Sonntag, 1. Oktober 2017

Lil's Travel Journey: Random Travel to Bromo yang Berujung Wisata Reliji

Few days ago, i finally happened to visit Gunung Bromo for the very first time! Yay. Seru sekali. Saya pergi rombongan bersama teman-teman Cabang Ngasem, Kediri, tempat saya bertugas saat ini. The most important thing to highlight is biaya perjalanannya cuma 150k udah PP dan termasuk sewa mobil jeep di sana, lho! Huahahaha kubahagia hingga jumawa.

Nah, biar postingan ini lebih berfaedah, saya akan share pengalaman saya secara berurutan sejak berangkat sampai balik lagi. Plus ada beberapa tips yang akan saya bagi agar teman-teman yang juga berencana ke sana bisa mempersiapkan perjalanannya lebih baik lagi.


Perjalanan Menuju Bromo

Oke, jadi perjalanan kami mulai sekitar jam 9 malam dari Pare, Kediri- sesuai request si Om-om pemilik travel. Meeting point-nya di perempatan lampu merah yang ada patung burung Garuda besarnya. Kalau nggak salah sih itu Monumen Garuda Pancasila namanya.

Nah, karena kami dari Ngasem itu naik motor, jadi motornya kami titip di RSUD Pare yang letaknya nggak jauh dari meeting point. Tenang, jangan bayangkan harga parkir di Jakarta yang tarifnya progresif nambah tiap jam. Itu motor baru kami ambil besok malemnya dan kami cukup bayar 2k aja.

Setelah semua rombongan kumpul, motor aman terparkir di rumah sakit, kami naik ke mobil travelnya deh. Mobilnya Elf, selayaknya travel-travel pada umumnya. Perjalanan Kediri - Pasuruan (Gunung Bromo itu ada di antara Pasuruan - Malang - Probolinggo btw) itu makan waktu sekitar 6 jam. Saya kurang paham gimana kondisi jalan menuju kesana, selain karena gelap, jadi nggak bisa liat apa-apa, saya orangnya ngantukan. Jadi, baru masuk mobil juga saya sudah buka sleeping bag dan siap-siap bobok hahahaha.

Sepanjang perjalanan, walaupun saya terlelap dalam tidur panjang, saya ngeh kalau kami sempat beberapa kali berhenti. Entah untuk istirahat, jemput satu penumpang lain, atau entahlah (bahkan sempat ada berita berhembus, supirnya berhenti untuk transaksi doping biar kuat melanjutkan perjalanan. duh serem). Saya nggak terlalu paham kejadian waktu itu, karena setiap kebangun sebentar itu, saya liat kanan-kiri, nyadar mobil berhenti, dan lanjut tidur lagi. Hahahahaha.

Sekitar jam 3 pagi, saya kebangun dan suasana mobil udah rame. Ternyata kami sudah sampai. Yay. Hawanya lumayan dingin, tapi belum ngaruh apa-apa sih ke saya. Since saat itu saya masih bisa bertahan dengan kemeja putih tipis tanpa jaket. Temen-temen semobil udah pada heboh kedinginan dan beli-beli kupluk, syal, dll. Padahal mereka udah bawa sendiri-sendiri lho dari Kediri, tapi masih ngerasa kupluk yang mereka bawa kurang menghangatkan. Akhirnya mereka beli lagi di tukang kupluk yang mengepung mobil kami. Padahal kelihatannya sih sama aja bahannya. Hem, impulsive buying. Haha.


Menanti Sunrise

Selama 20 menit kami bertahan di dalam mobil travel karena dikerubungi buk-ibuk dan pak-bapak yang menawarkan kupluk, syal, dll dengan bahasa manis marketing selayaknya SPG terlatih. Sampai akhirnya si Om Supir travel kami bilang, "Ayo-ayo keluar dan ikuti saya. Jangan sampai terpisah ya." (Saya lupa diksi tepatnya seperti apa. Hahaha. Intinya, gitu lah.).

Selanjutnya, kami pun keluar mobil dan mengikuti si Om Supir. Udaranya sudah terasa nyelekit-nyelekit gitu. Tapi, saya masih bertahan dong dengan kemeja tipis. Sementara jaket hanya saya ikatkan di pinggang.

Om Supir ternyata membawa kami ke mobil jeep yang akan mengantar kami ke bukit untuk melihat sunrise. Sayangnya, karena kapasitas mobil jeep terbatas, rombongan kami harus terbagi menjadi dua kelompok. Kurang lebih, satu mobil jeep dapat memuat 7 - 8 orang.




Suasana di dalam mobil jeep. Cukup sempit, tapi seru sekali. Apalagi kalau kalian perginya sama teman-teman terdekat.


Kami sempat menunggu kurang lebih 15 menit sampai akhirnya jeep itu benar-benar berangkat. Perjalanan ke atas sendiri memakan waktu kurang lebih setengah jam. Medannya pun cukup ekstrim dengan banyak tanjakan dan turunan. Saya bahkan sempat mual. Beruntung, angin malam sedikit-sedikit masuk ke dalam jeep kami, sehingga menghilangkan rasa mual akibat kondisi jalanan yang tidak bersahabat tersebut.

At some point, yang saya sendiri tidak paham dimana persisnya, si Bapak Supir jeep menurunkan kami. Di sekitar jeep tumpangan kami juga sudah berjajar jeep-jeep lain. Kata si Bapak Supir, jalur ke atas sudah macet, jadi lebih baik kami menikmati sunrise di titik tersebut. Bapak Supir lalu mengarahkan kami untuk naik ke atas bukit yang berada tidak jauh dari tempat jeep kami terparkir.

Kami pun mengikuti jalan setapak menanjak yang gelap dan licin (bukan licin karena basah, tetapi karena tanahnya seperti tanah merah yang kering dan halus. Saya bingung menggambarkannya hehe). Saat sampai di tempat yang agak landai, ternyata sudah ada banyak pedagang yang menjajakan minuman hangat dan menyewakan tikar serta jaket di sana. Sebenarnya, dari titik kami itu, masih bisa menanjak lagi. Tetapi, demi mempertimbangkan keamanan, kami berhenti di titik tersebut.

Kami pun mengambil posisi berjajar menghadap ke arah matahari terbit. Waktu sepertinya menunjukkan pukul 3.30 WIB. Entahlah, saya kurang tahu persis, yang pasti udara sudah semakin dingin. Saya juga sudah menyerah dengan kemeja tipis dan memutuskan memakai jaket tebal yang sebelumnya melingkar di pinggang.

