Montag, 25. Juni 2018

(Hampir) 2 Jam Di Pesawat Bersama Emil Dardak [Bukan Tulisan Berbayar]

Kejadian random satu ini berawal dari saya yang super deg-degan di Go-Jek karena harus ngejar flight ke SUB sekitar jam 8 malem, tapi jam 6 sore masih leyeh-leyeh di rumah. Padahal, hari itu adalah hari kerja, artinya kalau saya berangkat ke bandara mepet, saya harus berkompetisi di jalanan dengan manusia-manusia lain yang baru pulang kantor.

Betapa dudulnya saya, waktu itu tuh mikirnya, "Ah, cuma di Halim. Deket." Saya yg dulu sempat jadi anak gaul Kalibata Mall lupa kalau lampu merah Taman Makam Pahlawan Kalibata macetnya nggak ada obat.

Hal lain yang membuat adrenalin saya makin meningkat adalah driver Go-Jek yang nyangkut ke app saya ternyata ibuk-ibuk. Alamak, gimana saya mau minta beliau ngebut ini mah. Tapi ternyata, anggapan saya itu hanya bias gender belaka. Sambil ngobrol intimate ala ala perempuan, doi super ngebut krn khawatir saya ketinggalan pesawat. Makasi banyak, Buk!

Sampe Halim, saya lari-lari, ngos-ngosan, kumus-kumus. Tapi ah, ku tak peduli. Untung saya masih sempet nunggu sekitar 10 menit di boarding room. Anyway, pas berangkat dari rumah, i didnt put on make up at all. Bukan karena nggak sempet, tapi ya emang saya nggak mau aja hahaha. Siapa mau peduli juga sama muka saya di malam hari, lagipula bedak mahal cuy. Hemat lah.

Tiba waktu boarding, saya masuk pesawat. Semuanya terasa biasa saja sampai saya menemukan bahwa bangku saya didudukin bule yang lagi asik baca buku sambil dengerin musik. Tapi, bangku sebelahnya doi kosong. And i thought, that was his seat. Jadi, karena nggak mau ganggu doi, saya duduk di bangku kosong tersebut.

Nggak berapa lama, datanglah lelaki berparas rupawan pake kemeja putih polos dan celana bahan hitam, mengklaim bahwa bangku yang saya dudukin itu adalah bangku dia. Saya pun bingung, saya sampaikan bahwa saya pikir ini bangku si Om Bule sebelah saya. Si lelaki rupawan menunjukkan nomor kursinya dan langsung nanyain nomor kursi si bule.

Jujur, pada detik tersebut, saya udah nggak peduli lagi urusan perbangkuan ini. Ada hal lain yang lebih menarik untuk saya pikirin, ini orang kayak nggak asing ya wajahnya. Seperti wajah mantan saya, tapi, duh, Li, lo nggak punya mantan woy.

Akhirnya, si bule yang awalnya menempati kursi saya pindah ke depan karena ternyata doi salah liat seat number. Sambil masih mikir siapakah gerangan lelaki rupawan ini, saya pun nanya ke si lelaki, dia mau duduk di tengah (di bangku saya) atau di bangkunya di pinggir (yang sudah lebih dulu saya tempati). Dia pun tetep mau di pinggir, di bangkunya. Saya pun bergeser ke tengah.

Kalau di pesawat, saya adalah orang yang sangat disiplin yg sudah pasti memasang setting Flight Mode tanpa harus menunggu peringatan Mba-Mba Pramugari. Tapi oh tapi, ini lelaki rupawan sebelah saya masih buka Youtube. "Oh, mungkin itu offline mode ya Youtube-nya", husnudzan saya begitu. Lha tapi kok, videonya tersendat-sendat macam susah sinyal. Adudu.

Menjelang take off, saya yang biasanya bubuk cantik kalau flight malem (walau saat itu saya bawa buku (yang niatnya) mau dibaca di pesawat sih), menyempatkan diri untuk ngintip-ngintip wajah si lelaki rupawan sebelah saya lewat pantulan bayangan di hp saya. Saya masih penasaran. Fixed, ini orang kayaknya saya kenal. Tapi dimana ya hem.

Entah kenapa, saya lalu teringat baliho Pilkada yang biasa saya lewati setiap kali berkunjung ke Jombang. Ada foto pasangan Cagub-Cawagub Jawa Timur disana. Wah, Emil Dardak kayaknya nih.

Saya berusaha mengingat seperti apa persisnya wajah Emil Dardak. Duh, yang saya ingat, dia ganteng. Tapi gantengnya macam apa, saya kurang paham. Saya sama Bapak di rumah sebenernya sering diskusi tentang beliau dan landscape perpolitikan Jawa Timur, tapi diskusi kami jarang menyoal rupa wajah. Wkwk.

Saya lalu aktifin internet HP, mumpung belum take off. Ehe. Ampun Om Pilot. Saya searching wajah Emil Dardak cepat-cepat. Saya bandingkan dengan sosok yang ada di sebelah saya. Hem, mayan mirip sih. Tapi, saya masih belum yakin.

Saya intip video yang lagi serius banget dia tonton. Di Youtube. Dan pake internet HP. Sesekali buffering pulak. Video yang bikin dia didatengin Mba-Mba Pramugari berkali-kali untuk ngingetin HP yang harus mati. Tapi, dia tetep aja hajar bleh.

Oh, ternyata video debat Pilgub Jatim, ada Khofifah dan Emil Dardak-nya. Bajunya Emil Dardak di video itu mirip dengan apa yang dipake lelaki rupawan sebelah saya.

Aaakk, sebelah saya Emil Dardak nih. Fix fix. Rasanya saya pengen lompat dari bangku. Pengen nengok langsung depan mukanya sambil menjajarkan HP saya yang memuat foto beliau hasil kulik-kulik Google tepat di sebelah wajahnya. Biar shahih aja gitu kalau sebelah saya memang Emil Dardak. Capek kali ngintip-ngintip dari pantulan HP dan mengandalkan kelihaian bola mata terus.

Tapi, ah, sedetik kemudian keyakinan saya pupus. Saya ragu, yakali ah Emil Dardak nggak paham fitur Download Video dan nonton Offline di Youtube. Saya senyum-senyum sendiri. Mayan nih, kalau laki-laki sebelah saya ini beneran Emil Dardak, saya bisa keliatan pinter dikit dengan ngajarin beliau cara hasyiks main Youtube. Tapi eh tapi, seriusan nih Emil Dardak naik pesawat ekonomi? Tanpa pengawal atau ajudan macam orang-orang penting gitu? ihwaw.

Saya mencoba mengumpul-ngumpulkan keyakinan. Emil Dardak juga manusia biasa. Hidupnya sibuk memikirkan kemaslahatan ummat, wajar kalau beliau tak paham fitur Youtube. Jangan kau bandingkan dengan dirimu yang surplus waktu luang, Lil.

Saat saya sudah sepenuhnya yakin bahwa lelaki rupawan yang duduknya tepat sebelah saya adalah Emil Dardak, saya riset dikit-dikit visi misi beliau. Ini masih belum take off, kok. Pesawatnya masih nyentuh tanah. Saya skimming visi misi beliau, berusaha mengingat beberapa keyword. Si pesawat akhirnya benar-benar akan take off. Tap, saya mengaktifkan Flight Mode. Saya tidak sempat mencari bahan obrolan lain.

Ealah, lelaki 'terduga Emil Dardak' sebelah saya ini masih sibuk nonton Youtube wakakak. Pramugari sampai-sampai mendatangi beliau dan benar-benar menunggu di sampingnya hingga beliau mematikan HP-nya. Beliau nggak mengelak dari kesalahannya tersebut dan nurut apa kata Mbak Pramugari. Yes, sekarang beliau tanpa distraksi.

