Berbicara
tentang nasionalisme, maka kadang pikiran kita akan langsung tertuju pada
segala hal yang berkaitan dengan rasa cinta tanah air, rasa kebangsaan, atau
segala hal yang berhubungan dengan kenegaraan. Ssecara garis besar pendapat itu
tidak sepenuhnya salah. Berkaitan dengan konsep Indonesia sebagai sebuah nation-state, rasa nasionalisme lebih
sering diartikan sebagai sebuah ‘ideologi’ rasa kebangsaan, dimana kata nation menjadi national (ajektifa) ditambah dengan imbuhan -isme sebagai sufiks. Maka
jadilah nasionalisme sebagai sebuah ideologi kebangsaan, yang juga banyak
diartikan sebagai sebuah rasa cinta bangsa. Namun itu kan hanya secara teoretis, yang menjadi pertanyaan disini adalah
bagaimana sebenarnya bentuk konkret dari nasionalisme itu sendiri? Apa iya,
kita sudah dapat dikatakan memiliki rasa nasionalisme ketika kita rajin mengikuti
upacara bendera di sekolah? Atau ketika kita selalu bisa mengangkat tangan
dengan benar setiap kali si pemimpin upacara memerintahkan kita untuk hormat
pada bendera? Atau ketika kita selalu tertib menundukkan kepala setiap lagu
Mengheningkan Cipta dinyanyikan? Atau ketika kita mengikuti ekstrakurikuler
Paskibra di sekolah? Atau ketika kita suka menonton film - film berbau perang
kemerdekaan? Atau ketika kita selalu menggunakan baju made in Indonesia, sepatu made
in Indonesia, serta tas juga made in
Indonesia? Saya rasa tidak demikian.
Menurut saya,
beberapa hal yang saya sebutkan sebelumnya hanyalah contoh hal - hal yang
dilakukan kita atau orang-orang di sekitar kita, baik secara sadar maupun tidak
sadar, untuk menimbulkan rasa nasionalisme. Sedangkan ada tidaknya rasa
nasionalisme itu sendiri, atau seberapa besar rasa nasionalisme itu ada dalam
dirir kita, tidak akan pernah bisa terukur hingga kita mengalami kejadian
berisiko tinggi (Loh, apa nih maksudnya?). Jadi, kejadian berisiko
tinggi disini adalah dengan kondisi kita sebagai warga negara Indonesia dan
kita dihadapkan kepada beberapa pilihan, yang salah satu pilihannya adalah
terus menjadi bagian dari Indonesia atau memisahkan diri dari Indonesia. Kemudian,
jika kita berfikir menggunakan akal sehat, terus menjadi bagian dari Indonesia adalah
pilihan terakhir atau bisa dibilang sebagai kemungkinan terburuk yang akan kita
pilih diantara alternatif lain. Nah,
bingung deh, maksudnya apa ya?
Mungkin in-my-opinion-nya saya tentang
nasionalisme ini bisa dimengerti dengan contoh berikut ini. Saat itu saya
sedang menikmati salah satu acara di stasiun TV yang berlogo burung, kurang
tahu burung apa, yang jelas nama stasiun TV-nya Metro TV (ups sebut merek). Sekalian sebut aja kali ya kalo acara TV-nya itu Kick
Andy hahaha. Oke, jadi saat itu saya lupa topik utamanya tentang apa, yang
jelas saat itu, si Andy (sok akrab)
membahas tentang lepasnya TimorTimor dari Indonesia. Salah satu bintang tamunya
adalah seorang ibu berusia sekitar 30 tahunan yang akhirnya tetap memilih untuk
menjadi bagian dari ratusan juta penduduk Indonesia yang jangankan bisa
menjanjikan kesuksesan, menjanjikan kehidupan yang layak sebatas kebutuhan
dasar terpenuhi pun pemerintah Indonesia mungkin akan berpikir ulang sekian
ratus kali untuk memberikannya, apalagi tempat tinggal mereka jauh di beranda
Indonesia sana. Tak terpikir sedikit pun bagi si Ibu itu untuk pindah
kewarganegaraan karena sebegitu kuatnya rasa cintanya pada tanah air, sekalipun
jika beliau pindah menjadi warga Timor Timor, setidaknya hidup beliau sedikit
lebih terjamin. Salut.
Menurut saya, itulah
rasa nasionalisme sebenarnya, tanpa imbalan atau iming-iming apapun. Hanya
bermodalkan rasa cinta tanah air, si Ibu rela mengorbankan masa depannya, masa
depan keluarganya. Intinya, menurut
saya, rasa nasionalisme adalah sesuatu yang hadir di luar common sense, tidak
hanya keluar sebagai kata-kata, tetapi tindak nyata. Dan jangan pernah bilang bahwa
dirimu bernasionalisme tinggi, jika belum pernah dihadapkan pada pilihan
sekrusial itu. Jika Indonesia belum menjadi pertaruhan nyawa terakhirmu.
Peserta UI-Student Development Program 2012
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen