Samstag, 28. Dezember 2013

#flashfiction - Satu Lagi


            “Toeeeettoeeeeeet!”
“Preeeeeetpretpret!”   
“Abang Udiiiiiiin! Abaaaaaang!”
Gempita tahun baru mulai membahana. Bunyi terompet menyahut dimana-mana. Melihat temannya asik membunyikan terompet, Ucup tak mau kalah.
“Kenapa, Cup?”
“Abang, Ucup mau terompet kayak Lela sama Jaenudin, Bang! Beliin, Bang!”
“Jaenab juga, Bang!” adik bungsunya menambahi.
“Yailah, kagak usah beli, Cup. Pinjem aja. Abis taun baru juga kagak dipake lagi terompetnya.”
“Malu, Bang, pinjem mainan mulu. Lagian, kata Lela, terompetnya kagak boleh dipinjem, Bang. Takut bau jigong katanya. Ya kan, Nab?”
“Iya, betul, Bang!”
Mau bagaimana lagi, memang masuk akal alasan adik Udin kali ini. Untuk mainan lain—dengan alasan menghemat pengeluaran, Udin meminta adiknya untuk meminjam saja. Tetapi, untuk terompet, mana mungkin ada yang mau meminjamkan? Kalau sudah begini, bertambah satu lagi target ngamen Udin. Uang kontrakan, listrik yang belum dibayar, serta uang untuk membeli terompet.
  ***
Pukul 11.57 WIB. Adzan dzuhur berkumandang ketika matahari siang sedang semangat-semangatnya menyinari bumi. Udin bergegas ke masjid, meninggalkan perempatan lampu merah yang biasa menjadi tempat mangkalnya.
Jangan sampe kelewatan shalat jama’ah di masjid nih..” gumamnya dalam hati.
Mungkin, kerasnya hidup mengajarkannya untuk semakin taat pada Tuhan. Shalat tepat waktu, berdoa, memohon kepada Tuhan agar dibukakan ‘pintu’.
***
           “Bang Udin, bagus amat, Bang, terompetnya! Beli dimana, Bang? Ini bukannya mahal, Bang?” Ucup tidak mampu menutupi rasa sumringah karena terompet-yang-sepertinya-mahal itu kini menjadi miliknya.
            “Iya, Bang! Wah, temen-temen pasti ngiri sama kita ya, Bang Ucup, soalnya terompet kita lebih bagus dari punya mereka.”
            “Iya, bagus kan? Untuk sementara, itu dipake berdua dulu, ya. Besok, abang bawain satu lagi. Biar kalian pake terompetnya nggak usah gantian.”
            “Wah, bener nih, Bang?! Asiiiiiik!” seru Ucup dan Jaenab.
            “Besok saya harus datang ke masjid lebih awal lagi nih. Supaya bisa leluasa ngambil terompet  yang penjualnya lagi sholat jama'ah. Satu terompet lagi aja kok. Satu lagi.” gumam Udin dalam hati.

Freitag, 20. Dezember 2013

#3 Kontemplasi

Pernah nggak sih lo berada pada masa berat yang sangat super duper berat? Masa dimana rasa-rasanya lo ingin menegasikan semua ketentuan Tuhan, anjuran Tuhan, atau bahkan eksistensitas-Nya. Lo menentang apa yang selama ini lo terima dan lo yakini sebagai sesuatu yang benar. Pikiran lo lepas, menyelidik, menalar hingga ke akar setiap hal. Ketika rasa yang sama-sama kita sebut iman, semacam berguncang, berontak dari tempatnya semula, jatuh pada titik paling lumpuh.

Tapi kemudian, Tuhan dengan segala kuasa-Nya, menyembuhkan luka itu. Meniadakan takaran berat itu. Kita pun semacam terlahir kembali. Dengan semangat berkali lipat. Dengan pundak yang kian siap dengan segala kehendak. Lalu, lo pun semakin sadar, betapa Tuhan begitu menyayangi lo. Betapa kemudian, euforia akan manisnya keimanan kembali membuncah di dada. Namun dengan energi yang bertambah besar dan bertambah besar.

Mungkin memang seperti itu ya hidup. Bersiklus. Sedih senang, susah gampang, suka duka. Termasuk juga keimanan yang kadang naik, sebentar kemudian turun.


Mittwoch, 13. November 2013

Ikan Buntal: Alien Laut Pembuat Crop Circle

Oops Oops Oops... Oops Oops Oops...
Oops Fugu Fugu... Oops Fugu Fugu...

Bagi Anda yang merupakan penikmat iklan, pasti familiar dengan kalimat di atas. Ya, potongan kalimat tersebut merupakan jingle sebuah snack biskuit anak-anak dengan merek dagang Oops. Sebelumnya, mungkin saya harus memperingatkan, bahwa tulisan ini bukanlah tulisan berbayar yang berusaha untuk mengiklankan si snack biskuit tersebut. Sebenarnya, saya hanya ingin bercerita tentang biota laut favorit saya yang kebetulan bentuknya mirip dengan si snack biskuit ini. Mungkin beberapa dari Anda masih ingat jika Oops sendiri memiliki beberapa varian rasa, kebetulan karena Oops Fugu ini bentuknya gembung menyerupai ikan buntal, maka dinamakanlah Oops Fugu.
          Kata Fugu sendiri berasal dari Bahasa Jepang yang berarti babi sungai. Orang Jepang biasa menggunakan istilah ini untuk menyebut ikan buntal yang dianggap sebagai babi-nya sungai. Ikan ini biasa hidup di perairan pesisir laut hangat, bahkan jenis-jenis tertentu mampu hidup pada perairan tawar. Umumnya, ikan ini berbentuk menyerupai tornado, dengan mata bulat besar dan kepala yang juga bulat besar namun semakin mengecil ke arah ekornya. Dengan ukuran rata-rata 0.3m – 0,6m, ikan ini dapat menggembung hingga beberapa kali ukuran aslinya. Ikan yang masuk ke dalam famili Tetraodontidae ini juga memiliki struktur gigi yang cukup unik. Empat gigi besarnya melebur menjadi satu hingga membentuk paru yang cukup unik. Kabarnya, beberapa spesies ikan buntal menggunakan paru ini untuk mengeruk batuan dan koral. Sedangkan, beberapa spesies lain menggunakan paruhnya untuk mencungkil berbagai krustasea dan kerang (nationalgeographic.co.id, 2013).
          Ada banyak sekali alasan yang membuat saya jatuh cinta dengan ikan dengan nama latin porcupinefish ini. Salah satunya adalah fakta bahwa kemampuan ikan ini membuntal atau menggembung seperti balon, sebenarnya hanyalah upayanya untuk menutupi kelemahannya dalam berenang yang cenderung lambat dan ceroboh. Dari sini, mungkin kita bisa belajar dari ikan buntal. Daripada meratapi kelemahan, lebih baik fokus dengan kelebihan. Sadar bahwa dirinya lemah dalam berenang—yang membuatnya sulit kabur dari musuh, ikan buntal tidak lantas bersedih, ia mencari cara lain yang membuatnya dapat menghindar dari musuh. Ya, dengan membuntal.
Selain itu, jika ditelisik lebih jauh, ternyata ikan buntal juga memiliki keistimewaan lain. Kalau Anda pernah mendengar berita tentang munculnya crop circle di tengah sawah—yang gosip-nya dibuat oleh alien, ternyata, kita juga dapat menemukan crop circle di dalam laut. Bedanya, untuk crop circle di dalam laut ini, dugaan pelakunya bukanlah alien-alien dengan ufo-nya itu. Melainkan, pembuatnya adalah ikan buntal!

Sumber: www.memobee.com

Fakta ini terungkap ketika tahun 1995, struktur geometris mirip crop circle ditemukan di dasar laut wilayah Pulau Amami, Oshima, Jepang. Disebutkan oleh nationalgeographic.co.id dalam sebuah artikel berjudul “Benarkah Ikan Buntal Pembuat Crop Circle di Dasar Laut”? yang diterbitkan tahun 2013, struktur tersebut tampak rapi dan simetris, terdiri atas bentukan lembah dan puncak. Saat itu, belum diketahui asal usul munculnya crop circle tersebut, apakah alami atau buatan. Hingga akhirnya, sebuah penelitian pada tahun 2011 berhasil mengungkap bahwa struktur tersebut alami, sengaja dibuat oleh pejantan ikan buntal (Torquigener sp) yang berusaha untuk menarik perhatian lawan jenisnya.
Masih dari sumber yang sama, disebutkan bahwa proses pembuatan crop circle ini umum dilakukan ikan buntal jantan sebelum melakukan perkawinan. Biasanya, sang buntal betina akan datang ke struktur yang telah dibuat oleh si jantan. Lalu, buntal jantan akan mengejarnya, hingga pada titik tertentu mereka berhenti saling berkejaran, dan terjadilah perkawinan. Buntal betina akan meletakkan telur di bagian tengah struktur geometris ini. Pejantan pun akan bertahan di struktur ini selama paling tidak enam hari. Selanjutnya, sang betina akan tinggal satu menit lalu pergi dan beberapa kali akan menjenguk telur-telurnya tersebut.

Sumber:

Dienstag, 5. November 2013

Coral Reefs Ambassador Competition: Another Way of Being a Hero

Pagi-pagi sekali, pada Kamis (24/10) lalu, lobi Senayan City ramai oleh sekelompok orang dengan barang bawaan yang tak lazim bagi pengunjung mall, seperti tas pakaian besar, koper, dan sebagainya. Mereka adalah rombongan peserta dan panitia pembekalan Coral Reefs Ambassador Competition yang akan diadakan di Pulau Umang Resort pada 24 - 26 Oktober 2013.

Coral Reefs Ambassador Competition merupakan sebuah kompetisi Duta Terumbu Karang bagi siswa SMA dan mahasiswa yang diadakan oleh Indonesia Global Compact Network berkolaborasi dengan Ujungkulon Conservation Society dan Matoa Albarits. Kompetisi ini menantang setiap Duta Terumbu Karang terpilih yang merupakan delegasi dari berbagai universitas di Indonesia untuk mengedukasi lingkungannya tentang arti penting terumbu karang dan usaha penyelamatannya bagi keseimbangan ekosistem kelautan. Lomba ini berjalan sekitar sembilan bulan ke depan dan akan ditutup dengan pameran yang akan diadakan di Senayan City pada bulan Juni 2014. Nantinya, empat peserta terbaik pada kompetisi ini akan mendapatkan hadiah perjalanan ke Taman Nasional Alas Purwo yang berada di ujung timur Pulau Jawa. Selain itu, satu peserta terbaik pada masing-masing kategori SMA dan Universitas juga akan mendapatkan beasiswa penuh untuk berkuliah di PPM Manajemen.

Perjalanan menuju Pulau Umang sendiri memakan waktu kurang lebih delapan jam perjalanan darat ditambah dengan lima belas menit perjalanan laut untuk menyeberang dari Dermaga Sumur ke Pulau Umang menggunakan speedboat. Namun demikian, segala keindahan yang terbentang luas di depan mata seolah membayar segala lelah akibat lamanya perjalanan tersebut. 

"Pulau Umang diliat dari seberang menggoda banget untuk dijelajahi. Pasirnya, langitnya, indah semua!", terang Noviarani Triandana Ayu, salah satu peserta kompetisi ini.

Selama di Pulau Umang, para Duta Terumbu Karang tersebut selain mendapatkan materi pembekalan tentang terumbu karang, mereka juga berkesempatan untuk snorkeling dan melihat langsung terumbu karang yang ada di laut ujung Pulau Jawa tersebut.

"Keren banget terumbu karangnya. Disini (terumbu karangnya--pen) lebih banyak variasi warna dan ikannya dibandingkan sama yang di Kepulauan Seribu.", ujar Putu Pande, Duta Terumbu Karang dari Universitas Indonesia.

Pada hari terakhir rangkaian pembekalan tersebut, peserta kedatangan tamu istimewa dari berbagai lembaga dan perusahaan yang juga ingin menunjukkan kepeduliannya terhadap terumbu karang Indonesia. Dengan bimbingan para Duta Terumbu Karang, perwakilan lembaga dan perusahaan tersebut turun langsung ke pantai untuk melakukan transplantasi terumbu karang yang ada di Pulau Umang. Tidak ketinggalan, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, pun turut berpartisipasi dalam acara ini.

Dalam nuansa seremonial hari pahlawan ini, mungkin kegiatan di atas bisa kita jadikan inspirasi. Bahwa menjadi pahlawan ternyata tidak melulu berkutat dengan perjuangan di medan perang. Berperan aktif menjaga lingkungan juga bagian dari upaya menerapkan nilai-nilai kepahlawanan, seperti para Duta Terumbu Karang tersebut misalnya.

Maka, sekarang mari bersama singsingkan lengan baju. Pilih bidang apa yang menjadi passion-mu! Lalu berkaryalah disana, menjadi hebatlah disana, tebar inspirasi dimana-mana! Dan jadilah pahlawan kebanggaan semua!


*foto menyusul yaa teman-teman.
** Tulisan juga dimuat disini.

Montag, 4. November 2013

Pahlawan Di Tahun Digit 2000-an

Halo November!
Menapaki bulan November, rasa-rasanya memang tidak lepas dari keriaan hari pahlawan yang akan kita sambut tanggal 10 nanti. Tentunya, sebagai kaum muda, kita memang dituntut untuk lebih dalam memaknai keriaan tersebut. Karena, siap atau tidak, tanggung jawab sebagai pembawa perubahan bagi bangsa itu ada di pundak kita, kawan! Maka, mari berefleksi, sudah sejauh mana sumbangsih kaum muda masa kini dalam upaya membangun bumi pertiwi? Atau, sebenarnya kita masih bertanya-tanya, apa iya bangsa kita masih membutuhkan sosok pahlawan? Lalu, sosok pahlawan seperti apa sebenarnya yang dibutuhkan Indonesia masa kini?

Pada dasarnya, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas sederhana. Sesederhana satu-dua sampah yang berterbangan di pojok lampu merah, atau bunyi klakson yang menggema di langit Jakarta karena kemacetan yang tak tertahankan. Jika dalam keseharian kita masih dapat menemukan hal-hal sederhana tersebut, maka jelas jawabannya, Indonesia masih butuh pahlawan! Indonesia masih butuh mereka yang mau bersama menyebarkan kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya. Indonesia masih butuh mereka yang mau membuka mata orang-orang di sekitarnya, bahwa kemacetan sebenarnya buah dari ulah kita sendiri yang enggan berpindah ke transportasi publik karena terlalu nyaman dengan kendaraan pribadi.

Pastinya, di tahun digit 2000-an ini, dengan melihat perkembangan zaman yang luar biasa pesat sekarang, tidak relevan bagi kita untuk tetap berpikir bahwa pahlawan adalah mereka yang gagah membunuh penjajah, bertaruh jiwa dan raga di medan perang, tanpa lupa dengan bambu runcingnya. Hal ini karena musuh yang kita hadapi saat ini bukan lagi musuh-musuh yang bisa mati dengan tembakan peluru atau pun terjangan bambu runcing. Di jaman serba mudah ini, bisa jadi musuh kita adalah diri kita sendiri--dengan rasa malasnya, ketidakpekaannya, dan atribut lain yang membuat kaum muda tidak produktif dan solutif.

Oleh karena itu, kenyataan bahwa Indonesia masih membutuhkan sosok pahlawan, memang telah sama-sama kita sepakati. Namun, jangan lupa juga, bahwa makna pahlawan tersebut juga telah bergeser. Mungkin, ketika jaman dulu ibu-bapak kita bangga bercerita tentang para pahlawan yang gagah di medan perang, kita bisa tunjukkan bahwa berlaga membawa nama Indonesia pada kompetisi internasional adalah juga gagah gaya baru. Ketika pahlawan jaman dulu tak pernah lupa membawa bambu runcingnya, pahlawan masa kini tidak pernah lupa membawa pensilnya yang sudah diraut sampai runcing. Sehingga, akan selalu produktif menulis! Haha.

Intinya, mari berhenti berpikir bahwa isu kepahlawanan macam ini tidak cukup kece untuk dibahas. Juga mari berhenti berimajinasi bahwa pahlawan adalah cerita masa lalu--toh, jika pun ada gambaran pahlawan masa kini, yang muncul adalah tokoh-tokoh manusia (yang menjadi) super karena digigit laba-laba, atau menjadi titisan kelelawar. Karena faktanya, di tahun digit 2000-an ini, Indonesia masih butuh pahlawan-pahlawan muda dengan ide segar dan jiwa besar yang siap bersatu membangun bangsa. Walaupun begitu, jangan dulu berpikir bahwa ini berarti, kita harus membuat suatu terobosan hebat penuh manfaat. Mulai saja dari hal sederhana, karena percayalah, setiap bentuk kecil kebaikan yang kita lakukan, telah menjadikan kita seorang pahlawan--paling tidak bagi lingkungan sekitar.


**Tulisan juga dimuat disini. Waktu IF masih nge-wordpress dan sekarang kita dotcom-ers doong, inspiratorfreak.com

Dienstag, 29. Oktober 2013

Terumbu Karang Punya Kita, Bukan?