Kegiatan menanti fajar (baca: sunrise) ini tidak terlalu menyenangkan. Pertama, karena matahari baru akan terbit kurang lebih 1 - 2 jam lagi, nggak tau tepatnya jam berapa ehehe, yang pasti sih nunggunya cukup lama. Kedua, kami bosan karena tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan, selain mendengarkan musik. Tidak ada makanan yang bisa dicemilin, selain roti dua biji yang saya bawa, padahal saya laper. Ketiga, hawanya dingin banget banget banget bangeeeeeet. Bahkan saya sempat lompat-lompat sambil goyang-goyang badan untuk meredakan hawa dinginnya (yang sebenernya nggak begitu nolong sih). Untungnya, saya masih punya sleeping bag yang bisa jadi andalan menangkal hawa dingin. Lumayan banget, muat untuk menghangatkan dua orang. Ohya, kupluk-kupluk punya teman-teman yang teronggok tak terpakai di tas saya juga akhirnya saya berdayakan. Pokoknya, apapun yang penting saya nggak mati kedinginan weh.

Anyway, walaupun lagi safar begini, sholat tetep nggak boleh ketinggalan loh ya. Waktu itu saya sholat subuh di semak-semak dengan beralaskan sleeping bag. Dalam hati ngucap bismillah aja lah, semoga tempatnya suci dari najis. Aamiin.







Menanti sunrise yang tak kunjung tiba. Ternyata, makin pagi, hawanya makin dingin euy.


Sekian lama menanti sang fajar, ternyata cuaca kurang berkenan. Menurut orang-orang, sunrise-nya lagi nggak bagus karena banyak kabut yang menutupi. Alhasil, gradasi warna langit yang biasanya menyertai sunrise nggak kelihatan jelas. Loh, kenapa kok 'menurut orang-orang'? Karena saya sendiri tidak berpengalaman nontonin sunrise di alam terbuka. Jadi, mau gimana pun penampakannya, menurut saya mah indah-indah aja dan cukup bikin hati berdecak sembari mengucap Maasya Allah aja lah. Bersyukur Allah masih kasih kesempatan ke saya untuk berkunjung ke Bromo.



Sebelum beralih ke destinasi selanjutnya, foto dulu di sebelah jeep kami.


Lautan Pasir

Ketika matahari semakin beranjak naik, kami kembali ke mobil jeep untuk meneruskan perjalanan. Hawa yang awalnya dingin mulai berangsur hangat. Pemandangan saat perjalanan menuju titik destinasi selanjutnya cukup memanjakan mata. Sayang sekali kalau di waktu tersebut kita tidur, walaupun saya sendiri tidur sih hahaha. Saya bangun ketika pemandangan sekitar yang mulanya berupa pepohonan dan jalan curam berubah menjadi lautan pasir. Jeep yang kami tumpangi pun berhenti di satu titik di tengah-tengah lautan pasir tersebut. Gunung Bromo sendiri masih cukup jauh dari posisi kami saat itu. Sepertinya, titik tersebut memang menjadi titik persinggahan wisatawan sebelum benar-benar sampai di kaki Gunung Bromo.

Sejauh mata memandang, yang saya lihat hanya lautan pasir dan bukit besar nan tinggi yang berbaris-baris. Langitnya biru cerah dengan sedikit guratan-guratan putih awan. Semburat cahaya matahari pagi membentuk siluet alam yang manis. Gulma-gulma hidup menggerombol di beberapa titik. Warnanya yang keemasan semakin membuat klasik pemandangan yang terhampar (btw, bener yak namanya gulma? kok gue ragu yaa hahaha). Hem, pokoknya gitu lah, saya nggak jago mendeskripsikan pemandangan indah dengan personifikasi ala ala sastrawan. Mending liat foto-fotonya langsung aja deh. No filter lho, saya jepret langsung pakai HP low-end ber-tagline 'Camera Phone' dengan spek paling rendah.






No filter cuy!


Sayangnya, momen langka nan memesona itu tidak bisa saya nikmati lama-lama. Bukan, bukan karena si Bapak Supir meminta kami untuk bersegera naik jeep dan meneruskan perjalanan. Tapi, karena naluri manusiawi untuk pipis saya yang tiba-tiba datang mengganggu. Dan berita buruknya, there's no toilet there, at all. Toilet terdekat lokasinya tepat di kaki Gunung Bromo, which is still quite far from there. Hem, okay then, i have no other choice beside staying calm and holding it. Saya pun berusaha membuyarkan hasrat untuk pipis tersebut dengan foto-foto manis. Namun, rasa yang datang dari dalam diri memang sungguh tidak dapat berbohong. Saya sampai pada titik di mana saya tidak sanggup menahan lagi. Well, i'm indeed not a pro in menahan rasa ingin pup atau pipis.

Melihat saya yang tampak tersiksa menahan pipis, si Bapak Supir nggak tega dan akhirnya menawarkan saya sarungnya agar saya bisa pipis darurat. Tapi kan saya nggak mungkin pinjem sarung si Bapak Supir yaa. Beruntung, salah satu teman saya juga bawa sarung, jadi saya bisa pinjam sarung dia deh (tentunya setelah izin sama istrinya, since he just got married, istrinya juga teman saya dan ikut dalam rombongan. wq).

Akhirnya, dengan bantuan seorang teman dan sarung mejik, saya berhasil menuntaskan hasrat ingin pipis saya di satu spot di tengah gulma-gulma. Alhamdulillah. Jadi, sedikit pesan buat teman-teman yang akan ke Bromo, kalau kalian kelak menemukan satu spot dengan air menggenang, jangan dulu bahagia. Kita tidak berada pada zaman Nabi Ismail dimana sumber air zamzam muncul. Saya agak khawatir itu adalah genangan air yang sempat saya tinggalkan. ehe.


Finally, the magnificent Bromo!

Sekitar pukul 6 lebih sedikit kami masuk jeep dan bersiap ke titik selanjutnya. Medan yang kami lewati sangat berdebu karena isinya pasir semua. Tapi, tetep aja kece. Tenang, kali ini saya nggak bobok kok karena saking excited-nya mau liat Gunung Bromo dari jarak yang sangat dekat. Sepanjang jalan si Bapak Supir menyuguhkan atraksi jeep kecil-kecilan kepada kami. Jeep-nya dibawa ngebut terus jalannya agak zig zag gitu. Nahlo, kebayang nggak tuh gimana maksudnya. Saya sempet record momen-nya, semoga bisa tergambarkan. Ohya, sepanjang jalan, kami juga sempat liat wisatawan-wisatawan bermotor yang motornya 'selip' kesulitan berjalan di lautan pasir itu. Ngeri-ngeri sedap.




After such a tough road, finally we touch down kawasan Gunung Bromo! Yeay. Keren banget banget banget yaa penampakan aslinya. Masya Allah, memang luar biasa deh Allah.