Saya yang tidak mampu menahan senyum mencoba bertanya dengan sopan, "Pak Emil, ya?"

Gesture tubuh beliau dalam menanggapi pertanyaan saya cukup mengesankan saya. Beliau langsung mengubah arah tubuhnya ke arah saya dan menjawab dengan wajah ramah tanpa kesan dibuat-buat, "Iya."

Bahasa tubuh yang sederhana itu cukup memberikan impresi pertama yang positif bagi saya, bahwa beliau adalah pribadi yang terbuka.

Selanjutnya, saya membuka topik dengan membahas visi misi beliau yang akan dibawa dalam pertarungan pilgub mendatang. Jangan bayangkan saya menyebut secara rinci visi misi beliau yang saya baca sebelum take off ya. Saya hanya mengingat keyword, lalu saya kembangkan sendiri sekenanya. Deg-degan takut salah euy.

Dari sana berbagai obrolan mengalir. Kami membahas berbagai hal, dari kebijakan hingga pekerjaan saya. Apa yang beliau rencanakan jika terpilih nanti, target pembangunan, fokus anggaran, dll (ini semi kampanye sih, tapi gapapa, itu hak dia untuk meyakinkan saya bahwa dia adalah kandidat yang tepat). Saya juga sempat menanyakan beberapa pertanyaan filosofis dan mendasar tentang pilihan-pilihan hidup beliau. Sayangnya, saya sudah tidak terlalu ingat detil jawaban beliau. Saya menyesal karena saat sampai kosan tidak langsung menuliskannya. Selama dua jam (kurang dikit sih) kami di pesawat, selama itu pula kami berdiskusi. Tidak ada momen dimana kami kehabisan topik, beliau banyak sharing pengalaman dan gagasan. Yang pasti, saat itu saya belajar banyak. Banyak sekali.

Dari obrolan intensif hampir 2 jam kami selama di udara itu, saya mendapatkan gambaran karakter beliau yang mungkin bisa menjadi pertimbangan teman-teman dalam menentukan Cagub-Cawagub pilihan pada Pilgub serentak 27 Juni besok. Ohya, disclaimer ya, ini murni opini saya. Saya juga tidak terafiliasi dengan pihak mana pun, jadi maaf kalau tulisan ini dinilai menaikkan atau justru menjatuhkan Pak Emil atau pihak lain yang terkait. Saya hanya membagikan apa yang saya rasakan selama bersebelahan dengan beliau (dipengaruhi sedikit dengan opini setelah nonton debat Cagub-Cawagub Jawa Timur deng). Hehe.

Pertama, Emil Dardak adalah benar-benar seorang yang cerdas. Beliau kaya dengan data, jadi kalau ngomong selalu ada dasar datanya. Kemampuan beliau dalam menganalisis dan menarik kesimpulan dari data-data tersebut juga keren. Ini saya rasain waktu ngobrol dengan beliau dan saya lihat di acara debat sih. Setiap beliau memaparkan gagasan, beliau selalu membawa alasan karena datanya begini, maka harus begini, karena kalau begitu, blablabla dan seterusnya.

Beliau punya latar belakang pendidikan yang (seingat saya) berhubungan dengan economic development. Maafkan saya kalau kurang tepat, Pak. Yang jelas, saya melihat bahwa apa yang beliau coba aplikasikan pada setiap kebijakan-kebijakan beliau berakar dari teori yang beliau baca dan pelajari waktu masih sekolah. Saya masih ingat sekali, saat kami mengobrol, beliau beberapa kali bilang, "Menurut X dalam buku....." atau "Kalau kamu tahu dalam teori lalala......." Intinya sih, setiap keputusan yang dia ambil nggak pake pertimbangan commonsense lah. Sedikit banyak beliau (kelihatan) punya ilmunya.

Kedua, beliau sungguh well-experienced di sektor tata kelola kota, pembangunan, ekonomi dan sektor lain yang berhubungan. Beliau sempat bercerita tentang pengalamannya bekerja di World Bank sampai akhirnya mengambil risiko untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Trenggalek. Bahkan, waktu saya bercerita tentang pekerjaan saya yang related dengan sektor community development, beliau dengan cepat langsung menangkap apa yang menjadi tantangan kami di lapangan. Padahal, saya cuma cerita sedikit saja. Tentunya itu bukan karena beliau punya kemampuan cenayang ala ala ya. Tapi, karena pengalaman dia di bidang development sudah luas, jadi ya dia paham betul.

Ketiga, saya senang karena beliau masih muda. Eits, ini bukan berarti 'dia muda maka dia ganteng'  yang bikin saya suka (ala cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. hahaha lucu nggak?). Tapi, menurut saya, idealisme beliau juga merefleksikan jiwa mudanya. Pemikirannya juga segar. Beliau cukup terbuka dengan diskusi dan nggak gampang mutung. Waktu itu sempet saya pancing dengan pertanyaan yang agak sensitif, misalnya pertanyaan tentang alasan dia meninggalkan Trenggalek, padahal masa kepemimpinannya belum selesai, atau pertanyaan tentang kenapa majunya sama Khofifah yang udah berkali-kali mencalonkan diri tapi nggak kepilih-kepilih. Pertanyaan-pertanyaan saya itu beliau jawab tanpa rasa keberatan.

Keempat, beliau sungguh humble, praktis dan dinamis. Percaya nggak, beliau ke bandara naik Go-Jek (Go-Ride lebih spesifiknya) karena takut macet. Tanpa pengawal satu orang pun. Di pesawat juga doi sendirian. Pesawatnya kelas ekonomi pula. Padahal kursi bisnisnya kosong melompong. Bagi beliau, dalam melakukan sesuatu ya pertimbangannya kepraktisan. Bukan semata-mata merakyat atau bahkan pencitraan. Jadi, kalau praktisnya naik motor, ya naik motor aja. Tapi kalau praktisnya naik mobil karena hujan, ya naik mobil. Nggak usah ngotot naik motor biar dianggap merakyat.

Kelima, dan sepertinya menjadi yang terakhir, walaupun Pak Emil Dardak ini menurut saya cukup perfek tipikal kandidat idaman, tapi beliau tetaplah manusia biasa. Ada beberapa sikap beliau yang membuat saya sedikit berkomentar dalam hati, "Hem, gini ya ternyata."

Misalnya, setiap saya mencoba menyampaikan aspirasi saya dan menanyakan berbagai pertanyaan kenapa gini kenapa gitu. Beliau memang tidak mutung, beliau memang tidak tersinggung, tapi beliau langsung meluncurkan jawaban-jawaban untuk meng-counter omongan saya tersebut. Padahal, kalau saya jadi Pak Emil dan kebetulan ketemu rakyat butiran jasjus macam saya, maka saya akan cenderung sedikit bicara dan membuka telinga lebar-lebar. Terlepas dari omongan si rakyat benar atau salah, saya akan coba tampung sebanyak-banyaknya. Bagi saya, kesempatan untuk mendengar perspektif yang berbeda, apalagi dari rakyat biasa macam saya, kan jarang sekali terjadi. Sedangkan, beliau, dengan segala power yang dipunya, apalagi beliau juga sedang mencalonkan diri sebagai Cawagub, beliau punya panggung yang lebih luas dan banyak. Mudah bagi beliau untuk meng-counter atau menjawab argumen apapun. Tapi, nyatanya beliau cukup mendominasi obrolan dan bukan banyak mendengarkan. Entah karena by nature beliau adalah orang yang dominan atau itu hanya kebetulan. Saya kurang paham.