Mungkin kita memang patut berbangga dengan negara tempat kita berpijak saat ini. Dengan luas lautan yang mencapai 5.8 Juta KM2 ini, Indonesia menjadi bagian dari wilayah Marine Mega-Biodiversity terbesar di dunia. Selain itu, yang juga tak kalah mengagumkan, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tahun 2010, Indonesia juga menempati urutan ke-2 negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, yaitu sekitar 54.716 KM, setelah posisi pertama ditempati oleh Kanada dengan garis pantai kurang lebih 202.080 KM. Jika ditarik perbandingkan dengan garis pantai dunia, sebuah sumber online menyatakan, bisa digambarkan bahwa panjang pantai Indonesia sekitar 25% dari panjang pantai negara di dunia. Sehingga, tentunya dapat kita bayangkan, bagaimana negara ini telah 'menguasai' paling tidak 1/4 pantai dunia.
Lebih jauh, luasnya laut Indonesia membuat negara yang memang mendapat julukan negara maritim ini menjadi sangat kaya dengan potensi kelautannya. Dari data statistik yang dilansir oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia, tercatat ada lebih dari 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, serta 950 spesies terumbu karang yang bernaung di lautan kita. Berbicara tentang terumbu karang, masih berdasarkan data dari KKP RI, tercatat bahwa luas terumbu karang yang ada di Indonesia adalah 51.000 KM2 atau sekitar 18% dari total seluruh terumbu karang yang ada di dunia. Kabarnya juga, terumbu karang Indonesia yang luar biasa luas itu menjadikan negara ini sebagai bagian dari kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) dunia, yaitu kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut paling kaya di dunia, meliputi laut-laut di enam negara kawasan Asia Pasifik, seperti Indoneia, Filipina, Kepulauan Solomon, Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste (Kompas.com, 2010).
Sayangnya, keistimewaan terumbu karang Indonesia tersebut tidak semerta-merta membuat manusia segan merusaknya. Berdasarkan laporan Reef at Risk tahun 2002, disebutkan bahwa selama 50 tahun terakhir, proporsi penurunan kondisi terumbu karang Indonesia telah meningkat dari 10% menjadi 50%. Lebih jauh, hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menyatakan bahwa 37% kondisi terumbu karang Indonesia berada dalam kategori rusak sedang dan sekitar 33% berada dalam kondisi rusak parah. Walaupun memang, kita tidak bisa mengeneralisasi bahwa seluruh penurunan kondisi tersebut disebabkan oleh ulah manusia—karena tentunya banyak hal yang menjadi faktor kerusakan tersebut, seperti arus laut itu sendiri dan pergerakan biota laut. Namun, sebagai bahan refleksi, mungkin kita bisa melirik fakta yang dirilis oleh World Resources Institute (2012) melalui artikelnya yang berjudul Reefs at Risk Revisited in the Coral Triangle, bahwa ternyata, kebanyakan terumbu karang di dunia terancam karena aktivitas manusia. Selain itu, disebutkan pula bahwa 60% dari terumbu karang yang ada menerima ancaman langsung dari manusia berupa penangkapan yang merusak, penangkapan berlebih, pembangunan pesisir, pencemaran dari Daerah Aliran Sungai (DAS), ataupun pencemaran yang berasal dari laut itu sendiri. Ditambah lagi, sekitar 75% terumbu karang yang ada juga dalam kondisi terancam akibat suhu global yang meninggi—untuk hal ini tentu kita tidak dapat menafikan, bahwa gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkunganlah yang menyebabkan naiknya suhu global.

Dari aspek penegakan hukum, terumbu karang pun tidak luput dari ancaman kejahatan. Komodifikasi terumbu karang Indonesia menjadi semacam kenisayaan yang harus dihadapi. Warna-warni terumbu karang yang indah nampaknya tidak hanya memesonakan kita, namun juga menyilaukan mata para oportunis untuk menjadikan terumbu karang komoditas bisnis. Seperti yang dilansir oleh salah satu portal berita online berikut, pengeksporan terumbu karang ilegal di Jawa dan Bali masih marak terjadi. Bahkan, terumbu karang tersebut dijual dengan harga ekspor yang sangat murah, yaitu sekitar US$ 45 per satuan (metrotvnews.com, 2013). Ya, meskipun ilegal, yang penting kantung tebal—mungkin begitu menurut mereka.


Sumber: Pribadi
  
Padahal, aktivitas ekspor terumbu karang ilegal ini jelas telah melanggar hukum, salah satunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Ratifikasi Pengesahan Protokol Nagoya* mengenai Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya. Protokol Nagoya sendiri berisi tentang capaian historis tentang pelaksanaan Convention on Biological Diversity (CBD) sejak 18 tahun yang lalu. Hal ini karena pelaksanaan CBD tersebut dianggap belum optimal karena tidak ada protokol yang menjadi bentuk konkret dari konvensi tersebut. Oleh karena itu, Protokol Nagoya juga berisi aturan pemberian akses dan kemauan berbagi keuntungan secara adil dan setara atas pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati tersebut (Kompas.com, 2010).
Dengan demikian, upaya penyelamatan terumbu karang kita menjadi harga mati. Karena sesungguhnya, pemaparan akan risiko dan ancaman di atas hanyalah sebagian kecil dari fakta yang tercatat rapi atas kondisi terumbu karang kini. Penanganan terhadap terumbu karang pun harus dilakukan secara komprehensif, jangan lagi parsial. Mengingat, permasalahan terumbu karang ini adalah persoalan multidimensional, menyangkut aspek hukum, lingkungan, ekonomi, dan bahkan kemanusiaan yang keseluruhannya bukanlah sesuatu yang opsional. Lebih jauh, keterlibatan semua pihak dalam upaya penyelamatan ini juga menjadi satu faktor yang harus diperhatikan. Jangan hanya pemerintah, penegak hukum atau pemerhati lingkungan. Tetapi yang muda yang tua, yang pekerja yang pengusaha, semuanya harus turut ambil bagian. Terumbu karang ini punya kita semua, bukan?



*Protokol Nagoya dalam bentuk lengkap bisa diakses di http://www.cbd.int/abs/doc/protocol/nagoya-protocol-en.pdf

*tulisan ini juga dimuat disini.

Donnerstag, 19. September 2013

Hilang, Menghilang, Kehilangan

Pernah kehilangan seseorang? Tapi bukan kehilangan karena perpisahan, kepindahan, pertengkaran, dan sebagainya. Maksud saya, kehilangan yang selama-lamanya. Kehilangan secara harafiah. Tidak akan pernah bertemu, berbicara, bercanda lagi. Karena yang bersangkutan telah pergi, masuk ke dalam dimensi waktu yang lebih tinggi. Sederhananya sih, menghadap Illahi.

Saya, saat ini, entah kenapa merasa perasaan akan kehilangan itu dekaaaaat sekali. Terhadap seseorang yang paling dekat dengan saya, bahkan semenjak tubuh ini belum memiliki ruhnya. Ya, ibu saya.

Duh, tidak selayaknya saya menulis hal ini ya. Apalagi di blog saya, yang walaupun sepi pengunjung, tetap saja accessible. Tapi, kamu tahu, perasaan ini semakin hari semakin membuncah. Ditambah dengan maag ibu yang sepertinya semakin kronis. Yah, walaupun sebenarnya, 'giliran pergi' itu bisa datang pada siapa saja tanpa dapat diterka dari kondisi fisiknya, bahkan pada orang sehat sekalipun. Tanpa kenal ampun.

Perihal ini, setiap dari kita seharusnya memang mempersiapkan diri ya. Baik untuk menghilang ataupun kehilangan. Dunia kan memang hanya tempat untuk singgah. Toh, yang hilang sesungguhnya tidak sebenar-benarnya menghilang. Buktinya, Dia masih menyediakan alur komunikasi lain, melalui doa. Namun, yah namanya juga manusia, selalu menuntut kondisi konkret. Selalu merasa butuh konfirmasi dalam bentuk eksistensi. Dalam indera ragawi seringkali kita terbenam, dan lupa memberi ruang pada hati, yang sebenarnya merupakan indera keenam.

Kembali pada ibu, jika boleh jujur, saya sudah mempersiapkan diri untuk momen ini sejak satu atau dua tahun yang lalu. Utamanya, saat ibu saya masuk rumah sakit. Beberapa orang mungkin melihat saya saat itu tenang-tenang saja, santai, seolah tidak ada apa-apa. Tapi tidak semua pandai menangkap, bahwa dibalik itu semua, hati saya seperti hancur, saya kehilangan arah, bahkan jika boleh sedikit hiperbola, saya seperti tidak punya alasan kenapa hidup ini harus dilanjutkan. Hal ini, bisa jadi, karena mendapati keluarga dekat masuk rumah sakit adalah pengalaman pertama saya. Sehingga, saya pun maklum pada diri ini yang dengan cengeng-nya berpikir se-ngawur itu. Ditambah, pengalaman pertama itu dibuka oleh ibu saya sendiri.

Alasan lain mengapa saya menjadi setakut itu, se-disorientasi itu, karena memang nyatanya saya 'sebegitunya' dengan ibu. Maaf jika pada akhirnya saya menggunakan diksi 'sebegitunya' ya, coz it's like hard to find another word to define how's life going between me and her. Kami tidak sepenuhnya berdamai, namun tidak sepenuhnya berselisih. Saya dan ibu seringkali berbeda pendapat terhadap banyak hal, namun bahagianya, ibu selalu memberikan ruang bagi saya untuk mandiri menginterpretasi perbedaan tersebut. Kami sering bertengkar, bahkan ketika pergi car free day berdua. Namun, sedetik kemudian lupa ketika melihat tukang bubur kacang hijau langganan. Haha

Memang, terkesan tidak etis ya mempersiapkan diri untuk kepergian seseorang, apalagi yang bersangkutan adalah ibu kita sendiri, ketika orang lain berharap cemas akan kesembuhan--walaupun kita tidak pernah tahu jika sebenarnya hati mereka mengutuki harapan untuk sembuh tersebut, mengingat kemungkinannya memang kecil--maka, atas nama rasa optimis, atau ekstrimnya basabasi, sebagian orang berusaha tenang dengan keyakinan akan kesembuhan. Sedang saya? Saya hanya berusaha untuk berdamai dengan realita, berpikir yang terburuk agar nantinya tidak terpuruk. Saya hanya berusaha mempersiapkan diri lebih dini. Saya hanya ingin membiasakan hidup tanpanya. Ya, saya. Saya hanya tidak siap dengan (kemungkinan) kepergiannya.

Allahu Rabbi.

Sonntag, 25. August 2013

Realita

Agak kaget juga sih ketika pipi ini tiba-tiba basah dengan air yang keluar dari mata. Haha sementara pikir masih bersikeras menentang segala realita.
Andai saja kejadian dua-tiga tahun itu tidak pernah menjadi cerita. Maka mungkin, tak akan begini jadinya.

00.00 wib
Jakarta, 26 Agustus 2013

Bukan Kebetulan

Menulis tentang hal yang satu ini, jujur saya bingung harus memulai dari mana. Terlalu banyak yang berkelebat dan adu kuat memicu syaraf pengingat untuk memutar cerita itu kembali lekat-lekat.

Hahaha masih suka ketawa setiap kali inget tentang betapa jahilnya kita, saling berbisik tentang the-hole-in-the-pants boy di depan orang yang dimaksud dan jumawa ketika orang yang bersangkutan mulai gregetan karena tidak tahu siapa subyek yang dibicarakan. Tentang comment war yang kita adakan di friendster. Saling menyapa setiap sahur dan terlibat dalam obrolan-obrolan absurd nan ngelantur. Tentang kita yang satu waktu setelah pulang sekolah pergi ke depan kelas XI IPA, cuma buat nemenin Gomat baca doa yang diajarin Pak Mustain saat pelajaran Agama Islam, sambil memegang pintu kelas. Dan ternyata doanya manjur :| Tentang saya yang remedial matematika lintas kelas, karena kalian MT, mau ada remed gak bilang-bilang. Jadilah ketika kalian belajar, saya cuma ketawa-ketawa doang. Wooo. Tentang kenalan sama Anjani Mutter, Tiin Zhakiyah dan banyak orang lain, entah di Friendster ataupun Facebook, ngobrol banyak sama mereka, saling cerita, padahal kita nggak pernah ketemu. Tentang diskusi-diskusi panjang kita terkait cerita-cerita di novel Dan Brown. 

Masih suka kesel setiap kali inget tentang batere HP yang tetiba berubah gendut karena (entah) tertukar (atau sengaja ditukar) sama si Gomat. Tentang Cintra yang berantem mulu sama Gomat karena dia suka tabur-tabur ketombe di atas jaket 28. Tentang Gomat yang setiap malem nelfon cuma buat bilang hal-hal 'penting', dari mulai takut gagal SNMPTN tulis (dan ternyata dia keterima, dan gue nggak. cih, dasar tuh orang) sampe cerita tentang dia yang gak bisa bikin dasi padahal sebentar lagi wisuda. zz. Terus kalo telfonnya gak diangkat tuh orang ngomel-ngomel kayak tante-tante kehilangan rol rambut. Tentang buku-buku yang gak pernah aman bersih sentosa dari gambar-gambar gunyuu buatan L. Tentang Gomat lagi yang sebelum berangkat Duta Karang uring-uringan setengah mati, takut inilah, itulah. Eh, giliran udah balik, ngomonginnya Duta Karaaaaang mulu. 

Juga masih suka terharu setiap kali inget tentang Gomat yang rajin bikinin desain kostum lomba untuk tim Paskib 28. Walaupun nggak pernah ada yang bisa kita realisasikan. Cintra yang nelfon pas saya selesai latihan Tae Kwon Do, bilang masih otw ke 28, padahal jelas-jelas saya lihat wujudnya utuh ada di depan pos satpam. Dan entah kenapa saya nggak curiga. Rencana latihan musikalisasi puisi yang ternyata fiktif, L yang aneh karena kelihatan bingung mondar-mandir di depan perpustakaan, dan gelagapan setiap ditanya Cintra ada dimana. Dan semua itu berujung dengan diceplokinnya saya dengan telor mentah di bawah sendunya gerimis air hujan, sebagai bentuk perayaan sederhana atas bertambahnya umur saya hari itu. Duh, masa itu.

Nggak ngerti lagi lah ini postingan kalo dilanjutin bakal kayak apa panjangnya. Nggak ngerti juga kenapa malam ini, cerita-cerita itu semakin terasa penting untuk dituliskan. Yang jelas ini bukan sebuah kebetulan. 

Montag, 12. August 2013

Cerita Sepanjang Pantura #4

Tren jaman sekarang, ke Jakarta kerja di warteg.
Kebanyakan sih bosnya baik, jadinya sreg, atau paling nggak, mayanlah perut wareg.
Atas nama sedulur, sering kali gaji diulur-ulur.
Sampai berapa jumlah gajinya, udah nggak terukur

Perawan-perawan yang dulu salah motivasi
Ke Jakarta buat jaga gengsi
Sekarang gigit jari
'Siapa suruh datang Jakarta?', kata Pak Mentri

---
Dulu gengsi, sekarang gigit jari.
Lebaran 1434 H



Cerita Sepanjang Pantura #3

Lebaran harinya sukacita.
Yang merantau yang menggalau di Jakarta, akan kembali ke kampungnya tercinta.
Bukan untuk silaturahim semata, tapi jelas adu harta.
Ingat pesan orangtua, jangan pulang kalau nggak bawa uang sejuta-juta!

---
#kalem
Lebaran 1434 H

Cerita Sepanjang Pantura #2

Ini cerita tentang Sumini yang gundah hatinya.
Ditemani dangdut koplo, memikirkan hutang yang sudah jatuh tempo.
Tentang Bapak dan jaminan yang beliau janjikan, jika tak ada uang 'datang' untuk membayar hutang.
Tentang Bapak dan solusi permasalahannya, yang ternyata melibatkan ia, anak perawannya.
Tentang Bapak yang memberikan pandangan, 'Apa kamu tega menolak padahal kita tiga hari tidak makan?'
Tentang lagi-lagi Bapak, yang mengingatkan, bahwa anak harus patuh pada orangtua, bukan?
Tentang, sayangnya, ah, ia ingin berkelit. Permintaan Bapak terlalu sulit.
Tapi, ah, keharusan birrul walidain, membuat kepalanya sakit.
Maka tentang permintaan, 'temani ia hingga tuntas, maka hutangku lunas'.
Mana jawab yang tak sulit? Apalagi dalam kondisi hutang membelit.

---
Satu keprihatinan bagi konsep yang semakin kabur tentang orang tua, durhaka atau patuh pada mereka.
Lebaran 1434 H

Cerita Sepanjang Pantura #1

Hati ini getir, bukan karena pandang segala nyinyir.
Apalagi  karena bos-kantung-tebal yang tersenyum pandir.
Berita penggusuran kafe pinggir jalan, sumber penghasilan,
itu sebabnya.
Katanya, kata bapak-bapak berjenggot kambing, gamis putih bening-bening itu,
bisnis ini tidak halal. Merusak moral.

Halah, tau apa mereka soal haram-halal? Hanya karena bisnis ini mengandalkan perempuan bergincu tebal, bergaya nakal, lantas dibilang tak bermoral?!
Mereka yang kekayaannya kurang ajar, rumah dimana-mana tersebar, lagaknya berandal, seolah lupa bahwa dari rakyat uangnya berasal, baru namanya nggak bermoral!

---
Berdasarkan apa yang ditangkap mata, dilihat hati, dan diinterpretasi pikiran.
Maka maaf jika Anda kurang berkenan.
Lebaran 1434 H

Freitag, 2. August 2013

Merpati Kecil

Maka biarkan merpati kecil itu terbang menghidupi dirinya
Jangan melulu dikungkung, jangan tunggu ia hingga mati dimakan belatung
Alih-alih menjaga-merawat, percayalah, bahwa itu tidak lebih baik dari penggerogotan kebebasan teman sejawat
Percayakan pada semesta, biar ia belajar tentang dusta
Pada alam kita titipkan, biar dirasakannya pengkhianatan
Kenalkan pada Yang Maha Besar, agar ia belajar.
Bahwa pada setiap hal, ada harga yang harus dibayar.



smartly beautiful

If you have good thoughts, they will shine out of your face like sunbeams and you will always look lovely.
 - Ronald Dahl.