Mobil jeep dan si Bapak Supir hanya mengantar kami hingga batas parkir mobil. Selebihnya, kami bisa berjalan atau sewa kuda hingga ke puncak. Biaya sewa kuda sekitar 150k. But, none of us sewa kuda, kan mau berhemat hehe. Saya sendiri ngerasa lebih worth it kalau jalan kaki sih, bisa menikmati pemandangan lama-lama dan 'me time' untuk bertafakur. aih.




Saya kurang tahu persis berapa panjang jarak dari parkiran menuju tangga penanjakan ke kawah Gunung Bromo, yang pasti, ketika saya jalan, berasa sih nggak sampe-sampe. Padahal, kalau dari parkiran, kelihatannya itu gunung ada di depan mata. Mungkin juga karena kami sempat berhenti di beberapa titik sih. Titik pertama, kami berhenti untuk beli pentol karena lapar, kan belum sarapan. Harga pentolnya 5k saja. Wait, what, jadi di sekitar Gunung Bromo ada yang jualan? Yes, lebih tepatnya, banyak yang jualan. Makanya, kalau kamu lapar atau butuh sesuatu untuk menghangatkan badan di pagi hari, jangan khawatir, karena banyak pedagang yang menjajakan minuman sachet atau mie instan yang diseduh. Titik kedua, kami berhenti di toilet umum karena ada beberapa teman yang mau pipis, biaya toiletnya juga 5k.

Selesai dari toilet, medan sudah lebih syulit. Banyak yang jual masker karena kondisinya memang sangat berdebu. Hawanya sendiri masih dingin karena anginnya kencang, tapi juga hangat karena matahari. Intinya sih kostum hangat kami subuh tadi sudah tidak dibutuhkan lagi. Beberapa dari rombongan kami memutuskan untuk tidak naik ke atas. Saya sendiri, cuss naik aja lah selagi masih aman.







Tangga menuju kawah Bromo ternyata antre luar biasa. Beberapa orang yang tidak sabar memutuskan untuk berjalan melalui tebing di samping tangga yang terjal dan berbahaya. Beruntungnya, saya tidak punya nyali sebesar mereka, jadi saya bersabar saja dengan mengantre lewat tangga.

Kondisi tangga menuju kawah sendiri cukup menyedihkan. Walaupun konstruksinya masih cukup kokoh (cailah, sok ngomongin konstruksi), permukaannya banyak dicoret-coret oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Padahal, Bromo itu nggak cuma dikunjungi wisatawan domestik aja lho, banyak juga wisatawan mancanegaranya. Tapi, kok ya vandalisme macam gitu masih dilakukan. 








Freitag, 30. Juni 2017

Lil's Book Review: "Aku, Meps, dan Beps" by Soca Sobhita dan Reda Gaudiamo

Yes, buku kedua dari Reda Gaudiamo yang saya baca setelah Na Willa. Genre-nya masih seputar anak-anak. Sudut pandang utamanya pun masih tokoh anak kecil. Tapi saya nggak bosen bacanya haha

Oke, jadi pertama kali tau buku ini dari instagram-nya POST Santa. Saya langsung jatuh cinta dengan cover-nya. Lucuk dan simple banget! Setelah itu, saya cari-cari deh review-nya, dan ternyata buku tentang anak-anak (beda lho ya sama buku anak-anak). Jujur, saya memang menggandrungi buku-buku ringan, sederhana dan menyenangkan dengan sudut pandang anak-anak. Makanya, ketika tau "Aku, Meps, dan Beps" ini, saya langsung gemes pengen baca.

Ceritanya panjang sampai si buku oranye nan menggemaskan ini sampai ke kosan saya di Nganjuk. Will share about that in a separate post yaks.

Seperti judulnya, buku ini bercerita tentang kehidupan seorang anak kecil dan kedua orang tuanya yang ia panggil Meps dan Beps. Bedanya dengan Na Willa, di buku ini lebih banyak si aku yang monolog tentang hal-hal di sekelilingnya, entah itu hewan peliharaannya, kebiasaan kedua orang tuanya, kartun favoritnya, permainan kesukaan, dan lain-lain. Walaupun begitu, setiap cerita di buku ini tetap nggak membosankan karena disertai dengan interaksi antaranggota keluarga kecil itu yang unik banget.

Bagi saya, hal yang paling menarik dari buku ini -yang baru saya sadari setelah membaca bagian Surat dari Penerbit adalah realita berkeluarga yang secara jujur dituturkan oleh penulis. Misalnya, fakta bahwa Meps adalah seorang ibu yang sibuk, sedangkan Beps semacam stay-at-home dad. Padahal, untuk konteks masyarakat Indonesia, hal tersebut sangat tidak umum dan cenderung dianggap menyimpang dari konsep keluarga ideal Indonesia. Selain itu, Beps juga digambarkan sering terlambat dan begadang bermain kartu sampai pagi. Tipikal bukan ayah idaman yang lazimnya digambarkan di buku-buku banget.

Saya sangat suka kalimat dari penerbit, bahwa buku ini tidak berusaha menjadi contoh ideal bagi para pembaca. Buku ini begini apa adanya, penuturan jujur dari seorang anak kecil atas apa yang ia lihat dan rasakan dari lingkungan sekitarnya.

Ohya, meskipun buku ini menyenangkan, tetap saja buku ini punya hal yang menyebalkan. Halamannya terlalu tipis :( Baru dibaca sebentar sudah habis hiks.

Lil's Book Review: "Serial Catatan Kemarin: Na Willa" by Reda Gaudiamo

Buku ini bercerita tentang seorang anak kecil berwajah oriental bernama Na Willa yang saat itu berusia (mungkin) 5 tahun-an atau sekitar usia menjelang masuk sekolah dasar. Usia Na Willa sendiri tidak disebutkan secara pasti dalam buku. Ia tinggal bersama ibunya yang ia panggil 'Mak' dan seorang asisten rumah tangga yang ia panggil 'Mbok'. Mereka tinggal di rumah sederhana yang berada pada sebuah gang di kampung kecil di Surabaya dengan setting waktu tahun 1960-an. Ayah Na Willa sendiri diceritakan sebagai seorang pelaut, sehingga jarang sekali berada di rumah.

Tidak ada cerita khusus yang diangkat di buku ini. Sepertinya, sang penulis ingin menggambarkan kehidupan anak kecil secara mengalir dan utuh dari sudut pandang anak-anak itu sendiri. Serta, bagaimana hal-hal yang si anak temukan tersebut mempengaruhi keputusan-keputusan atau tindakan-tindakan yang ia ambil. Misalnya, ketika Na Willa kekeuh ingin terlahir tinggi seperti ayahnya agar mudah mengambil mainan. Tetapi, ia ingin punya rambut bergelombang dan kulit cokelat seperti ibunya, agar tidak terlihat 'berbeda' dari temannya yang pribumi.

