendidikan, pekerjaan dan beberapa pertanyaan lain yang jawabannya bisa kamu temuin di CV kamu.

Di akhir Google Form, kita diminta untuk menulis esai singkat untuk meyakinkan kenapa kita merupakan kandidat yang paling sesuai untuk program tersebut dan apa rencana kita setelah program selesai. Esainya beneran singkat lho ya, saking singkatnya, kamu nggak boleh nulis lebih dari 250 kata. Yes, you read that right, cuma 250 kata. Well, sebagai orang yang lagi bolak-balik apply beasiswa S2, bolak-balik ngurus berkas ini itu, aplikasi YSEALI ini sungguh memudahkan pendaftarnya banget sih. Jadi, nggak ada alasan ribet atau sulit ya, mentemen.

Ahya, hari itu saya nggak langsung daftar. Saya ngumpulin sebanyak mungkin bahan belajar mengenai program untuk dibaca atau ditonton di kosan, entah berasal dari web resmi YSEALI, blog-blog alumni atau bahkan vlog-vlog selama program berlangsung. Tujuannya, saya harus paham bener-bener dulu nih sama programnya, apa yang mereka tawarkan, orang kayak gimana yang mereka cari dan apa tujuan akhir dari programnya. Saya bahkan sempat bikin mindmap sederhana tentang YSEALI ini (anaknya visual banget wk). Belajar tentang program itu penting ya untuk memudahkan kita merumuskan aplikasi dan memproyeksikan siapa orang yang tepat untuk kita mintakan surat rekomendasi.

Jangan coba-coba untuk ngisi formulir aplikasi, apalagi bikin esai, ketika kita masih buta sama program, itu namanya bunuh diri. Walaupun formulirnya sederhana, biasakan untuk pahami dulu segalanya, refleksi, bagian mana dari diri kita yang mau kita tonjolkan yang 'aligned' dengan program. Kan nggak mungkin semua jejak hidup kita dimasukin ke form. Pilah dulu, baru pelan-pelan diisi deh.

Sekarang, mari kita lanjutkan ke tulisan selanjutnya disini dan simpan dulu rasa penasaranmu tentang siapakah Juminten yang kuliah di Washington. Haha.


Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen

Sonntag, 12. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 1]

Kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya 'berkenalan' dengan YSEALI hingga akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018 dan mendapat pengumuman diterima pada Selasa (7/8) lalu.

Pertama, tujuan saya menulis ini untuk give back, karena saat masa-masa daftar YSEALI yang penuh drama resah gelisah bahkan demam diare itu, saya benar-benar mengandalkan tulisan-tulisan di blog para alumni yang berbagi pengalaman YSEALI mereka. Saya banyak mencari clue-clue mengenai proses aplikasi, seperti kriteria kandidat terpilih, tips wawancara, linimasa program dan sebagainya dari sana. Tulisan-tulisan itu luar biasa membantu sekali lho, Mas Mbak Alumni. Terima kasih banyak.

Kedua, tulisan ini untuk refleksi saya di masa datang, that it's always my choice to take or ignore what universe has offered. Thus, i need to be fully aware of the consequences yet be respectful with the process. Kalau gagal ya dinikmati, kalau berhasil ya disyukuri, karena masa datang nanti adalah akumulasi konsekuensi dari pilihan-pilihan yang saya ambil.

Ketiga, tulisan ini untuk alarm diri sendiri, bahwa hidup itu Allah yang mengendalikan. Kadang, segala hal berjalan di luar kalkulasi manusia. Makanya, saya harus selalu melibatkan Allah pada setiap hal yang saya lakukan, sesepele apapun hal itu. Dan, yang paling penting, kalau saya inginnya banyak, doanya harus lebih banyak, syukurnya apalagi.

Okedeh, sekarang yuk mari kita mulai!


Berkenalan dengan YSEALI

YSEALI (Young Southeast Asia Leaders Initiative) merupakan sebuah program kepemudaan yang diselenggarakan dan dibiayai penuh oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan sekaligus memperkuat jaringan para pemuda di Asia Tenggara. YSEALI pertama kali diluncurkan pada tahun 2013 dan fokus pada beberapa topik utama, seperti kewarganegaraan (civic engagement), pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pendidikan (education) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth).