*Another way to be beautiful. Be smart and define your own beauty! Haha

Donnerstag, 1. August 2013

Filosofi Kopi #1

Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya.
- Dewi Lestari dalam Filosofi Kopi

Anak Semua Bangsa #2

Juga cinta, bagaimana halnya dengan setiap benda dan hal, mempunyai bayang-bayang. Dan bayang-bayang cinta itu bernama derita. Tak ada satu hal pun tanpa bayang-bayang, kecuali terang itu sendiri.
- Minke dalam Anak Semua Bangsa

Anak Semua Bangsa #1

Barang siapa dapat mencintai seseorang begitu mendalam, dia bukan boneka.
- Minke dalam Anak Semua Bangsa

Batasan

Bintang seperti kehilangan rasa percaya dirinya. Ia bersembunyi di balik awan kelabu. Mengintip malu-malu. Menatap ragu-ragu. Cahayanya timbul tenggelam. Seolah menutupi masa lalunya yang kelam. Bulan pun demikian. Tak mau ia muncul sendirian, mungkin atas nama setia kawan.

Saya memandang kosong langit. Dalam, meski tanpa fokus. Liar menggerayangi langit luas tak berlokus. Syaraf di sekitar mata sedari tadi bekerja keras, membendung bulir air agar tidak jatuh ke pipi. Dalam kondisi begini, ternyata tidak semua unsur tubuh mau berdamai dengan diri. Syaraf otak beserta dendrit halusnya justru membombardir pikiran dengan memutar memori tanpa ampun. Tanpa konfirmasi apapun. 

Hingga pada detik kesekian,  segalanya tak bisa lagi ditahan. Maka lihatlah bahwa semua upaya punya batasan. Memang begitu hakikatnya, bukan?

Berita Baik

Kecipir liar mendayu meladeni angin yang menggodanya. Cuaca sore itu, entah mengapa, mendukung mereka untuk bermesra. Udara berbobot lebih berat dari biasanya. Karena air yang terkandung, enggan keluar dari zona nyamannya.

Dari jauh, bunyi kring-kring khas milik si abang koran langganan, samar terdengar. Diantar bunyi gaduh genjotan pedal yang dikayuh tak kenal pegal. Seperti biasa, koran dilempar sembarangan. Meskipun saya menanti di ambang pintu, siap menjulurkan tangan.

Saya menghampiri si koran malang. Membolak-balik setiap halaman, tapi tetap tertarik dengan berita baik di bagian depan. Alhamdulillah.

"Seorang kakek yang diduga memperkosa 5 anak gadis tetangga, akhirnya tertangkap juga..."

"Keluarga korban meninggal pada tawuran antarpelajar lalu tidak jadi menuntut si pelaku, karena ayah pelaku hanya penjual rujak yang tak laku-laku..."

"Terdakwa korupsi akhirnya keluar dari penjara berkat remisi hari raya..."

Alhamdulillah, berita baik.
Nampaknya, hidup yang kian rumit telah membuat makna berita baik semakin dipersempit.
Entah karena mencoba untuk lebih bersyukur dengan bahagia dari hal sederhana, atau karena terlanjur lelah merana menanti bahagia yang sebenarnya?

Dienstag, 18. Juni 2013

Ciliwung Kini. Hilir-Hulunya Dulu, Tak Begini.

Essay untuk seleksi k2n. Duh, semoga ya. #semoga



Ciliwung Kini.
Hilir-Hulunya Dulu, Tak Begini

                Siapa yang tak kenal Sungai Ciliwung? Salah satu sungai yang berani-beraninya melenggang tenang membelah kota Jakarta dari Gunung Pangrango, Jawa Barat hingga bermuara di Teluk Jakarta. Salah satu sungai yang dulu diunggulkan Belanda karena memiliki pelabuhan terbaik di nusantara dengan muaranya yang cukup ‘dalam’. Salah satu sungai yang selalu menjadi muara kutukan, karena dianggap pembawa banjir kiriman. Sungai Ciliwung memang menyimpan banyak cerita. Sebagai saksi bisu tingkah laku budaya (cultural behavior), peninggalan benda budaya (cultural artifact), serta alat rekam abadi pengetahuan budaya (cultural knowledge)[1] yang menjadi dasar pemahaman masyarakat dalam melihat perkembangan kearifan lokal dan sudut pandangnya terhadap lingkungan. 
Sayangnya, Ciliwung kini tak sama dengan yang dulu. Ciliwung tidak dapat lagi diharapkan sebagai sumber kehidupan. Mengacu pada evaluasi dan hasil pelaksanaan Pemantauan Kualitas Air 33 Propinsi Tahun 2011 oleh Pusarpedal Kementerian Lingkungan Hidup yang disampaikan dalam Rakernis PKA 33 Provinsi di Jayapura, Papua, didapatkan fakta bahwa dari 51 sungai yang dipantau di Indonesia, 74% masuk dalam kategori tercemar berat, dan salah satunya adalah Sungai Ciliwung.[2] Selain itu, Pusat Penelitian Limnologi LIPI juga menyatakan bahwa sungai Ciliwung telah terbukti mengandung merkuri sekitar 0,7 – 1,0 ppb. Kandungan merkuri tersebut semakin meningkat menjadi 1,8 – 2,8 ppb di Bendungan Katulampa. Padahal, kadar merkuri yang sekitar 0,0012 ppb saja, telah tergolong kronis dan membahayakan biota sungai, bahkan jentik nyamuk pun tak akan bisa hidup. Hal ini diakibatkan pembuangan limbah rumah tangga dan pabrik, seperti deterjen, tinja serta bahan-bahan kimia tak terurai lainnya, yang dilakukan tanpa responsibilitas terhadap daya dukung lingkungan di masa depan.[3]
Pada dasarnya, program pelestarian Sungai Ciliwung telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, program tersebut memiliki banyak kelemahan, seperti kebijakan pendukung yang tidak fleksibel, lemahnya penegakan hukum, tidak ada ruang penataan yang disepakati oleh seluruh pihak terkait, serta yang paling penting, pelaksanaan setiap program yang masih sangat sentralistik.[4] Pelaksanaan program pelestarian Ciliwung yang sentralistik ini membuat setiap program yang ada terkesan jalan di tempat. Hal ini terjadi karena jarang sekali ada komunikasi yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat setempat pada proses perencanaannya. Sehingga, program-program yang ditelurkan pun tidak kontekstual, tidak sesuai dengan kearifan dan kebudayaan masyarakat lokal. Karenanya, tidak jarang kita melihat bahwa pemerintah bergerak sendiri, tanpa dukungan masyarakat setempat—atau justru mendapat penolakan, dalam mengimplementasikan program pelestarian Ciliwung. Penyebabnya, lagi-lagi karena pemerintah gagal men-transfer kesadaran akan kritisnya kondisi Ciliwung kepada masyarakat, karena kebijakan yang sentralistik itu tadi.
Dengan demikian, saya melihat perlu adanya semacam mekanisme yang berbasis masyarakat dalam upaya penyelamatan Sungai Ciliwung. Bukan saatnya lagi bagi pemerintah untuk bekerja sendiri-sendiri dalam menyelamatkan sungai. Responsibilitas terhadap keberlangsungan peradaban sungai Ciliwung harus ditularkan ke masyarakat dalam skala mikro, yaitu melalui pelibatan mereka dalam berbagai aksi penyelamatan dan perawatan. Mengutip sedikit perkataan Fauzi Bowo, mantan Gubernur DKI Jakarta, ketika ditanyakan tentang bagaimana seharusnya upaya penyelamatan Ciliwung dilakukan, beliau berujar, “Pola pikir semua Pemda dan masyarakat harus diubah. Ini bukan soal daerah hulu milik siapa dan hilir punya siapa, tetapi ini adalah ‘us’—punya kita bersama dan yang berkepentingan agar sungai ini bersih adalah ‘we’—kita semua.”
Bentuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sungai Ciliwung dapat dilakukan dengan melakukan pengorganisasian masyarakat setempat. Pengorganisasian masyarakat sendiri diartikan sebagai proses membangun kekuatan dengan melibatkan konstituen sebanyak mungkin melalui proses menemu-kenali ancaman yang ada secara bersama-sama, menemu-kenali penyelesaian-penyelesaian yang diinginkan terhadap ancaman-ancaman yang ada, menemu-kenali orang,  struktur, birokrasi, serta perangkat yang ada, agar proses penyelesaian yang dipilih menjadi mungkin dilakukan, menyusun sasaran yang harus dicapai dan membangun sebuah institusi yang secara demokratis diawasi oleh seluruh konstituen. Sehingga, mampu mengembangkan kapasitas untuk menangani ancaman dan menampung semua keinginan dan kekuatan konstituen yang ada (Dave Beckwith dan Cristina Lopez, 1997 dalam Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB[5]). Pada umumnya, pengorganisasian masyarakat, berdasarkan pada bentuk yang disarankan Racelis (1994), dilakukan dengan melakukan beberapa tahapan, seperti pengintegrasian, penyidikan sosial, program percobaan, pembuatan landasan kerja, pertemuan teratur, permainan peran, mobilisasi atau aksi, evaluasi, refleksi, dan terakhir terbentuklah organisasi kemasyarakatan, baik formal atau pun informal .[6]
Beberapa contoh pengorganisasian masyarakat daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung yang cukup baik terlaksana adalah pembentukan Komunitas Pecinta dan Pemulih Sungai Ciliwung oleh Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basan (ECOTON). ECOTON sendiri seringkali mengadakan pelatihan-pelatihan bagi masyarakat setempat terkait dengan upaya pelestarian sungai Ciliwung dalam skala mikro. Seperti pelatihan fasilitator biotilik kesehatan Ciliwung yang dilakukan di Desa Cisampay, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Biotilik adalah cara pemantauan kualitas air dengan mengaduk dasar sungai menggunakan jaring, lalu mengambil beberapa sampel air tersebut, kemudian memisahkan biota air yang nampak bergerak-gerak pada air tersebut ke dalam plastik-plastik cetakan es batu  dengan menggunakan sendok. Penggunaan alat-alat yang cukup sederhana membuat metode ini sangat mudah, murah dan sesuai untuk diplikasikan di masyarakat.Pada pelatihan tersebut, 66 peserta dari berbagai elemen masyarakat setempat, baik guru, pelajar, komunitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), turut berpartisipasi.[7]
Asun Sudirman sendiri, salah satu peserta pelatihan yang juga merupakan anggota Ciliwung Institute ini, secara implisit mendukung upaya pelestarian sungai Ciliwung dengan skala mikro melalui pengorganisasian masyarakat. Menurutnya, konsep dan pendekatan pengendalian pencemaran dan pemulihan sungai yang ada selama ini, jauh dari pelibatan masyarakat, sentralistik, dan eksklusif. Padahal, Indonesia yang memiliki keanekaragaman habitat dan ekosistem, dengan pengaruh kondisi lingkungan yang berbeda, tidak seharusnya diterapkan metode yang seragam dalam pemantauan kualitas air dan upaya pemulihan daerah aliran sungainya.
Intinya, sudah bukan saatnya lagi kita saling tuding tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas meluapnya sungai Ciliwung, yang menyebabkan banjir selalu rutin terjadi dan datang tepat waktu. Bukan saatnya lagi kita saling tunjuk tentang apa salah siapa ataupun siapa salah apa, yang di hulu yang di hilir sama saja tanggung jawabnya. Sungai yang mengalami ‘urbanisasi’ ini, dari desa hingga ke kota tidak boleh lagi diperlakukan seragam. Setiap wilayah punya kearifan lokalnya masing-masing. Mereka punya cara bijaknya sendiri tentang bagaimana sebaiknya memperlakukan si sungai tua ini. Maka, pengorganisasian masyarakat lokal adalah salah satu pilihan yang harus dipertimbangkan. Karena Ciliwung yang ada kini, hilir-hulunya dulu, tak begini.
 




[1] Dikutip dari buku Ekspedisi Ciliwung; Mata Air, Air Mata hal. 263, diterbitkan oleh Kompas Gramedia tahun 2009.
[2] Dikutip dari artikel berjudul Pelatihan Fasilitator Biotilik Kesehatan Ciliwung oleh ECOTON yang ditulis oleh Prigi Arisandi, dimuat pada https://www.lingkungankita.com/media/set/?9362300027&type=1 dan diakses pada 9 Juni 2013 pkl. 03.02 WIB
[3] Dikutip dari artikel berjudul Air Sungai Ciliwung Mengandung Zat Berbahaya yang dimuat dalam http://www.beritabogor.com/2013/03/air-sungai-ciliwung-mengadung-zat.html, diakses pada tanggal 16 Juni 2013 pkl. 12.48 WIB.
[4] Kompas Gramedia, op. cit., hal. 265
[5] Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB hal. 2 diakses dari http://www.scribd.com/doc/80864332/MODUL-Pengorganisasian-Masyarakat pada tanggal 14 Juni 2013 pkl. 08.22 WIB.
[6] Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB hal. 5 – 6 diakses dari http://www.scribd.com/doc/80864332/MODUL-Pengorganisasian-Masyarakat pada tanggal 14 Juni 2013 pkl. 08.22 WIB.
[7] Dikutip dari artikel berjudul Pelatihan Fasilitator Biotilik Kesehatan Ciliwung oleh ECOTON yang ditulis oleh Prigi Arisandi, dimuat pada https://www.lingkungankita.com/media/set/?9362300027&type=1 dan diakses pada 9 Juni 2013 pkl. 03.02 WIB.

after-meeting-you taste

After meeting you, i can exactly define the criteria of the one I love.

Mittwoch, 5. Juni 2013

Indonesia Movement Conference 2013 #1

Halo, teman-teman! So, It's been about 3 weeks since the IMC 2013 be held. But too bad, I am getting forget every single detailed events happened there whereas I haven't written anything about it here. So, before all the moments fly away from my head, I'm now starting to make it everlasting hahaha

So, Indonesia Movement Conference 2013, or IMC 2013 for short, is a conference for Indonesian youth, organized by the students board of Prasetiya Mulya Business School and held in May 17-19, 2013. In this event, every province was represented by one youth delegate, and maybe because it was their first debut, the province participants are only 26 provinces. And I'm the delegate representing DKI Jakarta yeaaaaay

Anyway, ini kenapa gue jadi speaking english gini? Oke, haha so, in IMC 2013 we discussed much about things to do to make a better Indonesia. Besides, we shared knowledge, ideas, and spirit to be the driver of change in our own province! haha

To specify our focus, the committee divided us (the 26 delegates) into 5 clusters (education, environment, entrepreneurship, youth & leadership, culture) based on our social project. Ahya, before chosen to be delegates, we have to take the selection process which included short essay writing, application form filling, social project paper submission, and so on. Social project I submitted is my Trash me, it works! Movement hahah that's why it was grouped into the environment cluster. Then, in those clusters, we presented our sospro in front of the judges who are experts in every cluster. The 5 best social projects will get an amount of grants to realize their project. So, let's guess then did I become the best 5 social projects? *drumroll* the answer is NOOOOOOOO hahaha

so, are you eager enough to know why I wasn't chosen to be the 5 best projects? to be continued yaak guys, my mom is calling. asking me to nyuci piring. haha
fixed, postingan ini ditutup dengan sangat tidak elit haha


Sonntag, 5. Mai 2013

Jadi ceritanya

Jadi ceritanya saya luar biasa bosen dari tadi subuh mantengin laptop buat nyelesain proposal sospro terbaru saya untuk dikirim ke panitia IMC. Makanya sekarang boleh dong, ya, mampir kesini curhat-curhat dikit. haha

Oke, kebetulan saya memang sudah lama memendam keinginan untuk berbagi tentang project terbaru saya ini, namanya Trash me, it works! Movement haha Project ini berawal dari kurang lebih satu tahun yang lalu ketika harga tiket kereta api melonjak bombastis dan kereta ekonomi semakin sulit ditemukan. Then, I decided to be done with my train-life haha apadeh. Intinya, saya memutuskan untuk berpindah ke lain angkutan umum, yaitu angkot! Nah, rumah saya kan di Pejaten Barat, which means saya harus naik angkot dua kali, karena gak ada angkot yang langsung ke Depok dari sana. Maka jadilah setiap pagi saya transit di Pasar Minggu untuk nyambung angkot ke Depok.

Pas awal-awal lewat Pasar Minggu, saya kagum dibuatnya. Sejak saat itu saya sadar bahwa 'salah' kalo orang-orang bilang di Jakarta gak ada gunung. Buktinya, di Pasar Minggu ada banyak banget gunung, bedanya gunung ini tuh gunung sampah -.- Beberapa kali lewat, saya cukup maklum, saat itu saya pikir, Pasar Minggu kan aktifnya dari tengah malam sampe subuh, jadi wajar aja kalo jam segini itu sampah masih bertumpuk. Problema klasik lah, yang jualan gak mau buang sampah di tempatnya karena ngerasa udah bayar uang kebersihan. Tapi kemudian beberapa hari berikutnya siang-siang lewat Pasar Minggu karena kelas siang, gunungan sampah tersebut tetap ada, padahal sampah 'pagi'-nya udah diangkut ke Bantar Gebang. (fyi, di Pasar Minggu itu ada tempat penampungan sampah sementara gitu, sumber sampahnya selain dari Pasar Minggu, juga dari warga se-kecamatan Pasar Minggu. Dan setiap hari, sampah sekitaran pasar dikumpulin dalam dua gelombang, gelombang pagi dan malam, untuk kemudian dikirimlah itu sampah ke TPA Bantar Gebang) jadi ternyata Pasar Minggu yang saya pikir bersih di siang hari itu salah. Karena sesungguhnya Pasar Minggu memang tidak pernah bebas dari sampah. Hahaha *tawa miris* Eh tapi pernah deng satu kali Pasar Minggu bersih dari sampah, waktu menjelang penganugerahan Piala Adipura. Beh, itu yang namanya pasar yang super duper kotor, berubah jadi bersih tidak hanya sampahnya, tapi juga bersih pedagang kaki limanya, lho!