Namun, setiap bab di buku ini tetap seru untuk di baca. Di bab-bab awal, kita akan mendapati Na Willa dan kegelisahannya tentang identitas dirinya, baik karena namanya yang tidak umum dan wajah oriental yang mengundang temannya untuk mencibir. Di sana, kita akan melihat bagaimana seorang anak kecil dealing dengan realita pluralisme, bagaimana sikap teman sebaya Na Willa mempengaruhi dia dan konsep dirinya. Di bab-bab pertengahan, kita akan mendengar Na Willa bertutur tentang teman-temannya, rasa penasarannya dengan benda di sekeliling, pemahamannya tentang konsep pernikahan, dan lainnya. Setiap cerita dibumbui dengan kepolosan dan ketulusan anak usia 5 tahun dalam melihat fenomena di sekelilingnya.

Di bab-bab akhir, kita akan mendengar apa yang ada di pikiran Na Willa tentang konsep sekolah. Salah satu dialog favorit saya adalah ketika Mak mengatakan ke Na Willa jika sebentar lagi ia akan sekolah,

---

"Belajar?"
"Ya, belajar menulis yang bagus. Menggambar, menggunting, menempel, menyanyi..."

"Aku sudah bisa menyanyi. Oh, oh, Hestiiiii!"

"Bukan lagu itu! Kamu nanti belajar lagu lain, lagu anak-anak."

"Tapi aku suka. Oh, oh, oh Hestiiii.. mengapa wajahmu mirip dia!"

"Itu bukan lagu anak-anak, Willa. Sebaiknya jangan menyanyikan lagu itu di sekolah nanti, ya,"

"Ibu guru tidak suka Hesti?"

"Mungkin suka, tetapi kalau di sekolah, kamu menyanyikan lagu anak-anak"

---

Well, intinya, buku ini bagus banget banget untuk teman-teman yang sangat menggandrungi buku anak-anak yang tidak kekanakkan. Bukunya sederhana dan menyenangkan. Pas untuk dibaca sebelum bobok. Hehe

Eniwei, bagi saya pribadi, yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya beberapa hari sebelum membaca buku ini dan ketika disana sempat melihat beberapa gang-gang kecil dengan jejeran rumah yang rapat-rapat saat, buku ini menjadi semacam sarana flashback. Walaupun agak nggak sesuai sih ya, setting buku kan 1960-an, sedangkan saya ke Surabaya baru bulan Mei 2017. Tapi tetep sih, buku ini membantu saya untuk membangun imajinasi yang utuh tentang kota Surabaya di masa lalu dan masa sekarang.

Ohya ohya, saya juga punya cerita gimana sampe saya punya buku Na Willa. Tapi nanti yaa ceritanya di postingan terpisah. Hahaha

Donnerstag, 18. Mai 2017

Validasi, Validasi, Validasi!

Hal yang menurut saya sangat baik dan menjadi modal paling penting yang ada di dalam diri startup founder adalah keyakinan diri mereka bahwa idenya mampu menjadi solusi atas permasalahan di sekitarnya. Well, itu bagus sekali karena menumbuhkan optimisme. Sayangnya, pada kebanyakan kasus, para startup founder tersebut terlalu percaya diri dengan ide yang mereka bawa. Sehingga, mereka lupa bahwa ide mereka selama ini baru berupa asumsi. Bahwa ide mereka baru berasal dari logika pribadi, dengan anggapan, ‘sepertinya’ ide tersebut relevan dengan permasalahan yang ingin diselesaikan. Sialnya, saya mungkin menjadi salah satu yang selama ini menjebak diri sendiri dalam pola pikir tersebut.
                
Saat Ignition #1000StartupDigital di Surabaya beberapa pekan lalu, saya semacam mendapat teguran dari sesi yang dibawakan Praw (Prasetya Andy W. –Head of IT Development Jakarta Smart City). Ia menyebutkan pentingnya melihat kembali apakah permasalahan yang ingin kita selesaikan benar-benar terjadi di masyarakat, serta apakah ide yang kita tawarkan memang benar-benar solusi yang dibutuhkan. Jangan-jangan itu semua hanya asumsi belaka, sekadar mimpi indah yang kita bangun karena kita ‘kebelet’ ingin menjadi founder sebuah startup.
                
Oleh karena itu, kuncinya adalah validasi, validasi, dan validasi! Kita harus dapat memastikan bahwa setiap ide dan keputusan yang diambil berdasarkan data yang sudah tervalidasi. Validasi ide sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, dengan berinteraksi langsung dengan target pasar kita dan coba menawarkan produk kita. Respon yang kita dapat dari mereka dapat menjadi gambaran apakah permasalahan yang ingin kita selesaikan benar-benar menjadi ‘keresahan’ di kalangan mereka.
                
Lebih jauh, sebagai digital startup, validasi juga harus dilakukan terhadap basis produk kita, apakah nantinya lebih relevan berupa app-based atau ternyata web-based saja sudah cukup untuk mengakomodasi kebutuhan target pasar kita. Oleh karena itu, prototype produk menjadi sangat penting. Namun, berbicara tentang prototype, do not overthink it! Jangan membayangkan sesuatu yang kompleks dan canggih dengan berbagai fitur. Prototipe dapat dimulai dengan produk sederhana yang memuat hanya fungsi-fungsi utama dari produk yang ingin kita kembangkan, atau biasa dikenal dengan Minimum Viable Product (MVP). Pembuatan MVP ini juga dapat membantu kita untuk memperkirakan berapa budget yang harus kita alokasikan untuk mengembangkan produk kita nantinya.
                
Sampai saat ini, saya masih sangat takjub ketika Koh Yansen menyebutkan bahwa pada masa awal beroperasinya Go-Jek, produk tersebut dijalankan secara manual. Dimana user hanya dapat melakukan order melalui website, karena saat itu Go-Jek belum memiliki aplikasi mobile. Lalu, di website tersebut, order dari para user disampaikan kepada ojek mitra secara manual oleh customer service Go-Jek. Learning point-nya adalah sebelum berpikir terlalu sophisticated namun tidak feasible dan actionable, Go-Jek memilih untuk memulai dari bentuk produk yang paling sederhana dan melihat apakah ada demand atas produk tersebut. Dari sana, barulah dikembangkan fitur-fitur lain seperti yang kita kenal saat ini, Go-Glam, Go-Massage, dan lain-lain.
                
Intinya, kalau saya boleh mengutip signature quote-nya kantor Kibar, asumsi itu membunuh. Jangan jadikan itu sebagai dasar dalam mengembangkan startup kita. Selalu lakukan validasi atas setiap keputusan yang akan kita ambil. Selamat merombak pola pikir!  

