“Jarak itu sebenarnya tak pernah ada.
Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan”
― Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung
Posts mit dem Label nah! werden angezeigt. Alle Posts anzeigen
Posts mit dem Label nah! werden angezeigt. Alle Posts anzeigen
Samstag, 23. März 2019
Samstag, 2. Februar 2019
Buka Laundry Kiloan
Hingga Januari 2019 ini, tepat 26 bulan sudah saya berdomisili di Jawa Timur. Atau tepatnya 776 hari. Atau lebih tepatnya 18.624 jam. Atau lebih tepat dari lebih tepatnya 1.117.440 menit. Atau lebih tepat dari lebih tepat dari lebih tepatnya dari tepatnya 67.046.400 detik! Gila sih, kalau setiap detik saya bernilai setidaknya Rp 1 saja, udah bisa buka 3 gerai laundry kiloan lah ini.
Sonntag, 12. August 2018
My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 1]
Kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya 'berkenalan' dengan YSEALI hingga akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018 dan mendapat pengumuman diterima pada Selasa (7/8) lalu.
Okedeh, sekarang yuk mari kita mulai!
Pertama, tujuan saya menulis ini untuk give back, karena saat masa-masa daftar YSEALI yang penuh drama resah gelisah bahkan demam diare itu, saya benar-benar mengandalkan tulisan-tulisan di blog para alumni yang berbagi pengalaman YSEALI mereka. Saya banyak mencari clue-clue mengenai proses aplikasi, seperti kriteria kandidat terpilih, tips wawancara, linimasa program dan sebagainya dari sana. Tulisan-tulisan itu luar biasa membantu sekali lho, Mas Mbak Alumni. Terima kasih banyak.
Kedua, tulisan ini untuk refleksi saya di masa datang, that it's always my choice to take or ignore what universe has offered. Thus, i need to be fully aware of the consequences yet be respectful with the process. Kalau gagal ya dinikmati, kalau berhasil ya disyukuri, karena masa datang nanti adalah akumulasi konsekuensi dari pilihan-pilihan yang saya ambil.
Ketiga, tulisan ini untuk alarm diri sendiri, bahwa hidup itu Allah yang mengendalikan. Kadang, segala hal berjalan di luar kalkulasi manusia. Makanya, saya harus selalu melibatkan Allah pada setiap hal yang saya lakukan, sesepele apapun hal itu. Dan, yang paling penting, kalau saya inginnya banyak, doanya harus lebih banyak, syukurnya apalagi.
Okedeh, sekarang yuk mari kita mulai!
Berkenalan dengan YSEALI
YSEALI (Young Southeast Asia Leaders Initiative) merupakan sebuah program kepemudaan yang diselenggarakan dan dibiayai penuh oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan sekaligus memperkuat jaringan para pemuda di Asia Tenggara. YSEALI pertama kali diluncurkan pada tahun 2013 dan fokus pada beberapa topik utama, seperti kewarganegaraan (civic engagement), pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pendidikan (education) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth).
Program-program YSEALI sendiri beragam:
1. Professional Fellowship ke Amerika Serikat
2. Academic Fellowship ke Amerika Serikat
3. Regional Workshop (Biasanya diadakan di negara-negara Asia Tenggara)
4. Grant Funding (Lebih dikenal dengan YSEALI Seeds for the Future Grant)
Oleh karena itu, jangan heran kalau kamu mendengar temanmu lolos seleksi YSEALI tapi berangkatnya bukan ke US, karena memang tidak semua program dilaksanakan di US. Lebih lengkap tentang YSEALI bisa cek disini.
Program-program YSEALI sendiri beragam:
1. Professional Fellowship ke Amerika Serikat
2. Academic Fellowship ke Amerika Serikat
3. Regional Workshop (Biasanya diadakan di negara-negara Asia Tenggara)
4. Grant Funding (Lebih dikenal dengan YSEALI Seeds for the Future Grant)
Oleh karena itu, jangan heran kalau kamu mendengar temanmu lolos seleksi YSEALI tapi berangkatnya bukan ke US, karena memang tidak semua program dilaksanakan di US. Lebih lengkap tentang YSEALI bisa cek disini.
Saya lupa kapan pertama kali saya mendengar tentang YSEALI, yang pasti, saat itu saya masih kuliah dan sedang semangat-semangatnya mengikuti berbagai kegiatan kepemudaan, baik di dalam maupun di luar kampus. Kalau nggak salah, waktu itu YSEALI Academic Fellowship sedang buka pendaftaran. Saya sempat baca deskripsi programnya sepintas. Keren juga yaks, ke US lima minggu, fully funded pula. Biasanya kan program yang begitu harus cari sponsor sendiri, pikir saya.
Saat itu, aplikasi YSEALI masih menggunakan formulir Ms. Word (kalau tidak salah). Saya coba cek persyaratannya. Duh, ribet sekali, harus bikin esai, harus minta surat rekomendasi juga. Singkat cerita, saya tidak jadi mendaftar karena yakin tidak akan terpilih. Bukannya apa-apa, saya sudah sering daftar program fully funded yang 'jauh' begitu dan belum pernah tembus berangkat. Jadi, ya udah males duluan untuk coba.
Secara tidak langsung, pikiran saya itu menutup kemungkinan saya untuk mendaftar program YSEALI pada pembukaan-pembukaan selanjutnya. To be honest, that moment, I thought this program was too prestigious. It would waste my time to struggle on things that are impossible to conquer. Apalah saya, cuma sebentuk udara yang terperangkap di bubble wrap. Dipencet sedikit, terjadi letusan kecil, dan hilang tak berbekas.
Tapi, saat itu saya tetap mendaftar sebagai YSEALI member. Jadi, update tentang program-program YSEALI selalu masuk ke email setiap bulan. Walaupun, saya pribadi sudah tidak punya lagi keinginan untuk mendaftar. Semacam berpikir, "yailah nggak mungkin berangkat, Lil". Ditambah lagi, di tahun-tahun akhir kuliah, saya sibuk dengan berbagai urusan magang dan skripsi, serta percintaan sesekali. Wkwk boong deng.
Di masa setelah kelulusan, saya bekerja di sebuah social enterprise asal Singapura dan ditempatkan di pelosok Sumba, NTT. Hidup bersama warga desa dengan budaya yang benar-benar baru, tanpa listrik, tanpa gemerlap ibukota, membuat saya menemukan kesenangan baru yang cukup menyita perhatian. Hem, apa itu YSEALI? Saya sudah lupa.
Di masa setelah kelulusan, saya bekerja di sebuah social enterprise asal Singapura dan ditempatkan di pelosok Sumba, NTT. Hidup bersama warga desa dengan budaya yang benar-benar baru, tanpa listrik, tanpa gemerlap ibukota, membuat saya menemukan kesenangan baru yang cukup menyita perhatian. Hem, apa itu YSEALI? Saya sudah lupa.
Titik Balik
Tahun 2016 akhir, saya keluar dari social enterprise asal Singapura itu. Aaakk, sedih sekali, tapi sepertinya memang demikian jalannya. Saya lalu bergabung dengan Water.org dan ditugaskan untuk mendampingi cabang-cabang salah satu microfinance partner mereka yang berada di Jawa Timur. Kebayang nggak sih, berawal dari hidup penuh keterbatasan di pelosok Sumba, dalam waktu sekian bulan, hidup saya berubah menjadi gerilyawan di sudut-sudut kabupaten di Jawa Timur.
Pekerjaan saya itu membuat saya banyak berinteraksi dengan warga desa. Pertama sih karena sebagian besar waktu kerja saya memang dihabiskan di lapangan, bertemu dengan ibu-ibu mitra dan suaminya yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan peternak. Kedua, work load di kantor cabang juga memang nggak terlalu padat, jadi saya punya banyak waktu luang buat melipir di jam kantor dan ngobrol-ngobrol semi khozip dengan warga sekitar. Dari sana, saya banyak terpapar informasi mengenai 'drama kehidupan' yang mereka hadapi, dari masalah-masalah serius yang menyangkut ummat (asiks), semacam isu pertanian, sumber daya desa, ketersediaan akses terhadap kebutuhan dasar, sampe urusan pribadi, macam uang belanja dari suami yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup, rasa insecure si suami yang berpaling ke lain hati dan segala printilan problematika manusia.
Singkat cerita, dari ngobrol sama mitra-mitranya kantor cabang, saya kepikiran untuk menggali potensi ide social enterprise saya dengan niat idealis nan bombastis menyelesaikan persoalan petani sekaligus melawan hegemoni produk-produk serupa yang tidak ramah lingkungan. Pret banget dah. Tapi, hamdalah, di pertengahan 2017, lahirlah SiMaggie, sebuah social enterprise yang saya kembangkan bersama beberapa teman (baru) saya. Kenapa baru? Karena emang kita kenalan juga baru aja. Saya sendiri nggak paham, ada wangsit darimana sampai mereka percaya sama saya dan mau gabung. Nanti ya, saya buat tulisan khusus tentang SiMaggie.
Singkat cerita, dari ngobrol sama mitra-mitranya kantor cabang, saya kepikiran untuk menggali potensi ide social enterprise saya dengan niat idealis nan bombastis menyelesaikan persoalan petani sekaligus melawan hegemoni produk-produk serupa yang tidak ramah lingkungan. Pret banget dah. Tapi, hamdalah, di pertengahan 2017, lahirlah SiMaggie, sebuah social enterprise yang saya kembangkan bersama beberapa teman (baru) saya. Kenapa baru? Karena emang kita kenalan juga baru aja. Saya sendiri nggak paham, ada wangsit darimana sampai mereka percaya sama saya dan mau gabung. Nanti ya, saya buat tulisan khusus tentang SiMaggie.
Hari-hari setelah itu, selain bekerja, saya sibuk merintis SiMaggie. Saya sibuk mentransformasi konsep-konsep yang kami rancang di atas kertas menjadi wujud nyata. Wqwq. Saya juga sibuk bolak-balik Nganjuk-Surabaya-Nganjuk, Kediri-Surabaya-Kediri, Tulungagung-Surabaya-Tulungagung, berangkat subuh, pulang hampir tengah malam, setiap wiken, untuk belajar tentang startup, business model canvas, idea validation, dll melalui program 1000 Startup Digital. Capek banget, tapi seru.
Dari rutinitas tersebut, semakin hari, saya merasa semakin paham apa yang saya mau, apa minat saya. Saya semakin punya gambaran di masa depan mau jadi apa. Kalau orang bilang, semacam i discovered my passion kali ya. Saya semakin merasa social entrepreneurship adalah jalan hidup saya. Isu yang saya minati pun semakin mengerucut, seputar pemberdayaan desa, pertanian dan pangan.
Dari sana, karena merasa butuh lebih banyak sarana aktualisasi diri dalam mengembangkan SiMaggie, saya jadi banyak daftar program inkubasi dan kompetisi startup. Ada yang lolos dan menang, tapi lebih banyak yang gagal. Hahaha. Gapapa, yang penting pengalaman dan pembelajaran yang didapat selama prosesnya.
Sekitar tahun 2018 awal, keputusan saya bulat untuk kuliah lagi dan mengambil bidang spesifik social entrepreneurship. Saya merasa, dengan latar belakang pendidikan saya yang social science murni dan pengalaman dalam bisnis yang paling mentok ngurus online shop, saya agak kesulitan ketika harus mengambil keputusan-keputusan penting untuk SiMaggie. Saya bingung, variabel-variabel apa yang harus dipertimbangkan ketika akan membuat keputusan bisnis, entah itu menyangkut urusan operasional, marketing, legal, dll. Saya juga lemah dalam urusan forecasting kondisi finansial, apa sebuah bisnis masih sehat atau nggak. Padahal, itu kan krusial banget, dan SiMaggie sudah merasakan imbas dari kesalahan saya dalam mengambil keputusan finansial itu ehe. Makanya, framework dasarnya harus dipelajari lagi nih.
Selanjutnya, karena saya tahu bahwa semua cikal bakal social entrepreneurship itu berasal dari US, termasuk Bapak Social Entrepreneurship dunia yang kita kenal, si Om Bill Drayton, juga dari US, saya pengen banget-banget belajar social entrepreneurship di negara pencetusnya langsung. Jadilah saya mulai perjalanan saya mencari beasiswa S2 dengan daftar Fulbright Scholarship biar bisa kuliah di Amerikah. Ajaibnya, aplikasi Fulbright yang saya kerjakan cuma semalam itu tembus sampe wawancara (Ya Allah, ini jangan ditiru, guys. Selayaknya makan nasi, yang dimasak matang selalu lebih enak dari yang setengah matang. Duh apasih. Intinya, makin matang aplikasi kamu, makin bagus lah pokoknya. Jangan bikin aplikasi beasiswa dalam semalam, kita bukan Roro Jonggrang).
Btw, I would not tell you whether or not my Fulbright interview went well. Bcz, of course it didn't haha (I'll write a separate post about my Fulbright journey later). Terlepas dari itu, momen wawancara Fulbright ini lah yang menjadi titik balik saya daftar YSEALI Academic Fellowship.
Alkisah, ejie, wawancara Fulbright saya berjalan dengan penuh kesuraman. Dimulai dengan minim persiapan, saya dicecar berbagai pertanyaan dari empat interviewer yang bikin gelagapan. Di akhir wawancara, kayaknya salah satu interviewer bule kasian sama saya yang keliatan hopeless banget. Lalu, dengan senyum tulus, doi nanya in English yang artinya kurang lebih: "Kamu tau YSEALI nggak? Coba kamu daftar itu". Gitu. Petuah dari si bule tidak lantas membuat saya termotivasi daftar YSEALI. Yang ada, saya justru mikir, "Duh, ini aja gue tembus Fulbright sampe interview karena beruntung. Yakali keberuntungan bisa keulang dua kali. Apalagi di YSEALI." Saya pun keluar ruang wawancara tanpa intensi sedikit pun untuk coba daftar YSEALI. Nggak mungkin tembus lah.
Memantapkan Hati
Selesai wawancara Fulbright (9/4), saya tidak mengalami masa harap-harap cemas menanti pengumuman. InsyaAllah sudah haqqul yaqin nggak akan lolos hahaha. Jadi, saya menyibukkan diri dengan hal lain. Sampai suatu siang menjelang sore di tanggal 15 Mei, saya cek gmail dan menemukan ada monthly update dari YSEALI yang menyebutkan bahwa pendaftaran YSEALI Academic Fellowship untuk Fall 2018 baru saja dibuka, deadline-nya tanggal 1 Juni 2018 (kalau kamu YSEALI member, pasti kamu juga akan dapat info ini).
Saat itu, tidak ada 'Aha' momen dimana saya merasa tertantang untuk daftar, termotivasi, terilhami atau apalah ala ala motivator. Saya cuma ingat, waktu masih kuliah, saya merasa aplikasi YSEALI sulit dan proses seleksinya ketat, lebih ketat dari legging Via Vallen. Saya pun mencoba mengingat lagi, kenapa saya merasa demikian, apa saya sudah pernah daftar dan tidak lolos atau jangan-jangan itu cuma ketakutan semu akan kegagalan aja, karena saya terlanjur berasumsi bahwa program ini nggak mungkin saya tembus (Yang saya lakukan ini mirip metode Chunking di ilmu parenting, cmiiw. Kamu bisa coba terapkan setiap kamu merasa ragu atas sesuatu. Sebelum ambil keputusan, coba breakdown dulu, kamu ragunya karena apa, penyebab ragunya dari dalam diri atau luar diri, bisa diintervensi atau nggak, dsb. Cukup memudahkan untuk assess berbagai emosi positif atau negatif di diri kita sih).
Ternyata, setelah saya ingat-ingat lagi, saya belum pernah sekali pun daftar program YSEALI yang ke US, baik Academic maupun Professional Fellowship. Pernahnya itu, saya daftar YSEALI Regional Workshop sebanyak dua kali. Pertama, YSEALI Impact XL Workshop di Myanmar, kedua, YSEALI Generation GR3EN di Brunei Darussalam. Terakhir, saya daftar YSEALI Seeds for the Future Grant, dengan project yang diajukan adalah SiMaggie. Tapi, Alhamdulillah, tiga-tiganya nggak ada yang lolos wkwkwk.
Dari sana, saya mencoba reframing pola pikir saya dan bilang ke diri sendiri, "Oke, Lil, lo belum pernah coba, berarti belum bisa bilang sulit." Setelah itu, saya ceki-ceki lebih jauh, ini program ngapain sih, kenapa banyak peminatnya (selain karena ke US gratis). Ternyata, oemji, program ini menawarkan intensive course di kampus US dengan pilihan tema yang salah satunya Social Entrepreneurship! Waw, bidang yang selama ini saya tekuni, di US pula- the country where the term social entrepreneurship was first born. Aaaakk, pengen! Saya pun kepo-kepo alumninya, banyak orang keren dan beberapa orang yang saya kenal di bidang startup pernah ikutan program ini. Hem, bisa dibilang, this is a sort of benchmark program before you embark your career choice lah. Okesip, di momen itu, saya mantapkan hati untuk daftar.
Saat itu juga, saya coba mempelajari segala printilan tentang YSEALI, jenis-jenis programnya, kegiatan selama program, kriteria kandidat yang dipilih, dll. Saat cek eligibility criteria, saya nyaris nggak bisa apply, karena untuk Academic Fellowship, batas usianya ternyata 25 tahun, dan, kalau nggak salah, maksimal graduated 4 tahun. Ya Allah, nyarissss. Detil tentang requirement dan eligibility criteria Academic Fellowship bisa dicek disini ya.
Anyway, saya juga sempat memastikan seribet apa aplikasinya, apakah rumit seperti yang selama ini saya asumsikan. Ternyata, sama sekali nggak ribet dong! Aplikasinya bener-bener cuma ngisi Google Form dan menyertakan satu surat rekomendasi. Udah itu aja. I-tu-a-ja. Saya juga coba ngisi Google Form-nya, biar ada gambaran isi pertanyaannya apa aja, biasanya kan beranak pinak gitu ya. Ternyata, sederhana saja, keluarga berencana, nggak beranak pinak. Di Google Form bener-bener cuma ditanyain data diri, latar belakang pendidikan, pekerjaan dan beberapa pertanyaan lain yang jawabannya bisa kamu temuin di CV kamu.
Di akhir Google Form, kita diminta untuk menulis esai singkat untuk meyakinkan kenapa kita merupakan kandidat yang paling sesuai untuk program tersebut dan apa rencana kita setelah program selesai. Esainya beneran singkat lho ya, saking singkatnya, kamu nggak boleh nulis lebih dari 250 kata. Yes, you read that right, cuma 250 kata. Well, sebagai orang yang lagi bolak-balik apply beasiswa S2, bolak-balik ngurus berkas ini itu, aplikasi YSEALI ini sungguh memudahkan pendaftarnya banget sih. Jadi, nggak ada alasan ribet atau sulit ya, mentemen.
Ahya, hari itu saya nggak langsung daftar. Saya ngumpulin sebanyak mungkin bahan belajar mengenai program untuk dibaca atau ditonton di kosan, entah berasal dari web resmi YSEALI, blog-blog alumni atau bahkan vlog-vlog selama program berlangsung. Tujuannya, saya harus paham bener-bener dulu nih sama programnya, apa yang mereka tawarkan, orang kayak gimana yang mereka cari dan apa tujuan akhir dari programnya. Saya bahkan sempat bikin mindmap sederhana tentang YSEALI ini (anaknya visual banget wk). Belajar tentang program itu penting ya untuk memudahkan kita merumuskan aplikasi dan memproyeksikan siapa orang yang tepat untuk kita mintakan surat rekomendasi.
Jangan coba-coba untuk ngisi formulir aplikasi, apalagi bikin esai, ketika kita masih buta sama program, itu namanya bunuh diri. Walaupun formulirnya sederhana, biasakan untuk pahami dulu segalanya, refleksi, bagian mana dari diri kita yang mau kita tonjolkan yang 'aligned' dengan program. Kan nggak mungkin semua jejak hidup kita dimasukin ke form. Pilah dulu, baru pelan-pelan diisi deh.
Sekarang, mari kita lanjutkan ke tulisan selanjutnya disini dan simpan dulu rasa penasaranmu tentang siapakah Juminten yang kuliah di Washington. Haha.
Label:
americandream,
fellowship,
gratitudejourney,
happyjoy,
hidup,
hope so,
journeyintheUS,
lilstraveljourney,
nah!,
opini,
tulisanserius,
yseali,
ysealiacafellowship,
ysealipride
Montag, 25. Juni 2018
(Hampir) 2 Jam Di Pesawat Bersama Emil Dardak [Bukan Tulisan Berbayar]
Kejadian random satu ini berawal dari saya yang super deg-degan di Go-Jek karena harus ngejar flight ke SUB sekitar jam 8 malem, tapi jam 6 sore masih leyeh-leyeh di rumah. Padahal, hari itu adalah hari kerja, artinya kalau saya berangkat ke bandara mepet, saya harus berkompetisi di jalanan dengan manusia-manusia lain yang baru pulang kantor.
Betapa dudulnya saya, waktu itu tuh mikirnya, "Ah, cuma di Halim. Deket." Saya yg dulu sempat jadi anak gaul Kalibata Mall lupa kalau lampu merah Taman Makam Pahlawan Kalibata macetnya nggak ada obat.
Hal lain yang membuat adrenalin saya makin meningkat adalah driver Go-Jek yang nyangkut ke app saya ternyata ibuk-ibuk. Alamak, gimana saya mau minta beliau ngebut ini mah. Tapi ternyata, anggapan saya itu hanya bias gender belaka. Sambil ngobrol intimate ala ala perempuan, doi super ngebut krn khawatir saya ketinggalan pesawat. Makasi banyak, Buk!
Sampe Halim, saya lari-lari, ngos-ngosan, kumus-kumus. Tapi ah, ku tak peduli. Untung saya masih sempet nunggu sekitar 10 menit di boarding room. Anyway, pas berangkat dari rumah, i didnt put on make up at all. Bukan karena nggak sempet, tapi ya emang saya nggak mau aja hahaha. Siapa mau peduli juga sama muka saya di malam hari, lagipula bedak mahal cuy. Hemat lah.
Tiba waktu boarding, saya masuk pesawat. Semuanya terasa biasa saja sampai saya menemukan bahwa bangku saya didudukin bule yang lagi asik baca buku sambil dengerin musik. Tapi, bangku sebelahnya doi kosong. And i thought, that was his seat. Jadi, karena nggak mau ganggu doi, saya duduk di bangku kosong tersebut.
Nggak berapa lama, datanglah lelaki berparas rupawan pake kemeja putih polos dan celana bahan hitam, mengklaim bahwa bangku yang saya dudukin itu adalah bangku dia. Saya pun bingung, saya sampaikan bahwa saya pikir ini bangku si Om Bule sebelah saya. Si lelaki rupawan menunjukkan nomor kursinya dan langsung nanyain nomor kursi si bule.
Jujur, pada detik tersebut, saya udah nggak peduli lagi urusan perbangkuan ini. Ada hal lain yang lebih menarik untuk saya pikirin, ini orang kayak nggak asing ya wajahnya. Seperti wajah mantan saya, tapi, duh, Li, lo nggak punya mantan woy.
Akhirnya, si bule yang awalnya menempati kursi saya pindah ke depan karena ternyata doi salah liat seat number. Sambil masih mikir siapakah gerangan lelaki rupawan ini, saya pun nanya ke si lelaki, dia mau duduk di tengah (di bangku saya) atau di bangkunya di pinggir (yang sudah lebih dulu saya tempati). Dia pun tetep mau di pinggir, di bangkunya. Saya pun bergeser ke tengah.
Kalau di pesawat, saya adalah orang yang sangat disiplin yg sudah pasti memasang setting Flight Mode tanpa harus menunggu peringatan Mba-Mba Pramugari. Tapi oh tapi, ini lelaki rupawan sebelah saya masih buka Youtube. "Oh, mungkin itu offline mode ya Youtube-nya", husnudzan saya begitu. Lha tapi kok, videonya tersendat-sendat macam susah sinyal. Adudu.
Menjelang take off, saya yang biasanya bubuk cantik kalau flight malem (walau saat itu saya bawa buku (yang niatnya) mau dibaca di pesawat sih), menyempatkan diri untuk ngintip-ngintip wajah si lelaki rupawan sebelah saya lewat pantulan bayangan di hp saya. Saya masih penasaran. Fixed, ini orang kayaknya saya kenal. Tapi dimana ya hem.
Entah kenapa, saya lalu teringat baliho Pilkada yang biasa saya lewati setiap kali berkunjung ke Jombang. Ada foto pasangan Cagub-Cawagub Jawa Timur disana. Wah, Emil Dardak kayaknya nih.
Saya berusaha mengingat seperti apa persisnya wajah Emil Dardak. Duh, yang saya ingat, dia ganteng. Tapi gantengnya macam apa, saya kurang paham. Saya sama Bapak di rumah sebenernya sering diskusi tentang beliau dan landscape perpolitikan Jawa Timur, tapi diskusi kami jarang menyoal rupa wajah. Wkwk.
Saya lalu aktifin internet HP, mumpung belum take off. Ehe. Ampun Om Pilot. Saya searching wajah Emil Dardak cepat-cepat. Saya bandingkan dengan sosok yang ada di sebelah saya. Hem, mayan mirip sih. Tapi, saya masih belum yakin.
Saya intip video yang lagi serius banget dia tonton. Di Youtube. Dan pake internet HP. Sesekali buffering pulak. Video yang bikin dia didatengin Mba-Mba Pramugari berkali-kali untuk ngingetin HP yang harus mati. Tapi, dia tetep aja hajar bleh.
Oh, ternyata video debat Pilgub Jatim, ada Khofifah dan Emil Dardak-nya. Bajunya Emil Dardak di video itu mirip dengan apa yang dipake lelaki rupawan sebelah saya.
Aaakk, sebelah saya Emil Dardak nih. Fix fix. Rasanya saya pengen lompat dari bangku. Pengen nengok langsung depan mukanya sambil menjajarkan HP saya yang memuat foto beliau hasil kulik-kulik Google tepat di sebelah wajahnya. Biar shahih aja gitu kalau sebelah saya memang Emil Dardak. Capek kali ngintip-ngintip dari pantulan HP dan mengandalkan kelihaian bola mata terus.
Tapi, ah, sedetik kemudian keyakinan saya pupus. Saya ragu, yakali ah Emil Dardak nggak paham fitur Download Video dan nonton Offline di Youtube. Saya senyum-senyum sendiri. Mayan nih, kalau laki-laki sebelah saya ini beneran Emil Dardak, saya bisa keliatan pinter dikit dengan ngajarin beliau cara hasyiks main Youtube. Tapi eh tapi, seriusan nih Emil Dardak naik pesawat ekonomi? Tanpa pengawal atau ajudan macam orang-orang penting gitu? ihwaw.