Program-program YSEALI sendiri beragam:
1. Professional Fellowship ke Amerika Serikat
2. Academic Fellowship ke Amerika Serikat
3. Regional Workshop (Biasanya diadakan di negara-negara Asia Tenggara)
4. Grant Funding (Lebih dikenal dengan YSEALI Seeds for the Future Grant)

Oleh karena itu, jangan heran kalau kamu mendengar temanmu lolos seleksi YSEALI tapi berangkatnya bukan ke US, karena memang tidak semua program dilaksanakan di US. Lebih lengkap tentang YSEALI bisa cek disini.

Saya lupa kapan pertama kali saya mendengar tentang YSEALI, yang pasti, saat itu saya masih kuliah dan sedang semangat-semangatnya mengikuti berbagai kegiatan kepemudaan, baik di dalam maupun di luar kampus. Kalau nggak salah, waktu itu YSEALI Academic Fellowship sedang buka pendaftaran. Saya sempat baca deskripsi programnya sepintas. Keren juga yaks, ke US lima minggu, fully funded pula. Biasanya kan program yang begitu harus cari sponsor sendiri, pikir saya.

Saat itu, aplikasi YSEALI masih menggunakan formulir Ms. Word (kalau tidak salah). Saya coba cek persyaratannya. Duh, ribet sekali, harus bikin esai, harus minta surat rekomendasi juga. Singkat cerita, saya tidak jadi mendaftar karena yakin tidak akan terpilih. Bukannya apa-apa, saya sudah sering daftar program fully funded yang 'jauh' begitu dan belum pernah tembus berangkat. Jadi, ya udah males duluan untuk coba.

Secara tidak langsung, pikiran saya itu menutup kemungkinan saya untuk mendaftar program YSEALI pada pembukaan-pembukaan selanjutnya. To be honest, that moment, I thought this program was too prestigious. It would waste my time to struggle on things that are impossible to conquer. Apalah saya, cuma sebentuk udara yang terperangkap di bubble wrap. Dipencet sedikit, terjadi letusan kecil, dan hilang tak berbekas. 

Tapi, saat itu saya tetap mendaftar sebagai YSEALI member. Jadi, update tentang program-program YSEALI selalu masuk ke email setiap bulan. Walaupun, saya pribadi sudah tidak punya lagi keinginan untuk mendaftar. Semacam berpikir, "yailah nggak mungkin berangkat, Lil". Ditambah lagi, di tahun-tahun akhir kuliah, saya sibuk dengan berbagai urusan magang dan skripsi, serta percintaan sesekali. Wkwk boong deng.

Di masa setelah kelulusan, saya bekerja di sebuah social enterprise asal Singapura dan ditempatkan di pelosok Sumba, NTT. Hidup bersama warga desa dengan budaya yang benar-benar baru, tanpa listrik, tanpa gemerlap ibukota, membuat saya menemukan kesenangan baru yang cukup menyita perhatian. Hem, apa itu YSEALI? Saya sudah lupa. 


Titik Balik

Tahun 2016 akhir, saya keluar dari social enterprise asal Singapura itu. Aaakk, sedih sekali, tapi sepertinya memang demikian jalannya. Saya lalu bergabung dengan Water.org dan ditugaskan untuk mendampingi cabang-cabang salah satu microfinance partner mereka yang berada di Jawa Timur. Kebayang nggak sih, berawal dari hidup penuh keterbatasan di pelosok Sumba, dalam waktu sekian bulan, hidup saya berubah menjadi gerilyawan di sudut-sudut kabupaten di Jawa Timur.

