Montag, 30. April 2018

Things I Don't Tell People about My IELTS Journey [Bagian Pertama]

Tanggal 20 Januari 2018 lalu, saya baru saja mengikuti tes IELTS di IALF Surabaya. Sekitar dua minggu kemudian, kalau nggak salah sih awal Februari, hasil tesnya keluar. Alhamdulillah, skornya sungguh ajaib dan di luar perkiraan saya. Allah memang super baik lah.

Saya sempat bercerita ke beberapa teman, dosen, mentor, dll soal hasil tes ini. Tujuannya bukan untuk memamerkan hasil, perihal minta doa untuk sebuah hajat dan laporan atas hasil yang didapat memang sudah jadi hobi saya. Bukan cuma ke orang tua, tetapi juga ke adek saya sendiri, pembimbing akademik jaman kuliah, mentor, senior, adek kelas, teman kantor atau bahkan orang yang baru saya kenal macam babang-babang Go-Jek, tukang nasi goreng, ibu kosan, dll. Hem, karena saya selalu percaya, kita nggak akan pernah tahu, doa apa yang terucap dari mulut siapa yang akan dikabulkan sama Allah.

Bisa jadi, saya udah banyak-banyak doa sama Allah, tapi dosa-dosa saya yang nggak kalah banyak menghalangi terkabulnya doa tersebut. Sebaliknya, babang Go-Jek yang hatinya tulus bantu penumpang, bisa jadi doanya akan langsung diijabah sama Allah. Bisa jadi.

Balik lagi ke hasil tes, karena kebanyakan teman saya juga sedang dalam ikhtiar untuk S2, makanya saat saya cerita ke mereka, banyak yang balik tanya tips mempersiapkan IELTS. Kalau muncul pertanyaan begitu, jujur saya bingung jawabnya. Saya intensif mempersiapkan IELTS dalam waktu kurang dari sebulan. Itu pun bener-bener serius belajarnya cuma dua minggu awal, karena menjelang tes, saya demam, mules dan udah nggak konsen.

Tapi, saya nggak pengen, karena cerita saya itu, orang lain jadi berpikir bahwa boleh-boleh aja prepare IELTS dalam waktu sebulan. Kecuali kita memang udah jago bahasa Inggris banget sih. Tapi, tetep deh, sejago-jagonya kita, IELTS itu bukan semata-mata ngetes bahasa Inggris aja. IELTS tuh ngetes ketangkasan terhadap waktu, ketelitian, skill berbahasa, dll. Pertaruhannya pun uang registrasi yang bisa dipake buat beli smartphone high end. Jadi, sejago apa pun, mending persiapan lebih matang sih, jangan cuma sebulan menjelang tes.

Lah, itu lo sendiri prepare-nya kurang dari satu bulan? Ngerasa jago luuuuuu?

Itu dia! Ada banyak hal yang sulit saya jelaskan setiap kali ada orang nanya gimana saya mempersiapkan IELTS. Karena ceritanya panjang dan kadang waktu ngobrolnya sedikit. Jadi, nggak sempet nyeritain. Ehe. Atau saya nya yang nggak bisa ngeringkas cerita ya wkwk (maklum ekstrovert, selalu ngerasa banyak yang harus diceritain). Makanya, untuk membayar kekhawatiran tersebut, saya coba menggambarkan perjalanan saya mempersiapkan IELTS sejak awal sekali disini.

Oh ya, brace yourself, nanti kontennya akan lebih banyak memuat curhat-curhat receh saya. Karena saya sekaligus mau mengabadikan momen perjuangan jaman baheula. So, if you're looking for practical tips for your IELTS test or simple ways to boost your IELTS score, too bad, you've landed to the wrong blog :(

Oke, mari kita mulai. Perjalanan saya mempersiapkan IELTS sudah dimulai sejak tahun 2015. Sedangkan, saya baru ngambil tes di awal 2018. Lama banget kan?! Jadi, saat itu, saya lulus kuliah dan bekerja di ChapterW.org (dulu namanya Nusantara Development Initiatives/ NDI). Saya ditugaskan di Sumba, NTT, sebelum pulau itu terkenal kayak sekarang.

Sebelum berangkat, saya ingat sekali, salah satu persiapan saya adalah pergi ke Barel (anak UI pasti paham, Barel itu singkatan dari Belakang Rel, semacam gang sempit yang banyak tukang fotokopi murah). Di sana, saya print beberapa ebook IELTS Cambridge di tukang fotokopi langganan jaman skripsian. Baru masuk kerja kenapa udah mikir tes IELTS? karena saat itu saya ingin S2 secepat-cepatnya. Paling nggak setahun setelah kerja lah. Padahal, itu cara berpikir yang salah gengs. Kapan-kapan ya, saya bahas soal ini.

Kalau nggak salah, ebook IELTS yang saya print waktu itu jilid 9, jilid 8, jilid 6 dan jilid 1. Saya lupa, beneran jilid-jilid itu atau nggak, yang pasti saya print 4 buku. Saya bawa 4 buku tersebut selama tugas pindah-pindah desa di Sumba. Harapannya, biar bisa ngisi waktu luang dengan belajar IELTS.