Hal lain, sepanjang obrolan, beliau juga banyak menyebutkan teori-teori atau istilah yang saya kurang paham. Hehe. Entah karena beliau merasa bahwa saya anak muda 'berpendidikan' jadi sudah semestinya paham (kalau iya, berarti saya harus baca lebih banyak buku lagi nih, wawasan saya masih belum mumpuni hiks), atau memang beliau memiliki kecenderungan demikian, membawa sophisticated words ke dalam obrolan dengan orang awam di bidang tersebut. Padahal ya, orang-orang yang well-educated tidak berarti dia menguasai semua bidang lho. Jadi, menurutku sih, toleransi terhadap manusia berbeda bidang itu tetep butuh. Misalnya, kamu yang lulusan S3 Kriminologi belum tentu paham sama istilah-istilahnya anak S1 Planologi. Walaupun, jenjang stratanya lebih tinggi. Atau nama ilmunya mirip pakek logi-logian.

Nah, kurang lebih gitu deh. Mon maap kalau sungguh subjektif, ini kan blog saya, jadi tidak ada tuntutan untuk menyuguhkan tulisan yang netral hahaha. Terlepas dari itu, saya cukup merekomendasikan Khofifah-Emil untuk menjadi pilihan kawan-kawan di hari pencoblosan besok. Pertama, jelas alasannya karena impresi yang saya dapat ketika bersebelahan tempat duduk di pesawat dengan beliau. Walaupun, tidak semua impresinya positif hahahaha. Kedua, saya sempat mengikuti beberapa kali debat Cagub-Cawagub Jawa Timur. Lumayan keliatan sih, Khofifah-Emil memang 'siap memimpin', baik secara data, ide dan gagasan, dibandingkan pasangan lain yang mengandalkan takaran ketidakpastian, seperti "Kalau dari pengalaman saya dulu, blablabla...", atau "Sepertinya ada kurang lebih blablabla...".

Tapi, segalanya tetap kembali lagi kepada kalian wahai kaum yang akan memilih. Kalau kalian memiliki pertimbangan lain, sepenuhnya itu hak kalian. Asal jangan golput aja, kusedih karena harga yang harus dibayar untuk sebuah hak pilih dari seorang warga negara terlalu mahal untuk selembar kertas kosong tanpa lubang coblosan. So, selamat nyoblos! Anyway, saya nggak ikutan nyoblos, karena KTP Jakarta. ehehe.



P.s. we happened to take some good pictures- with my very own barefaced.
Ahya, sawrry, i wouldn't ask for your pardon bcz of my barefaced just like other women did outside.
Cz, ya know, im not that typical woman in the majority haha.


Mittwoch, 20. Juni 2018

Magis

Cinta memang magis. Membicarakannya, ibarat mengecap gula-gula manis yang tak habis-habis. Tapi, jangan lupa, ia pedang bermata dua. Salah-salah, berakhir ceritamu menjadi derita.

Dienstag, 19. Juni 2018

Tentang Menikah

Berada di usia matang seperti saya sekarang, membuat obrolan menjadi semakin monoton. Apapun topik pembukanya, ujungnya pasti soal cinta, jodoh dan nikah. Perubahan status KTP kawan, dari jomblo menjadi 'Kawin', membuat lebih banyak hati menjadi gelisah. Bibir ingin mendesah. Mak, kapan nikah? Aduduh, bosen uwe dengernyah.

Sebenarnya, tak apa merasa deg-degan, tapi jangan sampai khawatir tidak kebagian. InsyaAllah, jodoh, rizki dan mati sudah tertulis takdirnya. Tidak akan tertukar, apalagi kehabisan.

Membicarakan gebetan banyak-banyak tidak lantas membuatmu cepat menikah, yang ada justru kamu jatuh semakin dalam pada kubangan dosa. Begitu pula dengan cinta, menumbuhkannya pada orang yang belum tentu menjadi jodohmu, pada masa yang belum waktunya, tidak membawa manfaat barang sebulir, yang ada justru mubazir. Karena kamu harus membagi-bagi cintamu kepada orang yang tidak berhak, cinta yang seharusnya bisa kamu berikan utuh tanpa cela pada kekasihmu sesungguhnya, yang halal di hadapan-Nya.

Karena, kalau kata Kurniawan Gunadi, mencintai bukan hanya soal waktu, keberanian dan kesempatan. Namun, soal keimanan dan ketaqwaan. Bagi saya, menikah adalah sarana mengakselerasi diri untuk menjadi lebih baik lagi. Menikah adalah wadah melipatganda ibadah. Menikah berarti mewujudkan mimpi-mimpi tentang pengabdian yang lama tertahan. Dan yang tidak kalah penting, menikah adalah melahirkan generasi penerus perjuangan-perjuangan yang belum selesai. Sehingga, modalnya tak cukup hanya cinta, ada ilmunya, ada landasannya.

Makanya, menikah bukan muara, ia hanya gapura. Menuju kesana, tidak boleh tergesa, apalagi dengan persiapan seadanya. Ingat, kita sedang mengejar ridho-Nya.


Sonntag, 17. Juni 2018

Kehilangan Dua

Suatu hari, ayah seorang teman tutup usia. Sebagai penghormatan, saya berkunjung ke rumahnya. Ia sedang bersandar di sudut jendela. Dengan wajah yang biasa-biasa saja. Tapi, sebagai teman lama yang dulu bermain boneka bersama, saya tahu ia menahan duka. Saya bisikkan padanya, "Bersyukur, kehilangan ayah berarti kehilangan satu, ayahmu saja. Kalau ibu yang pergi, kamu kehilangan dua, ibu dan ayahmu sekaligus. Aku sudah merasakannya."

Mittwoch, 6. Juni 2018

Komodifikasi dalam Narasi Doa Anak Yatim

Berhubung sudah memasuki bulan Ramadhan, mari kita membicarakan sesuatu yang relijius-relijius.

Bulan Ramadhan memang identik dengan bulan berlimpah pahala. Dimana, setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apapun, akan diganjar pahala dengan angka konversi yang jauh lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Begitu tumpah ruahnya pahala di bulan ini, sampai-sampai, beredar hadist di masyarakat yang mengatakan bahwa di bulan Ramadhan, sekalipun kamu tidur, pahala akan terus mengalir, karena tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Sayangnya, tidak banyak orang tahu jika hadist yang mereka gunakan untuk menjustifikasi aktivitas tidur berlebihan mereka di bulan puasa itu dhaif.

Usut punya usut, istimewanya bulan Ramadhan ternyata mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, baik perilaku di dunia maya maupun di dunia nyata. Menurut Ariani Dwijayanti, Industry Analyst Google Indonesia, pada Ramadhan 2017, pertumbuhan pencarian aktivitas religi di Google naik hingga 34% (Tribunnews.com, 2018).

Itu baru aktivitas googling-googling di dunia maya. Bagaimana spending habit mereka selama Ramadhan di dunia nyata? Siapa tahu mereka cuma googling tanpa tindak lanjut atau googling untuk kebutuhan eksis edisi Ramadhan di social media. Siapa tahu yakan.

Ternyata, kalau manut dengan data yang dimiliki Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), saat Ramadhan, konsumsi masyarakat Indonesia naik 20 - 30%. Menurut Ibu Netty Heryawan, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat, salah satu alasannya karena banyak orang menyetok kebutuhan untuk buka puasa bersama, santunan anak yatim dan aktivitas kebaikan lainnya (Republika.co.id, 2016). Btw, kenapa lu tiba-tiba mengutip pendapat istrinya Aher deh, Lil? Ya maklum, saya kan mengais data dari Republika. Ehe.

Data-data di atas menunjukkan bahwa tingkat relijiusitas masyarakat Indonesia masih terbilang tinggi. Terlihat dari adanya respon berupa perilaku positif yang signifikan saat datang bulan suci Ramadhan. Anyway, relijiusitas tidak selalu menandakan tingkat keshalihan seseorang ya. Relijius ya relijius, bersifat keagamaan. Kalau keshalihan lebih personal, menyangkut ketaatan antara kita kepada Rabb kita. Sotoy banget gue.