Saya mencoba mengumpul-ngumpulkan keyakinan. Emil Dardak juga manusia biasa. Hidupnya sibuk memikirkan kemaslahatan ummat, wajar kalau beliau tak paham fitur Youtube. Jangan kau bandingkan dengan dirimu yang surplus waktu luang, Lil.
Saat saya sudah sepenuhnya yakin bahwa lelaki rupawan yang duduknya tepat sebelah saya adalah Emil Dardak, saya riset dikit-dikit visi misi beliau. Ini masih belum take off, kok. Pesawatnya masih nyentuh tanah. Saya skimming visi misi beliau, berusaha mengingat beberapa keyword. Si pesawat akhirnya benar-benar akan take off. Tap, saya mengaktifkan Flight Mode. Saya tidak sempat mencari bahan obrolan lain.
Ealah, lelaki 'terduga Emil Dardak' sebelah saya ini masih sibuk nonton Youtube wakakak. Pramugari sampai-sampai mendatangi beliau dan benar-benar menunggu di sampingnya hingga beliau mematikan HP-nya. Beliau nggak mengelak dari kesalahannya tersebut dan nurut apa kata Mbak Pramugari. Yes, sekarang beliau tanpa distraksi.
Saya yang tidak mampu menahan senyum mencoba bertanya dengan sopan, "Pak Emil, ya?"
Gesture tubuh beliau dalam menanggapi pertanyaan saya cukup mengesankan saya. Beliau langsung mengubah arah tubuhnya ke arah saya dan menjawab dengan wajah ramah tanpa kesan dibuat-buat, "Iya."
Bahasa tubuh yang sederhana itu cukup memberikan impresi pertama yang positif bagi saya, bahwa beliau adalah pribadi yang terbuka.
Selanjutnya, saya membuka topik dengan membahas visi misi beliau yang akan dibawa dalam pertarungan pilgub mendatang. Jangan bayangkan saya menyebut secara rinci visi misi beliau yang saya baca sebelum take off ya. Saya hanya mengingat keyword, lalu saya kembangkan sendiri sekenanya. Deg-degan takut salah euy.
Dari sana berbagai obrolan mengalir. Kami membahas berbagai hal, dari kebijakan hingga pekerjaan saya. Apa yang beliau rencanakan jika terpilih nanti, target pembangunan, fokus anggaran, dll (ini semi kampanye sih, tapi gapapa, itu hak dia untuk meyakinkan saya bahwa dia adalah kandidat yang tepat). Saya juga sempat menanyakan beberapa pertanyaan filosofis dan mendasar tentang pilihan-pilihan hidup beliau. Sayangnya, saya sudah tidak terlalu ingat detil jawaban beliau. Saya menyesal karena saat sampai kosan tidak langsung menuliskannya. Selama dua jam (kurang dikit sih) kami di pesawat, selama itu pula kami berdiskusi. Tidak ada momen dimana kami kehabisan topik, beliau banyak sharing pengalaman dan gagasan. Yang pasti, saat itu saya belajar banyak. Banyak sekali.
Dari obrolan intensif hampir 2 jam kami selama di udara itu, saya mendapatkan gambaran karakter beliau yang mungkin bisa menjadi pertimbangan teman-teman dalam menentukan Cagub-Cawagub pilihan pada Pilgub serentak 27 Juni besok. Ohya, disclaimer ya, ini murni opini saya. Saya juga tidak terafiliasi dengan pihak mana pun, jadi maaf kalau tulisan ini dinilai menaikkan atau justru menjatuhkan Pak Emil atau pihak lain yang terkait. Saya hanya membagikan apa yang saya rasakan selama bersebelahan dengan beliau (dipengaruhi sedikit dengan opini setelah nonton debat Cagub-Cawagub Jawa Timur deng). Hehe.
Pertama, Emil Dardak adalah benar-benar seorang yang cerdas. Beliau kaya dengan data, jadi kalau ngomong selalu ada dasar datanya. Kemampuan beliau dalam menganalisis dan menarik kesimpulan dari data-data tersebut juga keren. Ini saya rasain waktu ngobrol dengan beliau dan saya lihat di acara debat sih. Setiap beliau memaparkan gagasan, beliau selalu membawa alasan karena datanya begini, maka harus begini, karena kalau begitu, blablabla dan seterusnya.
Beliau punya latar belakang pendidikan yang (seingat saya) berhubungan dengan economic development. Maafkan saya kalau kurang tepat, Pak. Yang jelas, saya melihat bahwa apa yang beliau coba aplikasikan pada setiap kebijakan-kebijakan beliau berakar dari teori yang beliau baca dan pelajari waktu masih sekolah. Saya masih ingat sekali, saat kami mengobrol, beliau beberapa kali bilang, "Menurut X dalam buku....." atau "Kalau kamu tahu dalam teori lalala......." Intinya sih, setiap keputusan yang dia ambil nggak pake pertimbangan commonsense lah. Sedikit banyak beliau (kelihatan) punya ilmunya.
Kedua, beliau sungguh well-experienced di sektor tata kelola kota, pembangunan, ekonomi dan sektor lain yang berhubungan. Beliau sempat bercerita tentang pengalamannya bekerja di World Bank sampai akhirnya mengambil risiko untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Trenggalek. Bahkan, waktu saya bercerita tentang pekerjaan saya yang related dengan sektor community development, beliau dengan cepat langsung menangkap apa yang menjadi tantangan kami di lapangan. Padahal, saya cuma cerita sedikit saja. Tentunya itu bukan karena beliau punya kemampuan cenayang ala ala ya. Tapi, karena pengalaman dia di bidang development sudah luas, jadi ya dia paham betul.
Ketiga, saya senang karena beliau masih muda. Eits, ini bukan berarti 'dia muda maka dia ganteng' yang bikin saya suka (ala cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. hahaha lucu nggak?). Tapi, menurut saya, idealisme beliau juga merefleksikan jiwa mudanya. Pemikirannya juga segar. Beliau cukup terbuka dengan diskusi dan nggak gampang mutung. Waktu itu sempet saya pancing dengan pertanyaan yang agak sensitif, misalnya pertanyaan tentang alasan dia meninggalkan Trenggalek, padahal masa kepemimpinannya belum selesai, atau pertanyaan tentang kenapa majunya sama Khofifah yang udah berkali-kali mencalonkan diri tapi nggak kepilih-kepilih. Pertanyaan-pertanyaan saya itu beliau jawab tanpa rasa keberatan.
Keempat, beliau sungguh humble, praktis dan dinamis. Percaya nggak, beliau ke bandara naik Go-Jek (Go-Ride lebih spesifiknya) karena takut macet. Tanpa pengawal satu orang pun. Di pesawat juga doi sendirian. Pesawatnya kelas ekonomi pula. Padahal kursi bisnisnya kosong melompong. Bagi beliau, dalam melakukan sesuatu ya pertimbangannya kepraktisan. Bukan semata-mata merakyat atau bahkan pencitraan. Jadi, kalau praktisnya naik motor, ya naik motor aja. Tapi kalau praktisnya naik mobil karena hujan, ya naik mobil. Nggak usah ngotot naik motor biar dianggap merakyat.
Kelima, dan sepertinya menjadi yang terakhir, walaupun Pak Emil Dardak ini menurut saya cukup perfek tipikal kandidat idaman, tapi beliau tetaplah manusia biasa. Ada beberapa sikap beliau yang membuat saya sedikit berkomentar dalam hati, "Hem, gini ya ternyata."
Misalnya, setiap saya mencoba menyampaikan aspirasi saya dan menanyakan berbagai pertanyaan kenapa gini kenapa gitu. Beliau memang tidak mutung, beliau memang tidak tersinggung, tapi beliau langsung meluncurkan jawaban-jawaban untuk meng-counter omongan saya tersebut. Padahal, kalau saya jadi Pak Emil dan kebetulan ketemu rakyat butiran jasjus macam saya, maka saya akan cenderung sedikit bicara dan membuka telinga lebar-lebar. Terlepas dari omongan si rakyat benar atau salah, saya akan coba tampung sebanyak-banyaknya. Bagi saya, kesempatan untuk mendengar perspektif yang berbeda, apalagi dari rakyat biasa macam saya, kan jarang sekali terjadi. Sedangkan, beliau, dengan segala power yang dipunya, apalagi beliau juga sedang mencalonkan diri sebagai Cawagub, beliau punya panggung yang lebih luas dan banyak. Mudah bagi beliau untuk meng-counter atau menjawab argumen apapun. Tapi, nyatanya beliau cukup mendominasi obrolan dan bukan banyak mendengarkan. Entah karena by nature beliau adalah orang yang dominan atau itu hanya kebetulan. Saya kurang paham.
Hal lain, sepanjang obrolan, beliau juga banyak menyebutkan teori-teori atau istilah yang saya kurang paham. Hehe. Entah karena beliau merasa bahwa saya anak muda 'berpendidikan' jadi sudah semestinya paham (kalau iya, berarti saya harus baca lebih banyak buku lagi nih, wawasan saya masih belum mumpuni hiks), atau memang beliau memiliki kecenderungan demikian, membawa sophisticated words ke dalam obrolan dengan orang awam di bidang tersebut. Padahal ya, orang-orang yang well-educated tidak berarti dia menguasai semua bidang lho. Jadi, menurutku sih, toleransi terhadap manusia berbeda bidang itu tetep butuh. Misalnya, kamu yang lulusan S3 Kriminologi belum tentu paham sama istilah-istilahnya anak S1 Planologi. Walaupun, jenjang stratanya lebih tinggi. Atau nama ilmunya mirip pakek logi-logian.
Nah, kurang lebih gitu deh. Mon maap kalau sungguh subjektif, ini kan blog saya, jadi tidak ada tuntutan untuk menyuguhkan tulisan yang netral hahaha. Terlepas dari itu, saya cukup merekomendasikan Khofifah-Emil untuk menjadi pilihan kawan-kawan di hari pencoblosan besok. Pertama, jelas alasannya karena impresi yang saya dapat ketika bersebelahan tempat duduk di pesawat dengan beliau. Walaupun, tidak semua impresinya positif hahahaha. Kedua, saya sempat mengikuti beberapa kali debat Cagub-Cawagub Jawa Timur. Lumayan keliatan sih, Khofifah-Emil memang 'siap memimpin', baik secara data, ide dan gagasan, dibandingkan pasangan lain yang mengandalkan takaran ketidakpastian, seperti "Kalau dari pengalaman saya dulu, blablabla...", atau "Sepertinya ada kurang lebih blablabla...".
Tapi, segalanya tetap kembali lagi kepada kalian wahai kaum yang akan memilih. Kalau kalian memiliki pertimbangan lain, sepenuhnya itu hak kalian. Asal jangan golput aja, kusedih karena harga yang harus dibayar untuk sebuah hak pilih dari seorang warga negara terlalu mahal untuk selembar kertas kosong tanpa lubang coblosan. So, selamat nyoblos! Anyway, saya nggak ikutan nyoblos, karena KTP Jakarta. ehehe.
P.s. we happened to take some good pictures- with my very own barefaced.
Ahya, sawrry, i wouldn't ask for your pardon bcz of my barefaced just like other women did outside.
Cz, ya know, im not that typical woman in the majority haha.
Dienstag, 19. Juni 2018
Tentang Menikah
Berada di usia matang seperti saya sekarang, membuat obrolan menjadi semakin monoton. Apapun topik pembukanya, ujungnya pasti soal cinta, jodoh dan nikah. Perubahan status KTP kawan, dari jomblo menjadi 'Kawin', membuat lebih banyak hati menjadi gelisah. Bibir ingin mendesah. Mak, kapan nikah? Aduduh, bosen uwe dengernyah.
Sebenarnya, tak apa merasa deg-degan, tapi jangan sampai khawatir tidak kebagian. InsyaAllah, jodoh, rizki dan mati sudah tertulis takdirnya. Tidak akan tertukar, apalagi kehabisan.
Membicarakan gebetan banyak-banyak tidak lantas membuatmu cepat menikah, yang ada justru kamu jatuh semakin dalam pada kubangan dosa. Begitu pula dengan cinta, menumbuhkannya pada orang yang belum tentu menjadi jodohmu, pada masa yang belum waktunya, tidak membawa manfaat barang sebulir, yang ada justru mubazir. Karena kamu harus membagi-bagi cintamu kepada orang yang tidak berhak, cinta yang seharusnya bisa kamu berikan utuh tanpa cela pada kekasihmu sesungguhnya, yang halal di hadapan-Nya.
Karena, kalau kata Kurniawan Gunadi, mencintai bukan hanya soal waktu, keberanian dan kesempatan. Namun, soal keimanan dan ketaqwaan. Bagi saya, menikah adalah sarana mengakselerasi diri untuk menjadi lebih baik lagi. Menikah adalah wadah melipatganda ibadah. Menikah berarti mewujudkan mimpi-mimpi tentang pengabdian yang lama tertahan. Dan yang tidak kalah penting, menikah adalah melahirkan generasi penerus perjuangan-perjuangan yang belum selesai. Sehingga, modalnya tak cukup hanya cinta, ada ilmunya, ada landasannya.
Makanya, menikah bukan muara, ia hanya gapura. Menuju kesana, tidak boleh tergesa, apalagi dengan persiapan seadanya. Ingat, kita sedang mengejar ridho-Nya.
Sebenarnya, tak apa merasa deg-degan, tapi jangan sampai khawatir tidak kebagian. InsyaAllah, jodoh, rizki dan mati sudah tertulis takdirnya. Tidak akan tertukar, apalagi kehabisan.
Membicarakan gebetan banyak-banyak tidak lantas membuatmu cepat menikah, yang ada justru kamu jatuh semakin dalam pada kubangan dosa. Begitu pula dengan cinta, menumbuhkannya pada orang yang belum tentu menjadi jodohmu, pada masa yang belum waktunya, tidak membawa manfaat barang sebulir, yang ada justru mubazir. Karena kamu harus membagi-bagi cintamu kepada orang yang tidak berhak, cinta yang seharusnya bisa kamu berikan utuh tanpa cela pada kekasihmu sesungguhnya, yang halal di hadapan-Nya.
Karena, kalau kata Kurniawan Gunadi, mencintai bukan hanya soal waktu, keberanian dan kesempatan. Namun, soal keimanan dan ketaqwaan. Bagi saya, menikah adalah sarana mengakselerasi diri untuk menjadi lebih baik lagi. Menikah adalah wadah melipatganda ibadah. Menikah berarti mewujudkan mimpi-mimpi tentang pengabdian yang lama tertahan. Dan yang tidak kalah penting, menikah adalah melahirkan generasi penerus perjuangan-perjuangan yang belum selesai. Sehingga, modalnya tak cukup hanya cinta, ada ilmunya, ada landasannya.
Makanya, menikah bukan muara, ia hanya gapura. Menuju kesana, tidak boleh tergesa, apalagi dengan persiapan seadanya. Ingat, kita sedang mengejar ridho-Nya.
Mittwoch, 6. Juni 2018
Komodifikasi dalam Narasi Doa Anak Yatim
Berhubung sudah memasuki bulan Ramadhan, mari kita membicarakan sesuatu yang relijius-relijius.
Bulan Ramadhan memang identik dengan bulan berlimpah pahala. Dimana, setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apapun, akan diganjar pahala dengan angka konversi yang jauh lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Begitu tumpah ruahnya pahala di bulan ini, sampai-sampai, beredar hadist di masyarakat yang mengatakan bahwa di bulan Ramadhan, sekalipun kamu tidur, pahala akan terus mengalir, karena tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Sayangnya, tidak banyak orang tahu jika hadist yang mereka gunakan untuk menjustifikasi aktivitas tidur berlebihan mereka di bulan puasa itu dhaif.
Usut punya usut, istimewanya bulan Ramadhan ternyata mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, baik perilaku di dunia maya maupun di dunia nyata. Menurut Ariani Dwijayanti, Industry Analyst Google Indonesia, pada Ramadhan 2017, pertumbuhan pencarian aktivitas religi di Google naik hingga 34% (Tribunnews.com, 2018).
Itu baru aktivitas googling-googling di dunia maya. Bagaimana spending habit mereka selama Ramadhan di dunia nyata? Siapa tahu mereka cuma googling tanpa tindak lanjut atau googling untuk kebutuhan eksis edisi Ramadhan di social media. Siapa tahu yakan.
Ternyata, kalau manut dengan data yang dimiliki Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), saat Ramadhan, konsumsi masyarakat Indonesia naik 20 - 30%. Menurut Ibu Netty Heryawan, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat, salah satu alasannya karena banyak orang menyetok kebutuhan untuk buka puasa bersama, santunan anak yatim dan aktivitas kebaikan lainnya (Republika.co.id, 2016). Btw, kenapa lu tiba-tiba mengutip pendapat istrinya Aher deh, Lil? Ya maklum, saya kan mengais data dari Republika. Ehe.
Data-data di atas menunjukkan bahwa tingkat relijiusitas masyarakat Indonesia masih terbilang tinggi. Terlihat dari adanya respon berupa perilaku positif yang signifikan saat datang bulan suci Ramadhan. Anyway, relijiusitas tidak selalu menandakan tingkat keshalihan seseorang ya. Relijius ya relijius, bersifat keagamaan. Kalau keshalihan lebih personal, menyangkut ketaatan antara kita kepada Rabb kita.Sotoy banget gue.
Selain itu, altruisme masyarakat kita juga tinggi, hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya aktivitas 'berbagi' yang muncul selama Ramadhan, misalnya makin banyak orang berdonasi, ngadain acara bukber di panti, sahur on the road, dll. Salah satu aktivitas kebaikan yang juga lumrah dilakukan masyarakat Indonesia adalah sedekah ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa (mon maap saya belum punya data pendukungnya). Sayangnya, dorongan altruisme untuk berbagi tadi tidak dibarengi dengan pemikiran kritis tentang kepada siapa rizki kita disalurkan. Emang dasar orang Indonesia mudah merasa iba, kita pun sangat mudah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas asal-usul dan pertanggungjawabannya, misalnya ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa tak berizin atau bersertifikat yang suka datang ke kantor-kantor atau rumah-rumah.
Sebenarnya, yang ingin saya garisbawahi disini bukan legalitas lembaga tersebut. Saya sendiri kurang paham, apakah ada dalil yang menyebutkan bahwa saat kita berzakat, infaq atau shadaqah, tanggung jawab kita sampai pada memastikan bahwa lembaga pengelola benar-benar terpercaya. Atau, apakah tanggung jawab kita selesai ketika kewajiban untuk menyisihkan sebagian rizki kita tertunaikan, tanpa perlu memastikan bagaimana lembaga penyalur tersebut mengelola dana kita.
Tapi, yang mau saya bahas adalah bagaimana biasanya jurus-jurus marketing dilancarkan oleh Mbak-Mbak peminta donasi. Entah kenapa, yang saya rasa, ketika menawarkan kesempatan untuk berdonasi, Mbak-Mbak tersebut lebih sering membicarakan tentang kemungkinan pahala-pahala yang akan kita dulang dari curahan doa anak panti yang kita bantu. Tapi, mereka sedikit sekali bicara untuk apa uang tersebut akan mereka gunakan, program apa yang akan dijalankan, bagaimana pertanggungjawabannya kepada kita, dan sebagainya.
Well, nggak salah juga sih menggunakan jurus 'dahsyatnya doa anak yatim' untuk mengajak lebih banyak orang bersedekah. Kan memang faktanya doa mereka demikian luar biasa. Tapi, kalau terus-menerus narasi itu yang diulang, bisa-bisa disorientasi kita. Saya pernah baca, tapi lupa dimana maapkeun, bahwa zakat, infaq dan shadaqah yang ada di dalam Islam sebenarnya merupakan sebuah skema jaminan sosial bagi umat, agar, masyarakat yang terlahir dalam berbagai kelas ini, melalui zakat, infaq dan shadaqah bisa saling menjamin pemenuhan kebutuhan dasarnya. Semacam, yang kaya ikut menjamin hajat hidupnya si miskin melalui uang yang mereka sisihkan. Dengan begitu, jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin, yang memicu kecemburuan sosial, bisa teratasi. Di sisi lain, martabat si miskin pun terjaga karena mereka tak perlu meminta-minta. Makanya, sayang sekali jika tujuan semulia itu dikerdilkan dengan dominasi narasi tentang keberkahan doa anak yatim. Walaupun, sekali lagi, nggak ada salahnya juga sih mengharap keberkahan.
Lebih jauh, menurut analisis ecek-ecek saya, dominannya penggunaan narasi doa anak yatim yang kerap digunakan lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah untuk menarik masyarakat merupakan gambaran bahwa 'doa anak yatim' telah menjadi komoditas, dengan kata lain mengalami proses komodifikasi. Seingat saya waktu masih kuliah, komodifikasi adalah sebuah proses ketika sesuatu hal yang tidak memiliki kaitan dengan pasar, tidak bernilai jual, menjadi sebuah komoditas atau barang dagangan. Kalau menurut Om Marx, Kapitalisme adalah makhluk yang paling bertanggung jawab atas fenomena komodifikasi ini. Kapitalisme membuat segalanya mungkin diperjualbelikan. Makanya, sesuatu yang awalnya tidak memiliki nilai tukar pun dipaksa untuk memiliki label harga.
Lalu, apa yang salah dari komodifikasi doa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah? Bukankah mengharap keberkahan dari doa yang mereka haturkan adalah sah-sah saja? Bukankah naif jika beribadah tanpa mengharap berkah? Nah, itu dia. Kalau di Islam kan memang kita dianjurkan untuk selalu beribadah dalam takut (khauf) dan harap (rajaa'). Tapi, harap yang gimana dulu nih?
Ketika banyak lembaga zakat, infaq dan shadaqah mengajak untuk berdonasi dengan mengiming-imingi doa anak yatim yang mereka bina, lalu kita memberikan respon dengan berdonasi karena doa tersebut, maka secara tidak langsung kita telah mengaminkan proses ini sebagai sesuatu yang transaksional, 'lu jual gue beli'. Ke depan, mereka akan melihat betapa doa anak yatim binaan mereka ampuh untuk mengajak orang berdonasi. Sehingga, bukan tidak mungkin, akan dibangun narasi-narasi lain tentang si anak yatim yang bisa menarik pasar. Akhirnya, tanpa disadari, ajakan untuk berzakat, infaq dan shadaqah menjadi ajang kontestasi anak yatim mana yang paling makbul doanya, bukan lagi soal program-program mana yang paling efektif untuk pengembangan skill mereka, fasilitas apa yang butuh dibangun untuk pengembangan kapasitas mereka, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, yang terjadi adalah objektifikasi anak yatim, dimana anak yatim menjadi objek, barang atau alat pemenuhan kebutuhan orang lain.
Terus, solusinya apa dongs? Di jaman seperti ini, kita sudah tidak bisa lagi menghindar dari paparan fenomena komodifikasi. Apalagi, komodifikasi yang berhubungan dengan isu agama, mengingat kita tinggal di negara mayoritas muslim yang rasa-rasanya cukup relijius (ingat, relijius tidak selalu berhubungan dengan keshalihan). Apapun yang berbau Islam, berlabel halal dan syariah menjadi industri, dari industri pakaian muslim, bank-bank syariah, acara reliji di televisi, sampai yang selalu membuat saya geli, detergen dengan label halal nan Islami.
Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak dalam praktik komodifikasi, kita harus selalu meluruskan niat pada setiap aktivitas kebaikan yang kita lakukan, semata-mata untuk mengharap ridha Allah, bukan karena tren, ikut-ikutan atau karena harapan mendapatkan balasan duniawi. Selain itu, selalu belajar untuk melihat bigger picture dari setiap hal, khususnya dalam hal beragama. Jangan lupa, agama bukan seperangkat ilmu praktis, yang ilmunya bisa dicomot sana-sini. Setiap ajaran dalam agama punya konteks, maka kita harus memahami konteks tersebut secara utuh agar tidak salah kaprah. Kalau kata Bang Akhyar, "Agama yang dipahami dan dijalani tanpa keutuhan hanya membuat kita melaju ke arah yang keliru".
Tulisan di awal Ramadhan yang baru sempat diselesaikan.
Selamat meresapi Ramadhan yang tinggal sisa-sisa. Semoga, semakin mendekati akhir, kita tidak hanya manis di bibir. Katanya rindu, tapi menyiakan waktu. Bismillah.
Referensi
http://www.tribunnews.com/techno/2018/05/04/lima-produk-paling-dicari-orang-indonesia-selama-ramadan-berdasar-hasil-survei-google
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/06/22/o95s43382-konsumsi-masyarakat-saat-ramadhan-naik-hingga-30-persen
Bulan Ramadhan memang identik dengan bulan berlimpah pahala. Dimana, setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apapun, akan diganjar pahala dengan angka konversi yang jauh lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Begitu tumpah ruahnya pahala di bulan ini, sampai-sampai, beredar hadist di masyarakat yang mengatakan bahwa di bulan Ramadhan, sekalipun kamu tidur, pahala akan terus mengalir, karena tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Sayangnya, tidak banyak orang tahu jika hadist yang mereka gunakan untuk menjustifikasi aktivitas tidur berlebihan mereka di bulan puasa itu dhaif.
Usut punya usut, istimewanya bulan Ramadhan ternyata mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, baik perilaku di dunia maya maupun di dunia nyata. Menurut Ariani Dwijayanti, Industry Analyst Google Indonesia, pada Ramadhan 2017, pertumbuhan pencarian aktivitas religi di Google naik hingga 34% (Tribunnews.com, 2018).
Itu baru aktivitas googling-googling di dunia maya. Bagaimana spending habit mereka selama Ramadhan di dunia nyata? Siapa tahu mereka cuma googling tanpa tindak lanjut atau googling untuk kebutuhan eksis edisi Ramadhan di social media. Siapa tahu yakan.
Ternyata, kalau manut dengan data yang dimiliki Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), saat Ramadhan, konsumsi masyarakat Indonesia naik 20 - 30%. Menurut Ibu Netty Heryawan, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat, salah satu alasannya karena banyak orang menyetok kebutuhan untuk buka puasa bersama, santunan anak yatim dan aktivitas kebaikan lainnya (Republika.co.id, 2016). Btw, kenapa lu tiba-tiba mengutip pendapat istrinya Aher deh, Lil? Ya maklum, saya kan mengais data dari Republika. Ehe.
Data-data di atas menunjukkan bahwa tingkat relijiusitas masyarakat Indonesia masih terbilang tinggi. Terlihat dari adanya respon berupa perilaku positif yang signifikan saat datang bulan suci Ramadhan. Anyway, relijiusitas tidak selalu menandakan tingkat keshalihan seseorang ya. Relijius ya relijius, bersifat keagamaan. Kalau keshalihan lebih personal, menyangkut ketaatan antara kita kepada Rabb kita.