Maaf, kalo pemilihan diksi saya tidak bagus dan pengorganisasian kalimatnya tidak baik, ya, hehe udah ngantuk nih. Intinya pesannya tersampaikan lah yaa haha *excuse

Lanjut. Nah, karena liat pasar minggu yang luar biasa kaya akan sampah itu, dan pedagang-pedagangya yang sangat terbiasa buang sampah dimanapun mereka berada itu, saya sebagai GCC Leader #cailah tergerak untuk membuat perubahan hahaha jengjengjeng saya bikin komunitas pengolahan sampah disitu, yang SDMnya dari masyarakat lokal yang diberdayakan. Tujuannya ya untuk mengurangi volume sampah, karena temen-temen tau gak dari hasil ngobrol panjang lebar saya sama senior TekLing UI, silakan di-follow twitternya @evabeatrix, dia bilang masalah sampah itu bukan lagi soal mudah atau tidaknya terurai, bukan lagi pada dikotomi organik dan nonorganik, karena sebenernya ada konsep yang lebih baru dari itu, yaitu degradable dan nondegradable. But beyond of those conception, the problem of trashes is its volume. Ketika sampah lama belum terolah atau terurai secara alamiah, sampah baru muncul, hingga volumenya sudah tidak terkendalikan. Nah, saya tuh pengen orang-orang, setidaknya dalam skala pasar minggu dulu lah, sadar bahwa lifestyle memproduksi banyak sampah yang mereka biasakan itu merupakan sebuah masalah besar, lho. nah makanya, tujuan saya buat bikin komunitas pengolahan sampah itu bukan sekadar ikut-ikutan gaya hidup go green yang sekarang lagi giat dicanangkan, atau sekadar biar warga ngarti cara ngolah sampah bukan. It's not as simple as that. Lebih dari itu, saya mau konsepsi mereka terhadap sampah itu berubah. saya ingin merubah paradigma mereka tentang tanggung jawab pengelolaan sampah. Nah berhubung based on assessment saya kebanyakan pedagang disana memiliki latar belakang pendidikan yang tidak cukup memadai, saya melihat merubah paradigma itu tidak hanya cukup dengan sosialisasi ke pedagang, diskusi, dan sebagainya. Tapi harus ada sesuatu yang menarik mereka untuk berbuat demikian.

Akhirnya, saya memutuskan bahwa untuk merubah konsepsi masyarakat tentang sampah, mereka harus kita perkenalkan dulu dengan sampah dan kita perlihatkan 'keuntungan nyata' yang akan mereka dapatkan. Karena saya pernah baca di buku intervensi komunitas-nya Prof. Isbandi, katanya masyarakat akan cenederung tertarik dengan sesuatu yang terlihat jelas keuntungannya di mata mereka. Maka jadilah saya memilih untuk mendirikan komunitas pengolahan sampah, dengan harapan dari sana masyarakat akan paham bahwa sampah jika diberi nilai tambah akan bernilai jual tinggi. sehingga harapannya mereka akan lebih menghargai sampah dan gak buang sampah sembarangan.

Fiuh, finally I'm finish telling you about the background of my project. Sorry it is maybe a lil bit irritating your eyes because you'll find so many typos, bahasa amburadul dan acakadul or everything yang adul adul. haha

Anyway, project ini yang mengantarkan saya terpilih sebagai delegasi DKI Jakarta untuk Indonesia Movement Conference. (haha, you know I am so happy for it, although it's neither an international, famous, nor prestigious event, but having been accepted as one of the delegate there means I still have the opportunies to make this project be funded haha which in a broader meaning means my path in realizing this project has been soooo close!) Yeay, because on the D-day I will presentate my proposal about this project di depan dewan juri untuk kemudian dipilih 5 terbaik yang akan dibiayai. Ah bismillah ya. Bismillah.

Oke segitu dulu yaaa, aaaaak maaf tulisannya berantakan haha dadah!

Sonntag, 21. April 2013

terjadi baru kemarin


Mungkin mereka tidak pernah tahu bahwa saya menyimpan baik-baik foto itu. Sebaik saya menyimpan segala memori yang menjadikan foto itu selalu terasa terjadi baru kemarin. Selalu hidup, tak pernah redup.


*Gilaak, pasti mereka bakal mesem-mesem kuda dan ketawa-ketawa rese liat gue posting ginian bahahah*

Paspor

Akhirnya, kemarin saya menyelesaikan salah satu resolusi tahun 2013: bikin paspor (haha resolusi macam apa ini ya -.-)

Perjuangan banget loh ini bikinnya, bolakbalik berkali-kali ke imigrasi, berangkat subuh-subuh, ngantri panjang-panjang. Pas awal dateng ke imigrasi bahkan saya kesiangan dan harus balik lagi ke rumah loh. Daan pas wawancara dong, si abang-abangnya yang ganteng itu, yang masih muda itu, yang seragamnya ketat banget itu, galak banget wek. Ganteng sih ganteng, tapi kalo galak tetep aja ngeselin.

Oya, saya sesemangat itu bikin paspor bukan karena saya udah ada rencana mau kemana-kemana lho. hahahah saat itu saya belum tau sama sekali mau kemana, itu paspor mau dipake buat apa juga belum tau hahahah. Tapi Alhamdulillah beberapa hari setelah pembuatan paspor in progress, segalanya seperti Allah permudah ;') (cerita lengkapnya menyusul yaw)




Wahaha jadi gak sabar to go travel around the world niiiih. jadi gak sabar juga mewujudkan resolusi lain tahun ini: menjejakkan kaki di Eropa dan Asia amin amin.

"Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."
(QS. Al-Mulk : 15)

Sonntag, 24. März 2013

anggap aku satu dari seribu



Anggaplah aku satu dari seribu.
Jika orang lain mencintaimu dengan mengejarmu, aku hanya bisa tersenyum seraya menunduk kepadamu, bergurau dengan canda tawa di hadapanmu demi menutupi wajahku yang merona merah…menutupi diriku yang sesungguhnya sangat salah tingkah ketika bersamamu.
Anggaplah aku satu dari seribu.
Jika orang lain mencintaimu dengan mengejarmu, aku hanya bisa mengirimkan beberapa sms semangat, yang kemudian kuhentikan karena merasa ada yang tidak benar dengan mengirimkan sms-sms itu…sejujurnya jari-jariku ini terasa gatal tiap kali aku membuka kontak di ponselku dan melihat namamu ada di dalamnya.
Anggaplah aku satu dari seribu.
Jika orang lain mencintaimu dengan mengejarmu, semakin hari aku semakin takut berada di dekatmu, aku menahan diriku agar dapat sejarang mungkin berkomunikasi denganmu…kemudian aku perlahan menjauh, ketika hatiku mulai bergemuruh hanya dengan melihat sosokmu, ketika mataku senantiasa menemukan dirimu, tak peduli ada berapa banyak orang di sekitar kita, tak peduli seberapa jauh jarak antara aku dan kamu.
Anggaplah aku satu dari seribu.
Jika orang lain mencintaimu dengan mengejarmu, aku mulai gelisah…dan aku mulai menceritakan tentangmu kepada Sang Pembolak-balik hati, kutitipkan hati dan harapanku kepadaNya…lalu kusebutkan namamu di tiap do’a dalam sujud-sujudku, dan tak ada satupun do’a yang memohonkan agar aku bisa memilikimu, semua do’aku tiada lain senantiasa dan selalu…agar kamu menemukan kebahagiaan dalam hidupmu.
dengan cara itulah aku mencintaimu,
saat ini… esok…suatu hari nanti… 
-dari aku, untuk kamu
--- dikutip dari tumblr seorang teman. Tanpa perubahan apapun. oenyoe ya ;3 

Samstag, 23. März 2013

loving needs reason

Kata siapa cinta tidak butuh alasan? Justru kita butuh alasan untuk mencintai seseorang. Agar ketika cinta itu digoyang badai, kita tahu mengapa kita harus mempertahankannya.
- saya, disela-sela masa kejar deadline review jurnal yang tinggal 29 menit lagi.

Freitag, 22. März 2013

'what crime is'

Much deviance is expressive, a clumsy attempt to say something. Let the crime then become a starting point for a real dialogue, and not for an equally clumsy answer in the form of a spoonful of pain.
- Nils Christie, talking about why restorative justice is preferable.

Montag, 18. März 2013

abstrak #1


Beberapa minggu belakangan ini nyoba untuk terus produktif ngirim-ngirim abstrak kesana-sini. Hingga, voila! jadilah abstrak pertama saya. Agak gak menantang sih ini bikinnya, karena tinggal edit-edit penelitian yang lalu untuk tugas mata kuliah Perlindungan Anak haha Tapi tetep aja ya, hasilnya gak bagus-bagus amat. Anyway, abstrak ini dikirim ke Conference on Poverty and Social Protection nih. Biar jelek, tapi semoga ya haha #semoga! ohiyak, in progress nih next abstrak. Doain yak, semoga membaik. Amin. Okay, lets enjoy this one!
---
Gambaran Viktimisasi Tahanan Anak Perempuan Rumah Tahanan Pondok Bambu sebagai Pendukung Penolakan Penahanan Anak Perempuan
Oleh Lili Nur Indah Sari

Ada banyak pihak yang berperan untuk menjamin berhasilnya pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Secara ideal, masa kanak-kanak sarat akan permainan dan pembelajaran mengenai banyak hal di mana keluarga, sekolah, dan masyarakat mengambil peran penting di dalamnya. Maka dari itu, hilangnya satu peran dapat berpengaruh pada sempurna atau tidaknya tumbuh kembang anak. Dalam keadaan lain, terdapat pula situasi yang bertolak belakang dengan masa tersebut sehingga berimplikasi pada ketidaksempurnaan pembentukan dasar kepribadian anak. Situasi tersebut salah satunya dialami oleh anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law).
Mengacu kepada hal tersebut, peneliti melihat bahwa terdapat kecenderungan permasalahan khas yang terjadi pada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) terutama pada mereka yang bergender perempuan. Terdapat kemungkinan di mana mereka cenderung memperoleh perlakuan yang tidak seharusnya dari sejumlah pihak. Kali ini, peneliti mencoba fokus pada anak-anak yang mengalami penahanan, lebih khusus lagi pada mereka yang bergender perempuan. Mengapa fokus pada anak perempuan? Pada intinya, kami melihat bahwa anak perempuan memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat disamakan dengan anak laki-laki, seperti kebutuhan bagi pemenuhan kesehatan reproduksi. Sayangnya, sedikit sekali penjara atau rumah tahanan yang mampu menyediakan kebutuhan tersebut dengan baik. Selain itu, hak perempuan terhadap harga diri dan penghormatan juga seringkali dilanggar dalam proses penahanan. Lebih luas lagi, peneliti juga berusaha untuk sensitif terhadap peran dan fungsi pemenjaraan sendiri sebagai bentuk penghukuman terhadap anak-anak. Peneliti mencoba melihat sejauh mana penahanan anak tersebut efektif menangani kasus pidana yang dilakukan anak atau hanya bentuk lain dari perampasan hak anak, bahwa kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama.[1]
Untuk menyamakan persepsi, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam membatasi usia anak, pasal 1 undang-undang ini menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selain itu, istilah ‘anak yang berhadapan dengan hukum’ dipahami sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun yang diduga, dituduh, dan diakui telah melakukan pelanggaran hukum pidana[2]. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam rangka memperoleh informasi reliabel yang mendalam dari para informan terpilih mengenai gambaran kondisi dan situasi anak perempuan yang berhubungan dengan hukum terkait. Berdasarkan pendekatan yang digunakan, penelitian ini dikembangkan secara deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran rinci atas permasalahan yang diangkat. Untuk memperoleh informasi, tim peneliti menggunakan depth interview sebagai teknik pengumpulan data. Informasi lain yang mendukung reliabilitas langsung diperoleh dari sumber literatur lain yang mendukung topik permasalahan. Peneliti mengambil objek penelitian yang berlokasi di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.  Lokasi tersebut dipilih berdasarkan kategori tahanan yang ditempatkan pada lokasi tersebut, yaitu anak perempuan dan perempuan dewasa, yang peneliti anggap sesuai dengan tema penelitian yang diangkat. Peneliti mengajukan surat izin penelitian kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, DKI Jakarta pada Rabu, 15 November 2012.  Rujukan dari pihak terkait terdisposisi pada Selasa, 27 November 2012.  Pertemuan serta depth interview dengan ketiga informan dilakukan secara bertahap dari Senin, 3 November 2012 hingga satu minggu selanjutnya.
Harapannya, penelitian ini mampu menggambarkan pola perlakuan masyarakat Rumah Tahanan Pondok Bambu terhadap tahanan anak perempuan. Sehingga, peneliti mendapatkan pula gambaran kerentanan, risiko-risiko, atau bahkan viktimisasi yang dihadapi anak perempuan yang berada di dalam tahanan untuk kemudian gambaran ini dapat peneliti jadikan dasar atau pendukung usulan pembuatan kebijakan yang menentang penghukuman anak dengan penahanan.
Penelitian ini melibatkan tiga informan ABH yang ditempatkan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Anak pertama bernama Anne (nama disamarkan), 17 tahun, sudah berada di rumah tahanan selama dua bulan karena keterlibatannya dalam kasus pengeroyokan yang dilakukan bersama enam orang teman lainnya.  Selanjutnya, Lissie (nama disamarkan), 17 tahun, berada di rumah tahanan selama empat bulan karena kasus penipuan sejumlah Rp 5.000.000,00 yang ‘diduga’ melibatkan dirinya.  Informan berasal dari Makassar dan ditempatkan di Jakarta karena pelapor berdomisili di Jakarta. Kemudian, Keirra (nama disamarkan), 16 tahun, sudah berada di rumah tahanan selama dua bulan karena kasus tawuran antar pelajar bersama teman lainnya yang ditahan di rumah tahanan Salemba.
Melalui pendekatan dan wawancara yang dilakukan selama seminggu berturut-turut, peneliti menemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan permasalahan yang diangkat. Menurut informan, anak-anak yang melakukan tindak pidana kebanyakan berasal dari kelas menengah bawah, hal ini juga diperkuat dengan data kepolisian setempat. Lagi-lagi, kemiskinanlah biang keladinya, masalah ekonomi sudah semakin terasa klasik bahkan bagi seorang anak. Ditemukan pula praktik-praktik pembayaran ‘gelap’ yang tidak legal, seperti pembayaran uang turun kamar kurang lebih Rp 3.000.000,00 bagi tahanan baru (belum termasuk uang kamar dan biaya hidup lain). Rutan tersebut juga tidak secara khusus memperhatikan kebutuhan dasar perempuan seperti pembalut dan pakaian dalam. Penempatan tahanan anak-anak perempuan bersama tahanan perempuan dewasa juga sangat mempengaruhi perkembangan mental anak yang ‘dipaksa’ untuk dewasa sebelum masanya. Di luar itu, masih banyak temuan lain yang intinya mengantarkan pada sebuah kesimpulan yang memperjelas bahwa penjara memang bukan tempat bagi anak-anak.
Sayangnya, undang-undang yang berlaku di Indonesia saat ini sangat tidak sensitif anak. Berkebalikan dengan tujuan pelaksanaan diadakannya sistem penahanan atau pemenjaraan bagi anak, yaitu sebagai fungsi “proteksi” dan “memprioritaskan kebaikan anak”, care bukanlah apa yang anak-anak perempuan ini dapatkan ketika mereka berada di penjara. Banyak hak anak yang terabaikan. Penerapan pemenjaraan yang tidak sensitif gender pun semakin menambah panjang alasan mengapa pemidanaan bentuk ini sangat tidak baik bagi anak perempuan. Pada dasarnya memang karena perempuan dekat dengan viktimisasi dan sangat rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual. Ekspektasi sosial terhadap anak perempuan serta pengalaman anak perempuan pun berbeda dengan anak laki-laki yang menyebabkan perkembangan anak perempuan dalam masa-masa remaja mereka dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga, proses peradilan anak memiliki dampak yang berbeda bagi anak-anak perempuan dari dampak yang diterima oleh anak laki-laki. Hal ini semakin menunjukkan ketidaklayakan tahanan sebagai muara penghukuman bagi anak-anak. Bagaimanapun bentuknya, penjara bukanlah tempat bagi anak. Dan harus ada perbaikan kebijakan yang melarang pemenjaraan sebagai bentuk penghukuman bagi anak.


REFERENSI
Alemagno, Sonia A.  2006.  Juveniles in Detention: How Do Girls Differ from Boys.  Journal of Correctional Health Care 12.  45-51
Dirks, Danielle.  2004.  Sexual Revictimizatoin and Retraumatization of Women in Prison.  Women’s Studies Quarterly 32. 102
Dodge, L.Mara.  1999.  One Female Prisoners is of More Trouble than Twenty Males: Women Convicts in Illinois Prisons, 1835-1896.  Oxford Journal 32.  907-930
Dohrn, Bernardine.  2004.  All Ellas: Girls Locked Up.  Feminist Studies 30.  302-324
Sherman, Francine T.  2005.  Detention Reforms and Girls: Challenges and Solutions.  Baltimore: The Annie E. Casey Foundation



[1] Konvensi Hak Anak, Pasal 3. Hak-hak anak lain yang wajib dipenuhi oleh semua pihak telah terangkum dalam Konvensi Hak Anak yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989.
[2]Detrick, Sharon, et. all.  Violence against Children in Conflict with the Law (2008), pg.