Pekerjaan saya itu membuat saya banyak berinteraksi dengan warga desa. Pertama sih karena sebagian besar waktu kerja saya memang dihabiskan di lapangan, bertemu dengan ibu-ibu mitra dan suaminya yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan peternak. Kedua, work load di kantor cabang juga memang nggak terlalu padat, jadi saya punya banyak waktu luang buat melipir di jam kantor dan ngobrol-ngobrol semi khozip dengan warga sekitar. Dari sana, saya banyak terpapar informasi mengenai 'drama kehidupan' yang mereka hadapi, dari masalah-masalah serius yang menyangkut ummat (asiks), semacam isu pertanian, sumber daya desa, ketersediaan akses terhadap kebutuhan dasar, sampe urusan pribadi, macam uang belanja dari suami yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup, rasa insecure si suami yang berpaling ke lain hati dan segala printilan problematika manusia.

Singkat cerita, dari ngobrol sama mitra-mitranya kantor cabang, saya kepikiran untuk menggali potensi ide social enterprise saya dengan niat idealis nan bombastis menyelesaikan persoalan petani sekaligus melawan hegemoni produk-produk serupa yang tidak ramah lingkungan. Pret banget dah. Tapi, hamdalah, di pertengahan 2017, lahirlah SiMaggie, sebuah social enterprise yang saya kembangkan bersama beberapa teman (baru) saya. Kenapa baru? Karena emang kita kenalan juga baru aja. Saya sendiri nggak paham, ada wangsit darimana sampai mereka percaya sama saya dan mau gabung. Nanti ya, saya buat tulisan khusus tentang SiMaggie.

Hari-hari setelah itu, selain bekerja, saya sibuk merintis SiMaggie. Saya sibuk mentransformasi konsep-konsep yang kami rancang di atas kertas menjadi wujud nyata. Wqwq. Saya juga sibuk bolak-balik Nganjuk-Surabaya-Nganjuk, Kediri-Surabaya-Kediri, Tulungagung-Surabaya-Tulungagung, berangkat subuh, pulang hampir tengah malam, setiap wiken, untuk belajar tentang startup, business model canvas, idea validation, dll melalui program 1000 Startup Digital. Capek banget, tapi seru. 

Dari rutinitas tersebut, semakin hari, saya merasa semakin paham apa yang saya mau, apa minat saya. Saya semakin punya gambaran di masa depan mau jadi apa. Kalau orang bilang, semacam i discovered my passion kali ya. Saya semakin merasa social entrepreneurship adalah jalan hidup saya. Isu yang saya minati pun semakin mengerucut, seputar pemberdayaan desa, pertanian dan pangan. 

Dari sana, karena merasa butuh lebih banyak sarana aktualisasi diri dalam mengembangkan SiMaggie, saya jadi banyak daftar program inkubasi dan kompetisi startup. Ada yang lolos dan menang, tapi lebih banyak yang gagal. Hahaha. Gapapa, yang penting pengalaman dan pembelajaran yang didapat selama prosesnya.

Sekitar tahun 2018 awal, keputusan saya bulat untuk kuliah lagi dan mengambil bidang spesifik social entrepreneurship. Saya merasa, dengan latar belakang pendidikan saya yang social science murni dan pengalaman dalam bisnis yang paling mentok ngurus online shop, saya agak kesulitan ketika harus mengambil keputusan-keputusan penting untuk SiMaggie. Saya bingung, variabel-variabel apa yang harus dipertimbangkan ketika akan membuat keputusan bisnis, entah itu menyangkut urusan operasional, marketing, legal, dll. Saya juga lemah dalam urusan forecasting kondisi finansial, apa sebuah bisnis masih sehat atau nggak. Padahal, itu kan krusial banget, dan SiMaggie sudah merasakan imbas dari kesalahan saya dalam mengambil keputusan finansial itu ehe. Makanya, framework dasarnya harus dipelajari lagi nih. 

Selanjutnya, karena saya tahu bahwa semua cikal bakal social entrepreneurship itu berasal dari US, termasuk Bapak Social Entrepreneurship dunia yang kita kenal, si Om Bill Drayton, juga dari US, saya pengen banget-banget belajar social entrepreneurship di negara pencetusnya langsung. Jadilah saya mulai perjalanan saya mencari beasiswa S2 dengan daftar Fulbright Scholarship biar bisa kuliah di Amerikah. Ajaibnya, aplikasi Fulbright yang saya kerjakan cuma semalam itu tembus sampe wawancara (Ya Allah, ini jangan ditiru, guys. Selayaknya makan nasi, yang dimasak matang selalu lebih enak dari yang setengah matang. Duh apasih. Intinya, makin matang aplikasi kamu, makin bagus lah pokoknya. Jangan bikin aplikasi beasiswa dalam semalam, kita bukan Roro Jonggrang).