Selain itu, altruisme masyarakat kita juga tinggi, hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya aktivitas 'berbagi' yang muncul selama Ramadhan, misalnya makin banyak orang berdonasi, ngadain acara bukber di panti, sahur on the road, dll. Salah satu aktivitas kebaikan yang juga lumrah dilakukan masyarakat Indonesia adalah sedekah ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa (mon maap saya belum punya data pendukungnya). Sayangnya, dorongan altruisme untuk berbagi tadi tidak dibarengi dengan pemikiran kritis tentang kepada siapa rizki kita disalurkan. Emang dasar orang Indonesia mudah merasa iba, kita pun sangat mudah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas asal-usul dan pertanggungjawabannya, misalnya ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa tak berizin atau bersertifikat yang suka datang ke kantor-kantor atau rumah-rumah.

Sebenarnya, yang ingin saya garisbawahi disini bukan legalitas lembaga tersebut. Saya sendiri kurang paham, apakah ada dalil yang menyebutkan bahwa saat kita berzakat, infaq atau shadaqah, tanggung jawab kita sampai pada memastikan bahwa lembaga pengelola benar-benar terpercaya. Atau, apakah tanggung jawab kita selesai ketika kewajiban untuk menyisihkan sebagian rizki kita tertunaikan, tanpa perlu memastikan bagaimana lembaga penyalur tersebut mengelola dana kita.

Tapi, yang mau saya bahas adalah bagaimana biasanya jurus-jurus marketing dilancarkan oleh Mbak-Mbak peminta donasi. Entah kenapa, yang saya rasa, ketika menawarkan kesempatan untuk berdonasi, Mbak-Mbak tersebut lebih sering membicarakan tentang kemungkinan pahala-pahala yang akan kita dulang dari curahan doa anak panti yang kita bantu. Tapi, mereka sedikit sekali bicara untuk apa uang tersebut akan mereka gunakan, program apa yang akan dijalankan, bagaimana pertanggungjawabannya kepada kita, dan sebagainya.

"Ayo, Mbak, shodaqoh-nya, Mbak, untuk adek-adek yatim di panti. InsyaAllah doa mereka bisa membawa kita masuk sorga."
 

Well, nggak salah juga sih menggunakan jurus 'dahsyatnya doa anak yatim' untuk mengajak lebih banyak orang bersedekah. Kan memang faktanya doa mereka demikian luar biasa. Tapi, kalau terus-menerus narasi itu yang diulang, bisa-bisa disorientasi kita. Saya pernah baca, tapi lupa dimana maapkeun, bahwa zakat, infaq dan shadaqah yang ada di dalam Islam sebenarnya merupakan sebuah skema jaminan sosial bagi umat, agar, masyarakat yang terlahir dalam berbagai kelas ini, melalui zakat, infaq dan shadaqah bisa saling menjamin pemenuhan kebutuhan dasarnya. Semacam, yang kaya ikut menjamin hajat hidupnya si miskin melalui uang yang mereka sisihkan. Dengan begitu, jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin, yang memicu kecemburuan sosial, bisa teratasi. Di sisi lain, martabat si miskin pun terjaga karena mereka tak perlu meminta-minta. Makanya, sayang sekali jika tujuan semulia itu dikerdilkan dengan dominasi narasi tentang keberkahan doa anak yatim. Walaupun, sekali lagi, nggak ada salahnya juga sih mengharap keberkahan.

Lebih jauh, menurut analisis ecek-ecek saya, dominannya penggunaan narasi doa anak yatim yang kerap digunakan lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah untuk menarik masyarakat merupakan gambaran bahwa 'doa anak yatim' telah menjadi komoditas, dengan kata lain mengalami proses komodifikasi. Seingat saya waktu masih kuliah, komodifikasi adalah sebuah proses ketika sesuatu hal yang tidak memiliki kaitan dengan pasar, tidak bernilai jual, menjadi sebuah komoditas atau barang dagangan. Kalau menurut Om Marx, Kapitalisme adalah makhluk yang paling bertanggung jawab atas fenomena komodifikasi ini. Kapitalisme membuat segalanya mungkin diperjualbelikan. Makanya, sesuatu yang awalnya tidak memiliki nilai tukar pun dipaksa untuk memiliki label harga.

Lalu, apa yang salah dari komodifikasi doa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah? Bukankah mengharap keberkahan dari doa yang mereka haturkan adalah sah-sah saja? Bukankah naif jika beribadah tanpa mengharap berkah? Nah, itu dia. Kalau di Islam kan memang kita dianjurkan untuk selalu beribadah dalam takut (khauf) dan harap (rajaa'). Tapi, harap yang gimana dulu nih?

Ketika banyak lembaga zakat, infaq dan shadaqah mengajak untuk berdonasi dengan mengiming-imingi doa anak yatim yang mereka bina, lalu kita memberikan respon dengan berdonasi karena doa tersebut, maka secara tidak langsung kita telah mengaminkan proses ini sebagai sesuatu yang transaksional, 'lu jual gue beli'. Ke depan, mereka akan melihat betapa doa anak yatim binaan mereka ampuh untuk mengajak orang berdonasi. Sehingga, bukan tidak mungkin, akan dibangun narasi-narasi lain tentang si anak yatim yang bisa menarik pasar. Akhirnya, tanpa disadari, ajakan untuk berzakat, infaq dan shadaqah menjadi ajang kontestasi anak yatim mana yang paling makbul doanya, bukan lagi soal program-program mana yang paling efektif untuk pengembangan skill mereka, fasilitas apa yang butuh dibangun untuk pengembangan kapasitas mereka, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, yang terjadi adalah objektifikasi anak yatim, dimana anak yatim menjadi objek, barang atau alat pemenuhan kebutuhan orang lain.

Terus, solusinya apa dongs? Di jaman seperti ini, kita sudah tidak bisa lagi menghindar dari paparan fenomena komodifikasi. Apalagi, komodifikasi yang berhubungan dengan isu agama, mengingat kita tinggal di negara mayoritas muslim yang rasa-rasanya cukup relijius (ingat, relijius tidak selalu berhubungan dengan keshalihan). Apapun yang berbau Islam, berlabel halal dan syariah menjadi industri, dari industri pakaian muslim, bank-bank syariah, acara reliji di televisi, sampai yang selalu membuat saya geli, detergen dengan label halal nan Islami.

Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak dalam praktik komodifikasi, kita harus selalu meluruskan niat pada setiap aktivitas kebaikan yang kita lakukan, semata-mata untuk mengharap ridha Allah, bukan karena tren, ikut-ikutan atau karena harapan mendapatkan balasan duniawi. Selain itu, selalu belajar untuk melihat bigger picture dari setiap hal, khususnya dalam hal beragama. Jangan lupa, agama bukan seperangkat ilmu praktis, yang ilmunya bisa dicomot sana-sini. Setiap ajaran dalam agama punya konteks, maka kita harus memahami konteks tersebut secara utuh agar tidak salah kaprah. Kalau kata Bang Akhyar, "Agama yang dipahami dan dijalani tanpa keutuhan hanya membuat kita melaju ke arah yang keliru".










Tulisan di awal Ramadhan yang baru sempat diselesaikan.
Selamat meresapi Ramadhan yang tinggal sisa-sisa. Semoga, semakin mendekati akhir, kita tidak hanya manis di bibir. Katanya rindu, tapi menyiakan waktu. Bismillah.