Samstag, 28. Dezember 2013

#flashfiction - Satu Lagi


            “Toeeeettoeeeeeet!”
“Preeeeeetpretpret!”   
“Abang Udiiiiiiin! Abaaaaaang!”
Gempita tahun baru mulai membahana. Bunyi terompet menyahut dimana-mana. Melihat temannya asik membunyikan terompet, Ucup tak mau kalah.
“Kenapa, Cup?”
“Abang, Ucup mau terompet kayak Lela sama Jaenudin, Bang! Beliin, Bang!”
“Jaenab juga, Bang!” adik bungsunya menambahi.
“Yailah, kagak usah beli, Cup. Pinjem aja. Abis taun baru juga kagak dipake lagi terompetnya.”
“Malu, Bang, pinjem mainan mulu. Lagian, kata Lela, terompetnya kagak boleh dipinjem, Bang. Takut bau jigong katanya. Ya kan, Nab?”
“Iya, betul, Bang!”
Mau bagaimana lagi, memang masuk akal alasan adik Udin kali ini. Untuk mainan lain—dengan alasan menghemat pengeluaran, Udin meminta adiknya untuk meminjam saja. Tetapi, untuk terompet, mana mungkin ada yang mau meminjamkan? Kalau sudah begini, bertambah satu lagi target ngamen Udin. Uang kontrakan, listrik yang belum dibayar, serta uang untuk membeli terompet.
  ***
Pukul 11.57 WIB. Adzan dzuhur berkumandang ketika matahari siang sedang semangat-semangatnya menyinari bumi. Udin bergegas ke masjid, meninggalkan perempatan lampu merah yang biasa menjadi tempat mangkalnya.
Jangan sampe kelewatan shalat jama’ah di masjid nih..” gumamnya dalam hati.
Mungkin, kerasnya hidup mengajarkannya untuk semakin taat pada Tuhan. Shalat tepat waktu, berdoa, memohon kepada Tuhan agar dibukakan ‘pintu’.
***
           “Bang Udin, bagus amat, Bang, terompetnya! Beli dimana, Bang? Ini bukannya mahal, Bang?” Ucup tidak mampu menutupi rasa sumringah karena terompet-yang-sepertinya-mahal itu kini menjadi miliknya.
            “Iya, Bang! Wah, temen-temen pasti ngiri sama kita ya, Bang Ucup, soalnya terompet kita lebih bagus dari punya mereka.”
            “Iya, bagus kan? Untuk sementara, itu dipake berdua dulu, ya. Besok, abang bawain satu lagi. Biar kalian pake terompetnya nggak usah gantian.”
            “Wah, bener nih, Bang?! Asiiiiiik!” seru Ucup dan Jaenab.
            “Besok saya harus datang ke masjid lebih awal lagi nih. Supaya bisa leluasa ngambil terompet  yang penjualnya lagi sholat jama'ah. Satu terompet lagi aja kok. Satu lagi.” gumam Udin dalam hati.

Freitag, 20. Dezember 2013

#3 Kontemplasi

Pernah nggak sih lo berada pada masa berat yang sangat super duper berat? Masa dimana rasa-rasanya lo ingin menegasikan semua ketentuan Tuhan, anjuran Tuhan, atau bahkan eksistensitas-Nya. Lo menentang apa yang selama ini lo terima dan lo yakini sebagai sesuatu yang benar. Pikiran lo lepas, menyelidik, menalar hingga ke akar setiap hal. Ketika rasa yang sama-sama kita sebut iman, semacam berguncang, berontak dari tempatnya semula, jatuh pada titik paling lumpuh.

Tapi kemudian, Tuhan dengan segala kuasa-Nya, menyembuhkan luka itu. Meniadakan takaran berat itu. Kita pun semacam terlahir kembali. Dengan semangat berkali lipat. Dengan pundak yang kian siap dengan segala kehendak. Lalu, lo pun semakin sadar, betapa Tuhan begitu menyayangi lo. Betapa kemudian, euforia akan manisnya keimanan kembali membuncah di dada. Namun dengan energi yang bertambah besar dan bertambah besar.

Mungkin memang seperti itu ya hidup. Bersiklus. Sedih senang, susah gampang, suka duka. Termasuk juga keimanan yang kadang naik, sebentar kemudian turun.


Mittwoch, 13. November 2013

Ikan Buntal: Alien Laut Pembuat Crop Circle

Oops Oops Oops... Oops Oops Oops...
Oops Fugu Fugu... Oops Fugu Fugu...

Bagi Anda yang merupakan penikmat iklan, pasti familiar dengan kalimat di atas. Ya, potongan kalimat tersebut merupakan jingle sebuah snack biskuit anak-anak dengan merek dagang Oops. Sebelumnya, mungkin saya harus memperingatkan, bahwa tulisan ini bukanlah tulisan berbayar yang berusaha untuk mengiklankan si snack biskuit tersebut. Sebenarnya, saya hanya ingin bercerita tentang biota laut favorit saya yang kebetulan bentuknya mirip dengan si snack biskuit ini. Mungkin beberapa dari Anda masih ingat jika Oops sendiri memiliki beberapa varian rasa, kebetulan karena Oops Fugu ini bentuknya gembung menyerupai ikan buntal, maka dinamakanlah Oops Fugu.
          Kata Fugu sendiri berasal dari Bahasa Jepang yang berarti babi sungai. Orang Jepang biasa menggunakan istilah ini untuk menyebut ikan buntal yang dianggap sebagai babi-nya sungai. Ikan ini biasa hidup di perairan pesisir laut hangat, bahkan jenis-jenis tertentu mampu hidup pada perairan tawar. Umumnya, ikan ini berbentuk menyerupai tornado, dengan mata bulat besar dan kepala yang juga bulat besar namun semakin mengecil ke arah ekornya. Dengan ukuran rata-rata 0.3m – 0,6m, ikan ini dapat menggembung hingga beberapa kali ukuran aslinya. Ikan yang masuk ke dalam famili Tetraodontidae ini juga memiliki struktur gigi yang cukup unik. Empat gigi besarnya melebur menjadi satu hingga membentuk paru yang cukup unik. Kabarnya, beberapa spesies ikan buntal menggunakan paru ini untuk mengeruk batuan dan koral. Sedangkan, beberapa spesies lain menggunakan paruhnya untuk mencungkil berbagai krustasea dan kerang (nationalgeographic.co.id, 2013).
          Ada banyak sekali alasan yang membuat saya jatuh cinta dengan ikan dengan nama latin porcupinefish ini. Salah satunya adalah fakta bahwa kemampuan ikan ini membuntal atau menggembung seperti balon, sebenarnya hanyalah upayanya untuk menutupi kelemahannya dalam berenang yang cenderung lambat dan ceroboh. Dari sini, mungkin kita bisa belajar dari ikan buntal. Daripada meratapi kelemahan, lebih baik fokus dengan kelebihan. Sadar bahwa dirinya lemah dalam berenang—yang membuatnya sulit kabur dari musuh, ikan buntal tidak lantas bersedih, ia mencari cara lain yang membuatnya dapat menghindar dari musuh. Ya, dengan membuntal.
Selain itu, jika ditelisik lebih jauh, ternyata ikan buntal juga memiliki keistimewaan lain. Kalau Anda pernah mendengar berita tentang munculnya crop circle di tengah sawah—yang gosip-nya dibuat oleh alien, ternyata, kita juga dapat menemukan crop circle di dalam laut. Bedanya, untuk crop circle di dalam laut ini, dugaan pelakunya bukanlah alien-alien dengan ufo-nya itu. Melainkan, pembuatnya adalah ikan buntal!

Sumber: www.memobee.com

Fakta ini terungkap ketika tahun 1995, struktur geometris mirip crop circle ditemukan di dasar laut wilayah Pulau Amami, Oshima, Jepang. Disebutkan oleh nationalgeographic.co.id dalam sebuah artikel berjudul “Benarkah Ikan Buntal Pembuat Crop Circle di Dasar Laut”? yang diterbitkan tahun 2013, struktur tersebut tampak rapi dan simetris, terdiri atas bentukan lembah dan puncak. Saat itu, belum diketahui asal usul munculnya crop circle tersebut, apakah alami atau buatan. Hingga akhirnya, sebuah penelitian pada tahun 2011 berhasil mengungkap bahwa struktur tersebut alami, sengaja dibuat oleh pejantan ikan buntal (Torquigener sp) yang berusaha untuk menarik perhatian lawan jenisnya.
Masih dari sumber yang sama, disebutkan bahwa proses pembuatan crop circle ini umum dilakukan ikan buntal jantan sebelum melakukan perkawinan. Biasanya, sang buntal betina akan datang ke struktur yang telah dibuat oleh si jantan. Lalu, buntal jantan akan mengejarnya, hingga pada titik tertentu mereka berhenti saling berkejaran, dan terjadilah perkawinan. Buntal betina akan meletakkan telur di bagian tengah struktur geometris ini. Pejantan pun akan bertahan di struktur ini selama paling tidak enam hari. Selanjutnya, sang betina akan tinggal satu menit lalu pergi dan beberapa kali akan menjenguk telur-telurnya tersebut.

Sumber:

Dienstag, 5. November 2013

Coral Reefs Ambassador Competition: Another Way of Being a Hero

Pagi-pagi sekali, pada Kamis (24/10) lalu, lobi Senayan City ramai oleh sekelompok orang dengan barang bawaan yang tak lazim bagi pengunjung mall, seperti tas pakaian besar, koper, dan sebagainya. Mereka adalah rombongan peserta dan panitia pembekalan Coral Reefs Ambassador Competition yang akan diadakan di Pulau Umang Resort pada 24 - 26 Oktober 2013.

Coral Reefs Ambassador Competition merupakan sebuah kompetisi Duta Terumbu Karang bagi siswa SMA dan mahasiswa yang diadakan oleh Indonesia Global Compact Network berkolaborasi dengan Ujungkulon Conservation Society dan Matoa Albarits. Kompetisi ini menantang setiap Duta Terumbu Karang terpilih yang merupakan delegasi dari berbagai universitas di Indonesia untuk mengedukasi lingkungannya tentang arti penting terumbu karang dan usaha penyelamatannya bagi keseimbangan ekosistem kelautan. Lomba ini berjalan sekitar sembilan bulan ke depan dan akan ditutup dengan pameran yang akan diadakan di Senayan City pada bulan Juni 2014. Nantinya, empat peserta terbaik pada kompetisi ini akan mendapatkan hadiah perjalanan ke Taman Nasional Alas Purwo yang berada di ujung timur Pulau Jawa. Selain itu, satu peserta terbaik pada masing-masing kategori SMA dan Universitas juga akan mendapatkan beasiswa penuh untuk berkuliah di PPM Manajemen.

Perjalanan menuju Pulau Umang sendiri memakan waktu kurang lebih delapan jam perjalanan darat ditambah dengan lima belas menit perjalanan laut untuk menyeberang dari Dermaga Sumur ke Pulau Umang menggunakan speedboat. Namun demikian, segala keindahan yang terbentang luas di depan mata seolah membayar segala lelah akibat lamanya perjalanan tersebut. 

"Pulau Umang diliat dari seberang menggoda banget untuk dijelajahi. Pasirnya, langitnya, indah semua!", terang Noviarani Triandana Ayu, salah satu peserta kompetisi ini.

Selama di Pulau Umang, para Duta Terumbu Karang tersebut selain mendapatkan materi pembekalan tentang terumbu karang, mereka juga berkesempatan untuk snorkeling dan melihat langsung terumbu karang yang ada di laut ujung Pulau Jawa tersebut.

"Keren banget terumbu karangnya. Disini (terumbu karangnya--pen) lebih banyak variasi warna dan ikannya dibandingkan sama yang di Kepulauan Seribu.", ujar Putu Pande, Duta Terumbu Karang dari Universitas Indonesia.

Pada hari terakhir rangkaian pembekalan tersebut, peserta kedatangan tamu istimewa dari berbagai lembaga dan perusahaan yang juga ingin menunjukkan kepeduliannya terhadap terumbu karang Indonesia. Dengan bimbingan para Duta Terumbu Karang, perwakilan lembaga dan perusahaan tersebut turun langsung ke pantai untuk melakukan transplantasi terumbu karang yang ada di Pulau Umang. Tidak ketinggalan, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, pun turut berpartisipasi dalam acara ini.

Dalam nuansa seremonial hari pahlawan ini, mungkin kegiatan di atas bisa kita jadikan inspirasi. Bahwa menjadi pahlawan ternyata tidak melulu berkutat dengan perjuangan di medan perang. Berperan aktif menjaga lingkungan juga bagian dari upaya menerapkan nilai-nilai kepahlawanan, seperti para Duta Terumbu Karang tersebut misalnya.

Maka, sekarang mari bersama singsingkan lengan baju. Pilih bidang apa yang menjadi passion-mu! Lalu berkaryalah disana, menjadi hebatlah disana, tebar inspirasi dimana-mana! Dan jadilah pahlawan kebanggaan semua!


*foto menyusul yaa teman-teman.
** Tulisan juga dimuat disini.

Montag, 4. November 2013

Pahlawan Di Tahun Digit 2000-an

Halo November!
Menapaki bulan November, rasa-rasanya memang tidak lepas dari keriaan hari pahlawan yang akan kita sambut tanggal 10 nanti. Tentunya, sebagai kaum muda, kita memang dituntut untuk lebih dalam memaknai keriaan tersebut. Karena, siap atau tidak, tanggung jawab sebagai pembawa perubahan bagi bangsa itu ada di pundak kita, kawan! Maka, mari berefleksi, sudah sejauh mana sumbangsih kaum muda masa kini dalam upaya membangun bumi pertiwi? Atau, sebenarnya kita masih bertanya-tanya, apa iya bangsa kita masih membutuhkan sosok pahlawan? Lalu, sosok pahlawan seperti apa sebenarnya yang dibutuhkan Indonesia masa kini?

Pada dasarnya, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas sederhana. Sesederhana satu-dua sampah yang berterbangan di pojok lampu merah, atau bunyi klakson yang menggema di langit Jakarta karena kemacetan yang tak tertahankan. Jika dalam keseharian kita masih dapat menemukan hal-hal sederhana tersebut, maka jelas jawabannya, Indonesia masih butuh pahlawan! Indonesia masih butuh mereka yang mau bersama menyebarkan kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya. Indonesia masih butuh mereka yang mau membuka mata orang-orang di sekitarnya, bahwa kemacetan sebenarnya buah dari ulah kita sendiri yang enggan berpindah ke transportasi publik karena terlalu nyaman dengan kendaraan pribadi.

Pastinya, di tahun digit 2000-an ini, dengan melihat perkembangan zaman yang luar biasa pesat sekarang, tidak relevan bagi kita untuk tetap berpikir bahwa pahlawan adalah mereka yang gagah membunuh penjajah, bertaruh jiwa dan raga di medan perang, tanpa lupa dengan bambu runcingnya. Hal ini karena musuh yang kita hadapi saat ini bukan lagi musuh-musuh yang bisa mati dengan tembakan peluru atau pun terjangan bambu runcing. Di jaman serba mudah ini, bisa jadi musuh kita adalah diri kita sendiri--dengan rasa malasnya, ketidakpekaannya, dan atribut lain yang membuat kaum muda tidak produktif dan solutif.

Oleh karena itu, kenyataan bahwa Indonesia masih membutuhkan sosok pahlawan, memang telah sama-sama kita sepakati. Namun, jangan lupa juga, bahwa makna pahlawan tersebut juga telah bergeser. Mungkin, ketika jaman dulu ibu-bapak kita bangga bercerita tentang para pahlawan yang gagah di medan perang, kita bisa tunjukkan bahwa berlaga membawa nama Indonesia pada kompetisi internasional adalah juga gagah gaya baru. Ketika pahlawan jaman dulu tak pernah lupa membawa bambu runcingnya, pahlawan masa kini tidak pernah lupa membawa pensilnya yang sudah diraut sampai runcing. Sehingga, akan selalu produktif menulis! Haha.

Intinya, mari berhenti berpikir bahwa isu kepahlawanan macam ini tidak cukup kece untuk dibahas. Juga mari berhenti berimajinasi bahwa pahlawan adalah cerita masa lalu--toh, jika pun ada gambaran pahlawan masa kini, yang muncul adalah tokoh-tokoh manusia (yang menjadi) super karena digigit laba-laba, atau menjadi titisan kelelawar. Karena faktanya, di tahun digit 2000-an ini, Indonesia masih butuh pahlawan-pahlawan muda dengan ide segar dan jiwa besar yang siap bersatu membangun bangsa. Walaupun begitu, jangan dulu berpikir bahwa ini berarti, kita harus membuat suatu terobosan hebat penuh manfaat. Mulai saja dari hal sederhana, karena percayalah, setiap bentuk kecil kebaikan yang kita lakukan, telah menjadikan kita seorang pahlawan--paling tidak bagi lingkungan sekitar.


**Tulisan juga dimuat disini. Waktu IF masih nge-wordpress dan sekarang kita dotcom-ers doong, inspiratorfreak.com

Dienstag, 29. Oktober 2013

Terumbu Karang Punya Kita, Bukan?