Sonntag, 1. Oktober 2017

Lil's Travel Journey: Random Travel to Bromo yang Berujung Wisata Reliji

Few days ago, i finally happened to visit Gunung Bromo for the very first time! Yay. Seru sekali. Saya pergi rombongan bersama teman-teman Cabang Ngasem, Kediri, tempat saya bertugas saat ini. The most important thing to highlight is biaya perjalanannya cuma 150k udah PP dan termasuk sewa mobil jeep di sana, lho! Huahahaha kubahagia hingga jumawa.

Nah, biar postingan ini lebih berfaedah, saya akan share pengalaman saya secara berurutan sejak berangkat sampai balik lagi. Plus ada beberapa tips yang akan saya bagi agar teman-teman yang juga berencana ke sana bisa mempersiapkan perjalanannya lebih baik lagi.


Perjalanan Menuju Bromo

Oke, jadi perjalanan kami mulai sekitar jam 9 malam dari Pare, Kediri- sesuai request si Om-om pemilik travel. Meeting point-nya di perempatan lampu merah yang ada patung burung Garuda besarnya. Kalau nggak salah sih itu Monumen Garuda Pancasila namanya.

Nah, karena kami dari Ngasem itu naik motor, jadi motornya kami titip di RSUD Pare yang letaknya nggak jauh dari meeting point. Tenang, jangan bayangkan harga parkir di Jakarta yang tarifnya progresif nambah tiap jam. Itu motor baru kami ambil besok malemnya dan kami cukup bayar 2k aja.

Setelah semua rombongan kumpul, motor aman terparkir di rumah sakit, kami naik ke mobil travelnya deh. Mobilnya Elf, selayaknya travel-travel pada umumnya. Perjalanan Kediri - Pasuruan (Gunung Bromo itu ada di antara Pasuruan - Malang - Probolinggo btw) itu makan waktu sekitar 6 jam. Saya kurang paham gimana kondisi jalan menuju kesana, selain karena gelap, jadi nggak bisa liat apa-apa, saya orangnya ngantukan. Jadi, baru masuk mobil juga saya sudah buka sleeping bag dan siap-siap bobok hahahaha.

Sepanjang perjalanan, walaupun saya terlelap dalam tidur panjang, saya ngeh kalau kami sempat beberapa kali berhenti. Entah untuk istirahat, jemput satu penumpang lain, atau entahlah (bahkan sempat ada berita berhembus, supirnya berhenti untuk transaksi doping biar kuat melanjutkan perjalanan. duh serem). Saya nggak terlalu paham kejadian waktu itu, karena setiap kebangun sebentar itu, saya liat kanan-kiri, nyadar mobil berhenti, dan lanjut tidur lagi. Hahahahaha.

Sekitar jam 3 pagi, saya kebangun dan suasana mobil udah rame. Ternyata kami sudah sampai. Yay. Hawanya lumayan dingin, tapi belum ngaruh apa-apa sih ke saya. Since saat itu saya masih bisa bertahan dengan kemeja putih tipis tanpa jaket. Temen-temen semobil udah pada heboh kedinginan dan beli-beli kupluk, syal, dll. Padahal mereka udah bawa sendiri-sendiri lho dari Kediri, tapi masih ngerasa kupluk yang mereka bawa kurang menghangatkan. Akhirnya mereka beli lagi di tukang kupluk yang mengepung mobil kami. Padahal kelihatannya sih sama aja bahannya. Hem, impulsive buying. Haha.


Menanti Sunrise

Selama 20 menit kami bertahan di dalam mobil travel karena dikerubungi buk-ibuk dan pak-bapak yang menawarkan kupluk, syal, dll dengan bahasa manis marketing selayaknya SPG terlatih. Sampai akhirnya si Om Supir travel kami bilang, "Ayo-ayo keluar dan ikuti saya. Jangan sampai terpisah ya." (Saya lupa diksi tepatnya seperti apa. Hahaha. Intinya, gitu lah.).

Selanjutnya, kami pun keluar mobil dan mengikuti si Om Supir. Udaranya sudah terasa nyelekit-nyelekit gitu. Tapi, saya masih bertahan dong dengan kemeja tipis. Sementara jaket hanya saya ikatkan di pinggang.

Om Supir ternyata membawa kami ke mobil jeep yang akan mengantar kami ke bukit untuk melihat sunrise. Sayangnya, karena kapasitas mobil jeep terbatas, rombongan kami harus terbagi menjadi dua kelompok. Kurang lebih, satu mobil jeep dapat memuat 7 - 8 orang.




Suasana di dalam mobil jeep. Cukup sempit, tapi seru sekali. Apalagi kalau kalian perginya sama teman-teman terdekat.


Kami sempat menunggu kurang lebih 15 menit sampai akhirnya jeep itu benar-benar berangkat. Perjalanan ke atas sendiri memakan waktu kurang lebih setengah jam. Medannya pun cukup ekstrim dengan banyak tanjakan dan turunan. Saya bahkan sempat mual. Beruntung, angin malam sedikit-sedikit masuk ke dalam jeep kami, sehingga menghilangkan rasa mual akibat kondisi jalanan yang tidak bersahabat tersebut.

At some point, yang saya sendiri tidak paham dimana persisnya, si Bapak Supir jeep menurunkan kami. Di sekitar jeep tumpangan kami juga sudah berjajar jeep-jeep lain. Kata si Bapak Supir, jalur ke atas sudah macet, jadi lebih baik kami menikmati sunrise di titik tersebut. Bapak Supir lalu mengarahkan kami untuk naik ke atas bukit yang berada tidak jauh dari tempat jeep kami terparkir.

Kami pun mengikuti jalan setapak menanjak yang gelap dan licin (bukan licin karena basah, tetapi karena tanahnya seperti tanah merah yang kering dan halus. Saya bingung menggambarkannya hehe). Saat sampai di tempat yang agak landai, ternyata sudah ada banyak pedagang yang menjajakan minuman hangat dan menyewakan tikar serta jaket di sana. Sebenarnya, dari titik kami itu, masih bisa menanjak lagi. Tetapi, demi mempertimbangkan keamanan, kami berhenti di titik tersebut.

Kami pun mengambil posisi berjajar menghadap ke arah matahari terbit. Waktu sepertinya menunjukkan pukul 3.30 WIB. Entahlah, saya kurang tahu persis, yang pasti udara sudah semakin dingin. Saya juga sudah menyerah dengan kemeja tipis dan memutuskan memakai jaket tebal yang sebelumnya melingkar di pinggang.