Referensi
http://www.tribunnews.com/techno/2018/05/04/lima-produk-paling-dicari-orang-indonesia-selama-ramadan-berdasar-hasil-survei-google
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/06/22/o95s43382-konsumsi-masyarakat-saat-ramadhan-naik-hingga-30-persen

Montag, 25. Juni 2018

(Hampir) 2 Jam Di Pesawat Bersama Emil Dardak [Bukan Tulisan Berbayar]

Kejadian random satu ini berawal dari saya yang super deg-degan di Go-Jek karena harus ngejar flight ke SUB sekitar jam 8 malem, tapi jam 6 sore masih leyeh-leyeh di rumah. Padahal, hari itu adalah hari kerja, artinya kalau saya berangkat ke bandara mepet, saya harus berkompetisi di jalanan dengan manusia-manusia lain yang baru pulang kantor.

Betapa dudulnya saya, waktu itu tuh mikirnya, "Ah, cuma di Halim. Deket." Saya yg dulu sempat jadi anak gaul Kalibata Mall lupa kalau lampu merah Taman Makam Pahlawan Kalibata macetnya nggak ada obat.

Hal lain yang membuat adrenalin saya makin meningkat adalah driver Go-Jek yang nyangkut ke app saya ternyata ibuk-ibuk. Alamak, gimana saya mau minta beliau ngebut ini mah. Tapi ternyata, anggapan saya itu hanya bias gender belaka. Sambil ngobrol intimate ala ala perempuan, doi super ngebut krn khawatir saya ketinggalan pesawat. Makasi banyak, Buk!

Sampe Halim, saya lari-lari, ngos-ngosan, kumus-kumus. Tapi ah, ku tak peduli. Untung saya masih sempet nunggu sekitar 10 menit di boarding room. Anyway, pas berangkat dari rumah, i didnt put on make up at all. Bukan karena nggak sempet, tapi ya emang saya nggak mau aja hahaha. Siapa mau peduli juga sama muka saya di malam hari, lagipula bedak mahal cuy. Hemat lah.

Tiba waktu boarding, saya masuk pesawat. Semuanya terasa biasa saja sampai saya menemukan bahwa bangku saya didudukin bule yang lagi asik baca buku sambil dengerin musik. Tapi, bangku sebelahnya doi kosong. And i thought, that was his seat. Jadi, karena nggak mau ganggu doi, saya duduk di bangku kosong tersebut.

Nggak berapa lama, datanglah lelaki berparas rupawan pake kemeja putih polos dan celana bahan hitam, mengklaim bahwa bangku yang saya dudukin itu adalah bangku dia. Saya pun bingung, saya sampaikan bahwa saya pikir ini bangku si Om Bule sebelah saya. Si lelaki rupawan menunjukkan nomor kursinya dan langsung nanyain nomor kursi si bule.

Jujur, pada detik tersebut, saya udah nggak peduli lagi urusan perbangkuan ini. Ada hal lain yang lebih menarik untuk saya pikirin, ini orang kayak nggak asing ya wajahnya. Seperti wajah mantan saya, tapi, duh, Li, lo nggak punya mantan woy.

Akhirnya, si bule yang awalnya menempati kursi saya pindah ke depan karena ternyata doi salah liat seat number. Sambil masih mikir siapakah gerangan lelaki rupawan ini, saya pun nanya ke si lelaki, dia mau duduk di tengah (di bangku saya) atau di bangkunya di pinggir (yang sudah lebih dulu saya tempati). Dia pun tetep mau di pinggir, di bangkunya. Saya pun bergeser ke tengah.

Kalau di pesawat, saya adalah orang yang sangat disiplin yg sudah pasti memasang setting Flight Mode tanpa harus menunggu peringatan Mba-Mba Pramugari. Tapi oh tapi, ini lelaki rupawan sebelah saya masih buka Youtube. "Oh, mungkin itu offline mode ya Youtube-nya", husnudzan saya begitu. Lha tapi kok, videonya tersendat-sendat macam susah sinyal. Adudu.

Menjelang take off, saya yang biasanya bubuk cantik kalau flight malem (walau saat itu saya bawa buku (yang niatnya) mau dibaca di pesawat sih), menyempatkan diri untuk ngintip-ngintip wajah si lelaki rupawan sebelah saya lewat pantulan bayangan di hp saya. Saya masih penasaran. Fixed, ini orang kayaknya saya kenal. Tapi dimana ya hem.

Entah kenapa, saya lalu teringat baliho Pilkada yang biasa saya lewati setiap kali berkunjung ke Jombang. Ada foto pasangan Cagub-Cawagub Jawa Timur disana. Wah, Emil Dardak kayaknya nih.

Saya berusaha mengingat seperti apa persisnya wajah Emil Dardak. Duh, yang saya ingat, dia ganteng. Tapi gantengnya macam apa, saya kurang paham. Saya sama Bapak di rumah sebenernya sering diskusi tentang beliau dan landscape perpolitikan Jawa Timur, tapi diskusi kami jarang menyoal rupa wajah. Wkwk.

Saya lalu aktifin internet HP, mumpung belum take off. Ehe. Ampun Om Pilot. Saya searching wajah Emil Dardak cepat-cepat. Saya bandingkan dengan sosok yang ada di sebelah saya. Hem, mayan mirip sih. Tapi, saya masih belum yakin.

Saya intip video yang lagi serius banget dia tonton. Di Youtube. Dan pake internet HP. Sesekali buffering pulak. Video yang bikin dia didatengin Mba-Mba Pramugari berkali-kali untuk ngingetin HP yang harus mati. Tapi, dia tetep aja hajar bleh.

Oh, ternyata video debat Pilgub Jatim, ada Khofifah dan Emil Dardak-nya. Bajunya Emil Dardak di video itu mirip dengan apa yang dipake lelaki rupawan sebelah saya.

Aaakk, sebelah saya Emil Dardak nih. Fix fix. Rasanya saya pengen lompat dari bangku. Pengen nengok langsung depan mukanya sambil menjajarkan HP saya yang memuat foto beliau hasil kulik-kulik Google tepat di sebelah wajahnya. Biar shahih aja gitu kalau sebelah saya memang Emil Dardak. Capek kali ngintip-ngintip dari pantulan HP dan mengandalkan kelihaian bola mata terus.

Tapi, ah, sedetik kemudian keyakinan saya pupus. Saya ragu, yakali ah Emil Dardak nggak paham fitur Download Video dan nonton Offline di Youtube. Saya senyum-senyum sendiri. Mayan nih, kalau laki-laki sebelah saya ini beneran Emil Dardak, saya bisa keliatan pinter dikit dengan ngajarin beliau cara hasyiks main Youtube. Tapi eh tapi, seriusan nih Emil Dardak naik pesawat ekonomi? Tanpa pengawal atau ajudan macam orang-orang penting gitu? ihwaw.

Saya mencoba mengumpul-ngumpulkan keyakinan. Emil Dardak juga manusia biasa. Hidupnya sibuk memikirkan kemaslahatan ummat, wajar kalau beliau tak paham fitur Youtube. Jangan kau bandingkan dengan dirimu yang surplus waktu luang, Lil.

Saat saya sudah sepenuhnya yakin bahwa lelaki rupawan yang duduknya tepat sebelah saya adalah Emil Dardak, saya riset dikit-dikit visi misi beliau. Ini masih belum take off, kok. Pesawatnya masih nyentuh tanah. Saya skimming visi misi beliau, berusaha mengingat beberapa keyword. Si pesawat akhirnya benar-benar akan take off. Tap, saya mengaktifkan Flight Mode. Saya tidak sempat mencari bahan obrolan lain.

Ealah, lelaki 'terduga Emil Dardak' sebelah saya ini masih sibuk nonton Youtube wakakak. Pramugari sampai-sampai mendatangi beliau dan benar-benar menunggu di sampingnya hingga beliau mematikan HP-nya. Beliau nggak mengelak dari kesalahannya tersebut dan nurut apa kata Mbak Pramugari. Yes, sekarang beliau tanpa distraksi.