Mungkin kita memang patut berbangga dengan negara tempat kita berpijak saat ini. Dengan luas lautan yang mencapai 5.8 Juta KM2 ini, Indonesia menjadi bagian dari wilayah Marine Mega-Biodiversity terbesar di dunia. Selain itu, yang juga tak kalah mengagumkan, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tahun 2010, Indonesia juga menempati urutan ke-2 negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, yaitu sekitar 54.716 KM, setelah posisi pertama ditempati oleh Kanada dengan garis pantai kurang lebih 202.080 KM. Jika ditarik perbandingkan dengan garis pantai dunia, sebuah sumber online menyatakan, bisa digambarkan bahwa panjang pantai Indonesia sekitar 25% dari panjang pantai negara di dunia. Sehingga, tentunya dapat kita bayangkan, bagaimana negara ini telah 'menguasai' paling tidak 1/4 pantai dunia.
Lebih jauh, luasnya laut Indonesia membuat negara yang memang mendapat julukan negara maritim ini menjadi sangat kaya dengan potensi kelautannya. Dari data statistik yang dilansir oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia, tercatat ada lebih dari 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, serta 950 spesies terumbu karang yang bernaung di lautan kita. Berbicara tentang terumbu karang, masih berdasarkan data dari KKP RI, tercatat bahwa luas terumbu karang yang ada di Indonesia adalah 51.000 KM2 atau sekitar 18% dari total seluruh terumbu karang yang ada di dunia. Kabarnya juga, terumbu karang Indonesia yang luar biasa luas itu menjadikan negara ini sebagai bagian dari kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) dunia, yaitu kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut paling kaya di dunia, meliputi laut-laut di enam negara kawasan Asia Pasifik, seperti Indoneia, Filipina, Kepulauan Solomon, Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste (Kompas.com, 2010).
Sayangnya, keistimewaan terumbu karang Indonesia tersebut tidak semerta-merta membuat manusia segan merusaknya. Berdasarkan laporan Reef at Risk tahun 2002, disebutkan bahwa selama 50 tahun terakhir, proporsi penurunan kondisi terumbu karang Indonesia telah meningkat dari 10% menjadi 50%. Lebih jauh, hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menyatakan bahwa 37% kondisi terumbu karang Indonesia berada dalam kategori rusak sedang dan sekitar 33% berada dalam kondisi rusak parah. Walaupun memang, kita tidak bisa mengeneralisasi bahwa seluruh penurunan kondisi tersebut disebabkan oleh ulah manusia—karena tentunya banyak hal yang menjadi faktor kerusakan tersebut, seperti arus laut itu sendiri dan pergerakan biota laut. Namun, sebagai bahan refleksi, mungkin kita bisa melirik fakta yang dirilis oleh World Resources Institute (2012) melalui artikelnya yang berjudul Reefs at Risk Revisited in the Coral Triangle, bahwa ternyata, kebanyakan terumbu karang di dunia terancam karena aktivitas manusia. Selain itu, disebutkan pula bahwa 60% dari terumbu karang yang ada menerima ancaman langsung dari manusia berupa penangkapan yang merusak, penangkapan berlebih, pembangunan pesisir, pencemaran dari Daerah Aliran Sungai (DAS), ataupun pencemaran yang berasal dari laut itu sendiri. Ditambah lagi, sekitar 75% terumbu karang yang ada juga dalam kondisi terancam akibat suhu global yang meninggi—untuk hal ini tentu kita tidak dapat menafikan, bahwa gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkunganlah yang menyebabkan naiknya suhu global.

Dari aspek penegakan hukum, terumbu karang pun tidak luput dari ancaman kejahatan. Komodifikasi terumbu karang Indonesia menjadi semacam kenisayaan yang harus dihadapi. Warna-warni terumbu karang yang indah nampaknya tidak hanya memesonakan kita, namun juga menyilaukan mata para oportunis untuk menjadikan terumbu karang komoditas bisnis. Seperti yang dilansir oleh salah satu portal berita online berikut, pengeksporan terumbu karang ilegal di Jawa dan Bali masih marak terjadi. Bahkan, terumbu karang tersebut dijual dengan harga ekspor yang sangat murah, yaitu sekitar US$ 45 per satuan (metrotvnews.com, 2013). Ya, meskipun ilegal, yang penting kantung tebal—mungkin begitu menurut mereka.


Sumber: Pribadi
  
Padahal, aktivitas ekspor terumbu karang ilegal ini jelas telah melanggar hukum, salah satunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Ratifikasi Pengesahan Protokol Nagoya* mengenai Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya. Protokol Nagoya sendiri berisi tentang capaian historis tentang pelaksanaan Convention on Biological Diversity (CBD) sejak 18 tahun yang lalu. Hal ini karena pelaksanaan CBD tersebut dianggap belum optimal karena tidak ada protokol yang menjadi bentuk konkret dari konvensi tersebut. Oleh karena itu, Protokol Nagoya juga berisi aturan pemberian akses dan kemauan berbagi keuntungan secara adil dan setara atas pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati tersebut (Kompas.com, 2010).
Dengan demikian, upaya penyelamatan terumbu karang kita menjadi harga mati. Karena sesungguhnya, pemaparan akan risiko dan ancaman di atas hanyalah sebagian kecil dari fakta yang tercatat rapi atas kondisi terumbu karang kini. Penanganan terhadap terumbu karang pun harus dilakukan secara komprehensif, jangan lagi parsial. Mengingat, permasalahan terumbu karang ini adalah persoalan multidimensional, menyangkut aspek hukum, lingkungan, ekonomi, dan bahkan kemanusiaan yang keseluruhannya bukanlah sesuatu yang opsional. Lebih jauh, keterlibatan semua pihak dalam upaya penyelamatan ini juga menjadi satu faktor yang harus diperhatikan. Jangan hanya pemerintah, penegak hukum atau pemerhati lingkungan. Tetapi yang muda yang tua, yang pekerja yang pengusaha, semuanya harus turut ambil bagian. Terumbu karang ini punya kita semua, bukan?



*Protokol Nagoya dalam bentuk lengkap bisa diakses di http://www.cbd.int/abs/doc/protocol/nagoya-protocol-en.pdf

*tulisan ini juga dimuat disini.

Donnerstag, 19. September 2013

Hilang, Menghilang, Kehilangan

Pernah kehilangan seseorang? Tapi bukan kehilangan karena perpisahan, kepindahan, pertengkaran, dan sebagainya. Maksud saya, kehilangan yang selama-lamanya. Kehilangan secara harafiah. Tidak akan pernah bertemu, berbicara, bercanda lagi. Karena yang bersangkutan telah pergi, masuk ke dalam dimensi waktu yang lebih tinggi. Sederhananya sih, menghadap Illahi.

Saya, saat ini, entah kenapa merasa perasaan akan kehilangan itu dekaaaaat sekali. Terhadap seseorang yang paling dekat dengan saya, bahkan semenjak tubuh ini belum memiliki ruhnya. Ya, ibu saya.

Duh, tidak selayaknya saya menulis hal ini ya. Apalagi di blog saya, yang walaupun sepi pengunjung, tetap saja accessible. Tapi, kamu tahu, perasaan ini semakin hari semakin membuncah. Ditambah dengan maag ibu yang sepertinya semakin kronis. Yah, walaupun sebenarnya, 'giliran pergi' itu bisa datang pada siapa saja tanpa dapat diterka dari kondisi fisiknya, bahkan pada orang sehat sekalipun. Tanpa kenal ampun.

Perihal ini, setiap dari kita seharusnya memang mempersiapkan diri ya. Baik untuk menghilang ataupun kehilangan. Dunia kan memang hanya tempat untuk singgah. Toh, yang hilang sesungguhnya tidak sebenar-benarnya menghilang. Buktinya, Dia masih menyediakan alur komunikasi lain, melalui doa. Namun, yah namanya juga manusia, selalu menuntut kondisi konkret. Selalu merasa butuh konfirmasi dalam bentuk eksistensi. Dalam indera ragawi seringkali kita terbenam, dan lupa memberi ruang pada hati, yang sebenarnya merupakan indera keenam.

Kembali pada ibu, jika boleh jujur, saya sudah mempersiapkan diri untuk momen ini sejak satu atau dua tahun yang lalu. Utamanya, saat ibu saya masuk rumah sakit. Beberapa orang mungkin melihat saya saat itu tenang-tenang saja, santai, seolah tidak ada apa-apa. Tapi tidak semua pandai menangkap, bahwa dibalik itu semua, hati saya seperti hancur, saya kehilangan arah, bahkan jika boleh sedikit hiperbola, saya seperti tidak punya alasan kenapa hidup ini harus dilanjutkan. Hal ini, bisa jadi, karena mendapati keluarga dekat masuk rumah sakit adalah pengalaman pertama saya. Sehingga, saya pun maklum pada diri ini yang dengan cengeng-nya berpikir se-ngawur itu. Ditambah, pengalaman pertama itu dibuka oleh ibu saya sendiri.

Alasan lain mengapa saya menjadi setakut itu, se-disorientasi itu, karena memang nyatanya saya 'sebegitunya' dengan ibu. Maaf jika pada akhirnya saya menggunakan diksi 'sebegitunya' ya, coz it's like hard to find another word to define how's life going between me and her. Kami tidak sepenuhnya berdamai, namun tidak sepenuhnya berselisih. Saya dan ibu seringkali berbeda pendapat terhadap banyak hal, namun bahagianya, ibu selalu memberikan ruang bagi saya untuk mandiri menginterpretasi perbedaan tersebut. Kami sering bertengkar, bahkan ketika pergi car free day berdua. Namun, sedetik kemudian lupa ketika melihat tukang bubur kacang hijau langganan. Haha

Memang, terkesan tidak etis ya mempersiapkan diri untuk kepergian seseorang, apalagi yang bersangkutan adalah ibu kita sendiri, ketika orang lain berharap cemas akan kesembuhan--walaupun kita tidak pernah tahu jika sebenarnya hati mereka mengutuki harapan untuk sembuh tersebut, mengingat kemungkinannya memang kecil--maka, atas nama rasa optimis, atau ekstrimnya basabasi, sebagian orang berusaha tenang dengan keyakinan akan kesembuhan. Sedang saya? Saya hanya berusaha untuk berdamai dengan realita, berpikir yang terburuk agar nantinya tidak terpuruk. Saya hanya berusaha mempersiapkan diri lebih dini. Saya hanya ingin membiasakan hidup tanpanya. Ya, saya. Saya hanya tidak siap dengan (kemungkinan) kepergiannya.

Allahu Rabbi.

Sonntag, 25. August 2013

Realita

Agak kaget juga sih ketika pipi ini tiba-tiba basah dengan air yang keluar dari mata. Haha sementara pikir masih bersikeras menentang segala realita.
Andai saja kejadian dua-tiga tahun itu tidak pernah menjadi cerita. Maka mungkin, tak akan begini jadinya.

00.00 wib
Jakarta, 26 Agustus 2013

Bukan Kebetulan

Menulis tentang hal yang satu ini, jujur saya bingung harus memulai dari mana. Terlalu banyak yang berkelebat dan adu kuat memicu syaraf pengingat untuk memutar cerita itu kembali lekat-lekat.

Hahaha masih suka ketawa setiap kali inget tentang betapa jahilnya kita, saling berbisik tentang the-hole-in-the-pants boy di depan orang yang dimaksud dan jumawa ketika orang yang bersangkutan mulai gregetan karena tidak tahu siapa subyek yang dibicarakan. Tentang comment war yang kita adakan di friendster. Saling menyapa setiap sahur dan terlibat dalam obrolan-obrolan absurd nan ngelantur. Tentang kita yang satu waktu setelah pulang sekolah pergi ke depan kelas XI IPA, cuma buat nemenin Gomat baca doa yang diajarin Pak Mustain saat pelajaran Agama Islam, sambil memegang pintu kelas. Dan ternyata doanya manjur :| Tentang saya yang remedial matematika lintas kelas, karena kalian MT, mau ada remed gak bilang-bilang. Jadilah ketika kalian belajar, saya cuma ketawa-ketawa doang. Wooo. Tentang kenalan sama Anjani Mutter, Tiin Zhakiyah dan banyak orang lain, entah di Friendster ataupun Facebook, ngobrol banyak sama mereka, saling cerita, padahal kita nggak pernah ketemu. Tentang diskusi-diskusi panjang kita terkait cerita-cerita di novel Dan Brown. 

Masih suka kesel setiap kali inget tentang batere HP yang tetiba berubah gendut karena (entah) tertukar (atau sengaja ditukar) sama si Gomat. Tentang Cintra yang berantem mulu sama Gomat karena dia suka tabur-tabur ketombe di atas jaket 28. Tentang Gomat yang setiap malem nelfon cuma buat bilang hal-hal 'penting', dari mulai takut gagal SNMPTN tulis (dan ternyata dia keterima, dan gue nggak. cih, dasar tuh orang) sampe cerita tentang dia yang gak bisa bikin dasi padahal sebentar lagi wisuda. zz. Terus kalo telfonnya gak diangkat tuh orang ngomel-ngomel kayak tante-tante kehilangan rol rambut. Tentang buku-buku yang gak pernah aman bersih sentosa dari gambar-gambar gunyuu buatan L. Tentang Gomat lagi yang sebelum berangkat Duta Karang uring-uringan setengah mati, takut inilah, itulah. Eh, giliran udah balik, ngomonginnya Duta Karaaaaang mulu. 

Juga masih suka terharu setiap kali inget tentang Gomat yang rajin bikinin desain kostum lomba untuk tim Paskib 28. Walaupun nggak pernah ada yang bisa kita realisasikan. Cintra yang nelfon pas saya selesai latihan Tae Kwon Do, bilang masih otw ke 28, padahal jelas-jelas saya lihat wujudnya utuh ada di depan pos satpam. Dan entah kenapa saya nggak curiga. Rencana latihan musikalisasi puisi yang ternyata fiktif, L yang aneh karena kelihatan bingung mondar-mandir di depan perpustakaan, dan gelagapan setiap ditanya Cintra ada dimana. Dan semua itu berujung dengan diceplokinnya saya dengan telor mentah di bawah sendunya gerimis air hujan, sebagai bentuk perayaan sederhana atas bertambahnya umur saya hari itu. Duh, masa itu.

Nggak ngerti lagi lah ini postingan kalo dilanjutin bakal kayak apa panjangnya. Nggak ngerti juga kenapa malam ini, cerita-cerita itu semakin terasa penting untuk dituliskan. Yang jelas ini bukan sebuah kebetulan. 

Sonntag, 18. August 2013

Mudik 2012






Kali Pemali yang (katanya) bersejarah,
Agustus 2012

Montag, 12. August 2013

Cerita Sepanjang Pantura #4

Tren jaman sekarang, ke Jakarta kerja di warteg.
Kebanyakan sih bosnya baik, jadinya sreg, atau paling nggak, mayanlah perut wareg.
Atas nama sedulur, sering kali gaji diulur-ulur.
Sampai berapa jumlah gajinya, udah nggak terukur

Perawan-perawan yang dulu salah motivasi
Ke Jakarta buat jaga gengsi
Sekarang gigit jari
'Siapa suruh datang Jakarta?', kata Pak Mentri

---
Dulu gengsi, sekarang gigit jari.
Lebaran 1434 H



Cerita Sepanjang Pantura #3

Lebaran harinya sukacita.
Yang merantau yang menggalau di Jakarta, akan kembali ke kampungnya tercinta.
Bukan untuk silaturahim semata, tapi jelas adu harta.
Ingat pesan orangtua, jangan pulang kalau nggak bawa uang sejuta-juta!

---
#kalem
Lebaran 1434 H

Cerita Sepanjang Pantura #2

Ini cerita tentang Sumini yang gundah hatinya.
Ditemani dangdut koplo, memikirkan hutang yang sudah jatuh tempo.
Tentang Bapak dan jaminan yang beliau janjikan, jika tak ada uang 'datang' untuk membayar hutang.
Tentang Bapak dan solusi permasalahannya, yang ternyata melibatkan ia, anak perawannya.
Tentang Bapak yang memberikan pandangan, 'Apa kamu tega menolak padahal kita tiga hari tidak makan?'
Tentang lagi-lagi Bapak, yang mengingatkan, bahwa anak harus patuh pada orangtua, bukan?
Tentang, sayangnya, ah, ia ingin berkelit. Permintaan Bapak terlalu sulit.
Tapi, ah, keharusan birrul walidain, membuat kepalanya sakit.
Maka tentang permintaan, 'temani ia hingga tuntas, maka hutangku lunas'.
Mana jawab yang tak sulit? Apalagi dalam kondisi hutang membelit.

---
Satu keprihatinan bagi konsep yang semakin kabur tentang orang tua, durhaka atau patuh pada mereka.
Lebaran 1434 H

Cerita Sepanjang Pantura #1

Hati ini getir, bukan karena pandang segala nyinyir.
Apalagi  karena bos-kantung-tebal yang tersenyum pandir.
Berita penggusuran kafe pinggir jalan, sumber penghasilan,
itu sebabnya.
Katanya, kata bapak-bapak berjenggot kambing, gamis putih bening-bening itu,
bisnis ini tidak halal. Merusak moral.

Halah, tau apa mereka soal haram-halal? Hanya karena bisnis ini mengandalkan perempuan bergincu tebal, bergaya nakal, lantas dibilang tak bermoral?!
Mereka yang kekayaannya kurang ajar, rumah dimana-mana tersebar, lagaknya berandal, seolah lupa bahwa dari rakyat uangnya berasal, baru namanya nggak bermoral!

---
Berdasarkan apa yang ditangkap mata, dilihat hati, dan diinterpretasi pikiran.
Maka maaf jika Anda kurang berkenan.
Lebaran 1434 H

Freitag, 2. August 2013

Merpati Kecil

Maka biarkan merpati kecil itu terbang menghidupi dirinya
Jangan melulu dikungkung, jangan tunggu ia hingga mati dimakan belatung
Alih-alih menjaga-merawat, percayalah, bahwa itu tidak lebih baik dari penggerogotan kebebasan teman sejawat
Percayakan pada semesta, biar ia belajar tentang dusta
Pada alam kita titipkan, biar dirasakannya pengkhianatan
Kenalkan pada Yang Maha Besar, agar ia belajar.
Bahwa pada setiap hal, ada harga yang harus dibayar.



smartly beautiful

If you have good thoughts, they will shine out of your face like sunbeams and you will always look lovely.
 - Ronald Dahl.