Terus, beneran dibaca nggak tuh? Nggak lah! Hahahaha. Saat itu saya baru ngerasain, kerja di lapangan sungguh sangat melelahkan. Selain karena medan desa yang menguras energi dan adrenalin, di sana juga nggak ada listrik. Jadi, energi yang habis di siang hari ditambah cahaya yang cuma remang-remang saat malam semakin jadi justifikasi buat saya untuk menunda-nunda belajar. Duh, kebayang nggak sih anak-anak asli sana yang harus belajar malem-malem? Sedih deh.

Ohya, meskipun begitu, setiap weekend, saya masih bisa ngerjain 5-4 soal, tapi nggak konsisten sih. Karena, walaupun waktu luang saat weekend lebih banyak, saya lebih tertarik nobar Master Chef di laptop temen daripada belajar IELTS wkwk.

Terlepas dari itu, walaupun saya nggak berhasil menyelesaikan satu buku pun selama satu tahun bekerja di NDI, setidaknya, karena saya udah bolak-balik bawa buku-buku tersebut kemana-mana, saya jadi cukup familiar dengan vocab-vocab yang ada di dalamnya. Nah, tips pertama nih, mungkin kamu bisa coba bawa buku IELTS kemana-mana walau nggak yakin bakal dibaca haha.

Ahya, since bos saya di NDI adalah orang Singapura, kami kalau ngomong ke Pak Bos full English, dan itu cukup intensif. Teman-teman satu tim saya (saat itu kami berlima cewek semua) juga kebanyakan punya pengalaman satu-dua tahun hidup di luar negeri. Terutama Kak Ay, teman berantem saya yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di India. Dari mereka, saya membiasakan diri ngomong daily English, walaupun saat itu English saya sungguh kacau. Tapi mayanlah, dari bahasa formal, slang, sampe swearing dengan uncommon words saya pelajari dari mereka. Hahaha

Waktu itu juga ada tim NDI yang sedang menanti keberangkatan master degree-nya di Univ of Glasgow intake tahun 2016, namanya Kak Cutin. Seneng banget jadi bisa tanya-tanya banyak soal S2 dan persiapannya ke doi. Termasuk soal IELTS, dia orang yang menginspirasi saya untuk mempersiapkan IELTS secara mandiri tanpa bergantung sama les-lesan yang harganya nggak masuk akal. Nah, tips kedua nih, ketika kamu memutuskan akan tes IELTS, praktekin tuh English-nya di aktivitas sehari-hari. Cari lingkungan yang kondusif untuk kamu praktek.

Lanjut, akhir 2016, saya pindah kerja ke Water.org, yang kemudian menugaskan saya untuk mendampingi microfinance partner di Jawa Timur. Dari timur Nusa Tenggara ke timur Jawa, akankah ini pertanda jodoh saya orang timur? Yak, mulai halu.......

Pertama kali tugas di Jawa Timur, saya penempatan di Madiun. Saya belum lupa dengan mimpi saya untuk S2 di luar negeri. Makanya, print-an ebook IELTS yang wujudnya sudah tak layak itu, padahal belum saya pelajari itu, tetap saya bawa berkelana. Kampus impian dan target skor IELTS saya tulis besar-besar di kertas dan saya tempel di dinding kosan searah kiblat. Biar nggak lupa masuk list doa setiap selesai sholat.

Seiring dengan pengalaman bekerja dan insight dari senior, target berangkat S2 saya bergeser menjadi setelah 2 - 3 tahun bekerja. Namun, tetap saja, waktu persiapan saya semakin sempit. Sementara, saya tidak semakin yakin untuk mengambil tes IELTS. Yaiyalah, belajarnya kan nggak konsisten. Saya pun terpikir untuk mengikuti les persiapan IELTS. Dari pada uangnya habis untuk mengikuti tes IELTS berkali-kali, lebih baik habis untuk persiapan tes saja. Mahal tak apa, yang penting melenggang menuju tes dengan penuh keyakinan, pikir saya waktu itu. Haiyah, berasa bimbel SNMPTN.

Sayangnya, Madiun kan kota kecil. Nggak ada kursus macam itu di sana (tapi Inul Vizta ada lho). Sampai suatu hari, seorang senior yang cukup saya kenal baik di kampus merekomendasikan kursus persiapan IELTS online, sebut saja Kursus X. Sepertinya sih beliau itu bagian dari tim marketing-nya. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, saya pun daftar kursus online tersebut.

Biaya yang harus saya bayarkan Rp 800.000.00 untuk satu paket program. Kalau tidak salah, Rp 600.000,00 itu untuk biaya kursusnya, sedangkan Rp 200.000,00 sisanya sebagai uang jaminan yang akan dikembalikan jika saya mengikuti seluruh prediction test di setiap sesi. Saya lupa-lupa ingat, satu paket program berjalan selama berapa sesi, kalau tidak salah sih 5 sesi ya. Jadi, kalau saya tidak mengerjakan sekali prediction test, uang jaminan saya akan dipotong Rp 40.000,00. Kalau tidak salah begitu. Semoga benar.