Saya yang tidak mampu menahan senyum mencoba bertanya dengan sopan, "Pak Emil, ya?"

Gesture tubuh beliau dalam menanggapi pertanyaan saya cukup mengesankan saya. Beliau langsung mengubah arah tubuhnya ke arah saya dan menjawab dengan wajah ramah tanpa kesan dibuat-buat, "Iya."

Bahasa tubuh yang sederhana itu cukup memberikan impresi pertama yang positif bagi saya, bahwa beliau adalah pribadi yang terbuka.

Selanjutnya, saya membuka topik dengan membahas visi misi beliau yang akan dibawa dalam pertarungan pilgub mendatang. Jangan bayangkan saya menyebut secara rinci visi misi beliau yang saya baca sebelum take off ya. Saya hanya mengingat keyword, lalu saya kembangkan sendiri sekenanya. Deg-degan takut salah euy.

Dari sana berbagai obrolan mengalir. Kami membahas berbagai hal, dari kebijakan hingga pekerjaan saya. Apa yang beliau rencanakan jika terpilih nanti, target pembangunan, fokus anggaran, dll (ini semi kampanye sih, tapi gapapa, itu hak dia untuk meyakinkan saya bahwa dia adalah kandidat yang tepat). Saya juga sempat menanyakan beberapa pertanyaan filosofis dan mendasar tentang pilihan-pilihan hidup beliau. Sayangnya, saya sudah tidak terlalu ingat detil jawaban beliau. Saya menyesal karena saat sampai kosan tidak langsung menuliskannya. Selama dua jam (kurang dikit sih) kami di pesawat, selama itu pula kami berdiskusi. Tidak ada momen dimana kami kehabisan topik, beliau banyak sharing pengalaman dan gagasan. Yang pasti, saat itu saya belajar banyak. Banyak sekali.

Dari obrolan intensif hampir 2 jam kami selama di udara itu, saya mendapatkan gambaran karakter beliau yang mungkin bisa menjadi pertimbangan teman-teman dalam menentukan Cagub-Cawagub pilihan pada Pilgub serentak 27 Juni besok. Ohya, disclaimer ya, ini murni opini saya. Saya juga tidak terafiliasi dengan pihak mana pun, jadi maaf kalau tulisan ini dinilai menaikkan atau justru menjatuhkan Pak Emil atau pihak lain yang terkait. Saya hanya membagikan apa yang saya rasakan selama bersebelahan dengan beliau (dipengaruhi sedikit dengan opini setelah nonton debat Cagub-Cawagub Jawa Timur deng). Hehe.

Pertama, Emil Dardak adalah benar-benar seorang yang cerdas. Beliau kaya dengan data, jadi kalau ngomong selalu ada dasar datanya. Kemampuan beliau dalam menganalisis dan menarik kesimpulan dari data-data tersebut juga keren. Ini saya rasain waktu ngobrol dengan beliau dan saya lihat di acara debat sih. Setiap beliau memaparkan gagasan, beliau selalu membawa alasan karena datanya begini, maka harus begini, karena kalau begitu, blablabla dan seterusnya.

Beliau punya latar belakang pendidikan yang (seingat saya) berhubungan dengan economic development. Maafkan saya kalau kurang tepat, Pak. Yang jelas, saya melihat bahwa apa yang beliau coba aplikasikan pada setiap kebijakan-kebijakan beliau berakar dari teori yang beliau baca dan pelajari waktu masih sekolah. Saya masih ingat sekali, saat kami mengobrol, beliau beberapa kali bilang, "Menurut X dalam buku....." atau "Kalau kamu tahu dalam teori lalala......." Intinya sih, setiap keputusan yang dia ambil nggak pake pertimbangan commonsense lah. Sedikit banyak beliau (kelihatan) punya ilmunya.

Kedua, beliau sungguh well-experienced di sektor tata kelola kota, pembangunan, ekonomi dan sektor lain yang berhubungan. Beliau sempat bercerita tentang pengalamannya bekerja di World Bank sampai akhirnya mengambil risiko untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Trenggalek. Bahkan, waktu saya bercerita tentang pekerjaan saya yang related dengan sektor community development, beliau dengan cepat langsung menangkap apa yang menjadi tantangan kami di lapangan. Padahal, saya cuma cerita sedikit saja. Tentunya itu bukan karena beliau punya kemampuan cenayang ala ala ya. Tapi, karena pengalaman dia di bidang development sudah luas, jadi ya dia paham betul.

Ketiga, saya senang karena beliau masih muda. Eits, ini bukan berarti 'dia muda maka dia ganteng'  yang bikin saya suka (ala cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. hahaha lucu nggak?). Tapi, menurut saya, idealisme beliau juga merefleksikan jiwa mudanya. Pemikirannya juga segar. Beliau cukup terbuka dengan diskusi dan nggak gampang mutung. Waktu itu sempet saya pancing dengan pertanyaan yang agak sensitif, misalnya pertanyaan tentang alasan dia meninggalkan Trenggalek, padahal masa kepemimpinannya belum selesai, atau pertanyaan tentang kenapa majunya sama Khofifah yang udah berkali-kali mencalonkan diri tapi nggak kepilih-kepilih. Pertanyaan-pertanyaan saya itu beliau jawab tanpa rasa keberatan.

Keempat, beliau sungguh humble, praktis dan dinamis. Percaya nggak, beliau ke bandara naik Go-Jek (Go-Ride lebih spesifiknya) karena takut macet. Tanpa pengawal satu orang pun. Di pesawat juga doi sendirian. Pesawatnya kelas ekonomi pula. Padahal kursi bisnisnya kosong melompong. Bagi beliau, dalam melakukan sesuatu ya pertimbangannya kepraktisan. Bukan semata-mata merakyat atau bahkan pencitraan. Jadi, kalau praktisnya naik motor, ya naik motor aja. Tapi kalau praktisnya naik mobil karena hujan, ya naik mobil. Nggak usah ngotot naik motor biar dianggap merakyat.

Kelima, dan sepertinya menjadi yang terakhir, walaupun Pak Emil Dardak ini menurut saya cukup perfek tipikal kandidat idaman, tapi beliau tetaplah manusia biasa. Ada beberapa sikap beliau yang membuat saya sedikit berkomentar dalam hati, "Hem, gini ya ternyata."

Misalnya, setiap saya mencoba menyampaikan aspirasi saya dan menanyakan berbagai pertanyaan kenapa gini kenapa gitu. Beliau memang tidak mutung, beliau memang tidak tersinggung, tapi beliau langsung meluncurkan jawaban-jawaban untuk meng-counter omongan saya tersebut. Padahal, kalau saya jadi Pak Emil dan kebetulan ketemu rakyat butiran jasjus macam saya, maka saya akan cenderung sedikit bicara dan membuka telinga lebar-lebar. Terlepas dari omongan si rakyat benar atau salah, saya akan coba tampung sebanyak-banyaknya. Bagi saya, kesempatan untuk mendengar perspektif yang berbeda, apalagi dari rakyat biasa macam saya, kan jarang sekali terjadi. Sedangkan, beliau, dengan segala power yang dipunya, apalagi beliau juga sedang mencalonkan diri sebagai Cawagub, beliau punya panggung yang lebih luas dan banyak. Mudah bagi beliau untuk meng-counter atau menjawab argumen apapun. Tapi, nyatanya beliau cukup mendominasi obrolan dan bukan banyak mendengarkan. Entah karena by nature beliau adalah orang yang dominan atau itu hanya kebetulan. Saya kurang paham.