Kegiatan menanti fajar (baca: sunrise) ini tidak terlalu menyenangkan. Pertama, karena matahari baru akan terbit kurang lebih 1 - 2 jam lagi, nggak tau tepatnya jam berapa ehehe, yang pasti sih nunggunya cukup lama. Kedua, kami bosan karena tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan, selain mendengarkan musik. Tidak ada makanan yang bisa dicemilin, selain roti dua biji yang saya bawa, padahal saya laper. Ketiga, hawanya dingin banget banget banget bangeeeeeet. Bahkan saya sempat lompat-lompat sambil goyang-goyang badan untuk meredakan hawa dinginnya (yang sebenernya nggak begitu nolong sih). Untungnya, saya masih punya sleeping bag yang bisa jadi andalan menangkal hawa dingin. Lumayan banget, muat untuk menghangatkan dua orang. Ohya, kupluk-kupluk punya teman-teman yang teronggok tak terpakai di tas saya juga akhirnya saya berdayakan. Pokoknya, apapun yang penting saya nggak mati kedinginan weh.

Anyway, walaupun lagi safar begini, sholat tetep nggak boleh ketinggalan loh ya. Waktu itu saya sholat subuh di semak-semak dengan beralaskan sleeping bag. Dalam hati ngucap bismillah aja lah, semoga tempatnya suci dari najis. Aamiin.







Menanti sunrise yang tak kunjung tiba. Ternyata, makin pagi, hawanya makin dingin euy.


Sekian lama menanti sang fajar, ternyata cuaca kurang berkenan. Menurut orang-orang, sunrise-nya lagi nggak bagus karena banyak kabut yang menutupi. Alhasil, gradasi warna langit yang biasanya menyertai sunrise nggak kelihatan jelas. Loh, kenapa kok 'menurut orang-orang'? Karena saya sendiri tidak berpengalaman nontonin sunrise di alam terbuka. Jadi, mau gimana pun penampakannya, menurut saya mah indah-indah aja dan cukup bikin hati berdecak sembari mengucap Maasya Allah aja lah. Bersyukur Allah masih kasih kesempatan ke saya untuk berkunjung ke Bromo.



Sebelum beralih ke destinasi selanjutnya, foto dulu di sebelah jeep kami.


Lautan Pasir

Ketika matahari semakin beranjak naik, kami kembali ke mobil jeep untuk meneruskan perjalanan. Hawa yang awalnya dingin mulai berangsur hangat. Pemandangan saat perjalanan menuju titik destinasi selanjutnya cukup memanjakan mata. Sayang sekali kalau di waktu tersebut kita tidur, walaupun saya sendiri tidur sih hahaha. Saya bangun ketika pemandangan sekitar yang mulanya berupa pepohonan dan jalan curam berubah menjadi lautan pasir. Jeep yang kami tumpangi pun berhenti di satu titik di tengah-tengah lautan pasir tersebut. Gunung Bromo sendiri masih cukup jauh dari posisi kami saat itu. Sepertinya, titik tersebut memang menjadi titik persinggahan wisatawan sebelum benar-benar sampai di kaki Gunung Bromo.

Sejauh mata memandang, yang saya lihat hanya lautan pasir dan bukit besar nan tinggi yang berbaris-baris. Langitnya biru cerah dengan sedikit guratan-guratan putih awan. Semburat cahaya matahari pagi membentuk siluet alam yang manis. Gulma-gulma hidup menggerombol di beberapa titik. Warnanya yang keemasan semakin membuat klasik pemandangan yang terhampar (btw, bener yak namanya gulma? kok gue ragu yaa hahaha). Hem, pokoknya gitu lah, saya nggak jago mendeskripsikan pemandangan indah dengan personifikasi ala ala sastrawan. Mending liat foto-fotonya langsung aja deh. No filter lho, saya jepret langsung pakai HP low-end ber-tagline 'Camera Phone' dengan spek paling rendah.






No filter cuy!


Sayangnya, momen langka nan memesona itu tidak bisa saya nikmati lama-lama. Bukan, bukan karena si Bapak Supir meminta kami untuk bersegera naik jeep dan meneruskan perjalanan. Tapi, karena naluri manusiawi untuk pipis saya yang tiba-tiba datang mengganggu. Dan berita buruknya, there's no toilet there, at all. Toilet terdekat lokasinya tepat di kaki Gunung Bromo, which is still quite far from there. Hem, okay then, i have no other choice beside staying calm and holding it. Saya pun berusaha membuyarkan hasrat untuk pipis tersebut dengan foto-foto manis. Namun, rasa yang datang dari dalam diri memang sungguh tidak dapat berbohong. Saya sampai pada titik di mana saya tidak sanggup menahan lagi. Well, i'm indeed not a pro in menahan rasa ingin pup atau pipis.

Melihat saya yang tampak tersiksa menahan pipis, si Bapak Supir nggak tega dan akhirnya menawarkan saya sarungnya agar saya bisa pipis darurat. Tapi kan saya nggak mungkin pinjem sarung si Bapak Supir yaa. Beruntung, salah satu teman saya juga bawa sarung, jadi saya bisa pinjam sarung dia deh (tentunya setelah izin sama istrinya, since he just got married, istrinya juga teman saya dan ikut dalam rombongan. wq).

Akhirnya, dengan bantuan seorang teman dan sarung mejik, saya berhasil menuntaskan hasrat ingin pipis saya di satu spot di tengah gulma-gulma. Alhamdulillah. Jadi, sedikit pesan buat teman-teman yang akan ke Bromo, kalau kalian kelak menemukan satu spot dengan air menggenang, jangan dulu bahagia. Kita tidak berada pada zaman Nabi Ismail dimana sumber air zamzam muncul. Saya agak khawatir itu adalah genangan air yang sempat saya tinggalkan. ehe.


Finally, the magnificent Bromo!

Sekitar pukul 6 lebih sedikit kami masuk jeep dan bersiap ke titik selanjutnya. Medan yang kami lewati sangat berdebu karena isinya pasir semua. Tapi, tetep aja kece. Tenang, kali ini saya nggak bobok kok karena saking excited-nya mau liat Gunung Bromo dari jarak yang sangat dekat. Sepanjang jalan si Bapak Supir menyuguhkan atraksi jeep kecil-kecilan kepada kami. Jeep-nya dibawa ngebut terus jalannya agak zig zag gitu. Nahlo, kebayang nggak tuh gimana maksudnya. Saya sempet record momen-nya, semoga bisa tergambarkan. Ohya, sepanjang jalan, kami juga sempat liat wisatawan-wisatawan bermotor yang motornya 'selip' kesulitan berjalan di lautan pasir itu. Ngeri-ngeri sedap.




After such a tough road, finally we touch down kawasan Gunung Bromo! Yeay. Keren banget banget banget yaa penampakan aslinya. Masya Allah, memang luar biasa deh Allah.