Selain itu, altruisme masyarakat kita juga tinggi, hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya aktivitas 'berbagi' yang muncul selama Ramadhan, misalnya makin banyak orang berdonasi, ngadain acara bukber di panti, sahur on the road, dll. Salah satu aktivitas kebaikan yang juga lumrah dilakukan masyarakat Indonesia adalah sedekah ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa (mon maap saya belum punya data pendukungnya). Sayangnya, dorongan altruisme untuk berbagi tadi tidak dibarengi dengan pemikiran kritis tentang kepada siapa rizki kita disalurkan. Emang dasar orang Indonesia mudah merasa iba, kita pun sangat mudah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas asal-usul dan pertanggungjawabannya, misalnya ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa tak berizin atau bersertifikat yang suka datang ke kantor-kantor atau rumah-rumah.
Sebenarnya, yang ingin saya garisbawahi disini bukan legalitas lembaga tersebut. Saya sendiri kurang paham, apakah ada dalil yang menyebutkan bahwa saat kita berzakat, infaq atau shadaqah, tanggung jawab kita sampai pada memastikan bahwa lembaga pengelola benar-benar terpercaya. Atau, apakah tanggung jawab kita selesai ketika kewajiban untuk menyisihkan sebagian rizki kita tertunaikan, tanpa perlu memastikan bagaimana lembaga penyalur tersebut mengelola dana kita.
Tapi, yang mau saya bahas adalah bagaimana biasanya jurus-jurus marketing dilancarkan oleh Mbak-Mbak peminta donasi. Entah kenapa, yang saya rasa, ketika menawarkan kesempatan untuk berdonasi, Mbak-Mbak tersebut lebih sering membicarakan tentang kemungkinan pahala-pahala yang akan kita dulang dari curahan doa anak panti yang kita bantu. Tapi, mereka sedikit sekali bicara untuk apa uang tersebut akan mereka gunakan, program apa yang akan dijalankan, bagaimana pertanggungjawabannya kepada kita, dan sebagainya.
"Ayo, Mbak, shodaqoh-nya, Mbak, untuk adek-adek yatim di panti. InsyaAllah doa mereka bisa membawa kita masuk sorga."
Well, nggak salah juga sih menggunakan jurus 'dahsyatnya doa anak yatim' untuk mengajak lebih banyak orang bersedekah. Kan memang faktanya doa mereka demikian luar biasa. Tapi, kalau terus-menerus narasi itu yang diulang, bisa-bisa disorientasi kita. Saya pernah baca, tapi lupa dimana maapkeun, bahwa zakat, infaq dan shadaqah yang ada di dalam Islam sebenarnya merupakan sebuah skema jaminan sosial bagi umat, agar, masyarakat yang terlahir dalam berbagai kelas ini, melalui zakat, infaq dan shadaqah bisa saling menjamin pemenuhan kebutuhan dasarnya. Semacam, yang kaya ikut menjamin hajat hidupnya si miskin melalui uang yang mereka sisihkan. Dengan begitu, jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin, yang memicu kecemburuan sosial, bisa teratasi. Di sisi lain, martabat si miskin pun terjaga karena mereka tak perlu meminta-minta. Makanya, sayang sekali jika tujuan semulia itu dikerdilkan dengan dominasi narasi tentang keberkahan doa anak yatim. Walaupun, sekali lagi, nggak ada salahnya juga sih mengharap keberkahan.
Lebih jauh, menurut analisis ecek-ecek saya, dominannya penggunaan narasi doa anak yatim yang kerap digunakan lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah untuk menarik masyarakat merupakan gambaran bahwa 'doa anak yatim' telah menjadi komoditas, dengan kata lain mengalami proses komodifikasi. Seingat saya waktu masih kuliah, komodifikasi adalah sebuah proses ketika sesuatu hal yang tidak memiliki kaitan dengan pasar, tidak bernilai jual, menjadi sebuah komoditas atau barang dagangan. Kalau menurut Om Marx, Kapitalisme adalah makhluk yang paling bertanggung jawab atas fenomena komodifikasi ini. Kapitalisme membuat segalanya mungkin diperjualbelikan. Makanya, sesuatu yang awalnya tidak memiliki nilai tukar pun dipaksa untuk memiliki label harga.
Lalu, apa yang salah dari komodifikasi doa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah? Bukankah mengharap keberkahan dari doa yang mereka haturkan adalah sah-sah saja? Bukankah naif jika beribadah tanpa mengharap berkah? Nah, itu dia. Kalau di Islam kan memang kita dianjurkan untuk selalu beribadah dalam takut (khauf) dan harap (rajaa'). Tapi, harap yang gimana dulu nih?
Ketika banyak lembaga zakat, infaq dan shadaqah mengajak untuk berdonasi dengan mengiming-imingi doa anak yatim yang mereka bina, lalu kita memberikan respon dengan berdonasi karena doa tersebut, maka secara tidak langsung kita telah mengaminkan proses ini sebagai sesuatu yang transaksional, 'lu jual gue beli'. Ke depan, mereka akan melihat betapa doa anak yatim binaan mereka ampuh untuk mengajak orang berdonasi. Sehingga, bukan tidak mungkin, akan dibangun narasi-narasi lain tentang si anak yatim yang bisa menarik pasar. Akhirnya, tanpa disadari, ajakan untuk berzakat, infaq dan shadaqah menjadi ajang kontestasi anak yatim mana yang paling makbul doanya, bukan lagi soal program-program mana yang paling efektif untuk pengembangan skill mereka, fasilitas apa yang butuh dibangun untuk pengembangan kapasitas mereka, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, yang terjadi adalah objektifikasi anak yatim, dimana anak yatim menjadi objek, barang atau alat pemenuhan kebutuhan orang lain.
Terus, solusinya apa dongs? Di jaman seperti ini, kita sudah tidak bisa lagi menghindar dari paparan fenomena komodifikasi. Apalagi, komodifikasi yang berhubungan dengan isu agama, mengingat kita tinggal di negara mayoritas muslim yang rasa-rasanya cukup relijius (ingat, relijius tidak selalu berhubungan dengan keshalihan). Apapun yang berbau Islam, berlabel halal dan syariah menjadi industri, dari industri pakaian muslim, bank-bank syariah, acara reliji di televisi, sampai yang selalu membuat saya geli, detergen dengan label halal nan Islami.
Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak dalam praktik komodifikasi, kita harus selalu meluruskan niat pada setiap aktivitas kebaikan yang kita lakukan, semata-mata untuk mengharap ridha Allah, bukan karena tren, ikut-ikutan atau karena harapan mendapatkan balasan duniawi. Selain itu, selalu belajar untuk melihat bigger picture dari setiap hal, khususnya dalam hal beragama. Jangan lupa, agama bukan seperangkat ilmu praktis, yang ilmunya bisa dicomot sana-sini. Setiap ajaran dalam agama punya konteks, maka kita harus memahami konteks tersebut secara utuh agar tidak salah kaprah. Kalau kata Bang Akhyar, "Agama yang dipahami dan dijalani tanpa keutuhan hanya membuat kita melaju ke arah yang keliru".
Tulisan di awal Ramadhan yang baru sempat diselesaikan.
Selamat meresapi Ramadhan yang tinggal sisa-sisa. Semoga, semakin mendekati akhir, kita tidak hanya manis di bibir. Katanya rindu, tapi menyiakan waktu. Bismillah.
Referensi
http://www.tribunnews.com/techno/2018/05/04/lima-produk-paling-dicari-orang-indonesia-selama-ramadan-berdasar-hasil-survei-google
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/06/22/o95s43382-konsumsi-masyarakat-saat-ramadhan-naik-hingga-30-persen
Montag, 14. Mai 2018
Patah Hati
Kalau dipikir-pikir, selama 25 tahun hidup, saya belum pernah benar-benar patah hati. Setidaknya, dalam konteks sempit, patah hati dengan seorang laki-laki.
Tapi, kalau boleh jujur, suatu kali saya pernah patah hati dengan seorang sahabat perempuan. Err, it's not that i was falling in love with her ya (ku masih suka laki-laki). Or we fell in love with the same guy. Duh, that's too drama.
Jadi begini ceritanya.
Bagi orang-orang yang pertama mengenal saya, mereka mungkin akan berpikir bahwa saya adalah orang yang sangat mudah mingle dengan orang baru. Atau saya sangat mudah mencari teman. Atau teman saya banyak. Atau saya tidak pernah kesepian.
Sayangnya, walaupun saya mengakui bahwa saya memiliki kecenderungan ekstrovert ekstrim, asumsi-asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahwa saya sangat mudah bergaul dengan orang baru, ya. Bcz, well, i have to say, i'm so good in cari-cari topik pembicaraan. Jadi, orang seringkali merasa 'nyambung' ngobrol dengan saya. Tapi, duh, mau sampai kapan terus-terusan struggling nyari bahan obrolan? It's so exhausting.
At the end, you have to admit that you cant get along with all of your friends. Semacam seleksi alam. Pada akhirnya, mereka yang bertahan untuk menjadi temanmu, yang komunikasinya masih berlanjut walau kalian sudah jarang bertemu, adalah mereka yang memang satu frekuensi denganmu. They who by nature share the same thoughts with you. Dan susah banget men ketemu orang yang kayak gitu. Itulah kenapa, saya yang ekstrovert ini tumbuh sebagai orang yang tertutup dan tidak punya banyak teman dekat.
Tapi, kalau sekarang kamu tanya saya, apa saya punya teman dekat, i definitely can mention one. Dia adalah teman bimbel saya waktu SMA, perempuan lho. Kami berasal dari sekolah yang berbeda. Pada masa-masa awal kami berkenalan, saya dekat dengan sahabatnya yang juga mengikuti kelas bimbel yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, dia justru semakin jauh dengan sahabatnya dan saya semakin dekat dengannya.
Persahabatan kami berlanjut hingga kami kuliah. Kebetulan kami masuk ke universitas yang sama, tapi fakultas berbeda. Saya sering main ke fakultasnya, begitu pula sebaliknya. Apalagi, salah satu teman jurusan saya juga merupakan teman dekatnya saat SMA. Intinya, kami bersahabat dekat. Walaupun kami tidak setiap hari berkomunikasi, tapi tidak pernah ada hal penting yang lupa kami bagi. Dia bahkan menjadi satu-satunya teman di Jakarta yang saya kabari ketika ibu saya meninggal dunia.
Seiring dengan fase hidup yang kami jalani, persahabatan kami pun mendewasa. Beberapa ketidakcocokan mulai terasa. Keributan-keributan kecil sering terjadi. Jujur, saya sempat melewati momen-momen dimana saya tidak ingin posisi saya sebagai sahabatnya digantikan oleh orang lain. Ya, seposesif itu. Tapi, dari sana saya belajar untuk menurunkan ego. Saya belajar untuk menghormati wilayah personal seseorang yang tidak bisa saya intervensi. Saya yang cenderung cuek, belajar untuk bertanya kabar lebih dulu. Saya yang cerewet dan banyak omong, belajar untuk mendengar tanpa terdistrak sedikit pun. Aih, berasa pacaran yes. Tapi, begitu lah, selayaknya hubungan pacaran, persahabatan juga harus di-maintain agar tetap terjaga sampai jannah-Nya. Aamiin. Lagipula, lumayan lah ini untuk modal saya menjalani hubungan dengan pasangan saat berumah tangga kelak. Wkwk.
Kini, kami tidak lagi intens berkomunikasi seperti dulu, apalagi dengan kondisi long distance friendship seperti sekarang. Tapi, kami masih sering terlibat dalam diskusi-diskusi kecil ala ala orang dewasa, kalau nggak via telfon, via whastapp, via instagram, via LINE atau saluran lain yang memungkinkan kami berkomunikasi.
Sebelum akhirnya saya pindah domisili ke Jawa Timur, dia memberikan saya kejutan perpisahan yang terasa sangat getir. Dia didiagnosis dokter dengan sebuah penyakit yang membuat imunnya tidak mampu mengenal mana teman mana lawan di dalam tubuhnya. Sehingga, ia harus menjalani sebuah operasi untuk mengangkat organ yang memproduksi imun tersebut. Akibatnya, kini dia tidak bisa terlalu lelah, tidak bisa terpapar debu dan segala hal lain yang membutuhkan imunnya bekerja.
Sepanjang perjalanan sakitnya, saya hanya dua kali menemani dia di rumah sakit. Pertama, saat kepulangan saya dari Sumba. Dia masih di-opname setelah operasinya dan saya harus menuntaskan rindu dengan air mata yang saya bendung kuat-kuat. Kedua, saat dia kontrol rutin. Saya menemani dia menunggu antrian. Selebihnya, karena keputusan untuk pindah ke Jawa Timur ini, saya jadi tidak pernah ada di sisinya ketika dia harus menghadapi rumah sakit, dokter dan segala diagnosis-diagnosis intimidatif itu.
Kemarin, sebelum saya pulang ke Jakarta, saya kabari dia. Berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama seperti yang dulu-dulu barang sebentar. Entah dengan numpang makan nasi padang di rumahnya, copy film sebanyak-banyaknya atau sekadar leyeh-leyeh sambil bergosip di sofa rumahnya.
Tapi, jawaban darinya sungguh membuat hati pilu. Dia bilang, siang sebelumnya dia sesak napas di kantor, lalu dibawa ke rumah sakit dan tidak boleh pulang oleh dokter. Saya sedih sekaligus sebal. Dia tahu saya trauma dengan rumah sakit, tapi kenapa kami harus sering-sering bertemu di sana? Jawaban darinya sungguh membuat saya tersentak, bahwa ini semua adalah ketentuan-Nya. Kali ini, saya tidak membendung tangis saya. Toh, dia nggak bisa liat juga. Saya tanyakan padanya, dia mau apa untuk saya bawakan ke rumah sakit. Dia menyebutkan beberapa hal.
Sampai di Jakarta, saya atur rencana untuk mengunjunginya di hari kedua saya disana. Pagi sebelum berangkat, saya tanyakan nomor kamarnya. Tapi, tidak ada jawaban. Saya sungguh-sungguh menyesal karena saat itu saya hanya menanti chat dibalas. Tidak ada upaya untuk menelfon dirinya atau mengontak keluarganya. Dengan alasan yang sangat nonsense--takutnya dia sudah pulang ke rumah, saya tidak beranjak ke rumah sakit. Sampai akhirnya, dia membalas pesan saya pukul 17.15. Tidak mungkin lagi kesana. Jakarta macet parah karena libur nasional, sementara saya harus mengejar kereta ke Kebumen pukul 19.00.
Akhirnya, saya pun meninggalkan Jakarta. Tanpa rasa bersalah, tanpa pamit. Sekitar tengah malam, teman dekat kami berdua, Putu namanya, menghubungi saya, mengabarkan saya bahwa sahabat saya itu masuk rumah sakit. Ia kini menginap di rumah sakit menunggui sahabat saya itu. Saya jawab bahwa saya mengetahuinya dan saya sudah berjanji akan mengunjunginya, tetapi tidak jadi karena dia tidak membalas pesan saya.
Teman saya mengatakan bahwa dia baru saja menjalani Plasmapheresis. Mungkin itu yang membuat dia tidak pegang HP seharian. Seketika perut saya langsung nyeri. Saya mengutuki diri saya yang dengan bodohnya mengharap balasan pesan dari orang sakit. Bodoh, bodoh bodoh. Kenapa saya begitu bodoh dengan tidak jadi pergi ke rumah sakit cuma karena dia tidak membalas pesan saya? Kenapa saya tidak nekat pergi ke rumah sakit saja? Toh, kalau ternyata dia sudah pulang, saya bisa menyusul ke rumahnya. Bodoh.
Detik itu saya merasa patah hati. Entah ini definisi patah hati yang lazim diucapkan kebanyakan orang atau tidak. Yang pasti, saya merasa saya tidak lagi pantas menjadi sahabatnya. Saya terlalu egois dengan pemikiran-pemikiran saya sendiri. Saya terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi pribadi. Agak lebay ya. Tapi, kalau boleh jujur, ini bukan kali pertama saya berlaku demikian. Dia sering bertanya atas hal-hal penting yang tidak saya ceritakan padanya, saya menjawab seolah kesibukannya lah yang membuat saya berlaku demikian. Padahal, di banyak kesempatan, saya yang tidak menyempatkan waktu, saya yang sibuk sendiri. Saya tidak pernah benar-benar ada di sampingnya ketika dia butuh saya, tapi saya menuntut sebaliknya.
Kini, yang bisa saya lakukan hanya melangitkan doa. Semoga sakit yang dideritanya menjadi penggugur dosa.
Tapi, kalau boleh jujur, suatu kali saya pernah patah hati dengan seorang sahabat perempuan. Err, it's not that i was falling in love with her ya (ku masih suka laki-laki). Or we fell in love with the same guy. Duh, that's too drama.
Jadi begini ceritanya.
Bagi orang-orang yang pertama mengenal saya, mereka mungkin akan berpikir bahwa saya adalah orang yang sangat mudah mingle dengan orang baru. Atau saya sangat mudah mencari teman. Atau teman saya banyak. Atau saya tidak pernah kesepian.
Sayangnya, walaupun saya mengakui bahwa saya memiliki kecenderungan ekstrovert ekstrim, asumsi-asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahwa saya sangat mudah bergaul dengan orang baru, ya. Bcz, well, i have to say, i'm so good in cari-cari topik pembicaraan. Jadi, orang seringkali merasa 'nyambung' ngobrol dengan saya. Tapi, duh, mau sampai kapan terus-terusan struggling nyari bahan obrolan? It's so exhausting.
At the end, you have to admit that you cant get along with all of your friends. Semacam seleksi alam. Pada akhirnya, mereka yang bertahan untuk menjadi temanmu, yang komunikasinya masih berlanjut walau kalian sudah jarang bertemu, adalah mereka yang memang satu frekuensi denganmu. They who by nature share the same thoughts with you. Dan susah banget men ketemu orang yang kayak gitu. Itulah kenapa, saya yang ekstrovert ini tumbuh sebagai orang yang tertutup dan tidak punya banyak teman dekat.
Tapi, kalau sekarang kamu tanya saya, apa saya punya teman dekat, i definitely can mention one. Dia adalah teman bimbel saya waktu SMA, perempuan lho. Kami berasal dari sekolah yang berbeda. Pada masa-masa awal kami berkenalan, saya dekat dengan sahabatnya yang juga mengikuti kelas bimbel yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, dia justru semakin jauh dengan sahabatnya dan saya semakin dekat dengannya.
Persahabatan kami berlanjut hingga kami kuliah. Kebetulan kami masuk ke universitas yang sama, tapi fakultas berbeda. Saya sering main ke fakultasnya, begitu pula sebaliknya. Apalagi, salah satu teman jurusan saya juga merupakan teman dekatnya saat SMA. Intinya, kami bersahabat dekat. Walaupun kami tidak setiap hari berkomunikasi, tapi tidak pernah ada hal penting yang lupa kami bagi. Dia bahkan menjadi satu-satunya teman di Jakarta yang saya kabari ketika ibu saya meninggal dunia.
Seiring dengan fase hidup yang kami jalani, persahabatan kami pun mendewasa. Beberapa ketidakcocokan mulai terasa. Keributan-keributan kecil sering terjadi. Jujur, saya sempat melewati momen-momen dimana saya tidak ingin posisi saya sebagai sahabatnya digantikan oleh orang lain. Ya, seposesif itu. Tapi, dari sana saya belajar untuk menurunkan ego. Saya belajar untuk menghormati wilayah personal seseorang yang tidak bisa saya intervensi. Saya yang cenderung cuek, belajar untuk bertanya kabar lebih dulu. Saya yang cerewet dan banyak omong, belajar untuk mendengar tanpa terdistrak sedikit pun. Aih, berasa pacaran yes. Tapi, begitu lah, selayaknya hubungan pacaran, persahabatan juga harus di-maintain agar tetap terjaga sampai jannah-Nya. Aamiin. Lagipula, lumayan lah ini untuk modal saya menjalani hubungan dengan pasangan saat berumah tangga kelak. Wkwk.
Kini, kami tidak lagi intens berkomunikasi seperti dulu, apalagi dengan kondisi long distance friendship seperti sekarang. Tapi, kami masih sering terlibat dalam diskusi-diskusi kecil ala ala orang dewasa, kalau nggak via telfon, via whastapp, via instagram, via LINE atau saluran lain yang memungkinkan kami berkomunikasi.
Sebelum akhirnya saya pindah domisili ke Jawa Timur, dia memberikan saya kejutan perpisahan yang terasa sangat getir. Dia didiagnosis dokter dengan sebuah penyakit yang membuat imunnya tidak mampu mengenal mana teman mana lawan di dalam tubuhnya. Sehingga, ia harus menjalani sebuah operasi untuk mengangkat organ yang memproduksi imun tersebut. Akibatnya, kini dia tidak bisa terlalu lelah, tidak bisa terpapar debu dan segala hal lain yang membutuhkan imunnya bekerja.
Sepanjang perjalanan sakitnya, saya hanya dua kali menemani dia di rumah sakit. Pertama, saat kepulangan saya dari Sumba. Dia masih di-opname setelah operasinya dan saya harus menuntaskan rindu dengan air mata yang saya bendung kuat-kuat. Kedua, saat dia kontrol rutin. Saya menemani dia menunggu antrian. Selebihnya, karena keputusan untuk pindah ke Jawa Timur ini, saya jadi tidak pernah ada di sisinya ketika dia harus menghadapi rumah sakit, dokter dan segala diagnosis-diagnosis intimidatif itu.
Kemarin, sebelum saya pulang ke Jakarta, saya kabari dia. Berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama seperti yang dulu-dulu barang sebentar. Entah dengan numpang makan nasi padang di rumahnya, copy film sebanyak-banyaknya atau sekadar leyeh-leyeh sambil bergosip di sofa rumahnya.
Tapi, jawaban darinya sungguh membuat hati pilu. Dia bilang, siang sebelumnya dia sesak napas di kantor, lalu dibawa ke rumah sakit dan tidak boleh pulang oleh dokter. Saya sedih sekaligus sebal. Dia tahu saya trauma dengan rumah sakit, tapi kenapa kami harus sering-sering bertemu di sana? Jawaban darinya sungguh membuat saya tersentak, bahwa ini semua adalah ketentuan-Nya. Kali ini, saya tidak membendung tangis saya. Toh, dia nggak bisa liat juga. Saya tanyakan padanya, dia mau apa untuk saya bawakan ke rumah sakit. Dia menyebutkan beberapa hal.
Sampai di Jakarta, saya atur rencana untuk mengunjunginya di hari kedua saya disana. Pagi sebelum berangkat, saya tanyakan nomor kamarnya. Tapi, tidak ada jawaban. Saya sungguh-sungguh menyesal karena saat itu saya hanya menanti chat dibalas. Tidak ada upaya untuk menelfon dirinya atau mengontak keluarganya. Dengan alasan yang sangat nonsense--takutnya dia sudah pulang ke rumah, saya tidak beranjak ke rumah sakit. Sampai akhirnya, dia membalas pesan saya pukul 17.15. Tidak mungkin lagi kesana. Jakarta macet parah karena libur nasional, sementara saya harus mengejar kereta ke Kebumen pukul 19.00.
Akhirnya, saya pun meninggalkan Jakarta. Tanpa rasa bersalah, tanpa pamit. Sekitar tengah malam, teman dekat kami berdua, Putu namanya, menghubungi saya, mengabarkan saya bahwa sahabat saya itu masuk rumah sakit. Ia kini menginap di rumah sakit menunggui sahabat saya itu. Saya jawab bahwa saya mengetahuinya dan saya sudah berjanji akan mengunjunginya, tetapi tidak jadi karena dia tidak membalas pesan saya.
Teman saya mengatakan bahwa dia baru saja menjalani Plasmapheresis. Mungkin itu yang membuat dia tidak pegang HP seharian. Seketika perut saya langsung nyeri. Saya mengutuki diri saya yang dengan bodohnya mengharap balasan pesan dari orang sakit. Bodoh, bodoh bodoh. Kenapa saya begitu bodoh dengan tidak jadi pergi ke rumah sakit cuma karena dia tidak membalas pesan saya? Kenapa saya tidak nekat pergi ke rumah sakit saja? Toh, kalau ternyata dia sudah pulang, saya bisa menyusul ke rumahnya. Bodoh.
Detik itu saya merasa patah hati. Entah ini definisi patah hati yang lazim diucapkan kebanyakan orang atau tidak. Yang pasti, saya merasa saya tidak lagi pantas menjadi sahabatnya. Saya terlalu egois dengan pemikiran-pemikiran saya sendiri. Saya terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi pribadi. Agak lebay ya. Tapi, kalau boleh jujur, ini bukan kali pertama saya berlaku demikian. Dia sering bertanya atas hal-hal penting yang tidak saya ceritakan padanya, saya menjawab seolah kesibukannya lah yang membuat saya berlaku demikian. Padahal, di banyak kesempatan, saya yang tidak menyempatkan waktu, saya yang sibuk sendiri. Saya tidak pernah benar-benar ada di sampingnya ketika dia butuh saya, tapi saya menuntut sebaliknya.
Kini, yang bisa saya lakukan hanya melangitkan doa. Semoga sakit yang dideritanya menjadi penggugur dosa.
Saya, Dia dan Putu
Montag, 7. Mai 2018
Things I Don't Tell People about My IELTS Journey [Bagian Kedua]
Selanjutnya, sekitar awal bulan April 2017, saya pindah penempatan ke Nganjuk. Kertas target yang sama masih saya bawa dan saya tempel di dinding kosan yang baru. Aktivitas belajar IELTS saya pun semakin rutin, walaupun belum ada jadwal khusus dan materi yang dipelajari masih dipilah sesuka hati, bukan berdasarkan kebutuhan.
Saat di Nganjuk, saya juga membuka kelas belajar bahasa Inggris gratis bagi anak-anak SMA di sekitar kosan. Well, saya meyakini bahwa mengajar adalah salah satu cara belajar paling efektif. Lagi pula, saya juga bosan belajar sendiri, jadi ini salah satu cara mencari teman seperjuangan belajar bahasa Inggris. Ehe.
Kelas diadakan seminggu dua kali di kosan saya, setiap hari Jumat sore dan Sabtu pagi. Seru sekali, kosan saya jadi selalu rame. Kenalan saya juga jadi banyak, anak SMA semua pula isinya. Saya merasa lebih muda dari usia sesungguhnya.
Sayangnya, waktu lagi seru-serunya dan deket-deketnya sama dedek-dedek gemesh di Nganjuk, saya harus pindah penempatan. Saat itu, saya kembali lagi ke Madiun. Fokus saya pun agak bergeser, bukan lagi memikirkan IELTS dan S2, tapi merintis SiMaggie. Tiap weekend pasti bolak-balik ke Surabaya untuk ikutan program 1000 Startup Digital.