Kursus tersebut dimulai pada pertengahan Februari 2017. Setiap sesi diadakan seminggu sekali selama lima sesi. Sistemnya, kita akan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp yang isinya mentor kita, si senior yang menawari program ini dan peserta belajar lain yang kebetulan jumlahnya 8 orang. Di grup tersebut, kita akan berdiskusi membahas soal prediction test atau phone call dengan si mentor. Mentor saya adalah alumni S2 kampus luar negeri yang S1-nya di sebuah institut teknologi ternama di Bandung, skor IELTS-nya 7.0 (kalau tidak salah), sudah menikah dan memiliki anak kecil perempuan, bahasa kekiniannya papah muda kali ya. Duh, ngapain lo jelasin sedetil itu, Li? Karena ternyata, itu mempengaruhi performance dia dalam mengajar kami :(

Seingat saya, jadwal belajar itu sesuai dengan kesepakatan kita, mau hari apa dan jam berapa. Nah, karena saya merasa bayar, jadi dong saya nggak mau rugi, berusaha untuk selalu online tepat waktu dan siap dengan berbagai pertanyaan diskusi. Tapi oh tapi, si papah muda ini suka terlambat join diskusi atau bahkan izin untuk nggak join hari itu. Lah pegimane, Bang?! Alasannya beliau ini beragam, karena mengantar istrinya, anaknya tidak ada yang menjaga, dll. Feedback yang dia berikan terhadap hasil latihan kita juga super lambat. Semacam, dia itu udah sibuk bekerja, sibuk jadi papah muda dan masih memaksakan diri jadi mentor program tersebut. Entah karena dipaksa atau kemauan dia sendiri tuh.

Alhasil, saya jadi males join diskusi wkwk. Prediction test (yang sesungguhnya itu diambil dari soal-soal IELTS Cambridge) jadinya jarang saya kerjakan (excuse wk). Padahal kan saya orangnya pantang merugi, tapi jadi semales itu dan nggak peduli dengan uang jaminan hahahaha. Satu-satunya hal yang paling menghibur dari si mentor adalah suaranya yang sungguh menenangkan untuk didengar.

Jadilah semenjak itu, saya nggak pernah lagi percaya dengan kursus-kursus online IELTS. Saya pun tidak merekomendasikan teman-teman saya untuk belajar dari kursus-kursus online macam itu. Percayalah, itu sama saja dengan kita belajar sendiri, justru kalau kita disiplin, lebih efektif belajar sendiri. Bisa hemat uang juga. Kecuali kalau lesnya gratis yass.

Oh ya, disclaimer biar saya nggak diamuk pelaku industri serupa, cerita saya barusan adalah testimoni real berdasarkan pengalaman saya mengikuti SALAH SATU online course IELTS prep ya. Tidak berlaku untuk semua kursus online. Saya juga tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak mana pun. Kalau kalian merasa produk les-lesan IELTS kalian nggak begitu, silakan istiqomah dengan jalan kalian. Pun bagi kalian yang merasa ikut kursus IELTS online justru sangat membantu, silakan membuat tulisan opini di blog kalian sendiri, Ehe.


-Bersambung. Bisa cek di postingan selanjutnya yaa :)

Perempuan yang Main ke Kosan

Akhir pekan lalu, seorang teman perempuan yang baru saya kenal setelah kepindahan saya ke daerah penempatan baru, main ke kosan. Dia datang dua hari berturut-turut, di Sabtu sore dan Minggu siang. Dan di dua hari itu pula, saya cukup syok dibuatnya.

Entah hal apa yang membuat dia begitu percaya pada saya, sampai-sampai dia membuka sebagian besar kisah romansanya pada saya--yang terlarang sekalipun. Duh, gimana ya, saya memang tumbuh di kota metropolitan Jakarta yang terkenal sangat-sangat 'liar'. Tapi, saya sangat-sangat lugu soal cinta. Pacaran pun saya tak pernah. Eh tapi, pernah sih dulu waktu SMP. Jadi, saya punya teman dekat laki-laki. Suatu hari, dia bilang suka kepada saya di koridor depan kelas. Dia menanyakan, apa saya mau jadi pacarnya, lalu saya mengangguk malu. Itu artinya kami sudah jadian ya? Tapi, anehnya, justru setelah hari itu, kita tidak pernah menghabiskan waktu bersama lagi. Hubungan kami malah semakin renggang. Sampai suatu hari, dia mengajak saya untuk mengakhiri hubungan tersebut. Well, mungkin itu cara Allah menyelamatkan saya ya.

Lebih dari itu, selama SMA, kuliah dan bekerja seperti saat ini, saya tidak pernah benar-benar menjalin hubungan serius dengan laki-laki. Urusan project, pekerjaan atau organisasi membuat saya sempat dekat dengan beberapa teman laki-laki. Tapi, setiap saya merasa ada sesuatu yang berbeda di antara kita, asiks, entah dia yang mulai memberikan perhatian lebih atau saya yang mulai berdebar di dekatnya, pasti saya memilih untuk menghindar dari hubungan tersebut. Saya masih meyakini bahwa pacaran melanggar SOP hubungan antar lawan jenis yang bukan mahram. Hehe. Jadi, sebisa mungkin, saya menahan diri untuk itu, demi izzah dan iffah saya sebagai seorang perempuan.