Mobil jeep dan si Bapak Supir hanya mengantar kami hingga batas parkir mobil. Selebihnya, kami bisa berjalan atau sewa kuda hingga ke puncak. Biaya sewa kuda sekitar 150k. But, none of us sewa kuda, kan mau berhemat hehe. Saya sendiri ngerasa lebih worth it kalau jalan kaki sih, bisa menikmati pemandangan lama-lama dan 'me time' untuk bertafakur. aih.




Saya kurang tahu persis berapa panjang jarak dari parkiran menuju tangga penanjakan ke kawah Gunung Bromo, yang pasti, ketika saya jalan, berasa sih nggak sampe-sampe. Padahal, kalau dari parkiran, kelihatannya itu gunung ada di depan mata. Mungkin juga karena kami sempat berhenti di beberapa titik sih. Titik pertama, kami berhenti untuk beli pentol karena lapar, kan belum sarapan. Harga pentolnya 5k saja. Wait, what, jadi di sekitar Gunung Bromo ada yang jualan? Yes, lebih tepatnya, banyak yang jualan. Makanya, kalau kamu lapar atau butuh sesuatu untuk menghangatkan badan di pagi hari, jangan khawatir, karena banyak pedagang yang menjajakan minuman sachet atau mie instan yang diseduh. Titik kedua, kami berhenti di toilet umum karena ada beberapa teman yang mau pipis, biaya toiletnya juga 5k.

Selesai dari toilet, medan sudah lebih syulit. Banyak yang jual masker karena kondisinya memang sangat berdebu. Hawanya sendiri masih dingin karena anginnya kencang, tapi juga hangat karena matahari. Intinya sih kostum hangat kami subuh tadi sudah tidak dibutuhkan lagi. Beberapa dari rombongan kami memutuskan untuk tidak naik ke atas. Saya sendiri, cuss naik aja lah selagi masih aman.







Tangga menuju kawah Bromo ternyata antre luar biasa. Beberapa orang yang tidak sabar memutuskan untuk berjalan melalui tebing di samping tangga yang terjal dan berbahaya. Beruntungnya, saya tidak punya nyali sebesar mereka, jadi saya bersabar saja dengan mengantre lewat tangga.

Kondisi tangga menuju kawah sendiri cukup menyedihkan. Walaupun konstruksinya masih cukup kokoh (cailah, sok ngomongin konstruksi), permukaannya banyak dicoret-coret oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Padahal, Bromo itu nggak cuma dikunjungi wisatawan domestik aja lho, banyak juga wisatawan mancanegaranya. Tapi, kok ya vandalisme macam gitu masih dilakukan. 








Freitag, 30. Juni 2017

Lil's Book Review: "Aku, Meps, dan Beps" by Soca Sobhita dan Reda Gaudiamo

Yes, buku kedua dari Reda Gaudiamo yang saya baca setelah Na Willa. Genre-nya masih seputar anak-anak. Sudut pandang utamanya pun masih tokoh anak kecil. Tapi saya nggak bosen bacanya haha

Oke, jadi pertama kali tau buku ini dari instagram-nya POST Santa. Saya langsung jatuh cinta dengan cover-nya. Lucuk dan simple banget! Setelah itu, saya cari-cari deh review-nya, dan ternyata buku tentang anak-anak (beda lho ya sama buku anak-anak). Jujur, saya memang menggandrungi buku-buku ringan, sederhana dan menyenangkan dengan sudut pandang anak-anak. Makanya, ketika tau "Aku, Meps, dan Beps" ini, saya langsung gemes pengen baca.

Ceritanya panjang sampai si buku oranye nan menggemaskan ini sampai ke kosan saya di Nganjuk. Will share about that in a separate post yaks.

Seperti judulnya, buku ini bercerita tentang kehidupan seorang anak kecil dan kedua orang tuanya yang ia panggil Meps dan Beps. Bedanya dengan Na Willa, di buku ini lebih banyak si aku yang monolog tentang hal-hal di sekelilingnya, entah itu hewan peliharaannya, kebiasaan kedua orang tuanya, kartun favoritnya, permainan kesukaan, dan lain-lain. Walaupun begitu, setiap cerita di buku ini tetap nggak membosankan karena disertai dengan interaksi antaranggota keluarga kecil itu yang unik banget.

Bagi saya, hal yang paling menarik dari buku ini -yang baru saya sadari setelah membaca bagian Surat dari Penerbit adalah realita berkeluarga yang secara jujur dituturkan oleh penulis. Misalnya, fakta bahwa Meps adalah seorang ibu yang sibuk, sedangkan Beps semacam stay-at-home dad. Padahal, untuk konteks masyarakat Indonesia, hal tersebut sangat tidak umum dan cenderung dianggap menyimpang dari konsep keluarga ideal Indonesia. Selain itu, Beps juga digambarkan sering terlambat dan begadang bermain kartu sampai pagi. Tipikal bukan ayah idaman yang lazimnya digambarkan di buku-buku banget.

Saya sangat suka kalimat dari penerbit, bahwa buku ini tidak berusaha menjadi contoh ideal bagi para pembaca. Buku ini begini apa adanya, penuturan jujur dari seorang anak kecil atas apa yang ia lihat dan rasakan dari lingkungan sekitarnya.

Ohya, meskipun buku ini menyenangkan, tetap saja buku ini punya hal yang menyebalkan. Halamannya terlalu tipis :( Baru dibaca sebentar sudah habis hiks.

Lil's Book Review: "Serial Catatan Kemarin: Na Willa" by Reda Gaudiamo

Buku ini bercerita tentang seorang anak kecil berwajah oriental bernama Na Willa yang saat itu berusia (mungkin) 5 tahun-an atau sekitar usia menjelang masuk sekolah dasar. Usia Na Willa sendiri tidak disebutkan secara pasti dalam buku. Ia tinggal bersama ibunya yang ia panggil 'Mak' dan seorang asisten rumah tangga yang ia panggil 'Mbok'. Mereka tinggal di rumah sederhana yang berada pada sebuah gang di kampung kecil di Surabaya dengan setting waktu tahun 1960-an. Ayah Na Willa sendiri diceritakan sebagai seorang pelaut, sehingga jarang sekali berada di rumah.

Tidak ada cerita khusus yang diangkat di buku ini. Sepertinya, sang penulis ingin menggambarkan kehidupan anak kecil secara mengalir dan utuh dari sudut pandang anak-anak itu sendiri. Serta, bagaimana hal-hal yang si anak temukan tersebut mempengaruhi keputusan-keputusan atau tindakan-tindakan yang ia ambil. Misalnya, ketika Na Willa kekeuh ingin terlahir tinggi seperti ayahnya agar mudah mengambil mainan. Tetapi, ia ingin punya rambut bergelombang dan kulit cokelat seperti ibunya, agar tidak terlihat 'berbeda' dari temannya yang pribumi.