Btw, I would not tell you whether or not my Fulbright interview went well. Bcz, of course it didn't haha (I'll write a separate post about my Fulbright journey later). Terlepas dari itu, momen wawancara Fulbright ini lah yang menjadi titik balik saya daftar YSEALI Academic Fellowship.

Alkisah, ejie, wawancara Fulbright saya berjalan dengan penuh kesuraman. Dimulai dengan minim persiapan, saya dicecar berbagai pertanyaan dari empat interviewer yang bikin gelagapan. Di akhir wawancara, kayaknya salah satu interviewer bule kasian sama saya yang keliatan hopeless banget. Lalu, dengan senyum tulus, doi nanya in English yang artinya kurang lebih: "Kamu tau YSEALI nggak? Coba kamu daftar itu". Gitu. Petuah dari si bule tidak lantas membuat saya termotivasi daftar YSEALI. Yang ada, saya justru mikir, "Duh, ini aja gue tembus Fulbright sampe interview karena beruntung. Yakali keberuntungan bisa keulang dua kali. Apalagi di YSEALI." Saya pun keluar ruang wawancara tanpa intensi sedikit pun untuk coba daftar YSEALI. Nggak mungkin tembus lah.


Memantapkan Hati

Selesai wawancara Fulbright (9/4), saya tidak mengalami masa harap-harap cemas menanti pengumuman. InsyaAllah sudah haqqul yaqin nggak akan lolos hahaha. Jadi, saya menyibukkan diri dengan hal lain. Sampai suatu siang menjelang sore di tanggal 15 Mei, saya cek gmail dan menemukan ada monthly update dari YSEALI yang menyebutkan bahwa pendaftaran YSEALI Academic Fellowship untuk Fall 2018 baru saja dibuka, deadline-nya tanggal 1 Juni 2018 (kalau kamu YSEALI member, pasti kamu juga akan dapat info ini).

Saat itu, tidak ada 'Aha' momen dimana saya merasa tertantang untuk daftar, termotivasi, terilhami atau apalah ala ala motivator. Saya cuma ingat, waktu masih kuliah, saya merasa aplikasi YSEALI sulit dan proses seleksinya ketat, lebih ketat dari legging Via Vallen. Saya pun mencoba mengingat lagi, kenapa saya merasa demikian, apa saya sudah pernah daftar dan tidak lolos atau jangan-jangan itu cuma ketakutan semu akan kegagalan aja, karena saya terlanjur berasumsi bahwa program ini nggak mungkin saya tembus (Yang saya lakukan ini mirip metode Chunking di ilmu parenting, cmiiw. Kamu bisa coba terapkan setiap kamu merasa ragu atas sesuatu. Sebelum ambil keputusan, coba breakdown dulu, kamu ragunya karena apa, penyebab ragunya dari dalam diri atau luar diri, bisa diintervensi atau nggak, dsb. Cukup memudahkan untuk assess berbagai emosi positif atau negatif di diri kita sih).

Ternyata, setelah saya ingat-ingat lagi, saya belum pernah sekali pun daftar program YSEALI yang ke US, baik Academic maupun Professional Fellowship. Pernahnya itu, saya daftar YSEALI Regional Workshop sebanyak dua kali. Pertama, YSEALI Impact XL Workshop di Myanmar, kedua, YSEALI Generation GR3EN di Brunei Darussalam. Terakhir, saya daftar YSEALI Seeds for the Future Grant, dengan project yang diajukan adalah SiMaggie. Tapi, Alhamdulillah, tiga-tiganya nggak ada yang lolos wkwkwk.