*Another way to be beautiful. Be smart and define your own beauty! Haha

Donnerstag, 1. August 2013

Filosofi Kopi #1

Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya.
- Dewi Lestari dalam Filosofi Kopi

Anak Semua Bangsa #2

Juga cinta, bagaimana halnya dengan setiap benda dan hal, mempunyai bayang-bayang. Dan bayang-bayang cinta itu bernama derita. Tak ada satu hal pun tanpa bayang-bayang, kecuali terang itu sendiri.
- Minke dalam Anak Semua Bangsa

Anak Semua Bangsa #1

Barang siapa dapat mencintai seseorang begitu mendalam, dia bukan boneka.
- Minke dalam Anak Semua Bangsa

Batasan

Bintang seperti kehilangan rasa percaya dirinya. Ia bersembunyi di balik awan kelabu. Mengintip malu-malu. Menatap ragu-ragu. Cahayanya timbul tenggelam. Seolah menutupi masa lalunya yang kelam. Bulan pun demikian. Tak mau ia muncul sendirian, mungkin atas nama setia kawan.

Saya memandang kosong langit. Dalam, meski tanpa fokus. Liar menggerayangi langit luas tak berlokus. Syaraf di sekitar mata sedari tadi bekerja keras, membendung bulir air agar tidak jatuh ke pipi. Dalam kondisi begini, ternyata tidak semua unsur tubuh mau berdamai dengan diri. Syaraf otak beserta dendrit halusnya justru membombardir pikiran dengan memutar memori tanpa ampun. Tanpa konfirmasi apapun. 

Hingga pada detik kesekian,  segalanya tak bisa lagi ditahan. Maka lihatlah bahwa semua upaya punya batasan. Memang begitu hakikatnya, bukan?

Berita Baik

Kecipir liar mendayu meladeni angin yang menggodanya. Cuaca sore itu, entah mengapa, mendukung mereka untuk bermesra. Udara berbobot lebih berat dari biasanya. Karena air yang terkandung, enggan keluar dari zona nyamannya.

Dari jauh, bunyi kring-kring khas milik si abang koran langganan, samar terdengar. Diantar bunyi gaduh genjotan pedal yang dikayuh tak kenal pegal. Seperti biasa, koran dilempar sembarangan. Meskipun saya menanti di ambang pintu, siap menjulurkan tangan.

Saya menghampiri si koran malang. Membolak-balik setiap halaman, tapi tetap tertarik dengan berita baik di bagian depan. Alhamdulillah.

"Seorang kakek yang diduga memperkosa 5 anak gadis tetangga, akhirnya tertangkap juga..."

"Keluarga korban meninggal pada tawuran antarpelajar lalu tidak jadi menuntut si pelaku, karena ayah pelaku hanya penjual rujak yang tak laku-laku..."

"Terdakwa korupsi akhirnya keluar dari penjara berkat remisi hari raya..."

Alhamdulillah, berita baik.
Nampaknya, hidup yang kian rumit telah membuat makna berita baik semakin dipersempit.
Entah karena mencoba untuk lebih bersyukur dengan bahagia dari hal sederhana, atau karena terlanjur lelah merana menanti bahagia yang sebenarnya?

Dienstag, 18. Juni 2013

Ciliwung Kini. Hilir-Hulunya Dulu, Tak Begini.

Essay untuk seleksi k2n. Duh, semoga ya. #semoga



Ciliwung Kini.
Hilir-Hulunya Dulu, Tak Begini

                Siapa yang tak kenal Sungai Ciliwung? Salah satu sungai yang berani-beraninya melenggang tenang membelah kota Jakarta dari Gunung Pangrango, Jawa Barat hingga bermuara di Teluk Jakarta. Salah satu sungai yang dulu diunggulkan Belanda karena memiliki pelabuhan terbaik di nusantara dengan muaranya yang cukup ‘dalam’. Salah satu sungai yang selalu menjadi muara kutukan, karena dianggap pembawa banjir kiriman. Sungai Ciliwung memang menyimpan banyak cerita. Sebagai saksi bisu tingkah laku budaya (cultural behavior), peninggalan benda budaya (cultural artifact), serta alat rekam abadi pengetahuan budaya (cultural knowledge)[1] yang menjadi dasar pemahaman masyarakat dalam melihat perkembangan kearifan lokal dan sudut pandangnya terhadap lingkungan. 
Sayangnya, Ciliwung kini tak sama dengan yang dulu. Ciliwung tidak dapat lagi diharapkan sebagai sumber kehidupan. Mengacu pada evaluasi dan hasil pelaksanaan Pemantauan Kualitas Air 33 Propinsi Tahun 2011 oleh Pusarpedal Kementerian Lingkungan Hidup yang disampaikan dalam Rakernis PKA 33 Provinsi di Jayapura, Papua, didapatkan fakta bahwa dari 51 sungai yang dipantau di Indonesia, 74% masuk dalam kategori tercemar berat, dan salah satunya adalah Sungai Ciliwung.[2] Selain itu, Pusat Penelitian Limnologi LIPI juga menyatakan bahwa sungai Ciliwung telah terbukti mengandung merkuri sekitar 0,7 – 1,0 ppb. Kandungan merkuri tersebut semakin meningkat menjadi 1,8 – 2,8 ppb di Bendungan Katulampa. Padahal, kadar merkuri yang sekitar 0,0012 ppb saja, telah tergolong kronis dan membahayakan biota sungai, bahkan jentik nyamuk pun tak akan bisa hidup. Hal ini diakibatkan pembuangan limbah rumah tangga dan pabrik, seperti deterjen, tinja serta bahan-bahan kimia tak terurai lainnya, yang dilakukan tanpa responsibilitas terhadap daya dukung lingkungan di masa depan.[3]
Pada dasarnya, program pelestarian Sungai Ciliwung telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Hanya saja, dalam pelaksanaannya, program tersebut memiliki banyak kelemahan, seperti kebijakan pendukung yang tidak fleksibel, lemahnya penegakan hukum, tidak ada ruang penataan yang disepakati oleh seluruh pihak terkait, serta yang paling penting, pelaksanaan setiap program yang masih sangat sentralistik.[4] Pelaksanaan program pelestarian Ciliwung yang sentralistik ini membuat setiap program yang ada terkesan jalan di tempat. Hal ini terjadi karena jarang sekali ada komunikasi yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat setempat pada proses perencanaannya. Sehingga, program-program yang ditelurkan pun tidak kontekstual, tidak sesuai dengan kearifan dan kebudayaan masyarakat lokal. Karenanya, tidak jarang kita melihat bahwa pemerintah bergerak sendiri, tanpa dukungan masyarakat setempat—atau justru mendapat penolakan, dalam mengimplementasikan program pelestarian Ciliwung. Penyebabnya, lagi-lagi karena pemerintah gagal men-transfer kesadaran akan kritisnya kondisi Ciliwung kepada masyarakat, karena kebijakan yang sentralistik itu tadi.
Dengan demikian, saya melihat perlu adanya semacam mekanisme yang berbasis masyarakat dalam upaya penyelamatan Sungai Ciliwung. Bukan saatnya lagi bagi pemerintah untuk bekerja sendiri-sendiri dalam menyelamatkan sungai. Responsibilitas terhadap keberlangsungan peradaban sungai Ciliwung harus ditularkan ke masyarakat dalam skala mikro, yaitu melalui pelibatan mereka dalam berbagai aksi penyelamatan dan perawatan. Mengutip sedikit perkataan Fauzi Bowo, mantan Gubernur DKI Jakarta, ketika ditanyakan tentang bagaimana seharusnya upaya penyelamatan Ciliwung dilakukan, beliau berujar, “Pola pikir semua Pemda dan masyarakat harus diubah. Ini bukan soal daerah hulu milik siapa dan hilir punya siapa, tetapi ini adalah ‘us’—punya kita bersama dan yang berkepentingan agar sungai ini bersih adalah ‘we’—kita semua.”
Bentuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sungai Ciliwung dapat dilakukan dengan melakukan pengorganisasian masyarakat setempat. Pengorganisasian masyarakat sendiri diartikan sebagai proses membangun kekuatan dengan melibatkan konstituen sebanyak mungkin melalui proses menemu-kenali ancaman yang ada secara bersama-sama, menemu-kenali penyelesaian-penyelesaian yang diinginkan terhadap ancaman-ancaman yang ada, menemu-kenali orang,  struktur, birokrasi, serta perangkat yang ada, agar proses penyelesaian yang dipilih menjadi mungkin dilakukan, menyusun sasaran yang harus dicapai dan membangun sebuah institusi yang secara demokratis diawasi oleh seluruh konstituen. Sehingga, mampu mengembangkan kapasitas untuk menangani ancaman dan menampung semua keinginan dan kekuatan konstituen yang ada (Dave Beckwith dan Cristina Lopez, 1997 dalam Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB[5]). Pada umumnya, pengorganisasian masyarakat, berdasarkan pada bentuk yang disarankan Racelis (1994), dilakukan dengan melakukan beberapa tahapan, seperti pengintegrasian, penyidikan sosial, program percobaan, pembuatan landasan kerja, pertemuan teratur, permainan peran, mobilisasi atau aksi, evaluasi, refleksi, dan terakhir terbentuklah organisasi kemasyarakatan, baik formal atau pun informal .[6]
Beberapa contoh pengorganisasian masyarakat daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung yang cukup baik terlaksana adalah pembentukan Komunitas Pecinta dan Pemulih Sungai Ciliwung oleh Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basan (ECOTON). ECOTON sendiri seringkali mengadakan pelatihan-pelatihan bagi masyarakat setempat terkait dengan upaya pelestarian sungai Ciliwung dalam skala mikro. Seperti pelatihan fasilitator biotilik kesehatan Ciliwung yang dilakukan di Desa Cisampay, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Biotilik adalah cara pemantauan kualitas air dengan mengaduk dasar sungai menggunakan jaring, lalu mengambil beberapa sampel air tersebut, kemudian memisahkan biota air yang nampak bergerak-gerak pada air tersebut ke dalam plastik-plastik cetakan es batu  dengan menggunakan sendok. Penggunaan alat-alat yang cukup sederhana membuat metode ini sangat mudah, murah dan sesuai untuk diplikasikan di masyarakat.Pada pelatihan tersebut, 66 peserta dari berbagai elemen masyarakat setempat, baik guru, pelajar, komunitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), turut berpartisipasi.[7]
Asun Sudirman sendiri, salah satu peserta pelatihan yang juga merupakan anggota Ciliwung Institute ini, secara implisit mendukung upaya pelestarian sungai Ciliwung dengan skala mikro melalui pengorganisasian masyarakat. Menurutnya, konsep dan pendekatan pengendalian pencemaran dan pemulihan sungai yang ada selama ini, jauh dari pelibatan masyarakat, sentralistik, dan eksklusif. Padahal, Indonesia yang memiliki keanekaragaman habitat dan ekosistem, dengan pengaruh kondisi lingkungan yang berbeda, tidak seharusnya diterapkan metode yang seragam dalam pemantauan kualitas air dan upaya pemulihan daerah aliran sungainya.
Intinya, sudah bukan saatnya lagi kita saling tuding tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas meluapnya sungai Ciliwung, yang menyebabkan banjir selalu rutin terjadi dan datang tepat waktu. Bukan saatnya lagi kita saling tunjuk tentang apa salah siapa ataupun siapa salah apa, yang di hulu yang di hilir sama saja tanggung jawabnya. Sungai yang mengalami ‘urbanisasi’ ini, dari desa hingga ke kota tidak boleh lagi diperlakukan seragam. Setiap wilayah punya kearifan lokalnya masing-masing. Mereka punya cara bijaknya sendiri tentang bagaimana sebaiknya memperlakukan si sungai tua ini. Maka, pengorganisasian masyarakat lokal adalah salah satu pilihan yang harus dipertimbangkan. Karena Ciliwung yang ada kini, hilir-hulunya dulu, tak begini.
 




[1] Dikutip dari buku Ekspedisi Ciliwung; Mata Air, Air Mata hal. 263, diterbitkan oleh Kompas Gramedia tahun 2009.
[2] Dikutip dari artikel berjudul Pelatihan Fasilitator Biotilik Kesehatan Ciliwung oleh ECOTON yang ditulis oleh Prigi Arisandi, dimuat pada https://www.lingkungankita.com/media/set/?9362300027&type=1 dan diakses pada 9 Juni 2013 pkl. 03.02 WIB
[3] Dikutip dari artikel berjudul Air Sungai Ciliwung Mengandung Zat Berbahaya yang dimuat dalam http://www.beritabogor.com/2013/03/air-sungai-ciliwung-mengadung-zat.html, diakses pada tanggal 16 Juni 2013 pkl. 12.48 WIB.
[4] Kompas Gramedia, op. cit., hal. 265
[5] Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB hal. 2 diakses dari http://www.scribd.com/doc/80864332/MODUL-Pengorganisasian-Masyarakat pada tanggal 14 Juni 2013 pkl. 08.22 WIB.
[6] Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB hal. 5 – 6 diakses dari http://www.scribd.com/doc/80864332/MODUL-Pengorganisasian-Masyarakat pada tanggal 14 Juni 2013 pkl. 08.22 WIB.
[7] Dikutip dari artikel berjudul Pelatihan Fasilitator Biotilik Kesehatan Ciliwung oleh ECOTON yang ditulis oleh Prigi Arisandi, dimuat pada https://www.lingkungankita.com/media/set/?9362300027&type=1 dan diakses pada 9 Juni 2013 pkl. 03.02 WIB.

after-meeting-you taste

After meeting you, i can exactly define the criteria of the one I love.

Mittwoch, 5. Juni 2013

Indonesia Movement Conference 2013 #1

Halo, teman-teman! So, It's been about 3 weeks since the IMC 2013 be held. But too bad, I am getting forget every single detailed events happened there whereas I haven't written anything about it here. So, before all the moments fly away from my head, I'm now starting to make it everlasting hahaha

So, Indonesia Movement Conference 2013, or IMC 2013 for short, is a conference for Indonesian youth, organized by the students board of Prasetiya Mulya Business School and held in May 17-19, 2013. In this event, every province was represented by one youth delegate, and maybe because it was their first debut, the province participants are only 26 provinces. And I'm the delegate representing DKI Jakarta yeaaaaay

Anyway, ini kenapa gue jadi speaking english gini? Oke, haha so, in IMC 2013 we discussed much about things to do to make a better Indonesia. Besides, we shared knowledge, ideas, and spirit to be the driver of change in our own province! haha

To specify our focus, the committee divided us (the 26 delegates) into 5 clusters (education, environment, entrepreneurship, youth & leadership, culture) based on our social project. Ahya, before chosen to be delegates, we have to take the selection process which included short essay writing, application form filling, social project paper submission, and so on. Social project I submitted is my Trash me, it works! Movement hahah that's why it was grouped into the environment cluster. Then, in those clusters, we presented our sospro in front of the judges who are experts in every cluster. The 5 best social projects will get an amount of grants to realize their project. So, let's guess then did I become the best 5 social projects? *drumroll* the answer is NOOOOOOOO hahaha

so, are you eager enough to know why I wasn't chosen to be the 5 best projects? to be continued yaak guys, my mom is calling. asking me to nyuci piring. haha
fixed, postingan ini ditutup dengan sangat tidak elit haha


Samstag, 11. Mai 2013

#20

Yes, I'm turning 20!

Sonntag, 5. Mai 2013

Jadi ceritanya

Jadi ceritanya saya luar biasa bosen dari tadi subuh mantengin laptop buat nyelesain proposal sospro terbaru saya untuk dikirim ke panitia IMC. Makanya sekarang boleh dong, ya, mampir kesini curhat-curhat dikit. haha

Oke, kebetulan saya memang sudah lama memendam keinginan untuk berbagi tentang project terbaru saya ini, namanya Trash me, it works! Movement haha Project ini berawal dari kurang lebih satu tahun yang lalu ketika harga tiket kereta api melonjak bombastis dan kereta ekonomi semakin sulit ditemukan. Then, I decided to be done with my train-life haha apadeh. Intinya, saya memutuskan untuk berpindah ke lain angkutan umum, yaitu angkot! Nah, rumah saya kan di Pejaten Barat, which means saya harus naik angkot dua kali, karena gak ada angkot yang langsung ke Depok dari sana. Maka jadilah setiap pagi saya transit di Pasar Minggu untuk nyambung angkot ke Depok.

Pas awal-awal lewat Pasar Minggu, saya kagum dibuatnya. Sejak saat itu saya sadar bahwa 'salah' kalo orang-orang bilang di Jakarta gak ada gunung. Buktinya, di Pasar Minggu ada banyak banget gunung, bedanya gunung ini tuh gunung sampah -.- Beberapa kali lewat, saya cukup maklum, saat itu saya pikir, Pasar Minggu kan aktifnya dari tengah malam sampe subuh, jadi wajar aja kalo jam segini itu sampah masih bertumpuk. Problema klasik lah, yang jualan gak mau buang sampah di tempatnya karena ngerasa udah bayar uang kebersihan. Tapi kemudian beberapa hari berikutnya siang-siang lewat Pasar Minggu karena kelas siang, gunungan sampah tersebut tetap ada, padahal sampah 'pagi'-nya udah diangkut ke Bantar Gebang. (fyi, di Pasar Minggu itu ada tempat penampungan sampah sementara gitu, sumber sampahnya selain dari Pasar Minggu, juga dari warga se-kecamatan Pasar Minggu. Dan setiap hari, sampah sekitaran pasar dikumpulin dalam dua gelombang, gelombang pagi dan malam, untuk kemudian dikirimlah itu sampah ke TPA Bantar Gebang) jadi ternyata Pasar Minggu yang saya pikir bersih di siang hari itu salah. Karena sesungguhnya Pasar Minggu memang tidak pernah bebas dari sampah. Hahaha *tawa miris* Eh tapi pernah deng satu kali Pasar Minggu bersih dari sampah, waktu menjelang penganugerahan Piala Adipura. Beh, itu yang namanya pasar yang super duper kotor, berubah jadi bersih tidak hanya sampahnya, tapi juga bersih pedagang kaki limanya, lho!