Hal lain, sepanjang obrolan, beliau juga banyak menyebutkan teori-teori atau istilah yang saya kurang paham. Hehe. Entah karena beliau merasa bahwa saya anak muda 'berpendidikan' jadi sudah semestinya paham (kalau iya, berarti saya harus baca lebih banyak buku lagi nih, wawasan saya masih belum mumpuni hiks), atau memang beliau memiliki kecenderungan demikian, membawa sophisticated words ke dalam obrolan dengan orang awam di bidang tersebut. Padahal ya, orang-orang yang well-educated tidak berarti dia menguasai semua bidang lho. Jadi, menurutku sih, toleransi terhadap manusia berbeda bidang itu tetep butuh. Misalnya, kamu yang lulusan S3 Kriminologi belum tentu paham sama istilah-istilahnya anak S1 Planologi. Walaupun, jenjang stratanya lebih tinggi. Atau nama ilmunya mirip pakek logi-logian.

Nah, kurang lebih gitu deh. Mon maap kalau sungguh subjektif, ini kan blog saya, jadi tidak ada tuntutan untuk menyuguhkan tulisan yang netral hahaha. Terlepas dari itu, saya cukup merekomendasikan Khofifah-Emil untuk menjadi pilihan kawan-kawan di hari pencoblosan besok. Pertama, jelas alasannya karena impresi yang saya dapat ketika bersebelahan tempat duduk di pesawat dengan beliau. Walaupun, tidak semua impresinya positif hahahaha. Kedua, saya sempat mengikuti beberapa kali debat Cagub-Cawagub Jawa Timur. Lumayan keliatan sih, Khofifah-Emil memang 'siap memimpin', baik secara data, ide dan gagasan, dibandingkan pasangan lain yang mengandalkan takaran ketidakpastian, seperti "Kalau dari pengalaman saya dulu, blablabla...", atau "Sepertinya ada kurang lebih blablabla...".

Tapi, segalanya tetap kembali lagi kepada kalian wahai kaum yang akan memilih. Kalau kalian memiliki pertimbangan lain, sepenuhnya itu hak kalian. Asal jangan golput aja, kusedih karena harga yang harus dibayar untuk sebuah hak pilih dari seorang warga negara terlalu mahal untuk selembar kertas kosong tanpa lubang coblosan. So, selamat nyoblos! Anyway, saya nggak ikutan nyoblos, karena KTP Jakarta. ehehe.



P.s. we happened to take some good pictures- with my very own barefaced.
Ahya, sawrry, i wouldn't ask for your pardon bcz of my barefaced just like other women did outside.
Cz, ya know, im not that typical woman in the majority haha.


Mittwoch, 20. Juni 2018

Magis

Cinta memang magis. Membicarakannya, ibarat mengecap gula-gula manis yang tak habis-habis. Tapi, jangan lupa, ia pedang bermata dua. Salah-salah, berakhir ceritamu menjadi derita.

Dienstag, 19. Juni 2018

Tentang Menikah

Berada di usia matang seperti saya sekarang, membuat obrolan menjadi semakin monoton. Apapun topik pembukanya, ujungnya pasti soal cinta, jodoh dan nikah. Perubahan status KTP kawan, dari jomblo menjadi 'Kawin', membuat lebih banyak hati menjadi gelisah. Bibir ingin mendesah. Mak, kapan nikah? Aduduh, bosen uwe dengernyah.

Sebenarnya, tak apa merasa deg-degan, tapi jangan sampai khawatir tidak kebagian. InsyaAllah, jodoh, rizki dan mati sudah tertulis takdirnya. Tidak akan tertukar, apalagi kehabisan.

Membicarakan gebetan banyak-banyak tidak lantas membuatmu cepat menikah, yang ada justru kamu jatuh semakin dalam pada kubangan dosa. Begitu pula dengan cinta, menumbuhkannya pada orang yang belum tentu menjadi jodohmu, pada masa yang belum waktunya, tidak membawa manfaat barang sebulir, yang ada justru mubazir. Karena kamu harus membagi-bagi cintamu kepada orang yang tidak berhak, cinta yang seharusnya bisa kamu berikan utuh tanpa cela pada kekasihmu sesungguhnya, yang halal di hadapan-Nya.

Karena, kalau kata Kurniawan Gunadi, mencintai bukan hanya soal waktu, keberanian dan kesempatan. Namun, soal keimanan dan ketaqwaan. Bagi saya, menikah adalah sarana mengakselerasi diri untuk menjadi lebih baik lagi. Menikah adalah wadah melipatganda ibadah. Menikah berarti mewujudkan mimpi-mimpi tentang pengabdian yang lama tertahan. Dan yang tidak kalah penting, menikah adalah melahirkan generasi penerus perjuangan-perjuangan yang belum selesai. Sehingga, modalnya tak cukup hanya cinta, ada ilmunya, ada landasannya.

Makanya, menikah bukan muara, ia hanya gapura. Menuju kesana, tidak boleh tergesa, apalagi dengan persiapan seadanya. Ingat, kita sedang mengejar ridho-Nya.


Sonntag, 17. Juni 2018

Kehilangan Dua

Suatu hari, ayah seorang teman tutup usia. Sebagai penghormatan, saya berkunjung ke rumahnya. Ia sedang bersandar di sudut jendela. Dengan wajah yang biasa-biasa saja. Tapi, sebagai teman lama yang dulu bermain boneka bersama, saya tahu ia menahan duka. Saya bisikkan padanya, "Bersyukur, kehilangan ayah berarti kehilangan satu, ayahmu saja. Kalau ibu yang pergi, kamu kehilangan dua, ibu dan ayahmu sekaligus. Aku sudah merasakannya."

Mittwoch, 6. Juni 2018

Komodifikasi dalam Narasi Doa Anak Yatim

Berhubung sudah memasuki bulan Ramadhan, mari kita membicarakan sesuatu yang relijius-relijius.

Bulan Ramadhan memang identik dengan bulan berlimpah pahala. Dimana, setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apapun, akan diganjar pahala dengan angka konversi yang jauh lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Begitu tumpah ruahnya pahala di bulan ini, sampai-sampai, beredar hadist di masyarakat yang mengatakan bahwa di bulan Ramadhan, sekalipun kamu tidur, pahala akan terus mengalir, karena tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Sayangnya, tidak banyak orang tahu jika hadist yang mereka gunakan untuk menjustifikasi aktivitas tidur berlebihan mereka di bulan puasa itu dhaif.

Usut punya usut, istimewanya bulan Ramadhan ternyata mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, baik perilaku di dunia maya maupun di dunia nyata. Menurut Ariani Dwijayanti, Industry Analyst Google Indonesia, pada Ramadhan 2017, pertumbuhan pencarian aktivitas religi di Google naik hingga 34% (Tribunnews.com, 2018).

Itu baru aktivitas googling-googling di dunia maya. Bagaimana spending habit mereka selama Ramadhan di dunia nyata? Siapa tahu mereka cuma googling tanpa tindak lanjut atau googling untuk kebutuhan eksis edisi Ramadhan di social media. Siapa tahu yakan.

Ternyata, kalau manut dengan data yang dimiliki Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), saat Ramadhan, konsumsi masyarakat Indonesia naik 20 - 30%. Menurut Ibu Netty Heryawan, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat, salah satu alasannya karena banyak orang menyetok kebutuhan untuk buka puasa bersama, santunan anak yatim dan aktivitas kebaikan lainnya (Republika.co.id, 2016). Btw, kenapa lu tiba-tiba mengutip pendapat istrinya Aher deh, Lil? Ya maklum, saya kan mengais data dari Republika. Ehe.

Data-data di atas menunjukkan bahwa tingkat relijiusitas masyarakat Indonesia masih terbilang tinggi. Terlihat dari adanya respon berupa perilaku positif yang signifikan saat datang bulan suci Ramadhan. Anyway, relijiusitas tidak selalu menandakan tingkat keshalihan seseorang ya. Relijius ya relijius, bersifat keagamaan. Kalau keshalihan lebih personal, menyangkut ketaatan antara kita kepada Rabb kita. Sotoy banget gue.