Dari sana, saya mencoba reframing pola pikir saya dan bilang ke diri sendiri, "Oke, Lil, lo belum pernah coba, berarti belum bisa bilang sulit." Setelah itu, saya ceki-ceki lebih jauh, ini program ngapain sih, kenapa banyak peminatnya (selain karena ke US gratis). Ternyata, oemji, program ini menawarkan intensive course di kampus US dengan pilihan tema yang salah satunya Social Entrepreneurship! Waw, bidang yang selama ini saya tekuni, di US pula- the country where the term social entrepreneurship was first born. Aaaakk, pengen! Saya pun kepo-kepo alumninya, banyak orang keren dan beberapa orang yang saya kenal di bidang startup pernah ikutan program ini. Hem, bisa dibilang, this is a sort of benchmark program before you embark your career choice lah. Okesip, di momen itu, saya mantapkan hati untuk daftar. 

Saat itu juga, saya coba mempelajari segala printilan tentang YSEALI, jenis-jenis programnya, kegiatan selama program, kriteria kandidat yang dipilih, dll. Saat cek eligibility criteria, saya nyaris nggak bisa apply, karena untuk Academic Fellowship, batas usianya ternyata 25 tahun, dan, kalau nggak salah, maksimal graduated 4 tahun. Ya Allah, nyarissss. Detil tentang requirement dan eligibility criteria Academic Fellowship bisa dicek disini ya. 

Anyway, saya juga sempat memastikan seribet apa aplikasinya, apakah rumit seperti yang selama ini saya asumsikan. Ternyata, sama sekali nggak ribet dong! Aplikasinya bener-bener cuma ngisi Google Form dan menyertakan satu surat rekomendasi. Udah itu aja. I-tu-a-ja. Saya juga coba ngisi Google Form-nya, biar ada gambaran isi pertanyaannya apa aja, biasanya kan beranak pinak gitu ya. Ternyata, sederhana saja, keluarga berencana, nggak beranak pinak. Di Google Form bener-bener cuma ditanyain data diri, latar belakang pendidikan, pekerjaan dan beberapa pertanyaan lain yang jawabannya bisa kamu temuin di CV kamu.

Di akhir Google Form, kita diminta untuk menulis esai singkat untuk meyakinkan kenapa kita merupakan kandidat yang paling sesuai untuk program tersebut dan apa rencana kita setelah program selesai. Esainya beneran singkat lho ya, saking singkatnya, kamu nggak boleh nulis lebih dari 250 kata. Yes, you read that right, cuma 250 kata. Well, sebagai orang yang lagi bolak-balik apply beasiswa S2, bolak-balik ngurus berkas ini itu, aplikasi YSEALI ini sungguh memudahkan pendaftarnya banget sih. Jadi, nggak ada alasan ribet atau sulit ya, mentemen.

Ahya, hari itu saya nggak langsung daftar. Saya ngumpulin sebanyak mungkin bahan belajar mengenai program untuk dibaca atau ditonton di kosan, entah berasal dari web resmi YSEALI, blog-blog alumni atau bahkan vlog-vlog selama program berlangsung. Tujuannya, saya harus paham bener-bener dulu nih sama programnya, apa yang mereka tawarkan, orang kayak gimana yang mereka cari dan apa tujuan akhir dari programnya. Saya bahkan sempat bikin mindmap sederhana tentang YSEALI ini (anaknya visual banget wk). Belajar tentang program itu penting ya untuk memudahkan kita merumuskan aplikasi dan memproyeksikan siapa orang yang tepat untuk kita mintakan surat rekomendasi.

Jangan coba-coba untuk ngisi formulir aplikasi, apalagi bikin esai, ketika kita masih buta sama program, itu namanya bunuh diri. Walaupun formulirnya sederhana, biasakan untuk pahami dulu segalanya, refleksi, bagian mana dari diri kita yang mau kita tonjolkan yang 'aligned' dengan program. Kan nggak mungkin semua jejak hidup kita dimasukin ke form. Pilah dulu, baru pelan-pelan diisi deh.

Sekarang, mari kita lanjutkan ke tulisan selanjutnya disini dan simpan dulu rasa penasaranmu tentang siapakah Juminten yang kuliah di Washington. Haha.


Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen

Popular posts