Setelah satu bulan di Madiun, saya pindah penempatan lagi ke Kediri. Karena udah lama nggak mikir soal IELTS, saya pun mulai nggak pede lagi. Tapi, saat itu saya cukup excited karena daerah penempatan saya dekat dengan Kampung Inggris yang ada di Pare, Kediri. Jadilah saya mulai cari-cari info les bahasa Inggris di Kampung Inggris tersebut. Sayangnya, setelah banyak googling dan tanya sana-sini, saya dapat info kalau les bahasa Inggris di Pare cuma ada di weekdays. Saya nggak nemu sama sekali kelas yang bukanya setiap weekend. Nggak memungkinkan banget buat saya yang kerja full time saat weekdays. Jadilah saya patah hati karena lagi-lagi nggak bisa ikutan les persiapan IELTS. Apa boleh buat, satu-satunya pilihan adalah mempersiapkan IELTS secara mandiri. Tapi, tetep, penyakit nggak istiqomah-nya muncul. Kadang belajar, lebih sering nggak.
Lalu, Desember 2017 akhir, saya pindah penempatan ke Tulungagung. Duh, memasuki tahun baru, saya semakin panik dengan mimpi-mimpi saya. Di lain sisi, persiapan saya tidak kunjung menunjukkan progress. Sampai akhirnya, di Januari tahun 2018, saya malah nekat daftar tes IELTS di bulan yang sama, tepatnya tanggal 20 Januari 2018 di Surabaya. Tanpa pikir panjang, uang pendaftaran saya transfer dan yaks seketika saya tidak punya pilihan untuk mundur atau santai-santai lagi. Waktu yang saya punya tinggal 3 minggu menuju hari H tes.
Saya tidak paham mengapa saya bisa-bisanya nekat mempertaruhkan uang dengan nominal yang tidak sedikit tersebut untuk tes IELTS. Padahal, saya tidak pernah benar-benar belajar IELTS sebagai modal untuk memenangkan pertaruhan tersebut. Well, mungkin ini dipengaruhi oleh obsesi saya terhadap kisah heroik Thariq bin Ziyad yang terkenal itu. Ketika ia memutuskan membakar kapalnya untuk menghilangkan pilihan mundur dari peperangan saat menuju Andalusia. Agar tidak ada jalan lain selain menghadapi pertarungan yang terjadi di depan mata. Walaupun, beberapa ulama sejarah melemahkan kisah tersebut dan menyatakannya sebagai kisah fiktif, tapi kisah tersebut terlanjur membekas di kepala saya.
Di sisa waktu yang ada, saya kebut latihan soal-soal yang ada di print out ebook IELTS Cambridge yang sudah sejak dulu saya bawa kemana-mana. Saya banyak membaca blog-blog yang menjelaskan secara detil tentang hal-hal yang diujikan dalam IELTS. Saya juga rajin menonton channel-channel Youtube tentang IELTS, TEDTalks dan berbagai video lain yang berbahasa Inggris yang menjadi teman baik saya dalam mempersiapkan tes, utamanya untuk section writing, speaking dan yang pasti listening. Lebih jauh soal bagaimana trik berlatih saya akan dijelaskan pada tulisan terpisah ya!
Seminggu terakhir menjelang tes IELTS, saya sudah tidak bisa konsentrasi dalam belajar. Saya sakit demam, pusing dan mules karena nervous. Setiap saya cerita ke Bapak tentang kondisi saya yang semakin mengkhawatirkan menjelang tes, beliau hanya menjawab enteng, "Udah biasa itu. Kalau Kakak mau tes, pasti sebelumnya Kakak sakit dulu." Tetot, bener juga sih kata Bapak. Ini udah kebiasaan saya sejak SD. Sebelum saya tes, ujian atau lomba, pasti saya sakit dulu. Huh, ternyata kebiasaan itu terbawa ya sampai saya sebesar sekarang.
Di hari Jumat tanggal 19 Januari 2018, saya masih masuk kantor. Sambil menunggu batas absen finger print sore pukul 17.00 WIB, saya beres-beres dan pamit ke teman-teman kantor cabang. Nggak lupa juga minta doa ke mereka supaya tes yang akan saya jalani diberikan kelancaran.
Tepat pukul 17.00 WIB, saya absen dan order Grab menuju ke perempatan jalan besar untuk menunggu Bus Harapan Jaya tujuan Surabaya. Perjalanan Surabaya - Tulungagung memakan waktu sekitar 5 jam. Di bus, saya sudah nggak bisa belajar karena mual dan ngantuk, tapi mau tidur nggak tenang rasanya.
Saya tiba di Terminal Bungurasih Surabaya sekitar jam 10 malam. Beruntungnya, Terminal Bungurasih adalah terminal besar, jadi masih ramai hingga larut malam. Saya pun segera order Go-Jek untuk mengantar saya ke kosan Hanum, karena saya akan menginap di sana. Ya Allah, semoga Engkau senantiasa memudahkan urusan Hanum, sebagaimana ia memudahkan urusan hamba-Mu ini.
Saya tiba di kosan Hanum sekitar jam setengah 11 malam. Saya mandi, bersih-bersih, terus ngobrol sama Hanum sampai jam setengah 12 malam. Saya sempat buka Youtube untuk mengejar materi writing yang belum sempat saya tonton (tetep yes deadliner). Tapi, saya sudah nggak bisa fokus dan ngantuk. Jadi, saya bobok saja.
Peserta tes diminta untuk hadir di lokasi tes pukul 08.00 pagi. Tapi, Hanum mau pulang ke Kediri dan sudah dijemput temannya sekitar jam 06.00 pagi. Jadi lah saya ikutan cabut dari kosan Hanum dan cuss langsung ke IALF, lokasi tes IELTS di Surabaya. Sampai di sana, suasana masih sangat sepi. IALF masih tutup, tetapi satu dua peserta tes sudah ada yang menunggu di lobi. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencari sarapan terlebih dahulu di pinggir jalan. Alhamdulillah, ada warung tenda yang menjual nasi bungkus di seberang IALF. Saya beli dua bungkus sekaligus, satu untuk sarapan, satu lagi untuk persiapan makan siang, agar saya nggak perlu repot-repot keluar cari makan lagi.
Sekitar jam 08.00, peserta tes diarahkan untuk antre menitipkan tas. Barang yang boleh dibawa hanya tempat minum dan ID Card. Setelah itu, satu demi satu peserta naik ke lantai dua untuk masuk ke ruang tes. Di depan ruangan, kami diminta untuk antre lagi, kali ini untuk pengambilan foto setengah badan, sidik jari dan pemeriksaan pakaian yang kami kenakan. Jadi, kalau masih ada barang-barang yang seharusnya tidak dibawa, harus langsung dititipkan. Termasuk alat tulis yang saya bawa juga harus dititipkan, karena setiap peserta akan dipinjamkan pensil serta penghapus di ruangan tes.
Tepat pukul 09.00, tes dimulai. Dibuka dengan listening, lalu reading, terakhir writing. Luar biasa jackpot, saya mendapatkan soal tes writing yang semalam belum sempat saya pelajari. Duh, Gusti. Saya mencoba mengerjakan sebisanya. Keseluruhan tes tertulis selesai sekitar pukul 12.00 WIB. Kami keluar ruangan untuk menanti jadwal speaking. Saya sendiri mendapat jadwal speaking pukul 17.00 dengan interviewer yang, dari namanya, sepertinya Chinese.
Sambil menunggu, saya makan nasi bungkus yang pagi tadi saya beli. Sambil makan, saya mengobrol dengan ibu-ibu yang sejak awal sudah saya tandai kehadirannya. Kerudungnya menjulur lebar, baju gamisnya longgar, wajahnya bareface tanpa make up sama sekali. Namanya Mba Listi. Seluruh praduga saya saat pertama kali melihat kehadirannya salah. Bahwa sepertinya kala itu adalah tes IELTS-nya yang pertama, bahwa sepertinya ia butuh IELTS score untuk melamar beasiswa master degree, bahwa toh kalau pun dia ingin melanjutkan S3, sepertinya S2-nya ia jalani di dalam negeri. Ternyata, itu salah semua. Faktanya, ia adalah seorang dosen di sebuah universitas yang ada di Kalimantan, alumni program master degree di Michigan State University. IELTS-nya kali itu bukan yang pertama, karena sekian tahun sebelumnya, ia pernah menjalani tes serupa untuk ikhtiarnya mendapatkan beasiswa kuliah S2 di luar negeri. Sampai akhirnya, Allah memuarakan takdirnya sebagai awardee Beasiswa Prestasi. Maasya Allah. Jangan pernah menilai orang dari penampilannya, Lil!
Setelah banyak mengobrol, Mba Listi pamit karena akan pulang sebentar ke rumah saudaranya di Surabaya. Makan siang saya pun sudah selesai dan saya lanjut ke musholla untuk bobok siang. Ya, kamu nggak salah baca, saya mau bobok siang. Ini serius. Saat itu, pusing kepala saya kampuh lagi, badan saya pun demam lagi. Setelah sholat dzuhur, saya pun merebahkan badan. Untung musholla-nya sepi.
Tidak lama setelah itu, datang seorang ibu yang juga peserta tes. Beliau adalah dosen FKG di salah satu universitas di Surabaya. Dengan memegang buku teks, dia melatih kemampuan speaking-nya. Kemudian, datang pula mbak-mbak yang baru saja menyelesaikan tes speaking-nya. Ia menceritakan pengalaman tes speaking-nya yang tidak begitu memuaskan. Interviewer-nya berwajah intimidatif, bicaranya tidak mudah dipahami, serta topik diskusinya terlalu spesifik dan tidak umum--tentang periode sejarah. Alamak, dia bikin saya tambah mules.
Alhamdulillah-nya, karena saya sudah tidak lagi memiliki energi untuk panik, saya hanya melempar senyum semangat kepadanya, sambil terus memberikan afirmasi positif kepada diri saya sendiri bahwa hal negatif yang terjadi padanya, bisa jadi sebaliknya pada saya.
Sekitar pukul 4 sore, saya menguat-nguatkan diri untuk berjalan keluar musholla. Dengan sedikit tertatih,asik dah drama dikit, saya naik tangga dan memasuki ruang tunggu tes. Di sana, saya sempatkan untuk sekali lagi berdoa, saya pasrahkan hasil dari segala ikhtiar yang saya lakukan. Allah yang paling tau apa yang terbaik bagi saya, kalau pun toh nilai saya kelak tidak mencukupi, Allah pasti memberikan rezeki lebih untuk saya mendaftar tes lagi.
Setelah itu, saya juga membaca-baca beberapa artikel tentang tips speaking, siapa tau ada high level vocab yang bisa saya gunakan saat tes nanti. Sekitar jam 16.40, saya dipanggil untuk masuk ke ruangan tes. Waktu tes saya lebih cepat dari jadwal. Saya masuk ruangan dengan kondisi tangan dingin. Sudah biasa, kalau lagi deg-degan, tangan saya pasti dingin. Ruangan tes juga dingin ternyata, lengkap sudah ketegangan saat itu.
Saya menyalami si mas-mas interviewer dengan gerakan tangan yang meberikan kesan bahwa saya sangat antusias. Ternyata benar, beliau Chinese. Dia menanyakan kondisi saya, saya jawab jujur kalau saya sedang tidak enak badan but still okay for an interview. Saya pasang muka excited dan senyum manis meyakinkan, seolah saya sangat menantikan momen interview tersebut.
Saat interview berjalan, berbagai kekonyolan dan keajaiban terjadi bersamaan. Si interviewer membuka sesi speaking dengan omongan super duper cepat. Semacam dia sudah jutaan kali ngomong kalimat yang sama, makanya sudah sangat hafal di luar kepala. Kalau boleh jujur, saya nggak paham apa yang dia omongin, saya cuma modal manggut-manggut dan senyum lebar saja.
Masuk ke sesi short question, si interviewer menanyakan pertanyaan yang cukup umum dan wajar. Jadi, Alhamdulillah saya bisa handle dengan baik. Setelah itu, masuk ke sesi pertanyaan yang agak lebih panjang. Lagi-lagi, karena dia ngomongnya cepet, saya nggak paham. Beberapa kali pertanyaan dari dia saya jawab dengan pertanyaan juga, "Pardon me?". Tepatnya sih sampai tiga kali untuk sebuah pertanyaan yang sama. Hingga akhirnya, karena saya tetap nggak paham, saya jawab dengan sekenanya. Wajah si babang menunjukkan ekspresi nggak puas dan kecewa dengan jawaban saya. Entahlah. Yang pasti, sesi 15 menit interview itu terasa sangat cepat sekali. Tau-tau udah selesai dan saya pun keluar ruangan. Jujur, saya tidak puas dengan hasil interview saya tersebut. Banyak pertanyaan yang tidak saya jawab dengan jawaban terbaik. Tapi, ya sudah lah, saya tidak dapat berbuat apa pun selain berdoa semoga Allah berikan hasil terbaik sesuai kebutuhan. Selanjutnya, mari move on ke urusan saya yang lain.
Hari itu, selesai tes IELTS, saya masih belum bisa pulang ke Tulungagung. Saya sudah janji dengan Deva, salah satu dedek gemesh yang dulu pernah ikut kelas belajar bahasa Inggris saya di Nganjuk, untuk mengisi acara English Day yang diadakan organisasi rohis di sana. Saat itu, saya benar-benar tidak paham, energi dari mana yang membuat saya tetap mampu melanjutkan perjalanan kurang lebih 4 - 5 jam dengan bus ke Nganjuk setelah lama perjalanan yang sama antara Tulungagung - Surabaya di malam sebelumnya dan tes IELTS di hari setelahnya dengan tubuh yang hampir tumbang. Pikir saya saat itu cuma satu, surat Muhammad ayat 7. Rumus sederhana yang dulu selalu diulang-ulang murabbi saya.
Dengan niat tersebut, saya bulat-bulatkan tekad untuk berangkat ke Nganjuk, walau kala itu rasanya sudah ingin bilang ke Deva bahwa saya tidak jadi ke sana. Dengan energi yang tersisa, sekitar jam setengah 6 sore, saya bergegas ke Terminal Bungurasih dengan Go-Jek dan naik bus Mira jurusan Nganjuk - Yogyakarta. Sambil di jalan, saya terus merapalkan doa, biar Allah yang mampukan. Allah yang akan mampukan.
Sekitar jam 10 malam, saya tiba di rumah Deva. Karena sudah lama tidak bertemu, kami bertukar cerita hingga hari menjelang berganti. Maasya Allah, bangga sekali saya dengan adik-ketemu-besar saya satu ini. Di tengah kesibukannya mempersiapkan UN dan berbagai ujian masuk kampus, dia masih mau merepotkan dirinya untuk kegiatan rohis. Saya jadi malu dan belajar banyak sekali darinya. Insya Allah, apa yang ditanam di jalan Allah, balasannya langsung dari Allah ya, Dik :)
Setelah temu kangen, update kabar dan kenal-kenalan dengan keluarga Deva, kami bobok di kamar Deva yang mirip kamar-kamar di FTV. Lucu banget loh kamarnya Deva, posisinya di lantai mezzanine dan full dari kayu jati, berasa di film-film Korea gitu (Lah, kayak lo paham film Korea aja, Lil -___-).
Besoknya, pagi-pagi sekali, kami mempersiapkan materi English Day, mengatur tata letak venue acara yang berupa ruangan bekas cafe pinggir jalan milik orang tua Deva, mengangkut peralatan acara, dll. Duh, saya berasa jaman SMA dulu ngerjain proker, wkwk. Setelah itu, kami sarapan dengan menu yang sudah dibuatkan oleh mamah-nya Deva. Terima kasih, Tante!
Sekitar jam 8 pagi, satu per satu peserta acara yang masih berusia SMP dan SMA berdatangan. Acara dimulai sekitar pukul 9 pagi. Kami bermain games, belajar listening dengan mengisi lirik lagu, belajar tenses, latihan wudhu dengan hanya segelas air, dll. Seru sekali! Saya berasa muda lagi ih gaulnya sama anak-anak SMP dan SMA. Kegiatan selesai sekitar pukul 5 sore dengan kondisi suara saya habis karena teriak-teriak. Maklum, mic-nya tidak bekerja sama dengan baik, padahal lokasi kegiatan tepat di pinggir jalan besar yang banyak dilewati truk dan bus antarkota, jadilah saya teriak dikit-dikit yaks.
Setelah kegiatan selesai dan segala peralatan telah kami rapikan, Deva mengantar saya untuk naik bus menuju Tulungagung. Tapi, sebelum itu, kami makan bakso kesukaan kami berdua dulu dongs. Perjalanan menuju Tulungagung terasa sangat-sangat lama dan melelahkan, padahal cuma 3 jam perjalanan. Mungkin karena saya harus ganti bus di Kediri dengan energi yang benar-benar tinggal sisa-sisa. Apalagi besok pagi saya harus bekerja. Duh, rasanya saya ingin cepat-cepat sampai kosan dan bobok cantik.
Hari ini, kalau saya pikir-pikir lagi, sepertinya saya nggak akan kuat lah mengulang perjalanan panjang Tulungagung - Surabaya - Nganjuk - Tulungagung hanya dalam waktu 3 hari. Dimana, Alhamdulillah-nya, saya selalu hanya hampir tumbang, tidak pernah benar-benar jatuh sakit yang mengharuskan saya hanya berbaring di kasur. Seolah, energi saya selalu hanya hampir habis. Tidak benar-benar habis. Allah benar-benar kuatkan.
Kini, ketika pada akhirnya saya tahu skor IELTS saya yang ajaib itu, saya hanya bisa tersenyum malu. Ah, Allah, budi baik apa yang telah hamba lakukan sehingga hamba berhak atas skor tersebut? Sungguh, betapa saya yakin, itu semua karena doa tulus orang-orang di sekitar saya sudah mengungguli doa saya yang terhalang dosa. Well, Allah memang selalu punya kejutan bagi hambanya yang tak putus berharap, tak payah berusaha dan tak hitung-menghitung dalam berbagi. Makanya, tips selanjutnya nih untuk teman-teman yang juga akan tes IELTS, yuk ah doanya dikencengin, belajarnya dibanyakin dan hasilnya dipasrahin. Allah sudah menyimpan rencana terbaik bagi hamba-Nya.
Seqyan.
Kebumen, 12 Mei 2018
akhirnya selesai juga tulisan iniiiiiiii. Huff. Semoga bermanfaat. Untuk tips yang lebih practical, tunggu aja yes.
Saat di Nganjuk, saya juga membuka kelas belajar bahasa Inggris gratis bagi anak-anak SMA di sekitar kosan. Well, saya meyakini bahwa mengajar adalah salah satu cara belajar paling efektif. Lagi pula, saya juga bosan belajar sendiri, jadi ini salah satu cara mencari teman seperjuangan belajar bahasa Inggris. Ehe.
Kelas diadakan seminggu dua kali di kosan saya, setiap hari Jumat sore dan Sabtu pagi. Seru sekali, kosan saya jadi selalu rame. Kenalan saya juga jadi banyak, anak SMA semua pula isinya. Saya merasa lebih muda dari usia sesungguhnya.
Sayangnya, waktu lagi seru-serunya dan deket-deketnya sama dedek-dedek gemesh di Nganjuk, saya harus pindah penempatan. Saat itu, saya kembali lagi ke Madiun. Fokus saya pun agak bergeser, bukan lagi memikirkan IELTS dan S2, tapi merintis SiMaggie. Tiap weekend pasti bolak-balik ke Surabaya untuk ikutan program 1000 Startup Digital.
Setelah satu bulan di Madiun, saya pindah penempatan lagi ke Kediri. Karena udah lama nggak mikir soal IELTS, saya pun mulai nggak pede lagi. Tapi, saat itu saya cukup excited karena daerah penempatan saya dekat dengan Kampung Inggris yang ada di Pare, Kediri. Jadilah saya mulai cari-cari info les bahasa Inggris di Kampung Inggris tersebut. Sayangnya, setelah banyak googling dan tanya sana-sini, saya dapat info kalau les bahasa Inggris di Pare cuma ada di weekdays. Saya nggak nemu sama sekali kelas yang bukanya setiap weekend. Nggak memungkinkan banget buat saya yang kerja full time saat weekdays. Jadilah saya patah hati karena lagi-lagi nggak bisa ikutan les persiapan IELTS. Apa boleh buat, satu-satunya pilihan adalah mempersiapkan IELTS secara mandiri. Tapi, tetep, penyakit nggak istiqomah-nya muncul. Kadang belajar, lebih sering nggak.
Lalu, Desember 2017 akhir, saya pindah penempatan ke Tulungagung. Duh, memasuki tahun baru, saya semakin panik dengan mimpi-mimpi saya. Di lain sisi, persiapan saya tidak kunjung menunjukkan progress. Sampai akhirnya, di Januari tahun 2018, saya malah nekat daftar tes IELTS di bulan yang sama, tepatnya tanggal 20 Januari 2018 di Surabaya. Tanpa pikir panjang, uang pendaftaran saya transfer dan yaks seketika saya tidak punya pilihan untuk mundur atau santai-santai lagi. Waktu yang saya punya tinggal 3 minggu menuju hari H tes.
Saya tidak paham mengapa saya bisa-bisanya nekat mempertaruhkan uang dengan nominal yang tidak sedikit tersebut untuk tes IELTS. Padahal, saya tidak pernah benar-benar belajar IELTS sebagai modal untuk memenangkan pertaruhan tersebut. Well, mungkin ini dipengaruhi oleh obsesi saya terhadap kisah heroik Thariq bin Ziyad yang terkenal itu. Ketika ia memutuskan membakar kapalnya untuk menghilangkan pilihan mundur dari peperangan saat menuju Andalusia. Agar tidak ada jalan lain selain menghadapi pertarungan yang terjadi di depan mata. Walaupun, beberapa ulama sejarah melemahkan kisah tersebut dan menyatakannya sebagai kisah fiktif, tapi kisah tersebut terlanjur membekas di kepala saya.
Di sisa waktu yang ada, saya kebut latihan soal-soal yang ada di print out ebook IELTS Cambridge yang sudah sejak dulu saya bawa kemana-mana. Saya banyak membaca blog-blog yang menjelaskan secara detil tentang hal-hal yang diujikan dalam IELTS. Saya juga rajin menonton channel-channel Youtube tentang IELTS, TEDTalks dan berbagai video lain yang berbahasa Inggris yang menjadi teman baik saya dalam mempersiapkan tes, utamanya untuk section writing, speaking dan yang pasti listening. Lebih jauh soal bagaimana trik berlatih saya akan dijelaskan pada tulisan terpisah ya!
Seminggu terakhir menjelang tes IELTS, saya sudah tidak bisa konsentrasi dalam belajar. Saya sakit demam, pusing dan mules karena nervous. Setiap saya cerita ke Bapak tentang kondisi saya yang semakin mengkhawatirkan menjelang tes, beliau hanya menjawab enteng, "Udah biasa itu. Kalau Kakak mau tes, pasti sebelumnya Kakak sakit dulu." Tetot, bener juga sih kata Bapak. Ini udah kebiasaan saya sejak SD. Sebelum saya tes, ujian atau lomba, pasti saya sakit dulu. Huh, ternyata kebiasaan itu terbawa ya sampai saya sebesar sekarang.
Di hari Jumat tanggal 19 Januari 2018, saya masih masuk kantor. Sambil menunggu batas absen finger print sore pukul 17.00 WIB, saya beres-beres dan pamit ke teman-teman kantor cabang. Nggak lupa juga minta doa ke mereka supaya tes yang akan saya jalani diberikan kelancaran.
Tepat pukul 17.00 WIB, saya absen dan order Grab menuju ke perempatan jalan besar untuk menunggu Bus Harapan Jaya tujuan Surabaya. Perjalanan Surabaya - Tulungagung memakan waktu sekitar 5 jam. Di bus, saya sudah nggak bisa belajar karena mual dan ngantuk, tapi mau tidur nggak tenang rasanya.
Saya tiba di Terminal Bungurasih Surabaya sekitar jam 10 malam. Beruntungnya, Terminal Bungurasih adalah terminal besar, jadi masih ramai hingga larut malam. Saya pun segera order Go-Jek untuk mengantar saya ke kosan Hanum, karena saya akan menginap di sana. Ya Allah, semoga Engkau senantiasa memudahkan urusan Hanum, sebagaimana ia memudahkan urusan hamba-Mu ini.
Saya tiba di kosan Hanum sekitar jam setengah 11 malam. Saya mandi, bersih-bersih, terus ngobrol sama Hanum sampai jam setengah 12 malam. Saya sempat buka Youtube untuk mengejar materi writing yang belum sempat saya tonton (tetep yes deadliner). Tapi, saya sudah nggak bisa fokus dan ngantuk. Jadi, saya bobok saja.
Peserta tes diminta untuk hadir di lokasi tes pukul 08.00 pagi. Tapi, Hanum mau pulang ke Kediri dan sudah dijemput temannya sekitar jam 06.00 pagi. Jadi lah saya ikutan cabut dari kosan Hanum dan cuss langsung ke IALF, lokasi tes IELTS di Surabaya. Sampai di sana, suasana masih sangat sepi. IALF masih tutup, tetapi satu dua peserta tes sudah ada yang menunggu di lobi. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencari sarapan terlebih dahulu di pinggir jalan. Alhamdulillah, ada warung tenda yang menjual nasi bungkus di seberang IALF. Saya beli dua bungkus sekaligus, satu untuk sarapan, satu lagi untuk persiapan makan siang, agar saya nggak perlu repot-repot keluar cari makan lagi.
Sekitar jam 08.00, peserta tes diarahkan untuk antre menitipkan tas. Barang yang boleh dibawa hanya tempat minum dan ID Card. Setelah itu, satu demi satu peserta naik ke lantai dua untuk masuk ke ruang tes. Di depan ruangan, kami diminta untuk antre lagi, kali ini untuk pengambilan foto setengah badan, sidik jari dan pemeriksaan pakaian yang kami kenakan. Jadi, kalau masih ada barang-barang yang seharusnya tidak dibawa, harus langsung dititipkan. Termasuk alat tulis yang saya bawa juga harus dititipkan, karena setiap peserta akan dipinjamkan pensil serta penghapus di ruangan tes.
Tepat pukul 09.00, tes dimulai. Dibuka dengan listening, lalu reading, terakhir writing. Luar biasa jackpot, saya mendapatkan soal tes writing yang semalam belum sempat saya pelajari. Duh, Gusti. Saya mencoba mengerjakan sebisanya. Keseluruhan tes tertulis selesai sekitar pukul 12.00 WIB. Kami keluar ruangan untuk menanti jadwal speaking. Saya sendiri mendapat jadwal speaking pukul 17.00 dengan interviewer yang, dari namanya, sepertinya Chinese.