Selain itu, altruisme masyarakat kita juga tinggi, hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya aktivitas 'berbagi' yang muncul selama Ramadhan, misalnya makin banyak orang berdonasi, ngadain acara bukber di panti, sahur on the road, dll. Salah satu aktivitas kebaikan yang juga lumrah dilakukan masyarakat Indonesia adalah sedekah ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa (mon maap saya belum punya data pendukungnya). Sayangnya, dorongan altruisme untuk berbagi tadi tidak dibarengi dengan pemikiran kritis tentang kepada siapa rizki kita disalurkan. Emang dasar orang Indonesia mudah merasa iba, kita pun sangat mudah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas asal-usul dan pertanggungjawabannya, misalnya ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa tak berizin atau bersertifikat yang suka datang ke kantor-kantor atau rumah-rumah.

Sebenarnya, yang ingin saya garisbawahi disini bukan legalitas lembaga tersebut. Saya sendiri kurang paham, apakah ada dalil yang menyebutkan bahwa saat kita berzakat, infaq atau shadaqah, tanggung jawab kita sampai pada memastikan bahwa lembaga pengelola benar-benar terpercaya. Atau, apakah tanggung jawab kita selesai ketika kewajiban untuk menyisihkan sebagian rizki kita tertunaikan, tanpa perlu memastikan bagaimana lembaga penyalur tersebut mengelola dana kita.

Tapi, yang mau saya bahas adalah bagaimana biasanya jurus-jurus marketing dilancarkan oleh Mbak-Mbak peminta donasi. Entah kenapa, yang saya rasa, ketika menawarkan kesempatan untuk berdonasi, Mbak-Mbak tersebut lebih sering membicarakan tentang kemungkinan pahala-pahala yang akan kita dulang dari curahan doa anak panti yang kita bantu. Tapi, mereka sedikit sekali bicara untuk apa uang tersebut akan mereka gunakan, program apa yang akan dijalankan, bagaimana pertanggungjawabannya kepada kita, dan sebagainya.

"Ayo, Mbak, shodaqoh-nya, Mbak, untuk adek-adek yatim di panti. InsyaAllah doa mereka bisa membawa kita masuk sorga."
 

Well, nggak salah juga sih menggunakan jurus 'dahsyatnya doa anak yatim' untuk mengajak lebih banyak orang bersedekah. Kan memang faktanya doa mereka demikian luar biasa. Tapi, kalau terus-menerus narasi itu yang diulang, bisa-bisa disorientasi kita. Saya pernah baca, tapi lupa dimana maapkeun, bahwa zakat, infaq dan shadaqah yang ada di dalam Islam sebenarnya merupakan sebuah skema jaminan sosial bagi umat, agar, masyarakat yang terlahir dalam berbagai kelas ini, melalui zakat, infaq dan shadaqah bisa saling menjamin pemenuhan kebutuhan dasarnya. Semacam, yang kaya ikut menjamin hajat hidupnya si miskin melalui uang yang mereka sisihkan. Dengan begitu, jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin, yang memicu kecemburuan sosial, bisa teratasi. Di sisi lain, martabat si miskin pun terjaga karena mereka tak perlu meminta-minta. Makanya, sayang sekali jika tujuan semulia itu dikerdilkan dengan dominasi narasi tentang keberkahan doa anak yatim. Walaupun, sekali lagi, nggak ada salahnya juga sih mengharap keberkahan.

Lebih jauh, menurut analisis ecek-ecek saya, dominannya penggunaan narasi doa anak yatim yang kerap digunakan lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah untuk menarik masyarakat merupakan gambaran bahwa 'doa anak yatim' telah menjadi komoditas, dengan kata lain mengalami proses komodifikasi. Seingat saya waktu masih kuliah, komodifikasi adalah sebuah proses ketika sesuatu hal yang tidak memiliki kaitan dengan pasar, tidak bernilai jual, menjadi sebuah komoditas atau barang dagangan. Kalau menurut Om Marx, Kapitalisme adalah makhluk yang paling bertanggung jawab atas fenomena komodifikasi ini. Kapitalisme membuat segalanya mungkin diperjualbelikan. Makanya, sesuatu yang awalnya tidak memiliki nilai tukar pun dipaksa untuk memiliki label harga.

Lalu, apa yang salah dari komodifikasi doa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah? Bukankah mengharap keberkahan dari doa yang mereka haturkan adalah sah-sah saja? Bukankah naif jika beribadah tanpa mengharap berkah? Nah, itu dia. Kalau di Islam kan memang kita dianjurkan untuk selalu beribadah dalam takut (khauf) dan harap (rajaa'). Tapi, harap yang gimana dulu nih?

Ketika banyak lembaga zakat, infaq dan shadaqah mengajak untuk berdonasi dengan mengiming-imingi doa anak yatim yang mereka bina, lalu kita memberikan respon dengan berdonasi karena doa tersebut, maka secara tidak langsung kita telah mengaminkan proses ini sebagai sesuatu yang transaksional, 'lu jual gue beli'. Ke depan, mereka akan melihat betapa doa anak yatim binaan mereka ampuh untuk mengajak orang berdonasi. Sehingga, bukan tidak mungkin, akan dibangun narasi-narasi lain tentang si anak yatim yang bisa menarik pasar. Akhirnya, tanpa disadari, ajakan untuk berzakat, infaq dan shadaqah menjadi ajang kontestasi anak yatim mana yang paling makbul doanya, bukan lagi soal program-program mana yang paling efektif untuk pengembangan skill mereka, fasilitas apa yang butuh dibangun untuk pengembangan kapasitas mereka, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, yang terjadi adalah objektifikasi anak yatim, dimana anak yatim menjadi objek, barang atau alat pemenuhan kebutuhan orang lain.

Terus, solusinya apa dongs? Di jaman seperti ini, kita sudah tidak bisa lagi menghindar dari paparan fenomena komodifikasi. Apalagi, komodifikasi yang berhubungan dengan isu agama, mengingat kita tinggal di negara mayoritas muslim yang rasa-rasanya cukup relijius (ingat, relijius tidak selalu berhubungan dengan keshalihan). Apapun yang berbau Islam, berlabel halal dan syariah menjadi industri, dari industri pakaian muslim, bank-bank syariah, acara reliji di televisi, sampai yang selalu membuat saya geli, detergen dengan label halal nan Islami.

Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak dalam praktik komodifikasi, kita harus selalu meluruskan niat pada setiap aktivitas kebaikan yang kita lakukan, semata-mata untuk mengharap ridha Allah, bukan karena tren, ikut-ikutan atau karena harapan mendapatkan balasan duniawi. Selain itu, selalu belajar untuk melihat bigger picture dari setiap hal, khususnya dalam hal beragama. Jangan lupa, agama bukan seperangkat ilmu praktis, yang ilmunya bisa dicomot sana-sini. Setiap ajaran dalam agama punya konteks, maka kita harus memahami konteks tersebut secara utuh agar tidak salah kaprah. Kalau kata Bang Akhyar, "Agama yang dipahami dan dijalani tanpa keutuhan hanya membuat kita melaju ke arah yang keliru".










Tulisan di awal Ramadhan yang baru sempat diselesaikan.
Selamat meresapi Ramadhan yang tinggal sisa-sisa. Semoga, semakin mendekati akhir, kita tidak hanya manis di bibir. Katanya rindu, tapi menyiakan waktu. Bismillah.


Referensi
http://www.tribunnews.com/techno/2018/05/04/lima-produk-paling-dicari-orang-indonesia-selama-ramadan-berdasar-hasil-survei-google
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/06/22/o95s43382-konsumsi-masyarakat-saat-ramadhan-naik-hingga-30-persen

Popular posts