Eh tapi, bukan berarti saya melabel 'salah' semua orang yang berpacaran ya. Saya masih minim ilmu, mungkin teman-teman yang berpacaran punya interpretasi sendiri tentang hubungan semacam itu, Wallahu a'lam. Saya tidak ingin membawa tulisan ini ke perdebatan tersebut.

Mari kembali lagi ke perempuan yang main ke kosan. Dia masih sangat muda, satu tahun di bawah adik saya yang saat ini berumur 20 tahun. Tumbuh di kota kecil dari keluarga sederhana. Tapi, berdasarkan cerita pengalaman pacarannya, saya merasa gaya berpacarannya sudah terlampau dewasa. Fantasi seksualnya juga sedikit tidak wajar untuk ukuran anak seusianya. Saya jadi takut sendiri, apa memang demikian potret anak muda jaman sekarang? Apa kabar adik saya ya? :(

Itu baru cerita di hari Sabtu. Pada hari Minggu, saat dia kembali main ke kosan saya, dia membawa cerita yang semakin membuat saya gelisah sendiri. Walaupun, saat itu, saya sebisa mungkin untuk memasang wajah tidak terkejut, biasa saja. Dia bilang, dia pernah dekat dengan seorang pria beristri. Dia sodorkan kepada saya berbagai screenshot chat mereka. Sejujurnya, perkara ini saya sudah tahu sejak lama. Berita tentang dia dan si pria beristri sudah menjadi rahasia umum. Dia melanjutkan dengan menceritakan sejauh apa hubungan mereka. Nah, yang ini saya belum pernah dengar. Saya pun kaget dibuatnya, walaupun ekspresi yang saya tampilkan tetap ekspresi datar. Menurut pengakuan si perempuan yang main ke kosan, ia dan pria beristri sudah sering pergi bersama, menyepi berdua atau bahkan ke kamar hotel yang mereka sewa.

Saya mual. Saya tidak paham apakah yang barusan itu pengakuan jujur atau hiperbolis bercampur fantasi remaja tanggung yang hanya hampir berkepala dua. Saya tidak mampu membendung naluri judgmental saya untuk membandingkan perilaku si pria beristri dengan wajahnya yang polos (bahkan cenderung kekanakkan karena usianya yang memang hanya satu tahun di atas saya), shalatnya yang rajin (mayanlah, kalau denger adzan, doi langsung sholat), serta sikapnya yang pendiam, tak banyak bicara, tak banyak flirting seperti kebanyakan lelaki genit pada umumnya.

Saat ini, si perempuan yang main ke kosan mengaku jika hubungannya dengan pria beristri itu sudah merenggang. Hal tersebut dikarenakan beberapa chat dari pria beristri yang menyinggung perasaannya. Misalnya, ketika pria beristri sejak dirinya bukan apa-apa. Sedangkan, si perempuan yang main ke kosan baru mengenal si pria beristri ketika ia sudah ada di posisi sekarang.

Sialan, saya ikut mengumpat. Kenapa dia menghubungkan skandal tersebut dengan jabatannya? Seolah tidak akan pernah ada cinta utuh dan murni yang diberikan perempuan kepada seorang laki-laki. Seolah semua cinta perempuan transaksional. Cinta tidak sedangkal itu, Bung!

Di waktu yang lain, perkataan si suami beristri tidak kalah membuat nyeri hati. Ia mengajak si perempuan yang main ke kosan untuk tidur bersama, dengan sebelumnya memberikan disclaimer: "Tapi, kalau terjadi apa-apa, kamu tidak bisa menuntut apa-apa ke saya ya!" Cuy, lo belum pernah ke toko pecah belah kali ya? Pecah berarti membeli, woy! Lu pegang barang dagangan, dan itu pecah aja lu disuruh tanggung jawab bayar, apalagi ini lo buka segel anak orang.

Yang lucu, komentar perempuan yang main ke kosan ini tidak kalah membuat hati teriris. Dia bilang, dia sakit hati dengan perkataan pria beristri itu. "Masa dia nggak mau tanggung jawab coba, Mba! Kan kurang ajar, nggak terima aku." Saya mencoba mencerna, lalu mengklarifikasi, "Bentar-bentar, jadi kamu nggak terimanya karena apa nih? Karena dia ngajakin kamu tidur atau karena dia nggak mau tanggung jawab?" Dengan santainya, si perempuan yang main ke kosan jawab, "Yaa, karena dia nggak mau tanggung jawab lah. Emang aku cewek apaan............"

Dia meneruskan ceracaunya. Dan saya tertawa miris. Kamu sakit hati untuk hal yang salah, dek. Bahkan untuk menyentuhmu saja, sungguh dia tidak berhak, apalagi menidurimu. Perkataan pria beristri itu, sebetulnya tidak perlu diucapkan. Atau justru tidak pantas keluar dari mulutnya.

Menjelang kepulangannya, perempuan yang main ke kosan menanyakan pendapat saya. Apakah perbuatan mereka itu salah, siapa yang patut dipersalahkan, apakah sebaiknya ia menghentikan itu semua, dan berbagai pertanyaan lainnya.

Saya tersenyum tipis. Ringan, saya menjawab, "Kamu sendiri yang paling tahu jawabannya."