Namun, setiap bab di buku ini tetap seru untuk di baca. Di bab-bab awal, kita akan mendapati Na Willa dan kegelisahannya tentang identitas dirinya, baik karena namanya yang tidak umum dan wajah oriental yang mengundang temannya untuk mencibir. Di sana, kita akan melihat bagaimana seorang anak kecil dealing dengan realita pluralisme, bagaimana sikap teman sebaya Na Willa mempengaruhi dia dan konsep dirinya. Di bab-bab pertengahan, kita akan mendengar Na Willa bertutur tentang teman-temannya, rasa penasarannya dengan benda di sekeliling, pemahamannya tentang konsep pernikahan, dan lainnya. Setiap cerita dibumbui dengan kepolosan dan ketulusan anak usia 5 tahun dalam melihat fenomena di sekelilingnya.

Di bab-bab akhir, kita akan mendengar apa yang ada di pikiran Na Willa tentang konsep sekolah. Salah satu dialog favorit saya adalah ketika Mak mengatakan ke Na Willa jika sebentar lagi ia akan sekolah,

---

"Belajar?"
"Ya, belajar menulis yang bagus. Menggambar, menggunting, menempel, menyanyi..."

"Aku sudah bisa menyanyi. Oh, oh, Hestiiiii!"

"Bukan lagu itu! Kamu nanti belajar lagu lain, lagu anak-anak."

"Tapi aku suka. Oh, oh, oh Hestiiii.. mengapa wajahmu mirip dia!"

"Itu bukan lagu anak-anak, Willa. Sebaiknya jangan menyanyikan lagu itu di sekolah nanti, ya,"

"Ibu guru tidak suka Hesti?"

"Mungkin suka, tetapi kalau di sekolah, kamu menyanyikan lagu anak-anak"

---

Well, intinya, buku ini bagus banget banget untuk teman-teman yang sangat menggandrungi buku anak-anak yang tidak kekanakkan. Bukunya sederhana dan menyenangkan. Pas untuk dibaca sebelum bobok. Hehe

Eniwei, bagi saya pribadi, yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya beberapa hari sebelum membaca buku ini dan ketika disana sempat melihat beberapa gang-gang kecil dengan jejeran rumah yang rapat-rapat saat, buku ini menjadi semacam sarana flashback. Walaupun agak nggak sesuai sih ya, setting buku kan 1960-an, sedangkan saya ke Surabaya baru bulan Mei 2017. Tapi tetep sih, buku ini membantu saya untuk membangun imajinasi yang utuh tentang kota Surabaya di masa lalu dan masa sekarang.

Ohya ohya, saya juga punya cerita gimana sampe saya punya buku Na Willa. Tapi nanti yaa ceritanya di postingan terpisah. Hahaha

Donnerstag, 18. Mai 2017

Validasi, Validasi, Validasi!

Hal yang menurut saya sangat baik dan menjadi modal paling penting yang ada di dalam diri startup founder adalah keyakinan diri mereka bahwa idenya mampu menjadi solusi atas permasalahan di sekitarnya. Well, itu bagus sekali karena menumbuhkan optimisme. Sayangnya, pada kebanyakan kasus, para startup founder tersebut terlalu percaya diri dengan ide yang mereka bawa. Sehingga, mereka lupa bahwa ide mereka selama ini baru berupa asumsi. Bahwa ide mereka baru berasal dari logika pribadi, dengan anggapan, ‘sepertinya’ ide tersebut relevan dengan permasalahan yang ingin diselesaikan. Sialnya, saya mungkin menjadi salah satu yang selama ini menjebak diri sendiri dalam pola pikir tersebut.
                
Saat Ignition #1000StartupDigital di Surabaya beberapa pekan lalu, saya semacam mendapat teguran dari sesi yang dibawakan Praw (Prasetya Andy W. –Head of IT Development Jakarta Smart City). Ia menyebutkan pentingnya melihat kembali apakah permasalahan yang ingin kita selesaikan benar-benar terjadi di masyarakat, serta apakah ide yang kita tawarkan memang benar-benar solusi yang dibutuhkan. Jangan-jangan itu semua hanya asumsi belaka, sekadar mimpi indah yang kita bangun karena kita ‘kebelet’ ingin menjadi founder sebuah startup.
                
Oleh karena itu, kuncinya adalah validasi, validasi, dan validasi! Kita harus dapat memastikan bahwa setiap ide dan keputusan yang diambil berdasarkan data yang sudah tervalidasi. Validasi ide sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, dengan berinteraksi langsung dengan target pasar kita dan coba menawarkan produk kita. Respon yang kita dapat dari mereka dapat menjadi gambaran apakah permasalahan yang ingin kita selesaikan benar-benar menjadi ‘keresahan’ di kalangan mereka.
                
Lebih jauh, sebagai digital startup, validasi juga harus dilakukan terhadap basis produk kita, apakah nantinya lebih relevan berupa app-based atau ternyata web-based saja sudah cukup untuk mengakomodasi kebutuhan target pasar kita. Oleh karena itu, prototype produk menjadi sangat penting. Namun, berbicara tentang prototype, do not overthink it! Jangan membayangkan sesuatu yang kompleks dan canggih dengan berbagai fitur. Prototipe dapat dimulai dengan produk sederhana yang memuat hanya fungsi-fungsi utama dari produk yang ingin kita kembangkan, atau biasa dikenal dengan Minimum Viable Product (MVP). Pembuatan MVP ini juga dapat membantu kita untuk memperkirakan berapa budget yang harus kita alokasikan untuk mengembangkan produk kita nantinya.
                
Sampai saat ini, saya masih sangat takjub ketika Koh Yansen menyebutkan bahwa pada masa awal beroperasinya Go-Jek, produk tersebut dijalankan secara manual. Dimana user hanya dapat melakukan order melalui website, karena saat itu Go-Jek belum memiliki aplikasi mobile. Lalu, di website tersebut, order dari para user disampaikan kepada ojek mitra secara manual oleh customer service Go-Jek. Learning point-nya adalah sebelum berpikir terlalu sophisticated namun tidak feasible dan actionable, Go-Jek memilih untuk memulai dari bentuk produk yang paling sederhana dan melihat apakah ada demand atas produk tersebut. Dari sana, barulah dikembangkan fitur-fitur lain seperti yang kita kenal saat ini, Go-Glam, Go-Massage, dan lain-lain.
                
Intinya, kalau saya boleh mengutip signature quote-nya kantor Kibar, asumsi itu membunuh. Jangan jadikan itu sebagai dasar dalam mengembangkan startup kita. Selalu lakukan validasi atas setiap keputusan yang akan kita ambil. Selamat merombak pola pikir!  

Popular posts