Maaf, kalo pemilihan diksi saya tidak bagus dan pengorganisasian kalimatnya tidak baik, ya, hehe udah ngantuk nih. Intinya pesannya tersampaikan lah yaa haha *excuse

Lanjut. Nah, karena liat pasar minggu yang luar biasa kaya akan sampah itu, dan pedagang-pedagangya yang sangat terbiasa buang sampah dimanapun mereka berada itu, saya sebagai GCC Leader #cailah tergerak untuk membuat perubahan hahaha jengjengjeng saya bikin komunitas pengolahan sampah disitu, yang SDMnya dari masyarakat lokal yang diberdayakan. Tujuannya ya untuk mengurangi volume sampah, karena temen-temen tau gak dari hasil ngobrol panjang lebar saya sama senior TekLing UI, silakan di-follow twitternya @evabeatrix, dia bilang masalah sampah itu bukan lagi soal mudah atau tidaknya terurai, bukan lagi pada dikotomi organik dan nonorganik, karena sebenernya ada konsep yang lebih baru dari itu, yaitu degradable dan nondegradable. But beyond of those conception, the problem of trashes is its volume. Ketika sampah lama belum terolah atau terurai secara alamiah, sampah baru muncul, hingga volumenya sudah tidak terkendalikan. Nah, saya tuh pengen orang-orang, setidaknya dalam skala pasar minggu dulu lah, sadar bahwa lifestyle memproduksi banyak sampah yang mereka biasakan itu merupakan sebuah masalah besar, lho. nah makanya, tujuan saya buat bikin komunitas pengolahan sampah itu bukan sekadar ikut-ikutan gaya hidup go green yang sekarang lagi giat dicanangkan, atau sekadar biar warga ngarti cara ngolah sampah bukan. It's not as simple as that. Lebih dari itu, saya mau konsepsi mereka terhadap sampah itu berubah. saya ingin merubah paradigma mereka tentang tanggung jawab pengelolaan sampah. Nah berhubung based on assessment saya kebanyakan pedagang disana memiliki latar belakang pendidikan yang tidak cukup memadai, saya melihat merubah paradigma itu tidak hanya cukup dengan sosialisasi ke pedagang, diskusi, dan sebagainya. Tapi harus ada sesuatu yang menarik mereka untuk berbuat demikian.

Akhirnya, saya memutuskan bahwa untuk merubah konsepsi masyarakat tentang sampah, mereka harus kita perkenalkan dulu dengan sampah dan kita perlihatkan 'keuntungan nyata' yang akan mereka dapatkan. Karena saya pernah baca di buku intervensi komunitas-nya Prof. Isbandi, katanya masyarakat akan cenederung tertarik dengan sesuatu yang terlihat jelas keuntungannya di mata mereka. Maka jadilah saya memilih untuk mendirikan komunitas pengolahan sampah, dengan harapan dari sana masyarakat akan paham bahwa sampah jika diberi nilai tambah akan bernilai jual tinggi. sehingga harapannya mereka akan lebih menghargai sampah dan gak buang sampah sembarangan.

Fiuh, finally I'm finish telling you about the background of my project. Sorry it is maybe a lil bit irritating your eyes because you'll find so many typos, bahasa amburadul dan acakadul or everything yang adul adul. haha

Anyway, project ini yang mengantarkan saya terpilih sebagai delegasi DKI Jakarta untuk Indonesia Movement Conference. (haha, you know I am so happy for it, although it's neither an international, famous, nor prestigious event, but having been accepted as one of the delegate there means I still have the opportunies to make this project be funded haha which in a broader meaning means my path in realizing this project has been soooo close!) Yeay, because on the D-day I will presentate my proposal about this project di depan dewan juri untuk kemudian dipilih 5 terbaik yang akan dibiayai. Ah bismillah ya. Bismillah.

Oke segitu dulu yaaa, aaaaak maaf tulisannya berantakan haha dadah!

Sonntag, 21. April 2013

terjadi baru kemarin


Mungkin mereka tidak pernah tahu bahwa saya menyimpan baik-baik foto itu. Sebaik saya menyimpan segala memori yang menjadikan foto itu selalu terasa terjadi baru kemarin. Selalu hidup, tak pernah redup.


*Gilaak, pasti mereka bakal mesem-mesem kuda dan ketawa-ketawa rese liat gue posting ginian bahahah*

Paspor

Akhirnya, kemarin saya menyelesaikan salah satu resolusi tahun 2013: bikin paspor (haha resolusi macam apa ini ya -.-)

Perjuangan banget loh ini bikinnya, bolakbalik berkali-kali ke imigrasi, berangkat subuh-subuh, ngantri panjang-panjang. Pas awal dateng ke imigrasi bahkan saya kesiangan dan harus balik lagi ke rumah loh. Daan pas wawancara dong, si abang-abangnya yang ganteng itu, yang masih muda itu, yang seragamnya ketat banget itu, galak banget wek. Ganteng sih ganteng, tapi kalo galak tetep aja ngeselin.

Oya, saya sesemangat itu bikin paspor bukan karena saya udah ada rencana mau kemana-kemana lho. hahahah saat itu saya belum tau sama sekali mau kemana, itu paspor mau dipake buat apa juga belum tau hahahah. Tapi Alhamdulillah beberapa hari setelah pembuatan paspor in progress, segalanya seperti Allah permudah ;') (cerita lengkapnya menyusul yaw)




Wahaha jadi gak sabar to go travel around the world niiiih. jadi gak sabar juga mewujudkan resolusi lain tahun ini: menjejakkan kaki di Eropa dan Asia amin amin.

"Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."
(QS. Al-Mulk : 15)

Sonntag, 24. März 2013

anggap aku satu dari seribu



Anggaplah aku satu dari seribu.
Jika orang lain mencintaimu dengan mengejarmu, aku hanya bisa tersenyum seraya menunduk kepadamu, bergurau dengan canda tawa di hadapanmu demi menutupi wajahku yang merona merah…menutupi diriku yang sesungguhnya sangat salah tingkah ketika bersamamu.
Anggaplah aku satu dari seribu.
Jika orang lain mencintaimu dengan mengejarmu, aku hanya bisa mengirimkan beberapa sms semangat, yang kemudian kuhentikan karena merasa ada yang tidak benar dengan mengirimkan sms-sms itu…sejujurnya jari-jariku ini terasa gatal tiap kali aku membuka kontak di ponselku dan melihat namamu ada di dalamnya.
Anggaplah aku satu dari seribu.
Jika orang lain mencintaimu dengan mengejarmu, semakin hari aku semakin takut berada di dekatmu, aku menahan diriku agar dapat sejarang mungkin berkomunikasi denganmu…kemudian aku perlahan menjauh, ketika hatiku mulai bergemuruh hanya dengan melihat sosokmu, ketika mataku senantiasa menemukan dirimu, tak peduli ada berapa banyak orang di sekitar kita, tak peduli seberapa jauh jarak antara aku dan kamu.
Anggaplah aku satu dari seribu.
Jika orang lain mencintaimu dengan mengejarmu, aku mulai gelisah…dan aku mulai menceritakan tentangmu kepada Sang Pembolak-balik hati, kutitipkan hati dan harapanku kepadaNya…lalu kusebutkan namamu di tiap do’a dalam sujud-sujudku, dan tak ada satupun do’a yang memohonkan agar aku bisa memilikimu, semua do’aku tiada lain senantiasa dan selalu…agar kamu menemukan kebahagiaan dalam hidupmu.
dengan cara itulah aku mencintaimu,
saat ini… esok…suatu hari nanti… 
-dari aku, untuk kamu
--- dikutip dari tumblr seorang teman. Tanpa perubahan apapun. oenyoe ya ;3 

Samstag, 23. März 2013

loving needs reason

Kata siapa cinta tidak butuh alasan? Justru kita butuh alasan untuk mencintai seseorang. Agar ketika cinta itu digoyang badai, kita tahu mengapa kita harus mempertahankannya.
- saya, disela-sela masa kejar deadline review jurnal yang tinggal 29 menit lagi.

Freitag, 22. März 2013

'what crime is'

Much deviance is expressive, a clumsy attempt to say something. Let the crime then become a starting point for a real dialogue, and not for an equally clumsy answer in the form of a spoonful of pain.
- Nils Christie, talking about why restorative justice is preferable.

Montag, 18. März 2013

abstrak #1


Beberapa minggu belakangan ini nyoba untuk terus produktif ngirim-ngirim abstrak kesana-sini. Hingga, voila! jadilah abstrak pertama saya. Agak gak menantang sih ini bikinnya, karena tinggal edit-edit penelitian yang lalu untuk tugas mata kuliah Perlindungan Anak haha Tapi tetep aja ya, hasilnya gak bagus-bagus amat. Anyway, abstrak ini dikirim ke Conference on Poverty and Social Protection nih. Biar jelek, tapi semoga ya haha #semoga! ohiyak, in progress nih next abstrak. Doain yak, semoga membaik. Amin. Okay, lets enjoy this one!
---
Gambaran Viktimisasi Tahanan Anak Perempuan Rumah Tahanan Pondok Bambu sebagai Pendukung Penolakan Penahanan Anak Perempuan
Oleh Lili Nur Indah Sari

Ada banyak pihak yang berperan untuk menjamin berhasilnya pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Secara ideal, masa kanak-kanak sarat akan permainan dan pembelajaran mengenai banyak hal di mana keluarga, sekolah, dan masyarakat mengambil peran penting di dalamnya. Maka dari itu, hilangnya satu peran dapat berpengaruh pada sempurna atau tidaknya tumbuh kembang anak. Dalam keadaan lain, terdapat pula situasi yang bertolak belakang dengan masa tersebut sehingga berimplikasi pada ketidaksempurnaan pembentukan dasar kepribadian anak. Situasi tersebut salah satunya dialami oleh anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law).
Mengacu kepada hal tersebut, peneliti melihat bahwa terdapat kecenderungan permasalahan khas yang terjadi pada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) terutama pada mereka yang bergender perempuan. Terdapat kemungkinan di mana mereka cenderung memperoleh perlakuan yang tidak seharusnya dari sejumlah pihak. Kali ini, peneliti mencoba fokus pada anak-anak yang mengalami penahanan, lebih khusus lagi pada mereka yang bergender perempuan. Mengapa fokus pada anak perempuan? Pada intinya, kami melihat bahwa anak perempuan memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat disamakan dengan anak laki-laki, seperti kebutuhan bagi pemenuhan kesehatan reproduksi. Sayangnya, sedikit sekali penjara atau rumah tahanan yang mampu menyediakan kebutuhan tersebut dengan baik. Selain itu, hak perempuan terhadap harga diri dan penghormatan juga seringkali dilanggar dalam proses penahanan. Lebih luas lagi, peneliti juga berusaha untuk sensitif terhadap peran dan fungsi pemenjaraan sendiri sebagai bentuk penghukuman terhadap anak-anak. Peneliti mencoba melihat sejauh mana penahanan anak tersebut efektif menangani kasus pidana yang dilakukan anak atau hanya bentuk lain dari perampasan hak anak, bahwa kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama.[1]
Untuk menyamakan persepsi, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam membatasi usia anak, pasal 1 undang-undang ini menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selain itu, istilah ‘anak yang berhadapan dengan hukum’ dipahami sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun yang diduga, dituduh, dan diakui telah melakukan pelanggaran hukum pidana[2]. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam rangka memperoleh informasi reliabel yang mendalam dari para informan terpilih mengenai gambaran kondisi dan situasi anak perempuan yang berhubungan dengan hukum terkait. Berdasarkan pendekatan yang digunakan, penelitian ini dikembangkan secara deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran rinci atas permasalahan yang diangkat. Untuk memperoleh informasi, tim peneliti menggunakan depth interview sebagai teknik pengumpulan data. Informasi lain yang mendukung reliabilitas langsung diperoleh dari sumber literatur lain yang mendukung topik permasalahan. Peneliti mengambil objek penelitian yang berlokasi di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.  Lokasi tersebut dipilih berdasarkan kategori tahanan yang ditempatkan pada lokasi tersebut, yaitu anak perempuan dan perempuan dewasa, yang peneliti anggap sesuai dengan tema penelitian yang diangkat. Peneliti mengajukan surat izin penelitian kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, DKI Jakarta pada Rabu, 15 November 2012.  Rujukan dari pihak terkait terdisposisi pada Selasa, 27 November 2012.  Pertemuan serta depth interview dengan ketiga informan dilakukan secara bertahap dari Senin, 3 November 2012 hingga satu minggu selanjutnya.
Harapannya, penelitian ini mampu menggambarkan pola perlakuan masyarakat Rumah Tahanan Pondok Bambu terhadap tahanan anak perempuan. Sehingga, peneliti mendapatkan pula gambaran kerentanan, risiko-risiko, atau bahkan viktimisasi yang dihadapi anak perempuan yang berada di dalam tahanan untuk kemudian gambaran ini dapat peneliti jadikan dasar atau pendukung usulan pembuatan kebijakan yang menentang penghukuman anak dengan penahanan.
Penelitian ini melibatkan tiga informan ABH yang ditempatkan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Anak pertama bernama Anne (nama disamarkan), 17 tahun, sudah berada di rumah tahanan selama dua bulan karena keterlibatannya dalam kasus pengeroyokan yang dilakukan bersama enam orang teman lainnya.  Selanjutnya, Lissie (nama disamarkan), 17 tahun, berada di rumah tahanan selama empat bulan karena kasus penipuan sejumlah Rp 5.000.000,00 yang ‘diduga’ melibatkan dirinya.  Informan berasal dari Makassar dan ditempatkan di Jakarta karena pelapor berdomisili di Jakarta. Kemudian, Keirra (nama disamarkan), 16 tahun, sudah berada di rumah tahanan selama dua bulan karena kasus tawuran antar pelajar bersama teman lainnya yang ditahan di rumah tahanan Salemba.
Melalui pendekatan dan wawancara yang dilakukan selama seminggu berturut-turut, peneliti menemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan permasalahan yang diangkat. Menurut informan, anak-anak yang melakukan tindak pidana kebanyakan berasal dari kelas menengah bawah, hal ini juga diperkuat dengan data kepolisian setempat. Lagi-lagi, kemiskinanlah biang keladinya, masalah ekonomi sudah semakin terasa klasik bahkan bagi seorang anak. Ditemukan pula praktik-praktik pembayaran ‘gelap’ yang tidak legal, seperti pembayaran uang turun kamar kurang lebih Rp 3.000.000,00 bagi tahanan baru (belum termasuk uang kamar dan biaya hidup lain). Rutan tersebut juga tidak secara khusus memperhatikan kebutuhan dasar perempuan seperti pembalut dan pakaian dalam. Penempatan tahanan anak-anak perempuan bersama tahanan perempuan dewasa juga sangat mempengaruhi perkembangan mental anak yang ‘dipaksa’ untuk dewasa sebelum masanya. Di luar itu, masih banyak temuan lain yang intinya mengantarkan pada sebuah kesimpulan yang memperjelas bahwa penjara memang bukan tempat bagi anak-anak.
Sayangnya, undang-undang yang berlaku di Indonesia saat ini sangat tidak sensitif anak. Berkebalikan dengan tujuan pelaksanaan diadakannya sistem penahanan atau pemenjaraan bagi anak, yaitu sebagai fungsi “proteksi” dan “memprioritaskan kebaikan anak”, care bukanlah apa yang anak-anak perempuan ini dapatkan ketika mereka berada di penjara. Banyak hak anak yang terabaikan. Penerapan pemenjaraan yang tidak sensitif gender pun semakin menambah panjang alasan mengapa pemidanaan bentuk ini sangat tidak baik bagi anak perempuan. Pada dasarnya memang karena perempuan dekat dengan viktimisasi dan sangat rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual. Ekspektasi sosial terhadap anak perempuan serta pengalaman anak perempuan pun berbeda dengan anak laki-laki yang menyebabkan perkembangan anak perempuan dalam masa-masa remaja mereka dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga, proses peradilan anak memiliki dampak yang berbeda bagi anak-anak perempuan dari dampak yang diterima oleh anak laki-laki. Hal ini semakin menunjukkan ketidaklayakan tahanan sebagai muara penghukuman bagi anak-anak. Bagaimanapun bentuknya, penjara bukanlah tempat bagi anak. Dan harus ada perbaikan kebijakan yang melarang pemenjaraan sebagai bentuk penghukuman bagi anak.


REFERENSI
Alemagno, Sonia A.  2006.  Juveniles in Detention: How Do Girls Differ from Boys.  Journal of Correctional Health Care 12.  45-51
Dirks, Danielle.  2004.  Sexual Revictimizatoin and Retraumatization of Women in Prison.  Women’s Studies Quarterly 32. 102
Dodge, L.Mara.  1999.  One Female Prisoners is of More Trouble than Twenty Males: Women Convicts in Illinois Prisons, 1835-1896.  Oxford Journal 32.  907-930
Dohrn, Bernardine.  2004.  All Ellas: Girls Locked Up.  Feminist Studies 30.  302-324
Sherman, Francine T.  2005.  Detention Reforms and Girls: Challenges and Solutions.  Baltimore: The Annie E. Casey Foundation



[1] Konvensi Hak Anak, Pasal 3. Hak-hak anak lain yang wajib dipenuhi oleh semua pihak telah terangkum dalam Konvensi Hak Anak yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989.
[2]Detrick, Sharon, et. all.  Violence against Children in Conflict with the Law (2008), pg.

Popular posts