Bojonegoro, 30 April 2018

Montag, 30. April 2018

Things I Don't Tell People about My IELTS Journey [Bagian Pertama]

Tanggal 20 Januari 2018 lalu, saya baru saja mengikuti tes IELTS di IALF Surabaya. Sekitar dua minggu kemudian, kalau nggak salah sih awal Februari, hasil tesnya keluar. Alhamdulillah, skornya sungguh ajaib dan di luar perkiraan saya. Allah memang super baik lah.

Saya sempat bercerita ke beberapa teman, dosen, mentor, dll soal hasil tes ini. Tujuannya bukan untuk memamerkan hasil, perihal minta doa untuk sebuah hajat dan laporan atas hasil yang didapat memang sudah jadi hobi saya. Bukan cuma ke orang tua, tetapi juga ke adek saya sendiri, pembimbing akademik jaman kuliah, mentor, senior, adek kelas, teman kantor atau bahkan orang yang baru saya kenal macam babang-babang Go-Jek, tukang nasi goreng, ibu kosan, dll. Hem, karena saya selalu percaya, kita nggak akan pernah tahu, doa apa yang terucap dari mulut siapa yang akan dikabulkan sama Allah.

Bisa jadi, saya udah banyak-banyak doa sama Allah, tapi dosa-dosa saya yang nggak kalah banyak menghalangi terkabulnya doa tersebut. Sebaliknya, babang Go-Jek yang hatinya tulus bantu penumpang, bisa jadi doanya akan langsung diijabah sama Allah. Bisa jadi.

Balik lagi ke hasil tes, karena kebanyakan teman saya juga sedang dalam ikhtiar untuk S2, makanya saat saya cerita ke mereka, banyak yang balik tanya tips mempersiapkan IELTS. Kalau muncul pertanyaan begitu, jujur saya bingung jawabnya. Saya intensif mempersiapkan IELTS dalam waktu kurang dari sebulan. Itu pun bener-bener serius belajarnya cuma dua minggu awal, karena menjelang tes, saya demam, mules dan udah nggak konsen.

Tapi, saya nggak pengen, karena cerita saya itu, orang lain jadi berpikir bahwa boleh-boleh aja prepare IELTS dalam waktu sebulan. Kecuali kita memang udah jago bahasa Inggris banget sih. Tapi, tetep deh, sejago-jagonya kita, IELTS itu bukan semata-mata ngetes bahasa Inggris aja. IELTS tuh ngetes ketangkasan terhadap waktu, ketelitian, skill berbahasa, dll. Pertaruhannya pun uang registrasi yang bisa dipake buat beli smartphone high end. Jadi, sejago apa pun, mending persiapan lebih matang sih, jangan cuma sebulan menjelang tes.

Lah, itu lo sendiri prepare-nya kurang dari satu bulan? Ngerasa jago luuuuuu?

Itu dia! Ada banyak hal yang sulit saya jelaskan setiap kali ada orang nanya gimana saya mempersiapkan IELTS. Karena ceritanya panjang dan kadang waktu ngobrolnya sedikit. Jadi, nggak sempet nyeritain. Ehe. Atau saya nya yang nggak bisa ngeringkas cerita ya wkwk (maklum ekstrovert, selalu ngerasa banyak yang harus diceritain). Makanya, untuk membayar kekhawatiran tersebut, saya coba menggambarkan perjalanan saya mempersiapkan IELTS sejak awal sekali disini.

Oh ya, brace yourself, nanti kontennya akan lebih banyak memuat curhat-curhat receh saya. Karena saya sekaligus mau mengabadikan momen perjuangan jaman baheula. So, if you're looking for practical tips for your IELTS test or simple ways to boost your IELTS score, too bad, you've landed to the wrong blog :(

Oke, mari kita mulai. Perjalanan saya mempersiapkan IELTS sudah dimulai sejak tahun 2015. Sedangkan, saya baru ngambil tes di awal 2018. Lama banget kan?! Jadi, saat itu, saya lulus kuliah dan bekerja di ChapterW.org (dulu namanya Nusantara Development Initiatives/ NDI). Saya ditugaskan di Sumba, NTT, sebelum pulau itu terkenal kayak sekarang.

Sebelum berangkat, saya ingat sekali, salah satu persiapan saya adalah pergi ke Barel (anak UI pasti paham, Barel itu singkatan dari Belakang Rel, semacam gang sempit yang banyak tukang fotokopi murah). Di sana, saya print beberapa ebook IELTS Cambridge di tukang fotokopi langganan jaman skripsian. Baru masuk kerja kenapa udah mikir tes IELTS? karena saat itu saya ingin S2 secepat-cepatnya. Paling nggak setahun setelah kerja lah. Padahal, itu cara berpikir yang salah gengs. Kapan-kapan ya, saya bahas soal ini.

Kalau nggak salah, ebook IELTS yang saya print waktu itu jilid 9, jilid 8, jilid 6 dan jilid 1. Saya lupa, beneran jilid-jilid itu atau nggak, yang pasti saya print 4 buku. Saya bawa 4 buku tersebut selama tugas pindah-pindah desa di Sumba. Harapannya, biar bisa ngisi waktu luang dengan belajar IELTS.