Sambil menunggu, saya makan nasi bungkus yang pagi tadi saya beli. Sambil makan, saya mengobrol dengan ibu-ibu yang sejak awal sudah saya tandai kehadirannya. Kerudungnya menjulur lebar, baju gamisnya longgar, wajahnya bareface tanpa make up sama sekali. Namanya Mba Listi. Seluruh praduga saya saat pertama kali melihat kehadirannya salah. Bahwa sepertinya kala itu adalah tes IELTS-nya yang pertama, bahwa sepertinya ia butuh IELTS score untuk melamar beasiswa master degree, bahwa toh kalau pun dia ingin melanjutkan S3, sepertinya S2-nya ia jalani di dalam negeri. Ternyata, itu salah semua. Faktanya, ia adalah seorang dosen di sebuah universitas yang ada di Kalimantan, alumni program master degree di Michigan State University. IELTS-nya kali itu bukan yang pertama, karena sekian tahun sebelumnya, ia pernah menjalani tes serupa untuk ikhtiarnya mendapatkan beasiswa kuliah S2 di luar negeri. Sampai akhirnya, Allah memuarakan takdirnya sebagai awardee Beasiswa Prestasi. Maasya Allah. Jangan pernah menilai orang dari penampilannya, Lil!
Setelah banyak mengobrol, Mba Listi pamit karena akan pulang sebentar ke rumah saudaranya di Surabaya. Makan siang saya pun sudah selesai dan saya lanjut ke musholla untuk bobok siang. Ya, kamu nggak salah baca, saya mau bobok siang. Ini serius. Saat itu, pusing kepala saya kampuh lagi, badan saya pun demam lagi. Setelah sholat dzuhur, saya pun merebahkan badan. Untung musholla-nya sepi.
Tidak lama setelah itu, datang seorang ibu yang juga peserta tes. Beliau adalah dosen FKG di salah satu universitas di Surabaya. Dengan memegang buku teks, dia melatih kemampuan speaking-nya. Kemudian, datang pula mbak-mbak yang baru saja menyelesaikan tes speaking-nya. Ia menceritakan pengalaman tes speaking-nya yang tidak begitu memuaskan. Interviewer-nya berwajah intimidatif, bicaranya tidak mudah dipahami, serta topik diskusinya terlalu spesifik dan tidak umum--tentang periode sejarah. Alamak, dia bikin saya tambah mules.
Alhamdulillah-nya, karena saya sudah tidak lagi memiliki energi untuk panik, saya hanya melempar senyum semangat kepadanya, sambil terus memberikan afirmasi positif kepada diri saya sendiri bahwa hal negatif yang terjadi padanya, bisa jadi sebaliknya pada saya.
Sekitar pukul 4 sore, saya menguat-nguatkan diri untuk berjalan keluar musholla. Dengan sedikit tertatih,
Setelah itu, saya juga membaca-baca beberapa artikel tentang tips speaking, siapa tau ada high level vocab yang bisa saya gunakan saat tes nanti. Sekitar jam 16.40, saya dipanggil untuk masuk ke ruangan tes. Waktu tes saya lebih cepat dari jadwal. Saya masuk ruangan dengan kondisi tangan dingin. Sudah biasa, kalau lagi deg-degan, tangan saya pasti dingin. Ruangan tes juga dingin ternyata, lengkap sudah ketegangan saat itu.
Saya menyalami si mas-mas interviewer dengan gerakan tangan yang meberikan kesan bahwa saya sangat antusias. Ternyata benar, beliau Chinese. Dia menanyakan kondisi saya, saya jawab jujur kalau saya sedang tidak enak badan but still okay for an interview. Saya pasang muka excited dan senyum manis meyakinkan, seolah saya sangat menantikan momen interview tersebut.
Saat interview berjalan, berbagai kekonyolan dan keajaiban terjadi bersamaan. Si interviewer membuka sesi speaking dengan omongan super duper cepat. Semacam dia sudah jutaan kali ngomong kalimat yang sama, makanya sudah sangat hafal di luar kepala. Kalau boleh jujur, saya nggak paham apa yang dia omongin, saya cuma modal manggut-manggut dan senyum lebar saja.
Masuk ke sesi short question, si interviewer menanyakan pertanyaan yang cukup umum dan wajar. Jadi, Alhamdulillah saya bisa handle dengan baik. Setelah itu, masuk ke sesi pertanyaan yang agak lebih panjang. Lagi-lagi, karena dia ngomongnya cepet, saya nggak paham. Beberapa kali pertanyaan dari dia saya jawab dengan pertanyaan juga, "Pardon me?". Tepatnya sih sampai tiga kali untuk sebuah pertanyaan yang sama. Hingga akhirnya, karena saya tetap nggak paham, saya jawab dengan sekenanya. Wajah si babang menunjukkan ekspresi nggak puas dan kecewa dengan jawaban saya. Entahlah. Yang pasti, sesi 15 menit interview itu terasa sangat cepat sekali. Tau-tau udah selesai dan saya pun keluar ruangan. Jujur, saya tidak puas dengan hasil interview saya tersebut. Banyak pertanyaan yang tidak saya jawab dengan jawaban terbaik. Tapi, ya sudah lah, saya tidak dapat berbuat apa pun selain berdoa semoga Allah berikan hasil terbaik sesuai kebutuhan. Selanjutnya, mari move on ke urusan saya yang lain.
"Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain." (QS. Al-Insyirah: 7)
Hari itu, selesai tes IELTS, saya masih belum bisa pulang ke Tulungagung. Saya sudah janji dengan Deva, salah satu dedek gemesh yang dulu pernah ikut kelas belajar bahasa Inggris saya di Nganjuk, untuk mengisi acara English Day yang diadakan organisasi rohis di sana. Saat itu, saya benar-benar tidak paham, energi dari mana yang membuat saya tetap mampu melanjutkan perjalanan kurang lebih 4 - 5 jam dengan bus ke Nganjuk setelah lama perjalanan yang sama antara Tulungagung - Surabaya di malam sebelumnya dan tes IELTS di hari setelahnya dengan tubuh yang hampir tumbang. Pikir saya saat itu cuma satu, surat Muhammad ayat 7. Rumus sederhana yang dulu selalu diulang-ulang murabbi saya.
"Hai, orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad: 7)
Dengan niat tersebut, saya bulat-bulatkan tekad untuk berangkat ke Nganjuk, walau kala itu rasanya sudah ingin bilang ke Deva bahwa saya tidak jadi ke sana. Dengan energi yang tersisa, sekitar jam setengah 6 sore, saya bergegas ke Terminal Bungurasih dengan Go-Jek dan naik bus Mira jurusan Nganjuk - Yogyakarta. Sambil di jalan, saya terus merapalkan doa, biar Allah yang mampukan. Allah yang akan mampukan.
Sekitar jam 10 malam, saya tiba di rumah Deva. Karena sudah lama tidak bertemu, kami bertukar cerita hingga hari menjelang berganti. Maasya Allah, bangga sekali saya dengan adik-ketemu-besar saya satu ini. Di tengah kesibukannya mempersiapkan UN dan berbagai ujian masuk kampus, dia masih mau merepotkan dirinya untuk kegiatan rohis. Saya jadi malu dan belajar banyak sekali darinya. Insya Allah, apa yang ditanam di jalan Allah, balasannya langsung dari Allah ya, Dik :)
Setelah temu kangen, update kabar dan kenal-kenalan dengan keluarga Deva, kami bobok di kamar Deva yang mirip kamar-kamar di FTV. Lucu banget loh kamarnya Deva, posisinya di lantai mezzanine dan full dari kayu jati, berasa di film-film Korea gitu (Lah, kayak lo paham film Korea aja, Lil -___-).
Besoknya, pagi-pagi sekali, kami mempersiapkan materi English Day, mengatur tata letak venue acara yang berupa ruangan bekas cafe pinggir jalan milik orang tua Deva, mengangkut peralatan acara, dll. Duh, saya berasa jaman SMA dulu ngerjain proker, wkwk. Setelah itu, kami sarapan dengan menu yang sudah dibuatkan oleh mamah-nya Deva. Terima kasih, Tante!
Sekitar jam 8 pagi, satu per satu peserta acara yang masih berusia SMP dan SMA berdatangan. Acara dimulai sekitar pukul 9 pagi. Kami bermain games, belajar listening dengan mengisi lirik lagu, belajar tenses, latihan wudhu dengan hanya segelas air, dll. Seru sekali! Saya berasa muda lagi ih gaulnya sama anak-anak SMP dan SMA. Kegiatan selesai sekitar pukul 5 sore dengan kondisi suara saya habis karena teriak-teriak. Maklum, mic-nya tidak bekerja sama dengan baik, padahal lokasi kegiatan tepat di pinggir jalan besar yang banyak dilewati truk dan bus antarkota, jadilah saya teriak dikit-dikit yaks.
Setelah kegiatan selesai dan segala peralatan telah kami rapikan, Deva mengantar saya untuk naik bus menuju Tulungagung. Tapi, sebelum itu, kami makan bakso kesukaan kami berdua dulu dongs. Perjalanan menuju Tulungagung terasa sangat-sangat lama dan melelahkan, padahal cuma 3 jam perjalanan. Mungkin karena saya harus ganti bus di Kediri dengan energi yang benar-benar tinggal sisa-sisa. Apalagi besok pagi saya harus bekerja. Duh, rasanya saya ingin cepat-cepat sampai kosan dan bobok cantik.
Hari ini, kalau saya pikir-pikir lagi, sepertinya saya nggak akan kuat lah mengulang perjalanan panjang Tulungagung - Surabaya - Nganjuk - Tulungagung hanya dalam waktu 3 hari. Dimana, Alhamdulillah-nya, saya selalu hanya hampir tumbang, tidak pernah benar-benar jatuh sakit yang mengharuskan saya hanya berbaring di kasur. Seolah, energi saya selalu hanya hampir habis. Tidak benar-benar habis. Allah benar-benar kuatkan.
Kini, ketika pada akhirnya saya tahu skor IELTS saya yang ajaib itu, saya hanya bisa tersenyum malu. Ah, Allah, budi baik apa yang telah hamba lakukan sehingga hamba berhak atas skor tersebut? Sungguh, betapa saya yakin, itu semua karena doa tulus orang-orang di sekitar saya sudah mengungguli doa saya yang terhalang dosa. Well, Allah memang selalu punya kejutan bagi hambanya yang tak putus berharap, tak payah berusaha dan tak hitung-menghitung dalam berbagi. Makanya, tips selanjutnya nih untuk teman-teman yang juga akan tes IELTS, yuk ah doanya dikencengin, belajarnya dibanyakin dan hasilnya dipasrahin. Allah sudah menyimpan rencana terbaik bagi hamba-Nya.
Seqyan.
Kebumen, 12 Mei 2018
akhirnya selesai juga tulisan iniiiiiiii. Huff. Semoga bermanfaat. Untuk tips yang lebih practical, tunggu aja yes.
Montag, 30. April 2018
Things I Don't Tell People about My IELTS Journey [Bagian Pertama]
Tanggal 20 Januari 2018 lalu, saya baru saja mengikuti tes IELTS di IALF Surabaya. Sekitar dua minggu kemudian, kalau nggak salah sih awal Februari, hasil tesnya keluar. Alhamdulillah, skornya sungguh ajaib dan di luar perkiraan saya. Allah memang super baik lah.
Saya sempat bercerita ke beberapa teman, dosen, mentor, dll soal hasil tes ini. Tujuannya bukan untuk memamerkan hasil, perihal minta doa untuk sebuah hajat dan laporan atas hasil yang didapat memang sudah jadi hobi saya. Bukan cuma ke orang tua, tetapi juga ke adek saya sendiri, pembimbing akademik jaman kuliah, mentor, senior, adek kelas, teman kantor atau bahkan orang yang baru saya kenal macam babang-babang Go-Jek, tukang nasi goreng, ibu kosan, dll. Hem, karena saya selalu percaya, kita nggak akan pernah tahu, doa apa yang terucap dari mulut siapa yang akan dikabulkan sama Allah.
Bisa jadi, saya udah banyak-banyak doa sama Allah, tapi dosa-dosa saya yang nggak kalah banyak menghalangi terkabulnya doa tersebut. Sebaliknya, babang Go-Jek yang hatinya tulus bantu penumpang, bisa jadi doanya akan langsung diijabah sama Allah. Bisa jadi.
Balik lagi ke hasil tes, karena kebanyakan teman saya juga sedang dalam ikhtiar untuk S2, makanya saat saya cerita ke mereka, banyak yang balik tanya tips mempersiapkan IELTS. Kalau muncul pertanyaan begitu, jujur saya bingung jawabnya. Saya intensif mempersiapkan IELTS dalam waktu kurang dari sebulan. Itu pun bener-bener serius belajarnya cuma dua minggu awal, karena menjelang tes, saya demam, mules dan udah nggak konsen.
Tapi, saya nggak pengen, karena cerita saya itu, orang lain jadi berpikir bahwa boleh-boleh aja prepare IELTS dalam waktu sebulan. Kecuali kita memang udah jago bahasa Inggris banget sih. Tapi, tetep deh, sejago-jagonya kita, IELTS itu bukan semata-mata ngetes bahasa Inggris aja. IELTS tuh ngetes ketangkasan terhadap waktu, ketelitian, skill berbahasa, dll. Pertaruhannya pun uang registrasi yang bisa dipake buat beli smartphone high end. Jadi, sejago apa pun, mending persiapan lebih matang sih, jangan cuma sebulan menjelang tes.
Lah, itu lo sendiri prepare-nya kurang dari satu bulan? Ngerasa jago luuuuuu?
Itu dia! Ada banyak hal yang sulit saya jelaskan setiap kali ada orang nanya gimana saya mempersiapkan IELTS. Karena ceritanya panjang dan kadang waktu ngobrolnya sedikit. Jadi, nggak sempet nyeritain. Ehe. Atau saya nya yang nggak bisa ngeringkas cerita ya wkwk (maklum ekstrovert, selalu ngerasa banyak yang harus diceritain). Makanya, untuk membayar kekhawatiran tersebut, saya coba menggambarkan perjalanan saya mempersiapkan IELTS sejak awal sekali disini.
Oh ya, brace yourself, nanti kontennya akan lebih banyak memuat curhat-curhat receh saya. Karena saya sekaligus mau mengabadikan momen perjuangan jaman baheula. So, if you're looking for practical tips for your IELTS test or simple ways to boost your IELTS score, too bad, you've landed to the wrong blog :(
Oke, mari kita mulai. Perjalanan saya mempersiapkan IELTS sudah dimulai sejak tahun 2015. Sedangkan, saya baru ngambil tes di awal 2018. Lama banget kan?! Jadi, saat itu, saya lulus kuliah dan bekerja di ChapterW.org (dulu namanya Nusantara Development Initiatives/ NDI). Saya ditugaskan di Sumba, NTT, sebelum pulau itu terkenal kayak sekarang.
Sebelum berangkat, saya ingat sekali, salah satu persiapan saya adalah pergi ke Barel (anak UI pasti paham, Barel itu singkatan dari Belakang Rel, semacam gang sempit yang banyak tukang fotokopi murah). Di sana, saya print beberapa ebook IELTS Cambridge di tukang fotokopi langganan jaman skripsian. Baru masuk kerja kenapa udah mikir tes IELTS? karena saat itu saya ingin S2 secepat-cepatnya. Paling nggak setahun setelah kerja lah. Padahal, itu cara berpikir yang salah gengs. Kapan-kapan ya, saya bahas soal ini.
Kalau nggak salah, ebook IELTS yang saya print waktu itu jilid 9, jilid 8, jilid 6 dan jilid 1. Saya lupa, beneran jilid-jilid itu atau nggak, yang pasti saya print 4 buku. Saya bawa 4 buku tersebut selama tugas pindah-pindah desa di Sumba. Harapannya, biar bisa ngisi waktu luang dengan belajar IELTS.
Terus, beneran dibaca nggak tuh? Nggak lah! Hahahaha. Saat itu saya baru ngerasain, kerja di lapangan sungguh sangat melelahkan. Selain karena medan desa yang menguras energi dan adrenalin, di sana juga nggak ada listrik. Jadi, energi yang habis di siang hari ditambah cahaya yang cuma remang-remang saat malam semakin jadi justifikasi buat saya untuk menunda-nunda belajar. Duh, kebayang nggak sih anak-anak asli sana yang harus belajar malem-malem? Sedih deh.
Ohya, meskipun begitu, setiap weekend, saya masih bisa ngerjain 5-4 soal, tapi nggak konsisten sih. Karena, walaupun waktu luang saat weekend lebih banyak, saya lebih tertarik nobar Master Chef di laptop temen daripada belajar IELTS wkwk.
Terlepas dari itu, walaupun saya nggak berhasil menyelesaikan satu buku pun selama satu tahun bekerja di NDI, setidaknya, karena saya udah bolak-balik bawa buku-buku tersebut kemana-mana, saya jadi cukup familiar dengan vocab-vocab yang ada di dalamnya. Nah, tips pertama nih, mungkin kamu bisa coba bawa buku IELTS kemana-mana walau nggak yakin bakal dibaca haha.
Ahya, since bos saya di NDI adalah orang Singapura, kami kalau ngomong ke Pak Bos full English, dan itu cukup intensif. Teman-teman satu tim saya (saat itu kami berlima cewek semua) juga kebanyakan punya pengalaman satu-dua tahun hidup di luar negeri. Terutama Kak Ay, teman berantem saya yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di India. Dari mereka, saya membiasakan diri ngomong daily English, walaupun saat itu English saya sungguh kacau. Tapi mayanlah, dari bahasa formal, slang, sampe swearing dengan uncommon words saya pelajari dari mereka. Hahaha
Waktu itu juga ada tim NDI yang sedang menanti keberangkatan master degree-nya di Univ of Glasgow intake tahun 2016, namanya Kak Cutin. Seneng banget jadi bisa tanya-tanya banyak soal S2 dan persiapannya ke doi. Termasuk soal IELTS, dia orang yang menginspirasi saya untuk mempersiapkan IELTS secara mandiri tanpa bergantung sama les-lesan yang harganya nggak masuk akal. Nah, tips kedua nih, ketika kamu memutuskan akan tes IELTS, praktekin tuh English-nya di aktivitas sehari-hari. Cari lingkungan yang kondusif untuk kamu praktek.
Lanjut, akhir 2016, saya pindah kerja ke Water.org, yang kemudian menugaskan saya untuk mendampingi microfinance partner di Jawa Timur. Dari timur Nusa Tenggara ke timur Jawa, akankah ini pertanda jodoh saya orang timur? Yak, mulai halu.......
Pertama kali tugas di Jawa Timur, saya penempatan di Madiun. Saya belum lupa dengan mimpi saya untuk S2 di luar negeri. Makanya, print-an ebook IELTS yang wujudnya sudah tak layak itu, padahal belum saya pelajari itu, tetap saya bawa berkelana. Kampus impian dan target skor IELTS saya tulis besar-besar di kertas dan saya tempel di dinding kosan searah kiblat. Biar nggak lupa masuk list doa setiap selesai sholat.
Seiring dengan pengalaman bekerja dan insight dari senior, target berangkat S2 saya bergeser menjadi setelah 2 - 3 tahun bekerja. Namun, tetap saja, waktu persiapan saya semakin sempit. Sementara, saya tidak semakin yakin untuk mengambil tes IELTS. Yaiyalah, belajarnya kan nggak konsisten. Saya pun terpikir untuk mengikuti les persiapan IELTS. Dari pada uangnya habis untuk mengikuti tes IELTS berkali-kali, lebih baik habis untuk persiapan tes saja. Mahal tak apa, yang penting melenggang menuju tes dengan penuh keyakinan, pikir saya waktu itu. Haiyah, berasa bimbel SNMPTN.
Sayangnya, Madiun kan kota kecil. Nggak ada kursus macam itu di sana (tapi Inul Vizta ada lho). Sampai suatu hari, seorang senior yang cukup saya kenal baik di kampus merekomendasikan kursus persiapan IELTS online, sebut saja Kursus X. Sepertinya sih beliau itu bagian dari tim marketing-nya. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, saya pun daftar kursus online tersebut.
Biaya yang harus saya bayarkan Rp 800.000.00 untuk satu paket program. Kalau tidak salah, Rp 600.000,00 itu untuk biaya kursusnya, sedangkan Rp 200.000,00 sisanya sebagai uang jaminan yang akan dikembalikan jika saya mengikuti seluruh prediction test di setiap sesi. Saya lupa-lupa ingat, satu paket program berjalan selama berapa sesi, kalau tidak salah sih 5 sesi ya. Jadi, kalau saya tidak mengerjakan sekali prediction test, uang jaminan saya akan dipotong Rp 40.000,00. Kalau tidak salah begitu. Semoga benar.
Kursus tersebut dimulai pada pertengahan Februari 2017. Setiap sesi diadakan seminggu sekali selama lima sesi. Sistemnya, kita akan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp yang isinya mentor kita, si senior yang menawari program ini dan peserta belajar lain yang kebetulan jumlahnya 8 orang. Di grup tersebut, kita akan berdiskusi membahas soal prediction test atau phone call dengan si mentor. Mentor saya adalah alumni S2 kampus luar negeri yang S1-nya di sebuah institut teknologi ternama di Bandung, skor IELTS-nya 7.0 (kalau tidak salah), sudah menikah dan memiliki anak kecil perempuan, bahasa kekiniannya papah muda kali ya. Duh, ngapain lo jelasin sedetil itu, Li? Karena ternyata, itu mempengaruhi performance dia dalam mengajar kami :(
Seingat saya, jadwal belajar itu sesuai dengan kesepakatan kita, mau hari apa dan jam berapa. Nah, karena saya merasa bayar, jadi dong saya nggak mau rugi, berusaha untuk selalu online tepat waktu dan siap dengan berbagai pertanyaan diskusi. Tapi oh tapi, si papah muda ini suka terlambat join diskusi atau bahkan izin untuk nggak join hari itu. Lah pegimane, Bang?! Alasannya beliau ini beragam, karena mengantar istrinya, anaknya tidak ada yang menjaga, dll. Feedback yang dia berikan terhadap hasil latihan kita juga super lambat. Semacam, dia itu udah sibuk bekerja, sibuk jadi papah muda dan masih memaksakan diri jadi mentor program tersebut. Entah karena dipaksa atau kemauan dia sendiri tuh.
Alhasil, saya jadi males join diskusi wkwk. Prediction test (yang sesungguhnya itu diambil dari soal-soal IELTS Cambridge) jadinya jarang saya kerjakan (excuse wk). Padahal kan saya orangnya pantang merugi, tapi jadi semales itu dan nggak peduli dengan uang jaminan hahahaha.Satu-satunya hal yang paling menghibur dari si mentor adalah suaranya yang sungguh menenangkan untuk didengar.
Jadilah semenjak itu, saya nggak pernah lagi percaya dengan kursus-kursus online IELTS. Saya pun tidak merekomendasikan teman-teman saya untuk belajar dari kursus-kursus online macam itu. Percayalah, itu sama saja dengan kita belajar sendiri, justru kalau kita disiplin, lebih efektif belajar sendiri. Bisa hemat uang juga. Kecuali kalau lesnya gratis yass.
Oh ya, disclaimer biar saya nggak diamuk pelaku industri serupa, cerita saya barusan adalah testimoni real berdasarkan pengalaman saya mengikuti SALAH SATU online course IELTS prep ya. Tidak berlaku untuk semua kursus online. Saya juga tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak mana pun. Kalau kalian merasa produk les-lesan IELTS kalian nggak begitu, silakan istiqomah dengan jalan kalian. Pun bagi kalian yang merasa ikut kursus IELTS online justru sangat membantu, silakan membuat tulisan opini di blog kalian sendiri, Ehe.
-Bersambung. Bisa cek di postingan selanjutnya yaa :)
Saya sempat bercerita ke beberapa teman, dosen, mentor, dll soal hasil tes ini. Tujuannya bukan untuk memamerkan hasil, perihal minta doa untuk sebuah hajat dan laporan atas hasil yang didapat memang sudah jadi hobi saya. Bukan cuma ke orang tua, tetapi juga ke adek saya sendiri, pembimbing akademik jaman kuliah, mentor, senior, adek kelas, teman kantor atau bahkan orang yang baru saya kenal macam babang-babang Go-Jek, tukang nasi goreng, ibu kosan, dll. Hem, karena saya selalu percaya, kita nggak akan pernah tahu, doa apa yang terucap dari mulut siapa yang akan dikabulkan sama Allah.
Bisa jadi, saya udah banyak-banyak doa sama Allah, tapi dosa-dosa saya yang nggak kalah banyak menghalangi terkabulnya doa tersebut. Sebaliknya, babang Go-Jek yang hatinya tulus bantu penumpang, bisa jadi doanya akan langsung diijabah sama Allah. Bisa jadi.
Balik lagi ke hasil tes, karena kebanyakan teman saya juga sedang dalam ikhtiar untuk S2, makanya saat saya cerita ke mereka, banyak yang balik tanya tips mempersiapkan IELTS. Kalau muncul pertanyaan begitu, jujur saya bingung jawabnya. Saya intensif mempersiapkan IELTS dalam waktu kurang dari sebulan. Itu pun bener-bener serius belajarnya cuma dua minggu awal, karena menjelang tes, saya demam, mules dan udah nggak konsen.
Tapi, saya nggak pengen, karena cerita saya itu, orang lain jadi berpikir bahwa boleh-boleh aja prepare IELTS dalam waktu sebulan. Kecuali kita memang udah jago bahasa Inggris banget sih. Tapi, tetep deh, sejago-jagonya kita, IELTS itu bukan semata-mata ngetes bahasa Inggris aja. IELTS tuh ngetes ketangkasan terhadap waktu, ketelitian, skill berbahasa, dll. Pertaruhannya pun uang registrasi yang bisa dipake buat beli smartphone high end. Jadi, sejago apa pun, mending persiapan lebih matang sih, jangan cuma sebulan menjelang tes.
Lah, itu lo sendiri prepare-nya kurang dari satu bulan? Ngerasa jago luuuuuu?
Itu dia! Ada banyak hal yang sulit saya jelaskan setiap kali ada orang nanya gimana saya mempersiapkan IELTS. Karena ceritanya panjang dan kadang waktu ngobrolnya sedikit. Jadi, nggak sempet nyeritain. Ehe. Atau saya nya yang nggak bisa ngeringkas cerita ya wkwk (maklum ekstrovert, selalu ngerasa banyak yang harus diceritain). Makanya, untuk membayar kekhawatiran tersebut, saya coba menggambarkan perjalanan saya mempersiapkan IELTS sejak awal sekali disini.
Oh ya, brace yourself, nanti kontennya akan lebih banyak memuat curhat-curhat receh saya. Karena saya sekaligus mau mengabadikan momen perjuangan jaman baheula. So, if you're looking for practical tips for your IELTS test or simple ways to boost your IELTS score, too bad, you've landed to the wrong blog :(
Oke, mari kita mulai. Perjalanan saya mempersiapkan IELTS sudah dimulai sejak tahun 2015. Sedangkan, saya baru ngambil tes di awal 2018. Lama banget kan?! Jadi, saat itu, saya lulus kuliah dan bekerja di ChapterW.org (dulu namanya Nusantara Development Initiatives/ NDI). Saya ditugaskan di Sumba, NTT, sebelum pulau itu terkenal kayak sekarang.