Terus, beneran dibaca nggak tuh? Nggak lah! Hahahaha. Saat itu saya baru ngerasain, kerja di lapangan sungguh sangat melelahkan. Selain karena medan desa yang menguras energi dan adrenalin, di sana juga nggak ada listrik. Jadi, energi yang habis di siang hari ditambah cahaya yang cuma remang-remang saat malam semakin jadi justifikasi buat saya untuk menunda-nunda belajar. Duh, kebayang nggak sih anak-anak asli sana yang harus belajar malem-malem? Sedih deh.

Ohya, meskipun begitu, setiap weekend, saya masih bisa ngerjain 5-4 soal, tapi nggak konsisten sih. Karena, walaupun waktu luang saat weekend lebih banyak, saya lebih tertarik nobar Master Chef di laptop temen daripada belajar IELTS wkwk.

Terlepas dari itu, walaupun saya nggak berhasil menyelesaikan satu buku pun selama satu tahun bekerja di NDI, setidaknya, karena saya udah bolak-balik bawa buku-buku tersebut kemana-mana, saya jadi cukup familiar dengan vocab-vocab yang ada di dalamnya. Nah, tips pertama nih, mungkin kamu bisa coba bawa buku IELTS kemana-mana walau nggak yakin bakal dibaca haha.

Ahya, since bos saya di NDI adalah orang Singapura, kami kalau ngomong ke Pak Bos full English, dan itu cukup intensif. Teman-teman satu tim saya (saat itu kami berlima cewek semua) juga kebanyakan punya pengalaman satu-dua tahun hidup di luar negeri. Terutama Kak Ay, teman berantem saya yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di India. Dari mereka, saya membiasakan diri ngomong daily English, walaupun saat itu English saya sungguh kacau. Tapi mayanlah, dari bahasa formal, slang, sampe swearing dengan uncommon words saya pelajari dari mereka. Hahaha

Waktu itu juga ada tim NDI yang sedang menanti keberangkatan master degree-nya di Univ of Glasgow intake tahun 2016, namanya Kak Cutin. Seneng banget jadi bisa tanya-tanya banyak soal S2 dan persiapannya ke doi. Termasuk soal IELTS, dia orang yang menginspirasi saya untuk mempersiapkan IELTS secara mandiri tanpa bergantung sama les-lesan yang harganya nggak masuk akal. Nah, tips kedua nih, ketika kamu memutuskan akan tes IELTS, praktekin tuh English-nya di aktivitas sehari-hari. Cari lingkungan yang kondusif untuk kamu praktek.

Lanjut, akhir 2016, saya pindah kerja ke Water.org, yang kemudian menugaskan saya untuk mendampingi microfinance partner di Jawa Timur. Dari timur Nusa Tenggara ke timur Jawa, akankah ini pertanda jodoh saya orang timur? Yak, mulai halu.......

Pertama kali tugas di Jawa Timur, saya penempatan di Madiun. Saya belum lupa dengan mimpi saya untuk S2 di luar negeri. Makanya, print-an ebook IELTS yang wujudnya sudah tak layak itu, padahal belum saya pelajari itu, tetap saya bawa berkelana. Kampus impian dan target skor IELTS saya tulis besar-besar di kertas dan saya tempel di dinding kosan searah kiblat. Biar nggak lupa masuk list doa setiap selesai sholat.

Seiring dengan pengalaman bekerja dan insight dari senior, target berangkat S2 saya bergeser menjadi setelah 2 - 3 tahun bekerja. Namun, tetap saja, waktu persiapan saya semakin sempit. Sementara, saya tidak semakin yakin untuk mengambil tes IELTS. Yaiyalah, belajarnya kan nggak konsisten. Saya pun terpikir untuk mengikuti les persiapan IELTS. Dari pada uangnya habis untuk mengikuti tes IELTS berkali-kali, lebih baik habis untuk persiapan tes saja. Mahal tak apa, yang penting melenggang menuju tes dengan penuh keyakinan, pikir saya waktu itu. Haiyah, berasa bimbel SNMPTN.

Sayangnya, Madiun kan kota kecil. Nggak ada kursus macam itu di sana (tapi Inul Vizta ada lho). Sampai suatu hari, seorang senior yang cukup saya kenal baik di kampus merekomendasikan kursus persiapan IELTS online, sebut saja Kursus X. Sepertinya sih beliau itu bagian dari tim marketing-nya. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, saya pun daftar kursus online tersebut.

Biaya yang harus saya bayarkan Rp 800.000.00 untuk satu paket program. Kalau tidak salah, Rp 600.000,00 itu untuk biaya kursusnya, sedangkan Rp 200.000,00 sisanya sebagai uang jaminan yang akan dikembalikan jika saya mengikuti seluruh prediction test di setiap sesi. Saya lupa-lupa ingat, satu paket program berjalan selama berapa sesi, kalau tidak salah sih 5 sesi ya. Jadi, kalau saya tidak mengerjakan sekali prediction test, uang jaminan saya akan dipotong Rp 40.000,00. Kalau tidak salah begitu. Semoga benar.