Sebelum berangkat, saya ingat sekali, salah satu persiapan saya adalah pergi ke Barel (anak UI pasti paham, Barel itu singkatan dari Belakang Rel, semacam gang sempit yang banyak tukang fotokopi murah). Di sana, saya print beberapa ebook IELTS Cambridge di tukang fotokopi langganan jaman skripsian. Baru masuk kerja kenapa udah mikir tes IELTS? karena saat itu saya ingin S2 secepat-cepatnya. Paling nggak setahun setelah kerja lah. Padahal, itu cara berpikir yang salah gengs. Kapan-kapan ya, saya bahas soal ini.
Kalau nggak salah, ebook IELTS yang saya print waktu itu jilid 9, jilid 8, jilid 6 dan jilid 1. Saya lupa, beneran jilid-jilid itu atau nggak, yang pasti saya print 4 buku. Saya bawa 4 buku tersebut selama tugas pindah-pindah desa di Sumba. Harapannya, biar bisa ngisi waktu luang dengan belajar IELTS.
Terus, beneran dibaca nggak tuh? Nggak lah! Hahahaha. Saat itu saya baru ngerasain, kerja di lapangan sungguh sangat melelahkan. Selain karena medan desa yang menguras energi dan adrenalin, di sana juga nggak ada listrik. Jadi, energi yang habis di siang hari ditambah cahaya yang cuma remang-remang saat malam semakin jadi justifikasi buat saya untuk menunda-nunda belajar. Duh, kebayang nggak sih anak-anak asli sana yang harus belajar malem-malem? Sedih deh.
Ohya, meskipun begitu, setiap weekend, saya masih bisa ngerjain 5-4 soal, tapi nggak konsisten sih. Karena, walaupun waktu luang saat weekend lebih banyak, saya lebih tertarik nobar Master Chef di laptop temen daripada belajar IELTS wkwk.
Terlepas dari itu, walaupun saya nggak berhasil menyelesaikan satu buku pun selama satu tahun bekerja di NDI, setidaknya, karena saya udah bolak-balik bawa buku-buku tersebut kemana-mana, saya jadi cukup familiar dengan vocab-vocab yang ada di dalamnya. Nah, tips pertama nih, mungkin kamu bisa coba bawa buku IELTS kemana-mana walau nggak yakin bakal dibaca haha.
Ahya, since bos saya di NDI adalah orang Singapura, kami kalau ngomong ke Pak Bos full English, dan itu cukup intensif. Teman-teman satu tim saya (saat itu kami berlima cewek semua) juga kebanyakan punya pengalaman satu-dua tahun hidup di luar negeri. Terutama Kak Ay, teman berantem saya yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di India. Dari mereka, saya membiasakan diri ngomong daily English, walaupun saat itu English saya sungguh kacau. Tapi mayanlah, dari bahasa formal, slang, sampe swearing dengan uncommon words saya pelajari dari mereka. Hahaha
Waktu itu juga ada tim NDI yang sedang menanti keberangkatan master degree-nya di Univ of Glasgow intake tahun 2016, namanya Kak Cutin. Seneng banget jadi bisa tanya-tanya banyak soal S2 dan persiapannya ke doi. Termasuk soal IELTS, dia orang yang menginspirasi saya untuk mempersiapkan IELTS secara mandiri tanpa bergantung sama les-lesan yang harganya nggak masuk akal. Nah, tips kedua nih, ketika kamu memutuskan akan tes IELTS, praktekin tuh English-nya di aktivitas sehari-hari. Cari lingkungan yang kondusif untuk kamu praktek.
Lanjut, akhir 2016, saya pindah kerja ke Water.org, yang kemudian menugaskan saya untuk mendampingi microfinance partner di Jawa Timur. Dari timur Nusa Tenggara ke timur Jawa, akankah ini pertanda jodoh saya orang timur? Yak, mulai halu.......
Pertama kali tugas di Jawa Timur, saya penempatan di Madiun. Saya belum lupa dengan mimpi saya untuk S2 di luar negeri. Makanya, print-an ebook IELTS yang wujudnya sudah tak layak itu, padahal belum saya pelajari itu, tetap saya bawa berkelana. Kampus impian dan target skor IELTS saya tulis besar-besar di kertas dan saya tempel di dinding kosan searah kiblat. Biar nggak lupa masuk list doa setiap selesai sholat.
Seiring dengan pengalaman bekerja dan insight dari senior, target berangkat S2 saya bergeser menjadi setelah 2 - 3 tahun bekerja. Namun, tetap saja, waktu persiapan saya semakin sempit. Sementara, saya tidak semakin yakin untuk mengambil tes IELTS. Yaiyalah, belajarnya kan nggak konsisten. Saya pun terpikir untuk mengikuti les persiapan IELTS. Dari pada uangnya habis untuk mengikuti tes IELTS berkali-kali, lebih baik habis untuk persiapan tes saja. Mahal tak apa, yang penting melenggang menuju tes dengan penuh keyakinan, pikir saya waktu itu. Haiyah, berasa bimbel SNMPTN.
Sayangnya, Madiun kan kota kecil. Nggak ada kursus macam itu di sana (tapi Inul Vizta ada lho). Sampai suatu hari, seorang senior yang cukup saya kenal baik di kampus merekomendasikan kursus persiapan IELTS online, sebut saja Kursus X. Sepertinya sih beliau itu bagian dari tim marketing-nya. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, saya pun daftar kursus online tersebut.
Biaya yang harus saya bayarkan Rp 800.000.00 untuk satu paket program. Kalau tidak salah, Rp 600.000,00 itu untuk biaya kursusnya, sedangkan Rp 200.000,00 sisanya sebagai uang jaminan yang akan dikembalikan jika saya mengikuti seluruh prediction test di setiap sesi. Saya lupa-lupa ingat, satu paket program berjalan selama berapa sesi, kalau tidak salah sih 5 sesi ya. Jadi, kalau saya tidak mengerjakan sekali prediction test, uang jaminan saya akan dipotong Rp 40.000,00. Kalau tidak salah begitu. Semoga benar.
Kursus tersebut dimulai pada pertengahan Februari 2017. Setiap sesi diadakan seminggu sekali selama lima sesi. Sistemnya, kita akan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp yang isinya mentor kita, si senior yang menawari program ini dan peserta belajar lain yang kebetulan jumlahnya 8 orang. Di grup tersebut, kita akan berdiskusi membahas soal prediction test atau phone call dengan si mentor. Mentor saya adalah alumni S2 kampus luar negeri yang S1-nya di sebuah institut teknologi ternama di Bandung, skor IELTS-nya 7.0 (kalau tidak salah), sudah menikah dan memiliki anak kecil perempuan, bahasa kekiniannya papah muda kali ya. Duh, ngapain lo jelasin sedetil itu, Li? Karena ternyata, itu mempengaruhi performance dia dalam mengajar kami :(
Seingat saya, jadwal belajar itu sesuai dengan kesepakatan kita, mau hari apa dan jam berapa. Nah, karena saya merasa bayar, jadi dong saya nggak mau rugi, berusaha untuk selalu online tepat waktu dan siap dengan berbagai pertanyaan diskusi. Tapi oh tapi, si papah muda ini suka terlambat join diskusi atau bahkan izin untuk nggak join hari itu. Lah pegimane, Bang?! Alasannya beliau ini beragam, karena mengantar istrinya, anaknya tidak ada yang menjaga, dll. Feedback yang dia berikan terhadap hasil latihan kita juga super lambat. Semacam, dia itu udah sibuk bekerja, sibuk jadi papah muda dan masih memaksakan diri jadi mentor program tersebut. Entah karena dipaksa atau kemauan dia sendiri tuh.
Alhasil, saya jadi males join diskusi wkwk. Prediction test (yang sesungguhnya itu diambil dari soal-soal IELTS Cambridge) jadinya jarang saya kerjakan (excuse wk). Padahal kan saya orangnya pantang merugi, tapi jadi semales itu dan nggak peduli dengan uang jaminan hahahaha.
Jadilah semenjak itu, saya nggak pernah lagi percaya dengan kursus-kursus online IELTS. Saya pun tidak merekomendasikan teman-teman saya untuk belajar dari kursus-kursus online macam itu. Percayalah, itu sama saja dengan kita belajar sendiri, justru kalau kita disiplin, lebih efektif belajar sendiri. Bisa hemat uang juga. Kecuali kalau lesnya gratis yass.
Oh ya, disclaimer biar saya nggak diamuk pelaku industri serupa, cerita saya barusan adalah testimoni real berdasarkan pengalaman saya mengikuti SALAH SATU online course IELTS prep ya. Tidak berlaku untuk semua kursus online. Saya juga tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak mana pun. Kalau kalian merasa produk les-lesan IELTS kalian nggak begitu, silakan istiqomah dengan jalan kalian. Pun bagi kalian yang merasa ikut kursus IELTS online justru sangat membantu, silakan membuat tulisan opini di blog kalian sendiri, Ehe.
-Bersambung. Bisa cek di postingan selanjutnya yaa :)
Mittwoch, 31. Januar 2018
Lil's Movie Review: Nonton Coco Bikin Pengen Peluk Keluarga
Saya selalu suka film-film besutan Pixar. Tapi, biasanya, saya mulai dari liat visualnya. Yaa namanya juga film animasi, kalau bagus penampakan tokoh-tokohnya, ya lanjut nonton, kalau nggak menarik ya saya skip. ehe.
Untuk Coco sendiri, impresi pertama saya saat lihat visual tokoh-tokohnya, saya nggak terlalu tertarik. Hahaha. Bukan karena jelek, cuma not my typical movie animation aja. Tipikal animasi saya itu macam Up (wkwk, mainstream banget yes) dan Despicable Me, yang tokohnya agak rounded (hem, piye maksute ya).
Tapi, karena menurut sebagian orang alur cerita Coco bagus, saya tetep lanjut nonton. Walaupun, ketika awal orang bilang kalau Coco cerita tentang anak kecil yang masuk ke alam kubur, saya udah agak males. Takutnya ceritanya jadi ala ala mistis versi kartun gitu. Tapi, ternyata nggak kok, kata orang-orang, ini film keluarga.
Secara umum, Coco bercerita tentang seorang anak kecil bernama Miguel yang terlahir dari keluarga besar pembuat sepatu. Bisnis sepatu keluarganya sudah dijalankan secara turun temurun, sehingga, tidak mungkin bagi Miguel untuk tidak ikut melanggengkan bisnis tersebut. Di sisi lain, Miguel cilik punya ketertarikan yang besar dengan musik. Dia sangat terobsesi dengan legenda musik De La Cruz, sampai-sampai dia menghafal setiap dialog pada potongan film yang diperankan De La Cruz. Padahal, keluarga besar Miguel sangat-sangat membenci musik. Mereka tidak menoleransi setiap anggota keluarga yang ketahuan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan musik, termasuk Miguel.
Pada film, alasan mengapa keluarga tersebut membenci musik dijelaskan secara eksplisit di awal cerita. Bahwa Mama Imelda, yang merupakan mamanya mama buyut Miguel, ditinggalkan oleh suaminya yang ingin mengejar mimpi bermusiknya. Sehingga, Mama Imelda harus membesarkan Coco- anak semata wayangnya yang merupakan mama buyut Miguel, seorang diri. Mama Imelda lalu mulai membuat sepatu untuk bertahan diri. Hingga bisnisnya menurun ke generasi orang tua Miguel. Alasan kepergian suami Mama Imelda itu pula yang membuat keluarga besar tersebut begitu membenci musik. Bahkan, sosok suami Mama Imelda sendiri berusaha untuk dilupakan oleh keluarga tersebut.
Drama selanjutnya berlanjut seputar cerita Miguel yang berusaha untuk mencapai mimpi bermusiknya. Nah, untuk tau kelanjutannya bagaimana, kalian bisa nonton sendiri ya. Nggak asik kalau saya ceritakan. Hehe
Pokoknya, jalan cerita Coco ini cukup worth it untuk dinikmati. Semacam mengingatkan kita kembali tentang betapa berharganya keluarga yang kita punya saat ini. Buat teman-teman yang suka film musikal, Coco ini cukup recommended juga. Walaupun bukan tergolong film musikal, tapi terdapat beberapa scene nyanyi dengan petikan gitar yang ciamik. Tapi, bagi saya sendiri, favorite scene-nya saat Miguel terdampar bersama lelaki homeless yang saya lupa namanya (wkwk, padahal dia salah satu tokoh utamanya). Di sana ada plot twist menjelang ending cerita yang nggak ketebak banget. Super keren buat penulis filmnya!
Rating: 4/5
After Taste: Pengen peluk bapak sama adek yang lama tak jumpa karena saling merantau :(
Montag, 1. September 2014
Aksidental Trip: Ungkapan Rezeki di Siang Bolong itu Ada! (Part #1)
Saya tahu, beberapa minggu belakangan ini, trafik blog saya meningkat tajam--bahkan lebih tajam dari silet. Cailah. Saya pun tahu specific factor that did it. Well, apalagi kalo bukan postingan tentang (unfinished written story) seleksi XL Future Leaders yang saya posting entah dari kapan, namun belum selesai part selanjutnya hingga sekarang, lebih tepatnya hingga gelombang 1 seleksi tertulis regional Jakarta sudah dilaksanakan. What a PHP blog memang ya~ Maafkan saya teman-teman yang sudah menaruh harap besar pada blog ini, alih-alih sharing tentang proses seleksi XLFL, saya justru curhat tak karuan.
But, it's okay. Mungkin blog ini tidak menjadi rejeki bagi teman-teman yang seleksi XLFL tahun ini hehe. Karena saya pun belum tahu akan menyelesaikan tulisan-tulisan tersebut kapan. Mengingat, sebagai anak tingkat akhir yang mulai merintis karir sebagai freelance writer (nyari mati ya, udah tingkat akhir, mestinya fokus skripsi malah nyari kerjaan jadi penulis. duh), waktu saya minim untuk menulis hal lain di luar kerjaan. Postingan ini aja, saya curi-curi waktu tidur nih haha. It's already 2.24 AM there.
Oke, jadi hal super duper penting apa yang mendesak banget untuk dibahas kali ini? Yap, just like the title, saya mau mengabadikan momen awkward dan random yang baru saya alami beberapa hari yang lalu. I swear that was the most awkward moment in my 20-some life.
Jadi, cerita bermula ketika Woro--teman dekat semasa SMA (cailah), mengajak saya dan geng PSP--singkatan nama angkatan Paskibra SMA saya, bertemu kangen selepas lebaran. Iya, iya, lebaran udah lewat iya. Tapi, atas nama silaturrahim yang harus terus dijaga dan membayar hutang ketidakhadiran kami saat bukber PSP ramadhan lalu, kami pun janjian untuk ketemuan. Saya pun mengusulkan untuk bertemu di Roti Bakar Eddy (RBE) Margonda, karena saya belum pernah kesana dan ke RBE cabang manapun. Singkat kata, teman saya setuju dan jadilah kita bertemu di hari Jumat yang (subhanallah) berkah.
(Actually, cerita tadi bukan main story-nya ya, gengs. Itu pengantar aja biar seru haha)
Nah, saya inget banget tuh, karena hari itu hari Jumat sekaligus hari deadline proposal skripsi, jadi sebelum berangkat saya rapi-rapi rumah (apa hubungannya?), koreksi-koreksi dikit proposal skripsi, dan berangkat dari rumah setelah Bapak pulang shalat Jumat. Di rumah itu sebelum berangkat terjadilah the tetot moment. Saya baru sadar kalo hari itu saya lagi shaum. Huaaaa, padahal pengen banget nyobain roti bakarnya Pak Eddy itu, tapi lupa banget kalo hari itu lagi puasa. Saya pun sedih, tapi tidak memberitahu teman saya yang telah setia menanti di venue. Karena pasti mereka akan ngomel-ngomel hahaha. Jadi, saya pikir biarlah ini menjadi kejutan buat mereka. Biar saja marahnya on the spot di depan muka saya, jangan via telfon, wasap, line apalagi sms. Kasihan mereka, nanti capek ngetiknya.
(Dan, ini kok udah panjang ya tulisannya? Padahal belum masih belum menyentuh main story -__-)
Singkat kata, saya akhirnya sampe tuh di Roti Bakar Eddy Margonda. Ternyata yang dateng cuma Woro sama Desna. Sedih sih, tapi yasudahlah karena ada berita lebih menyedihkan yang harus saya sampaikan hari itu--bahwa saya puasa, jadinya nggak bisa ikut makan-makan. Desna sama Woro begitu tau langsung murka sama saya. Tapi ujungnya maklum sih hahaha.
Setelah ngobrol panjang lebar, foto-foto dengan berbagai gaya, foto lagi, foto lagi dan foto lagi, hal absurd pun mulai terjadi. Sekitar jam 1 lewat, ada telfon masuk ke hp saya. Awalnya saya kira itu dosen pembimbing saya, karena setelah ketemuan itu, saya berencana untuk bimbingan soal proposal skripsi saya sama PA. Tapi ternyata bukan, yang nelfon itu Irfan--anggota geng Kampung Banana. Haha. Sejujurnya, pas awal-awal dia ngomong di telfon, saya nggak ngerti maksudnya apa. Kedengerannya cuma: "Lili, brnbrk mwkjsbs blubub blubub.......". Mungkin karena Roti Bakar Eddy itu tempatnya terbuka di pinggir jalan kali ya, jadi saya nggak jelas dengernya--atau boleh lah mungkin telinga saya yang bermasalah. Intinya, jawaban saya pas awal itu cuma, "Apa?...... Apa? Oh, Apa?"
Setelah beberapa detik, saya mencoba untuk mendengarkan suara di telfon dengan seksama. Ternyata si Irfan dengan santainya nanya, besok ada acara nggak, bisa nggak berangkat ikutan NLC sampe tanggal 27 Agustus. Saya yang denger dia ngomong dengan santai gitu, cuma ketawa-ketawa aja dan mikir dia bercanda--or mocking at me (secara saya kan sempet apply, tapi nggak lolos). Yaa, gimana nggak mikir kayak gitu, NLC (Nusantara Leadership Camp) 2014 itu bakal diadain di Putrajaya, Malaysia tanggal 23 Agustus 2014 - 27 Agustus 2014. Yang mau ikutan itu, ada seleksi berkasnya. Saya daftar dan tidak lolos. And that time, he was asking my availability to be in. Simply thru phone call. With an innocent yet flat voice.Ini orang kayaknya sakit deh. Sekejap kemudian, saya langsung menyambar ajakan Irfan: "Wah, lo bercanda ya? Lo tau gue apply dan nggak keterima ya?" Dan Irfan, tetap dengan nada datar, bilang: "Nggak, nggak ini serius. Singapura nggak jadi ngirim delegasi, jadi kita cari orang buat isi kuota yang kosong. Nah, lo kan alumni UISDP, jadi ditawarin." Saya pun terdiam. Asik, kalo di FTV-FTV macam terbengong-bengong gitu. Macam nggak yakin ini mimpi atau kejadian beneran. Random amat. Ngerasa amazed banget kalo hal se-absurd dan se-kebetulan ini bisa kejadian. Basically, it's not about Malaysia that made me amazed. But, how this random thing happened. Kalo kata Paulo Coelho, how the universe conspires to make it happen.
Well, mungkin QS. Faathir : 2 ini bisa menjawab...
(2) مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidaklah ada yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan-Nya maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. 35 : 2)
Beberapa detik setelahnya, saya minta waktu buat mikir. Cailah. Telfon pun dimatikan. Saya pun reflek bertanya ke Woro dan Desna yang masih sibuk foto-foto cantik, "Masa temen gue random banget deh. Ngajak ke Malaysia besok pagi. Menurut lo berangkat nggak?" Terus mereka jawab, "Lah iya? random banget. Kalo gratis mah berangkat." Dan jadilah, tanpa sebelumnya saya konfirmasi dulu berapa biaya yang harus saya keluarkan--yang beberapa jam setelahnya saya baru tau jika saya tidak perlu membayar apapun, saya konfirmasi via sms jika saya tertarik ikut.
Saya mengehela napas, subhanallah, jadi ini yang namanya rezeki di siang bolong?
-to be continued. Udah subuh euy.
But, it's okay. Mungkin blog ini tidak menjadi rejeki bagi teman-teman yang seleksi XLFL tahun ini hehe. Karena saya pun belum tahu akan menyelesaikan tulisan-tulisan tersebut kapan. Mengingat, sebagai anak tingkat akhir yang mulai merintis karir sebagai freelance writer (nyari mati ya, udah tingkat akhir, mestinya fokus skripsi malah nyari kerjaan jadi penulis. duh), waktu saya minim untuk menulis hal lain di luar kerjaan. Postingan ini aja, saya curi-curi waktu tidur nih haha. It's already 2.24 AM there.
Oke, jadi hal super duper penting apa yang mendesak banget untuk dibahas kali ini? Yap, just like the title, saya mau mengabadikan momen awkward dan random yang baru saya alami beberapa hari yang lalu. I swear that was the most awkward moment in my 20-some life.
Jadi, cerita bermula ketika Woro--teman dekat semasa SMA (cailah), mengajak saya dan geng PSP--singkatan nama angkatan Paskibra SMA saya, bertemu kangen selepas lebaran. Iya, iya, lebaran udah lewat iya. Tapi, atas nama silaturrahim yang harus terus dijaga dan membayar hutang ketidakhadiran kami saat bukber PSP ramadhan lalu, kami pun janjian untuk ketemuan. Saya pun mengusulkan untuk bertemu di Roti Bakar Eddy (RBE) Margonda, karena saya belum pernah kesana dan ke RBE cabang manapun. Singkat kata, teman saya setuju dan jadilah kita bertemu di hari Jumat yang (subhanallah) berkah.
(Actually, cerita tadi bukan main story-nya ya, gengs. Itu pengantar aja biar seru haha)
Nah, saya inget banget tuh, karena hari itu hari Jumat sekaligus hari deadline proposal skripsi, jadi sebelum berangkat saya rapi-rapi rumah (apa hubungannya?), koreksi-koreksi dikit proposal skripsi, dan berangkat dari rumah setelah Bapak pulang shalat Jumat. Di rumah itu sebelum berangkat terjadilah the tetot moment. Saya baru sadar kalo hari itu saya lagi shaum. Huaaaa, padahal pengen banget nyobain roti bakarnya Pak Eddy itu, tapi lupa banget kalo hari itu lagi puasa. Saya pun sedih, tapi tidak memberitahu teman saya yang telah setia menanti di venue. Karena pasti mereka akan ngomel-ngomel hahaha. Jadi, saya pikir biarlah ini menjadi kejutan buat mereka. Biar saja marahnya on the spot di depan muka saya, jangan via telfon, wasap, line apalagi sms. Kasihan mereka, nanti capek ngetiknya.
(Dan, ini kok udah panjang ya tulisannya? Padahal belum masih belum menyentuh main story -__-)
Singkat kata, saya akhirnya sampe tuh di Roti Bakar Eddy Margonda. Ternyata yang dateng cuma Woro sama Desna. Sedih sih, tapi yasudahlah karena ada berita lebih menyedihkan yang harus saya sampaikan hari itu--bahwa saya puasa, jadinya nggak bisa ikut makan-makan. Desna sama Woro begitu tau langsung murka sama saya. Tapi ujungnya maklum sih hahaha.
Setelah ngobrol panjang lebar, foto-foto dengan berbagai gaya, foto lagi, foto lagi dan foto lagi, hal absurd pun mulai terjadi. Sekitar jam 1 lewat, ada telfon masuk ke hp saya. Awalnya saya kira itu dosen pembimbing saya, karena setelah ketemuan itu, saya berencana untuk bimbingan soal proposal skripsi saya sama PA. Tapi ternyata bukan, yang nelfon itu Irfan--anggota geng Kampung Banana. Haha. Sejujurnya, pas awal-awal dia ngomong di telfon, saya nggak ngerti maksudnya apa. Kedengerannya cuma: "Lili, brnbrk mwkjsbs blubub blubub.......". Mungkin karena Roti Bakar Eddy itu tempatnya terbuka di pinggir jalan kali ya, jadi saya nggak jelas dengernya--atau boleh lah mungkin telinga saya yang bermasalah. Intinya, jawaban saya pas awal itu cuma, "Apa?...... Apa? Oh, Apa?"
Setelah beberapa detik, saya mencoba untuk mendengarkan suara di telfon dengan seksama. Ternyata si Irfan dengan santainya nanya, besok ada acara nggak, bisa nggak berangkat ikutan NLC sampe tanggal 27 Agustus. Saya yang denger dia ngomong dengan santai gitu, cuma ketawa-ketawa aja dan mikir dia bercanda--or mocking at me (secara saya kan sempet apply, tapi nggak lolos). Yaa, gimana nggak mikir kayak gitu, NLC (Nusantara Leadership Camp) 2014 itu bakal diadain di Putrajaya, Malaysia tanggal 23 Agustus 2014 - 27 Agustus 2014. Yang mau ikutan itu, ada seleksi berkasnya. Saya daftar dan tidak lolos. And that time, he was asking my availability to be in. Simply thru phone call. With an innocent yet flat voice.
Well, mungkin QS. Faathir : 2 ini bisa menjawab...
(2) مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidaklah ada yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan-Nya maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. 35 : 2)
Beberapa detik setelahnya, saya minta waktu buat mikir. Cailah. Telfon pun dimatikan. Saya pun reflek bertanya ke Woro dan Desna yang masih sibuk foto-foto cantik, "Masa temen gue random banget deh. Ngajak ke Malaysia besok pagi. Menurut lo berangkat nggak?" Terus mereka jawab, "Lah iya? random banget. Kalo gratis mah berangkat." Dan jadilah, tanpa sebelumnya saya konfirmasi dulu berapa biaya yang harus saya keluarkan--yang beberapa jam setelahnya saya baru tau jika saya tidak perlu membayar apapun, saya konfirmasi via sms jika saya tertarik ikut.
Saya mengehela napas, subhanallah, jadi ini yang namanya rezeki di siang bolong?
-to be continued. Udah subuh euy.
Sonntag, 30. März 2014
XL Future Leaders 2nd Batch: The Uncensored Story Part #1
Dan yak, setelah membuat kesal beberapa orang dengan blog berjudul super panjang tapi super nggak penting (Emm, atau justru tidak ada yang kesal, karena memang tidak ada yang mengunjungi. haha. *Lili edisi hopeless*) beberapa menit kemudian, saya pun meng-click compose button lagi haha. But now, i've decided what things i will share first.