Kursus tersebut dimulai pada pertengahan Februari 2017. Setiap sesi diadakan seminggu sekali selama lima sesi. Sistemnya, kita akan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp yang isinya mentor kita, si senior yang menawari program ini dan peserta belajar lain yang kebetulan jumlahnya 8 orang. Di grup tersebut, kita akan berdiskusi membahas soal prediction test atau phone call dengan si mentor. Mentor saya adalah alumni S2 kampus luar negeri yang S1-nya di sebuah institut teknologi ternama di Bandung, skor IELTS-nya 7.0 (kalau tidak salah), sudah menikah dan memiliki anak kecil perempuan, bahasa kekiniannya papah muda kali ya. Duh, ngapain lo jelasin sedetil itu, Li? Karena ternyata, itu mempengaruhi performance dia dalam mengajar kami :(

Seingat saya, jadwal belajar itu sesuai dengan kesepakatan kita, mau hari apa dan jam berapa. Nah, karena saya merasa bayar, jadi dong saya nggak mau rugi, berusaha untuk selalu online tepat waktu dan siap dengan berbagai pertanyaan diskusi. Tapi oh tapi, si papah muda ini suka terlambat join diskusi atau bahkan izin untuk nggak join hari itu. Lah pegimane, Bang?! Alasannya beliau ini beragam, karena mengantar istrinya, anaknya tidak ada yang menjaga, dll. Feedback yang dia berikan terhadap hasil latihan kita juga super lambat. Semacam, dia itu udah sibuk bekerja, sibuk jadi papah muda dan masih memaksakan diri jadi mentor program tersebut. Entah karena dipaksa atau kemauan dia sendiri tuh.

Alhasil, saya jadi males join diskusi wkwk. Prediction test (yang sesungguhnya itu diambil dari soal-soal IELTS Cambridge) jadinya jarang saya kerjakan (excuse wk). Padahal kan saya orangnya pantang merugi, tapi jadi semales itu dan nggak peduli dengan uang jaminan hahahaha. Satu-satunya hal yang paling menghibur dari si mentor adalah suaranya yang sungguh menenangkan untuk didengar.

Jadilah semenjak itu, saya nggak pernah lagi percaya dengan kursus-kursus online IELTS. Saya pun tidak merekomendasikan teman-teman saya untuk belajar dari kursus-kursus online macam itu. Percayalah, itu sama saja dengan kita belajar sendiri, justru kalau kita disiplin, lebih efektif belajar sendiri. Bisa hemat uang juga. Kecuali kalau lesnya gratis yass.

Oh ya, disclaimer biar saya nggak diamuk pelaku industri serupa, cerita saya barusan adalah testimoni real berdasarkan pengalaman saya mengikuti SALAH SATU online course IELTS prep ya. Tidak berlaku untuk semua kursus online. Saya juga tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak mana pun. Kalau kalian merasa produk les-lesan IELTS kalian nggak begitu, silakan istiqomah dengan jalan kalian. Pun bagi kalian yang merasa ikut kursus IELTS online justru sangat membantu, silakan membuat tulisan opini di blog kalian sendiri, Ehe.


-Bersambung. Bisa cek di postingan selanjutnya yaa :)

Perempuan yang Main ke Kosan

Akhir pekan lalu, seorang teman perempuan yang baru saya kenal setelah kepindahan saya ke daerah penempatan baru, main ke kosan. Dia datang dua hari berturut-turut, di Sabtu sore dan Minggu siang. Dan di dua hari itu pula, saya cukup syok dibuatnya.

Entah hal apa yang membuat dia begitu percaya pada saya, sampai-sampai dia membuka sebagian besar kisah romansanya pada saya--yang terlarang sekalipun. Duh, gimana ya, saya memang tumbuh di kota metropolitan Jakarta yang terkenal sangat-sangat 'liar'. Tapi, saya sangat-sangat lugu soal cinta. Pacaran pun saya tak pernah. Eh tapi, pernah sih dulu waktu SMP. Jadi, saya punya teman dekat laki-laki. Suatu hari, dia bilang suka kepada saya di koridor depan kelas. Dia menanyakan, apa saya mau jadi pacarnya, lalu saya mengangguk malu. Itu artinya kami sudah jadian ya? Tapi, anehnya, justru setelah hari itu, kita tidak pernah menghabiskan waktu bersama lagi. Hubungan kami malah semakin renggang. Sampai suatu hari, dia mengajak saya untuk mengakhiri hubungan tersebut. Well, mungkin itu cara Allah menyelamatkan saya ya.

Lebih dari itu, selama SMA, kuliah dan bekerja seperti saat ini, saya tidak pernah benar-benar menjalin hubungan serius dengan laki-laki. Urusan project, pekerjaan atau organisasi membuat saya sempat dekat dengan beberapa teman laki-laki. Tapi, setiap saya merasa ada sesuatu yang berbeda di antara kita, asiks, entah dia yang mulai memberikan perhatian lebih atau saya yang mulai berdebar di dekatnya, pasti saya memilih untuk menghindar dari hubungan tersebut. Saya masih meyakini bahwa pacaran melanggar SOP hubungan antar lawan jenis yang bukan mahram. Hehe. Jadi, sebisa mungkin, saya menahan diri untuk itu, demi izzah dan iffah saya sebagai seorang perempuan.

Eh tapi, bukan berarti saya melabel 'salah' semua orang yang berpacaran ya. Saya masih minim ilmu, mungkin teman-teman yang berpacaran punya interpretasi sendiri tentang hubungan semacam itu, Wallahu a'lam. Saya tidak ingin membawa tulisan ini ke perdebatan tersebut.

Mari kembali lagi ke perempuan yang main ke kosan. Dia masih sangat muda, satu tahun di bawah adik saya yang saat ini berumur 20 tahun. Tumbuh di kota kecil dari keluarga sederhana. Tapi, berdasarkan cerita pengalaman pacarannya, saya merasa gaya berpacarannya sudah terlampau dewasa. Fantasi seksualnya juga sedikit tidak wajar untuk ukuran anak seusianya. Saya jadi takut sendiri, apa memang demikian potret anak muda jaman sekarang? Apa kabar adik saya ya? :(

Itu baru cerita di hari Sabtu. Pada hari Minggu, saat dia kembali main ke kosan saya, dia membawa cerita yang semakin membuat saya gelisah sendiri. Walaupun, saat itu, saya sebisa mungkin untuk memasang wajah tidak terkejut, biasa saja. Dia bilang, dia pernah dekat dengan seorang pria beristri. Dia sodorkan kepada saya berbagai screenshot chat mereka. Sejujurnya, perkara ini saya sudah tahu sejak lama. Berita tentang dia dan si pria beristri sudah menjadi rahasia umum. Dia melanjutkan dengan menceritakan sejauh apa hubungan mereka. Nah, yang ini saya belum pernah dengar. Saya pun kaget dibuatnya, walaupun ekspresi yang saya tampilkan tetap ekspresi datar. Menurut pengakuan si perempuan yang main ke kosan, ia dan pria beristri sudah sering pergi bersama, menyepi berdua atau bahkan ke kamar hotel yang mereka sewa.

Saya mual. Saya tidak paham apakah yang barusan itu pengakuan jujur atau hiperbolis bercampur fantasi remaja tanggung yang hanya hampir berkepala dua. Saya tidak mampu membendung naluri judgmental saya untuk membandingkan perilaku si pria beristri dengan wajahnya yang polos (bahkan cenderung kekanakkan karena usianya yang memang hanya satu tahun di atas saya), shalatnya yang rajin (mayanlah, kalau denger adzan, doi langsung sholat), serta sikapnya yang pendiam, tak banyak bicara, tak banyak flirting seperti kebanyakan lelaki genit pada umumnya.

Saat ini, si perempuan yang main ke kosan mengaku jika hubungannya dengan pria beristri itu sudah merenggang. Hal tersebut dikarenakan beberapa chat dari pria beristri yang menyinggung perasaannya. Misalnya, ketika pria beristri sejak dirinya bukan apa-apa. Sedangkan, si perempuan yang main ke kosan baru mengenal si pria beristri ketika ia sudah ada di posisi sekarang.

Sialan, saya ikut mengumpat. Kenapa dia menghubungkan skandal tersebut dengan jabatannya? Seolah tidak akan pernah ada cinta utuh dan murni yang diberikan perempuan kepada seorang laki-laki. Seolah semua cinta perempuan transaksional. Cinta tidak sedangkal itu, Bung!

Di waktu yang lain, perkataan si suami beristri tidak kalah membuat nyeri hati. Ia mengajak si perempuan yang main ke kosan untuk tidur bersama, dengan sebelumnya memberikan disclaimer: "Tapi, kalau terjadi apa-apa, kamu tidak bisa menuntut apa-apa ke saya ya!" Cuy, lo belum pernah ke toko pecah belah kali ya? Pecah berarti membeli, woy! Lu pegang barang dagangan, dan itu pecah aja lu disuruh tanggung jawab bayar, apalagi ini lo buka segel anak orang.

Yang lucu, komentar perempuan yang main ke kosan ini tidak kalah membuat hati teriris. Dia bilang, dia sakit hati dengan perkataan pria beristri itu. "Masa dia nggak mau tanggung jawab coba, Mba! Kan kurang ajar, nggak terima aku." Saya mencoba mencerna, lalu mengklarifikasi, "Bentar-bentar, jadi kamu nggak terimanya karena apa nih? Karena dia ngajakin kamu tidur atau karena dia nggak mau tanggung jawab?" Dengan santainya, si perempuan yang main ke kosan jawab, "Yaa, karena dia nggak mau tanggung jawab lah. Emang aku cewek apaan............"

Dia meneruskan ceracaunya. Dan saya tertawa miris. Kamu sakit hati untuk hal yang salah, dek. Bahkan untuk menyentuhmu saja, sungguh dia tidak berhak, apalagi menidurimu. Perkataan pria beristri itu, sebetulnya tidak perlu diucapkan. Atau justru tidak pantas keluar dari mulutnya.

Menjelang kepulangannya, perempuan yang main ke kosan menanyakan pendapat saya. Apakah perbuatan mereka itu salah, siapa yang patut dipersalahkan, apakah sebaiknya ia menghentikan itu semua, dan berbagai pertanyaan lainnya.

Saya tersenyum tipis. Ringan, saya menjawab, "Kamu sendiri yang paling tahu jawabannya."



Bojonegoro, 30 April 2018

Popular posts