Jadi, kali ini saya mau berbagi cerita sedikit tentang program XL Future Leaders (XLFL) yang saya ikuti. Jengejerejeeeeeng, ayo kalian yang lagi baca, heboh-heboh gitu ya sebelum kita menuju tulisan utama. Wuhuuuu wuhuuuu. Oke stop being stupid, Li :)
Sebelumnya, saya mau mengingatkan, cerita saya kali ini kan bukan cerita komersil berbayar ya haha, jadi maaf jika nantinya, isi tulisan justru lebih banyak curhat dan sedikit memberikan informasi. heheu.
Oke, semuanya bermula di kost-an Lita (Nama lengkap: Nurlita Dewi Ramadhani | Kuliah: Vokasi UI 2011 | Status: InsyaAllah jomblo hingga menikah). Jadi, saat itu siang menjelang sore, saya dan beberapa teman lain berkumpul di kost-an Lita untuk rapat program Kampung Banana yang merupakan proyek pemberdayaan masyarakat yang saat ituhingga kini masih berusaha kami kembangkan di Beji, Depok (more info tentang Kampung Banana disini). Saya masih ingat dengan sangat detail, hampir semua teman-teman saya saat itu sibuk membicarakan program XLFL. Ternyata, beberapa dari mereka lolos tahapan seleksi awal dan bersiap untuk seleksi wawancara. Nah, saya yang saat itu nggak tau program XLFL itu apa, hanya diam (tapi menyimak), yaa paling saya nanya-nanya seadanya lah haha. Saya agak sebel juga, kenapa saya bisa nggak dapet kabar sama sekali tentang itu program. Belakangan saya tau, kalo ternyata XL Future Leaders itu adalah program leadership yang diadakan untuk pertama kalinya oleh sebuah provider *piiip*. Nama providernya dirahasiakan ya hahahaha you know lah. Makanya, saya nggak terlalu menyalahkan diri gitu sih, karena nggak tau informasi tentang program ini. Tapi, gimana caranya itu temen geng gaul di Kampung Banana pada tau soal program XLFL? Saya juga nggak tau sih haha. Yang saya tau, begitulah culture kita, setiap ketemu, pasti update event atau lomba hahahahaha.
Singkat cerita, pas udah di rumah, saya langsung cari tau deh tuh info tentang XL Future Leaders. Saya catet segala kontak, website, twitter, dan sebagainya, buat jaga-jaga untuk seleksi tahun depan. Pokoknya saya nggak mau ketinggalan info lagi. Even saat itu, saya pun belom tau banget benefit apa aja yang bisa kita dapet kalo kepilih nanti. Yang penting buat saya, daftar aja. Itu kan program leadership, lolos nggak lolos, there must be priceless values we could get, right? Haha. Sounds ambitious? Oh no, guys! It's what we usually call it as stra-te-gy hahahah.
Setelah masa seleksi program XLFL Batch I selesai, saya ikut berbahagia karena dari geng Kampung Banana, ternyata ada satu orang yang lolos sampai tahap akhir, please welcome..... Irfaaaaaaaaaannnnn!!! Yuhuuuu. Sejujurnya, gue nggak ngerasa amazed banget sih knowing that he passed the selection process. Pertama, karena dia emang cukup kece, kan temen gue di Kampung Banana. Pokoknya anak Kampung Banana itu keren-keren semua haha. Jadi kan kita pernah ikut satu program student development gitu, jadi taulah saya gimana track record dia hahaha. Nah, tapi, setelah denger beberapa kali cerita Irfan tentang program-program XLFL yang kereeen banget, gimana dia dapet pendampingan dari para fasilitator yang merupakan konsultan dari lembaga yang sangat kredibel, gimana kurikulum programnya sangat menyenangkan, gimana metode belajarnya yang fun, gimana dia seleksi via regional Yogya (biar chance-nya lebih gede dari regional Jakarta katanya. which means emang seleksinya ketat banget, bahkan lebih ketat dari leggingnya penyanyi dangdut), dan yang paling penting gimana ikhlasnya XL menginvestasikan banyak fasilitas (HP touch screen, notebook, modem, pulsa) ke para peserta-- fixed banget semua hal itu bikin saya semakin bulat untuk ikut seleksi XL Future Leaders tahun berikutnya.
Yaaak, udah cukup panjang yaa ceritanya. Tapi bahkan, setengah cerita pun belom ini hahaha. Oke, jadi lanjut ke postingan selanjutnya ya.
Jadi, kali ini saya mau berbagi cerita sedikit tentang program XL Future Leaders (XLFL) yang saya ikuti. Jengejerejeeeeeng, ayo kalian yang lagi baca, heboh-heboh gitu ya sebelum kita menuju tulisan utama. Wuhuuuu wuhuuuu. Oke stop being stupid, Li :)
Sebelumnya, saya mau mengingatkan, cerita saya kali ini kan bukan cerita komersil berbayar ya haha, jadi maaf jika nantinya, isi tulisan justru lebih banyak curhat dan sedikit memberikan informasi. heheu.
Oke, semuanya bermula di kost-an Lita (Nama lengkap: Nurlita Dewi Ramadhani | Kuliah: Vokasi UI 2011 | Status: InsyaAllah jomblo hingga menikah). Jadi, saat itu siang menjelang sore, saya dan beberapa teman lain berkumpul di kost-an Lita untuk rapat program Kampung Banana yang merupakan proyek pemberdayaan masyarakat yang saat itu
Singkat cerita, pas udah di rumah, saya langsung cari tau deh tuh info tentang XL Future Leaders. Saya catet segala kontak, website, twitter, dan sebagainya, buat jaga-jaga untuk seleksi tahun depan. Pokoknya saya nggak mau ketinggalan info lagi. Even saat itu, saya pun belom tau banget benefit apa aja yang bisa kita dapet kalo kepilih nanti. Yang penting buat saya, daftar aja. Itu kan program leadership, lolos nggak lolos, there must be priceless values we could get, right? Haha. Sounds ambitious? Oh no, guys! It's what we usually call it as stra-te-gy hahahah.
Setelah masa seleksi program XLFL Batch I selesai, saya ikut berbahagia karena dari geng Kampung Banana, ternyata ada satu orang yang lolos sampai tahap akhir, please welcome..... Irfaaaaaaaaaannnnn!!! Yuhuuuu. Sejujurnya, gue nggak ngerasa amazed banget sih knowing that he passed the selection process. Pertama, karena dia emang cukup kece, kan temen gue di Kampung Banana. Pokoknya anak Kampung Banana itu keren-keren semua haha. Jadi kan kita pernah ikut satu program student development gitu, jadi taulah saya gimana track record dia hahaha. Nah, tapi, setelah denger beberapa kali cerita Irfan tentang program-program XLFL yang kereeen banget, gimana dia dapet pendampingan dari para fasilitator yang merupakan konsultan dari lembaga yang sangat kredibel, gimana kurikulum programnya sangat menyenangkan, gimana metode belajarnya yang fun, gimana dia seleksi via regional Yogya (biar chance-nya lebih gede dari regional Jakarta katanya. which means emang seleksinya ketat banget, bahkan lebih ketat dari leggingnya penyanyi dangdut), dan yang paling penting gimana ikhlasnya XL menginvestasikan banyak fasilitas (HP touch screen, notebook, modem, pulsa) ke para peserta-- fixed banget semua hal itu bikin saya semakin bulat untuk ikut seleksi XL Future Leaders tahun berikutnya.
Yaaak, udah cukup panjang yaa ceritanya. Tapi bahkan, setengah cerita pun belom ini hahaha. Oke, jadi lanjut ke postingan selanjutnya ya.
Abonnieren
Posts (Atom)
Posts mit dem Label nah! werden angezeigt. Alle Posts anzeigen
Posts mit dem Label nah! werden angezeigt. Alle Posts anzeigen
Samstag, 23. März 2019
begitu
“Jarak itu sebenarnya tak pernah ada.
Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan”
― Joko Pinurbo, Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung
Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan”
― Joko Pinurbo, Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung
Samstag, 2. Februar 2019
Buka Laundry Kiloan
Hingga Januari 2019 ini, tepat 26 bulan sudah saya berdomisili di Jawa Timur. Atau tepatnya 776 hari. Atau lebih tepatnya 18.624 jam. Atau lebih tepat dari lebih tepatnya 1.117.440 menit. Atau lebih tepat dari lebih tepat dari lebih tepatnya dari tepatnya 67.046.400 detik! Gila sih, kalau setiap detik saya bernilai setidaknya Rp 1 saja, udah bisa buka 3 gerai laundry kiloan lah ini.
Sonntag, 12. August 2018
My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 1]
Kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya 'berkenalan' dengan YSEALI hingga akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018 dan mendapat pengumuman diterima pada Selasa (7/8) lalu.
Okedeh, sekarang yuk mari kita mulai!
Pertama, tujuan saya menulis ini untuk give back, karena saat masa-masa daftar YSEALI yang penuh drama resah gelisah bahkan demam diare itu, saya benar-benar mengandalkan tulisan-tulisan di blog para alumni yang berbagi pengalaman YSEALI mereka. Saya banyak mencari clue-clue mengenai proses aplikasi, seperti kriteria kandidat terpilih, tips wawancara, linimasa program dan sebagainya dari sana. Tulisan-tulisan itu luar biasa membantu sekali lho, Mas Mbak Alumni. Terima kasih banyak.
Kedua, tulisan ini untuk refleksi saya di masa datang, that it's always my choice to take or ignore what universe has offered. Thus, i need to be fully aware of the consequences yet be respectful with the process. Kalau gagal ya dinikmati, kalau berhasil ya disyukuri, karena masa datang nanti adalah akumulasi konsekuensi dari pilihan-pilihan yang saya ambil.
Ketiga, tulisan ini untuk alarm diri sendiri, bahwa hidup itu Allah yang mengendalikan. Kadang, segala hal berjalan di luar kalkulasi manusia. Makanya, saya harus selalu melibatkan Allah pada setiap hal yang saya lakukan, sesepele apapun hal itu. Dan, yang paling penting, kalau saya inginnya banyak, doanya harus lebih banyak, syukurnya apalagi.
Okedeh, sekarang yuk mari kita mulai!
Berkenalan dengan YSEALI
YSEALI (Young Southeast Asia Leaders Initiative) merupakan sebuah program kepemudaan yang diselenggarakan dan dibiayai penuh oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan sekaligus memperkuat jaringan para pemuda di Asia Tenggara. YSEALI pertama kali diluncurkan pada tahun 2013 dan fokus pada beberapa topik utama, seperti kewarganegaraan (civic engagement), pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pendidikan (education) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth).
Program-program YSEALI sendiri beragam:
1. Professional Fellowship ke Amerika Serikat
2. Academic Fellowship ke Amerika Serikat
3. Regional Workshop (Biasanya diadakan di negara-negara Asia Tenggara)
4. Grant Funding (Lebih dikenal dengan YSEALI Seeds for the Future Grant)
Oleh karena itu, jangan heran kalau kamu mendengar temanmu lolos seleksi YSEALI tapi berangkatnya bukan ke US, karena memang tidak semua program dilaksanakan di US. Lebih lengkap tentang YSEALI bisa cek disini.
Program-program YSEALI sendiri beragam:
1. Professional Fellowship ke Amerika Serikat
2. Academic Fellowship ke Amerika Serikat
3. Regional Workshop (Biasanya diadakan di negara-negara Asia Tenggara)
4. Grant Funding (Lebih dikenal dengan YSEALI Seeds for the Future Grant)
Oleh karena itu, jangan heran kalau kamu mendengar temanmu lolos seleksi YSEALI tapi berangkatnya bukan ke US, karena memang tidak semua program dilaksanakan di US. Lebih lengkap tentang YSEALI bisa cek disini.
Saya lupa kapan pertama kali saya mendengar tentang YSEALI, yang pasti, saat itu saya masih kuliah dan sedang semangat-semangatnya mengikuti berbagai kegiatan kepemudaan, baik di dalam maupun di luar kampus. Kalau nggak salah, waktu itu YSEALI Academic Fellowship sedang buka pendaftaran. Saya sempat baca deskripsi programnya sepintas. Keren juga yaks, ke US lima minggu, fully funded pula. Biasanya kan program yang begitu harus cari sponsor sendiri, pikir saya.
Saat itu, aplikasi YSEALI masih menggunakan formulir Ms. Word (kalau tidak salah). Saya coba cek persyaratannya. Duh, ribet sekali, harus bikin esai, harus minta surat rekomendasi juga. Singkat cerita, saya tidak jadi mendaftar karena yakin tidak akan terpilih. Bukannya apa-apa, saya sudah sering daftar program fully funded yang 'jauh' begitu dan belum pernah tembus berangkat. Jadi, ya udah males duluan untuk coba.
Secara tidak langsung, pikiran saya itu menutup kemungkinan saya untuk mendaftar program YSEALI pada pembukaan-pembukaan selanjutnya. To be honest, that moment, I thought this program was too prestigious. It would waste my time to struggle on things that are impossible to conquer. Apalah saya, cuma sebentuk udara yang terperangkap di bubble wrap. Dipencet sedikit, terjadi letusan kecil, dan hilang tak berbekas.
Tapi, saat itu saya tetap mendaftar sebagai YSEALI member. Jadi, update tentang program-program YSEALI selalu masuk ke email setiap bulan. Walaupun, saya pribadi sudah tidak punya lagi keinginan untuk mendaftar. Semacam berpikir, "yailah nggak mungkin berangkat, Lil". Ditambah lagi, di tahun-tahun akhir kuliah, saya sibuk dengan berbagai urusan magang dan skripsi, serta percintaan sesekali. Wkwk boong deng.
Di masa setelah kelulusan, saya bekerja di sebuah social enterprise asal Singapura dan ditempatkan di pelosok Sumba, NTT. Hidup bersama warga desa dengan budaya yang benar-benar baru, tanpa listrik, tanpa gemerlap ibukota, membuat saya menemukan kesenangan baru yang cukup menyita perhatian. Hem, apa itu YSEALI? Saya sudah lupa.
Di masa setelah kelulusan, saya bekerja di sebuah social enterprise asal Singapura dan ditempatkan di pelosok Sumba, NTT. Hidup bersama warga desa dengan budaya yang benar-benar baru, tanpa listrik, tanpa gemerlap ibukota, membuat saya menemukan kesenangan baru yang cukup menyita perhatian. Hem, apa itu YSEALI? Saya sudah lupa.
Titik Balik
Tahun 2016 akhir, saya keluar dari social enterprise asal Singapura itu. Aaakk, sedih sekali, tapi sepertinya memang demikian jalannya. Saya lalu bergabung dengan Water.org dan ditugaskan untuk mendampingi cabang-cabang salah satu microfinance partner mereka yang berada di Jawa Timur. Kebayang nggak sih, berawal dari hidup penuh keterbatasan di pelosok Sumba, dalam waktu sekian bulan, hidup saya berubah menjadi gerilyawan di sudut-sudut kabupaten di Jawa Timur.
Pekerjaan saya itu membuat saya banyak berinteraksi dengan warga desa. Pertama sih karena sebagian besar waktu kerja saya memang dihabiskan di lapangan, bertemu dengan ibu-ibu mitra dan suaminya yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan peternak. Kedua, work load di kantor cabang juga memang nggak terlalu padat, jadi saya punya banyak waktu luang buat melipir di jam kantor dan ngobrol-ngobrol semi khozip dengan warga sekitar. Dari sana, saya banyak terpapar informasi mengenai 'drama kehidupan' yang mereka hadapi, dari masalah-masalah serius yang menyangkut ummat (asiks), semacam isu pertanian, sumber daya desa, ketersediaan akses terhadap kebutuhan dasar, sampe urusan pribadi, macam uang belanja dari suami yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup, rasa insecure si suami yang berpaling ke lain hati dan segala printilan problematika manusia.
Singkat cerita, dari ngobrol sama mitra-mitranya kantor cabang, saya kepikiran untuk menggali potensi ide social enterprise saya dengan niat idealis nan bombastis menyelesaikan persoalan petani sekaligus melawan hegemoni produk-produk serupa yang tidak ramah lingkungan. Pret banget dah. Tapi, hamdalah, di pertengahan 2017, lahirlah SiMaggie, sebuah social enterprise yang saya kembangkan bersama beberapa teman (baru) saya. Kenapa baru? Karena emang kita kenalan juga baru aja. Saya sendiri nggak paham, ada wangsit darimana sampai mereka percaya sama saya dan mau gabung. Nanti ya, saya buat tulisan khusus tentang SiMaggie.
Singkat cerita, dari ngobrol sama mitra-mitranya kantor cabang, saya kepikiran untuk menggali potensi ide social enterprise saya dengan niat idealis nan bombastis menyelesaikan persoalan petani sekaligus melawan hegemoni produk-produk serupa yang tidak ramah lingkungan. Pret banget dah. Tapi, hamdalah, di pertengahan 2017, lahirlah SiMaggie, sebuah social enterprise yang saya kembangkan bersama beberapa teman (baru) saya. Kenapa baru? Karena emang kita kenalan juga baru aja. Saya sendiri nggak paham, ada wangsit darimana sampai mereka percaya sama saya dan mau gabung. Nanti ya, saya buat tulisan khusus tentang SiMaggie.
Hari-hari setelah itu, selain bekerja, saya sibuk merintis SiMaggie. Saya sibuk mentransformasi konsep-konsep yang kami rancang di atas kertas menjadi wujud nyata. Wqwq. Saya juga sibuk bolak-balik Nganjuk-Surabaya-Nganjuk, Kediri-Surabaya-Kediri, Tulungagung-Surabaya-Tulungagung, berangkat subuh, pulang hampir tengah malam, setiap wiken, untuk belajar tentang startup, business model canvas, idea validation, dll melalui program 1000 Startup Digital. Capek banget, tapi seru.
Dari rutinitas tersebut, semakin hari, saya merasa semakin paham apa yang saya mau, apa minat saya. Saya semakin punya gambaran di masa depan mau jadi apa. Kalau orang bilang, semacam i discovered my passion kali ya. Saya semakin merasa social entrepreneurship adalah jalan hidup saya. Isu yang saya minati pun semakin mengerucut, seputar pemberdayaan desa, pertanian dan pangan.
Dari sana, karena merasa butuh lebih banyak sarana aktualisasi diri dalam mengembangkan SiMaggie, saya jadi banyak daftar program inkubasi dan kompetisi startup. Ada yang lolos dan menang, tapi lebih banyak yang gagal. Hahaha. Gapapa, yang penting pengalaman dan pembelajaran yang didapat selama prosesnya.
Sekitar tahun 2018 awal, keputusan saya bulat untuk kuliah lagi dan mengambil bidang spesifik social entrepreneurship. Saya merasa, dengan latar belakang pendidikan saya yang social science murni dan pengalaman dalam bisnis yang paling mentok ngurus online shop, saya agak kesulitan ketika harus mengambil keputusan-keputusan penting untuk SiMaggie. Saya bingung, variabel-variabel apa yang harus dipertimbangkan ketika akan membuat keputusan bisnis, entah itu menyangkut urusan operasional, marketing, legal, dll. Saya juga lemah dalam urusan forecasting kondisi finansial, apa sebuah bisnis masih sehat atau nggak. Padahal, itu kan krusial banget, dan SiMaggie sudah merasakan imbas dari kesalahan saya dalam mengambil keputusan finansial itu ehe. Makanya, framework dasarnya harus dipelajari lagi nih.
Selanjutnya, karena saya tahu bahwa semua cikal bakal social entrepreneurship itu berasal dari US, termasuk Bapak Social Entrepreneurship dunia yang kita kenal, si Om Bill Drayton, juga dari US, saya pengen banget-banget belajar social entrepreneurship di negara pencetusnya langsung. Jadilah saya mulai perjalanan saya mencari beasiswa S2 dengan daftar Fulbright Scholarship biar bisa kuliah di Amerikah. Ajaibnya, aplikasi Fulbright yang saya kerjakan cuma semalam itu tembus sampe wawancara (Ya Allah, ini jangan ditiru, guys. Selayaknya makan nasi, yang dimasak matang selalu lebih enak dari yang setengah matang. Duh apasih. Intinya, makin matang aplikasi kamu, makin bagus lah pokoknya. Jangan bikin aplikasi beasiswa dalam semalam, kita bukan Roro Jonggrang).
Btw, I would not tell you whether or not my Fulbright interview went well. Bcz, of course it didn't haha (I'll write a separate post about my Fulbright journey later). Terlepas dari itu, momen wawancara Fulbright ini lah yang menjadi titik balik saya daftar YSEALI Academic Fellowship.
Alkisah, ejie, wawancara Fulbright saya berjalan dengan penuh kesuraman. Dimulai dengan minim persiapan, saya dicecar berbagai pertanyaan dari empat interviewer yang bikin gelagapan. Di akhir wawancara, kayaknya salah satu interviewer bule kasian sama saya yang keliatan hopeless banget. Lalu, dengan senyum tulus, doi nanya in English yang artinya kurang lebih: "Kamu tau YSEALI nggak? Coba kamu daftar itu". Gitu. Petuah dari si bule tidak lantas membuat saya termotivasi daftar YSEALI. Yang ada, saya justru mikir, "Duh, ini aja gue tembus Fulbright sampe interview karena beruntung. Yakali keberuntungan bisa keulang dua kali. Apalagi di YSEALI." Saya pun keluar ruang wawancara tanpa intensi sedikit pun untuk coba daftar YSEALI. Nggak mungkin tembus lah.
Memantapkan Hati
Selesai wawancara Fulbright (9/4), saya tidak mengalami masa harap-harap cemas menanti pengumuman. InsyaAllah sudah haqqul yaqin nggak akan lolos hahaha. Jadi, saya menyibukkan diri dengan hal lain. Sampai suatu siang menjelang sore di tanggal 15 Mei, saya cek gmail dan menemukan ada monthly update dari YSEALI yang menyebutkan bahwa pendaftaran YSEALI Academic Fellowship untuk Fall 2018 baru saja dibuka, deadline-nya tanggal 1 Juni 2018 (kalau kamu YSEALI member, pasti kamu juga akan dapat info ini).
Saat itu, tidak ada 'Aha' momen dimana saya merasa tertantang untuk daftar, termotivasi, terilhami atau apalah ala ala motivator. Saya cuma ingat, waktu masih kuliah, saya merasa aplikasi YSEALI sulit dan proses seleksinya ketat, lebih ketat dari legging Via Vallen. Saya pun mencoba mengingat lagi, kenapa saya merasa demikian, apa saya sudah pernah daftar dan tidak lolos atau jangan-jangan itu cuma ketakutan semu akan kegagalan aja, karena saya terlanjur berasumsi bahwa program ini nggak mungkin saya tembus (Yang saya lakukan ini mirip metode Chunking di ilmu parenting, cmiiw. Kamu bisa coba terapkan setiap kamu merasa ragu atas sesuatu. Sebelum ambil keputusan, coba breakdown dulu, kamu ragunya karena apa, penyebab ragunya dari dalam diri atau luar diri, bisa diintervensi atau nggak, dsb. Cukup memudahkan untuk assess berbagai emosi positif atau negatif di diri kita sih).
Ternyata, setelah saya ingat-ingat lagi, saya belum pernah sekali pun daftar program YSEALI yang ke US, baik Academic maupun Professional Fellowship. Pernahnya itu, saya daftar YSEALI Regional Workshop sebanyak dua kali. Pertama, YSEALI Impact XL Workshop di Myanmar, kedua, YSEALI Generation GR3EN di Brunei Darussalam. Terakhir, saya daftar YSEALI Seeds for the Future Grant, dengan project yang diajukan adalah SiMaggie. Tapi, Alhamdulillah, tiga-tiganya nggak ada yang lolos wkwkwk.
Dari sana, saya mencoba reframing pola pikir saya dan bilang ke diri sendiri, "Oke, Lil, lo belum pernah coba, berarti belum bisa bilang sulit." Setelah itu, saya ceki-ceki lebih jauh, ini program ngapain sih, kenapa banyak peminatnya (selain karena ke US gratis). Ternyata, oemji, program ini menawarkan intensive course di kampus US dengan pilihan tema yang salah satunya Social Entrepreneurship! Waw, bidang yang selama ini saya tekuni, di US pula- the country where the term social entrepreneurship was first born. Aaaakk, pengen! Saya pun kepo-kepo alumninya, banyak orang keren dan beberapa orang yang saya kenal di bidang startup pernah ikutan program ini. Hem, bisa dibilang, this is a sort of benchmark program before you embark your career choice lah. Okesip, di momen itu, saya mantapkan hati untuk daftar.
Saat itu juga, saya coba mempelajari segala printilan tentang YSEALI, jenis-jenis programnya, kegiatan selama program, kriteria kandidat yang dipilih, dll. Saat cek eligibility criteria, saya nyaris nggak bisa apply, karena untuk Academic Fellowship, batas usianya ternyata 25 tahun, dan, kalau nggak salah, maksimal graduated 4 tahun. Ya Allah, nyarissss. Detil tentang requirement dan eligibility criteria Academic Fellowship bisa dicek disini ya.
Anyway, saya juga sempat memastikan seribet apa aplikasinya, apakah rumit seperti yang selama ini saya asumsikan. Ternyata, sama sekali nggak ribet dong! Aplikasinya bener-bener cuma ngisi Google Form dan menyertakan satu surat rekomendasi. Udah itu aja. I-tu-a-ja. Saya juga coba ngisi Google Form-nya, biar ada gambaran isi pertanyaannya apa aja, biasanya kan beranak pinak gitu ya. Ternyata, sederhana saja, keluarga berencana, nggak beranak pinak. Di Google Form bener-bener cuma ditanyain data diri, latar belakang pendidikan, pekerjaan dan beberapa pertanyaan lain yang jawabannya bisa kamu temuin di CV kamu.
Di akhir Google Form, kita diminta untuk menulis esai singkat untuk meyakinkan kenapa kita merupakan kandidat yang paling sesuai untuk program tersebut dan apa rencana kita setelah program selesai. Esainya beneran singkat lho ya, saking singkatnya, kamu nggak boleh nulis lebih dari 250 kata. Yes, you read that right, cuma 250 kata. Well, sebagai orang yang lagi bolak-balik apply beasiswa S2, bolak-balik ngurus berkas ini itu, aplikasi YSEALI ini sungguh memudahkan pendaftarnya banget sih. Jadi, nggak ada alasan ribet atau sulit ya, mentemen.
Ahya, hari itu saya nggak langsung daftar. Saya ngumpulin sebanyak mungkin bahan belajar mengenai program untuk dibaca atau ditonton di kosan, entah berasal dari web resmi YSEALI, blog-blog alumni atau bahkan vlog-vlog selama program berlangsung. Tujuannya, saya harus paham bener-bener dulu nih sama programnya, apa yang mereka tawarkan, orang kayak gimana yang mereka cari dan apa tujuan akhir dari programnya. Saya bahkan sempat bikin mindmap sederhana tentang YSEALI ini (anaknya visual banget wk). Belajar tentang program itu penting ya untuk memudahkan kita merumuskan aplikasi dan memproyeksikan siapa orang yang tepat untuk kita mintakan surat rekomendasi.
Jangan coba-coba untuk ngisi formulir aplikasi, apalagi bikin esai, ketika kita masih buta sama program, itu namanya bunuh diri. Walaupun formulirnya sederhana, biasakan untuk pahami dulu segalanya, refleksi, bagian mana dari diri kita yang mau kita tonjolkan yang 'aligned' dengan program. Kan nggak mungkin semua jejak hidup kita dimasukin ke form. Pilah dulu, baru pelan-pelan diisi deh.
Sekarang, mari kita lanjutkan ke tulisan selanjutnya disini dan simpan dulu rasa penasaranmu tentang siapakah Juminten yang kuliah di Washington. Haha.
Montag, 25. Juni 2018
(Hampir) 2 Jam Di Pesawat Bersama Emil Dardak [Bukan Tulisan Berbayar]
Kejadian random satu ini berawal dari saya yang super deg-degan di Go-Jek karena harus ngejar flight ke SUB sekitar jam 8 malem, tapi jam 6 sore masih leyeh-leyeh di rumah. Padahal, hari itu adalah hari kerja, artinya kalau saya berangkat ke bandara mepet, saya harus berkompetisi di jalanan dengan manusia-manusia lain yang baru pulang kantor.
Betapa dudulnya saya, waktu itu tuh mikirnya, "Ah, cuma di Halim. Deket." Saya yg dulu sempat jadi anak gaul Kalibata Mall lupa kalau lampu merah Taman Makam Pahlawan Kalibata macetnya nggak ada obat.
Hal lain yang membuat adrenalin saya makin meningkat adalah driver Go-Jek yang nyangkut ke app saya ternyata ibuk-ibuk. Alamak, gimana saya mau minta beliau ngebut ini mah. Tapi ternyata, anggapan saya itu hanya bias gender belaka. Sambil ngobrol intimate ala ala perempuan, doi super ngebut krn khawatir saya ketinggalan pesawat. Makasi banyak, Buk!
Sampe Halim, saya lari-lari, ngos-ngosan, kumus-kumus. Tapi ah, ku tak peduli. Untung saya masih sempet nunggu sekitar 10 menit di boarding room. Anyway, pas berangkat dari rumah, i didnt put on make up at all. Bukan karena nggak sempet, tapi ya emang saya nggak mau aja hahaha. Siapa mau peduli juga sama muka saya di malam hari, lagipula bedak mahal cuy. Hemat lah.
Tiba waktu boarding, saya masuk pesawat. Semuanya terasa biasa saja sampai saya menemukan bahwa bangku saya didudukin bule yang lagi asik baca buku sambil dengerin musik. Tapi, bangku sebelahnya doi kosong. And i thought, that was his seat. Jadi, karena nggak mau ganggu doi, saya duduk di bangku kosong tersebut.
Nggak berapa lama, datanglah lelaki berparas rupawan pake kemeja putih polos dan celana bahan hitam, mengklaim bahwa bangku yang saya dudukin itu adalah bangku dia. Saya pun bingung, saya sampaikan bahwa saya pikir ini bangku si Om Bule sebelah saya. Si lelaki rupawan menunjukkan nomor kursinya dan langsung nanyain nomor kursi si bule.
Jujur, pada detik tersebut, saya udah nggak peduli lagi urusan perbangkuan ini. Ada hal lain yang lebih menarik untuk saya pikirin, ini orang kayak nggak asing ya wajahnya. Seperti wajah mantan saya, tapi, duh, Li, lo nggak punya mantan woy.
Akhirnya, si bule yang awalnya menempati kursi saya pindah ke depan karena ternyata doi salah liat seat number. Sambil masih mikir siapakah gerangan lelaki rupawan ini, saya pun nanya ke si lelaki, dia mau duduk di tengah (di bangku saya) atau di bangkunya di pinggir (yang sudah lebih dulu saya tempati). Dia pun tetep mau di pinggir, di bangkunya. Saya pun bergeser ke tengah.
Kalau di pesawat, saya adalah orang yang sangat disiplin yg sudah pasti memasang setting Flight Mode tanpa harus menunggu peringatan Mba-Mba Pramugari. Tapi oh tapi, ini lelaki rupawan sebelah saya masih buka Youtube. "Oh, mungkin itu offline mode ya Youtube-nya", husnudzan saya begitu. Lha tapi kok, videonya tersendat-sendat macam susah sinyal. Adudu.
Menjelang take off, saya yang biasanya bubuk cantik kalau flight malem (walau saat itu saya bawa buku (yang niatnya) mau dibaca di pesawat sih), menyempatkan diri untuk ngintip-ngintip wajah si lelaki rupawan sebelah saya lewat pantulan bayangan di hp saya. Saya masih penasaran. Fixed, ini orang kayaknya saya kenal. Tapi dimana ya hem.
Entah kenapa, saya lalu teringat baliho Pilkada yang biasa saya lewati setiap kali berkunjung ke Jombang. Ada foto pasangan Cagub-Cawagub Jawa Timur disana. Wah, Emil Dardak kayaknya nih.
Saya berusaha mengingat seperti apa persisnya wajah Emil Dardak. Duh, yang saya ingat, dia ganteng. Tapi gantengnya macam apa, saya kurang paham. Saya sama Bapak di rumah sebenernya sering diskusi tentang beliau dan landscape perpolitikan Jawa Timur, tapi diskusi kami jarang menyoal rupa wajah. Wkwk.
Saya lalu aktifin internet HP, mumpung belum take off. Ehe. Ampun Om Pilot. Saya searching wajah Emil Dardak cepat-cepat. Saya bandingkan dengan sosok yang ada di sebelah saya. Hem, mayan mirip sih. Tapi, saya masih belum yakin.
Saya intip video yang lagi serius banget dia tonton. Di Youtube. Dan pake internet HP. Sesekali buffering pulak. Video yang bikin dia didatengin Mba-Mba Pramugari berkali-kali untuk ngingetin HP yang harus mati. Tapi, dia tetep aja hajar bleh.
Oh, ternyata video debat Pilgub Jatim, ada Khofifah dan Emil Dardak-nya. Bajunya Emil Dardak di video itu mirip dengan apa yang dipake lelaki rupawan sebelah saya.
Aaakk, sebelah saya Emil Dardak nih. Fix fix. Rasanya saya pengen lompat dari bangku. Pengen nengok langsung depan mukanya sambil menjajarkan HP saya yang memuat foto beliau hasil kulik-kulik Google tepat di sebelah wajahnya. Biar shahih aja gitu kalau sebelah saya memang Emil Dardak. Capek kali ngintip-ngintip dari pantulan HP dan mengandalkan kelihaian bola mata terus.
Tapi, ah, sedetik kemudian keyakinan saya pupus. Saya ragu, yakali ah Emil Dardak nggak paham fitur Download Video dan nonton Offline di Youtube. Saya senyum-senyum sendiri. Mayan nih, kalau laki-laki sebelah saya ini beneran Emil Dardak, saya bisa keliatan pinter dikit dengan ngajarin beliau cara hasyiks main Youtube. Tapi eh tapi, seriusan nih Emil Dardak naik pesawat ekonomi? Tanpa pengawal atau ajudan macam orang-orang penting gitu? ihwaw.
Saya mencoba mengumpul-ngumpulkan keyakinan. Emil Dardak juga manusia biasa. Hidupnya sibuk memikirkan kemaslahatan ummat, wajar kalau beliau tak paham fitur Youtube. Jangan kau bandingkan dengan dirimu yang surplus waktu luang, Lil.
Saat saya sudah sepenuhnya yakin bahwa lelaki rupawan yang duduknya tepat sebelah saya adalah Emil Dardak, saya riset dikit-dikit visi misi beliau. Ini masih belum take off, kok. Pesawatnya masih nyentuh tanah. Saya skimming visi misi beliau, berusaha mengingat beberapa keyword. Si pesawat akhirnya benar-benar akan take off. Tap, saya mengaktifkan Flight Mode. Saya tidak sempat mencari bahan obrolan lain.
Ealah, lelaki 'terduga Emil Dardak' sebelah saya ini masih sibuk nonton Youtube wakakak. Pramugari sampai-sampai mendatangi beliau dan benar-benar menunggu di sampingnya hingga beliau mematikan HP-nya. Beliau nggak mengelak dari kesalahannya tersebut dan nurut apa kata Mbak Pramugari. Yes, sekarang beliau tanpa distraksi.
Saya yang tidak mampu menahan senyum mencoba bertanya dengan sopan, "Pak Emil, ya?"
Gesture tubuh beliau dalam menanggapi pertanyaan saya cukup mengesankan saya. Beliau langsung mengubah arah tubuhnya ke arah saya dan menjawab dengan wajah ramah tanpa kesan dibuat-buat, "Iya."
Bahasa tubuh yang sederhana itu cukup memberikan impresi pertama yang positif bagi saya, bahwa beliau adalah pribadi yang terbuka.
Selanjutnya, saya membuka topik dengan membahas visi misi beliau yang akan dibawa dalam pertarungan pilgub mendatang. Jangan bayangkan saya menyebut secara rinci visi misi beliau yang saya baca sebelum take off ya. Saya hanya mengingat keyword, lalu saya kembangkan sendiri sekenanya. Deg-degan takut salah euy.
Dari sana berbagai obrolan mengalir. Kami membahas berbagai hal, dari kebijakan hingga pekerjaan saya. Apa yang beliau rencanakan jika terpilih nanti, target pembangunan, fokus anggaran, dll (ini semi kampanye sih, tapi gapapa, itu hak dia untuk meyakinkan saya bahwa dia adalah kandidat yang tepat). Saya juga sempat menanyakan beberapa pertanyaan filosofis dan mendasar tentang pilihan-pilihan hidup beliau. Sayangnya, saya sudah tidak terlalu ingat detil jawaban beliau. Saya menyesal karena saat sampai kosan tidak langsung menuliskannya. Selama dua jam (kurang dikit sih) kami di pesawat, selama itu pula kami berdiskusi. Tidak ada momen dimana kami kehabisan topik, beliau banyak sharing pengalaman dan gagasan. Yang pasti, saat itu saya belajar banyak. Banyak sekali.
Dari obrolan intensif hampir 2 jam kami selama di udara itu, saya mendapatkan gambaran karakter beliau yang mungkin bisa menjadi pertimbangan teman-teman dalam menentukan Cagub-Cawagub pilihan pada Pilgub serentak 27 Juni besok. Ohya, disclaimer ya, ini murni opini saya. Saya juga tidak terafiliasi dengan pihak mana pun, jadi maaf kalau tulisan ini dinilai menaikkan atau justru menjatuhkan Pak Emil atau pihak lain yang terkait. Saya hanya membagikan apa yang saya rasakan selama bersebelahan dengan beliau (dipengaruhi sedikit dengan opini setelah nonton debat Cagub-Cawagub Jawa Timur deng). Hehe.
Pertama, Emil Dardak adalah benar-benar seorang yang cerdas. Beliau kaya dengan data, jadi kalau ngomong selalu ada dasar datanya. Kemampuan beliau dalam menganalisis dan menarik kesimpulan dari data-data tersebut juga keren. Ini saya rasain waktu ngobrol dengan beliau dan saya lihat di acara debat sih. Setiap beliau memaparkan gagasan, beliau selalu membawa alasan karena datanya begini, maka harus begini, karena kalau begitu, blablabla dan seterusnya.
Beliau punya latar belakang pendidikan yang (seingat saya) berhubungan dengan economic development. Maafkan saya kalau kurang tepat, Pak. Yang jelas, saya melihat bahwa apa yang beliau coba aplikasikan pada setiap kebijakan-kebijakan beliau berakar dari teori yang beliau baca dan pelajari waktu masih sekolah. Saya masih ingat sekali, saat kami mengobrol, beliau beberapa kali bilang, "Menurut X dalam buku....." atau "Kalau kamu tahu dalam teori lalala......." Intinya sih, setiap keputusan yang dia ambil nggak pake pertimbangan commonsense lah. Sedikit banyak beliau (kelihatan) punya ilmunya.
Kedua, beliau sungguh well-experienced di sektor tata kelola kota, pembangunan, ekonomi dan sektor lain yang berhubungan. Beliau sempat bercerita tentang pengalamannya bekerja di World Bank sampai akhirnya mengambil risiko untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Trenggalek. Bahkan, waktu saya bercerita tentang pekerjaan saya yang related dengan sektor community development, beliau dengan cepat langsung menangkap apa yang menjadi tantangan kami di lapangan. Padahal, saya cuma cerita sedikit saja. Tentunya itu bukan karena beliau punya kemampuan cenayang ala ala ya. Tapi, karena pengalaman dia di bidang development sudah luas, jadi ya dia paham betul.
Ketiga, saya senang karena beliau masih muda. Eits, ini bukan berarti 'dia muda maka dia ganteng' yang bikin saya suka (ala cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. hahaha lucu nggak?). Tapi, menurut saya, idealisme beliau juga merefleksikan jiwa mudanya. Pemikirannya juga segar. Beliau cukup terbuka dengan diskusi dan nggak gampang mutung. Waktu itu sempet saya pancing dengan pertanyaan yang agak sensitif, misalnya pertanyaan tentang alasan dia meninggalkan Trenggalek, padahal masa kepemimpinannya belum selesai, atau pertanyaan tentang kenapa majunya sama Khofifah yang udah berkali-kali mencalonkan diri tapi nggak kepilih-kepilih. Pertanyaan-pertanyaan saya itu beliau jawab tanpa rasa keberatan.
Keempat, beliau sungguh humble, praktis dan dinamis. Percaya nggak, beliau ke bandara naik Go-Jek (Go-Ride lebih spesifiknya) karena takut macet. Tanpa pengawal satu orang pun. Di pesawat juga doi sendirian. Pesawatnya kelas ekonomi pula. Padahal kursi bisnisnya kosong melompong. Bagi beliau, dalam melakukan sesuatu ya pertimbangannya kepraktisan. Bukan semata-mata merakyat atau bahkan pencitraan. Jadi, kalau praktisnya naik motor, ya naik motor aja. Tapi kalau praktisnya naik mobil karena hujan, ya naik mobil. Nggak usah ngotot naik motor biar dianggap merakyat.
Kelima, dan sepertinya menjadi yang terakhir, walaupun Pak Emil Dardak ini menurut saya cukup perfek tipikal kandidat idaman, tapi beliau tetaplah manusia biasa. Ada beberapa sikap beliau yang membuat saya sedikit berkomentar dalam hati, "Hem, gini ya ternyata."
Misalnya, setiap saya mencoba menyampaikan aspirasi saya dan menanyakan berbagai pertanyaan kenapa gini kenapa gitu. Beliau memang tidak mutung, beliau memang tidak tersinggung, tapi beliau langsung meluncurkan jawaban-jawaban untuk meng-counter omongan saya tersebut. Padahal, kalau saya jadi Pak Emil dan kebetulan ketemu rakyat butiran jasjus macam saya, maka saya akan cenderung sedikit bicara dan membuka telinga lebar-lebar. Terlepas dari omongan si rakyat benar atau salah, saya akan coba tampung sebanyak-banyaknya. Bagi saya, kesempatan untuk mendengar perspektif yang berbeda, apalagi dari rakyat biasa macam saya, kan jarang sekali terjadi. Sedangkan, beliau, dengan segala power yang dipunya, apalagi beliau juga sedang mencalonkan diri sebagai Cawagub, beliau punya panggung yang lebih luas dan banyak. Mudah bagi beliau untuk meng-counter atau menjawab argumen apapun. Tapi, nyatanya beliau cukup mendominasi obrolan dan bukan banyak mendengarkan. Entah karena by nature beliau adalah orang yang dominan atau itu hanya kebetulan. Saya kurang paham.
Hal lain, sepanjang obrolan, beliau juga banyak menyebutkan teori-teori atau istilah yang saya kurang paham. Hehe. Entah karena beliau merasa bahwa saya anak muda 'berpendidikan' jadi sudah semestinya paham (kalau iya, berarti saya harus baca lebih banyak buku lagi nih, wawasan saya masih belum mumpuni hiks), atau memang beliau memiliki kecenderungan demikian, membawa sophisticated words ke dalam obrolan dengan orang awam di bidang tersebut. Padahal ya, orang-orang yang well-educated tidak berarti dia menguasai semua bidang lho. Jadi, menurutku sih, toleransi terhadap manusia berbeda bidang itu tetep butuh. Misalnya, kamu yang lulusan S3 Kriminologi belum tentu paham sama istilah-istilahnya anak S1 Planologi. Walaupun, jenjang stratanya lebih tinggi. Atau nama ilmunya mirip pakek logi-logian.
Nah, kurang lebih gitu deh. Mon maap kalau sungguh subjektif, ini kan blog saya, jadi tidak ada tuntutan untuk menyuguhkan tulisan yang netral hahaha. Terlepas dari itu, saya cukup merekomendasikan Khofifah-Emil untuk menjadi pilihan kawan-kawan di hari pencoblosan besok. Pertama, jelas alasannya karena impresi yang saya dapat ketika bersebelahan tempat duduk di pesawat dengan beliau. Walaupun, tidak semua impresinya positif hahahaha. Kedua, saya sempat mengikuti beberapa kali debat Cagub-Cawagub Jawa Timur. Lumayan keliatan sih, Khofifah-Emil memang 'siap memimpin', baik secara data, ide dan gagasan, dibandingkan pasangan lain yang mengandalkan takaran ketidakpastian, seperti "Kalau dari pengalaman saya dulu, blablabla...", atau "Sepertinya ada kurang lebih blablabla...".
Tapi, segalanya tetap kembali lagi kepada kalian wahai kaum yang akan memilih. Kalau kalian memiliki pertimbangan lain, sepenuhnya itu hak kalian. Asal jangan golput aja, kusedih karena harga yang harus dibayar untuk sebuah hak pilih dari seorang warga negara terlalu mahal untuk selembar kertas kosong tanpa lubang coblosan. So, selamat nyoblos! Anyway, saya nggak ikutan nyoblos, karena KTP Jakarta. ehehe.
P.s. we happened to take some good pictures- with my very own barefaced.
Ahya, sawrry, i wouldn't ask for your pardon bcz of my barefaced just like other women did outside.
Cz, ya know, im not that typical woman in the majority haha.
Label:
beda,
Indonesia,
moment-catcher,
nah!,
nasionalisme,
opini,
tulisanserius
Dienstag, 19. Juni 2018
Tentang Menikah
Berada di usia matang seperti saya sekarang, membuat obrolan menjadi semakin monoton. Apapun topik pembukanya, ujungnya pasti soal cinta, jodoh dan nikah. Perubahan status KTP kawan, dari jomblo menjadi 'Kawin', membuat lebih banyak hati menjadi gelisah. Bibir ingin mendesah. Mak, kapan nikah? Aduduh, bosen uwe dengernyah.
Sebenarnya, tak apa merasa deg-degan, tapi jangan sampai khawatir tidak kebagian. InsyaAllah, jodoh, rizki dan mati sudah tertulis takdirnya. Tidak akan tertukar, apalagi kehabisan.
Membicarakan gebetan banyak-banyak tidak lantas membuatmu cepat menikah, yang ada justru kamu jatuh semakin dalam pada kubangan dosa. Begitu pula dengan cinta, menumbuhkannya pada orang yang belum tentu menjadi jodohmu, pada masa yang belum waktunya, tidak membawa manfaat barang sebulir, yang ada justru mubazir. Karena kamu harus membagi-bagi cintamu kepada orang yang tidak berhak, cinta yang seharusnya bisa kamu berikan utuh tanpa cela pada kekasihmu sesungguhnya, yang halal di hadapan-Nya.
Karena, kalau kata Kurniawan Gunadi, mencintai bukan hanya soal waktu, keberanian dan kesempatan. Namun, soal keimanan dan ketaqwaan. Bagi saya, menikah adalah sarana mengakselerasi diri untuk menjadi lebih baik lagi. Menikah adalah wadah melipatganda ibadah. Menikah berarti mewujudkan mimpi-mimpi tentang pengabdian yang lama tertahan. Dan yang tidak kalah penting, menikah adalah melahirkan generasi penerus perjuangan-perjuangan yang belum selesai. Sehingga, modalnya tak cukup hanya cinta, ada ilmunya, ada landasannya.
Makanya, menikah bukan muara, ia hanya gapura. Menuju kesana, tidak boleh tergesa, apalagi dengan persiapan seadanya. Ingat, kita sedang mengejar ridho-Nya.
Sebenarnya, tak apa merasa deg-degan, tapi jangan sampai khawatir tidak kebagian. InsyaAllah, jodoh, rizki dan mati sudah tertulis takdirnya. Tidak akan tertukar, apalagi kehabisan.
Membicarakan gebetan banyak-banyak tidak lantas membuatmu cepat menikah, yang ada justru kamu jatuh semakin dalam pada kubangan dosa. Begitu pula dengan cinta, menumbuhkannya pada orang yang belum tentu menjadi jodohmu, pada masa yang belum waktunya, tidak membawa manfaat barang sebulir, yang ada justru mubazir. Karena kamu harus membagi-bagi cintamu kepada orang yang tidak berhak, cinta yang seharusnya bisa kamu berikan utuh tanpa cela pada kekasihmu sesungguhnya, yang halal di hadapan-Nya.
Karena, kalau kata Kurniawan Gunadi, mencintai bukan hanya soal waktu, keberanian dan kesempatan. Namun, soal keimanan dan ketaqwaan. Bagi saya, menikah adalah sarana mengakselerasi diri untuk menjadi lebih baik lagi. Menikah adalah wadah melipatganda ibadah. Menikah berarti mewujudkan mimpi-mimpi tentang pengabdian yang lama tertahan. Dan yang tidak kalah penting, menikah adalah melahirkan generasi penerus perjuangan-perjuangan yang belum selesai. Sehingga, modalnya tak cukup hanya cinta, ada ilmunya, ada landasannya.
Makanya, menikah bukan muara, ia hanya gapura. Menuju kesana, tidak boleh tergesa, apalagi dengan persiapan seadanya. Ingat, kita sedang mengejar ridho-Nya.
Label:
cintabilang,
nah!,
nglantur,
opini,
random
Mittwoch, 6. Juni 2018
Komodifikasi dalam Narasi Doa Anak Yatim
Berhubung sudah memasuki bulan Ramadhan, mari kita membicarakan sesuatu yang relijius-relijius.
Bulan Ramadhan memang identik dengan bulan berlimpah pahala. Dimana, setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apapun, akan diganjar pahala dengan angka konversi yang jauh lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Begitu tumpah ruahnya pahala di bulan ini, sampai-sampai, beredar hadist di masyarakat yang mengatakan bahwa di bulan Ramadhan, sekalipun kamu tidur, pahala akan terus mengalir, karena tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Sayangnya, tidak banyak orang tahu jika hadist yang mereka gunakan untuk menjustifikasi aktivitas tidur berlebihan mereka di bulan puasa itu dhaif.
Usut punya usut, istimewanya bulan Ramadhan ternyata mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, baik perilaku di dunia maya maupun di dunia nyata. Menurut Ariani Dwijayanti, Industry Analyst Google Indonesia, pada Ramadhan 2017, pertumbuhan pencarian aktivitas religi di Google naik hingga 34% (Tribunnews.com, 2018).
Itu baru aktivitas googling-googling di dunia maya. Bagaimana spending habit mereka selama Ramadhan di dunia nyata? Siapa tahu mereka cuma googling tanpa tindak lanjut atau googling untuk kebutuhan eksis edisi Ramadhan di social media. Siapa tahu yakan.
Ternyata, kalau manut dengan data yang dimiliki Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), saat Ramadhan, konsumsi masyarakat Indonesia naik 20 - 30%. Menurut Ibu Netty Heryawan, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat, salah satu alasannya karena banyak orang menyetok kebutuhan untuk buka puasa bersama, santunan anak yatim dan aktivitas kebaikan lainnya (Republika.co.id, 2016). Btw, kenapa lu tiba-tiba mengutip pendapat istrinya Aher deh, Lil? Ya maklum, saya kan mengais data dari Republika. Ehe.
Data-data di atas menunjukkan bahwa tingkat relijiusitas masyarakat Indonesia masih terbilang tinggi. Terlihat dari adanya respon berupa perilaku positif yang signifikan saat datang bulan suci Ramadhan. Anyway, relijiusitas tidak selalu menandakan tingkat keshalihan seseorang ya. Relijius ya relijius, bersifat keagamaan. Kalau keshalihan lebih personal, menyangkut ketaatan antara kita kepada Rabb kita.Sotoy banget gue.
Selain itu, altruisme masyarakat kita juga tinggi, hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya aktivitas 'berbagi' yang muncul selama Ramadhan, misalnya makin banyak orang berdonasi, ngadain acara bukber di panti, sahur on the road, dll. Salah satu aktivitas kebaikan yang juga lumrah dilakukan masyarakat Indonesia adalah sedekah ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa (mon maap saya belum punya data pendukungnya). Sayangnya, dorongan altruisme untuk berbagi tadi tidak dibarengi dengan pemikiran kritis tentang kepada siapa rizki kita disalurkan. Emang dasar orang Indonesia mudah merasa iba, kita pun sangat mudah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas asal-usul dan pertanggungjawabannya, misalnya ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa tak berizin atau bersertifikat yang suka datang ke kantor-kantor atau rumah-rumah.
Sebenarnya, yang ingin saya garisbawahi disini bukan legalitas lembaga tersebut. Saya sendiri kurang paham, apakah ada dalil yang menyebutkan bahwa saat kita berzakat, infaq atau shadaqah, tanggung jawab kita sampai pada memastikan bahwa lembaga pengelola benar-benar terpercaya. Atau, apakah tanggung jawab kita selesai ketika kewajiban untuk menyisihkan sebagian rizki kita tertunaikan, tanpa perlu memastikan bagaimana lembaga penyalur tersebut mengelola dana kita.
Tapi, yang mau saya bahas adalah bagaimana biasanya jurus-jurus marketing dilancarkan oleh Mbak-Mbak peminta donasi. Entah kenapa, yang saya rasa, ketika menawarkan kesempatan untuk berdonasi, Mbak-Mbak tersebut lebih sering membicarakan tentang kemungkinan pahala-pahala yang akan kita dulang dari curahan doa anak panti yang kita bantu. Tapi, mereka sedikit sekali bicara untuk apa uang tersebut akan mereka gunakan, program apa yang akan dijalankan, bagaimana pertanggungjawabannya kepada kita, dan sebagainya.
Well, nggak salah juga sih menggunakan jurus 'dahsyatnya doa anak yatim' untuk mengajak lebih banyak orang bersedekah. Kan memang faktanya doa mereka demikian luar biasa. Tapi, kalau terus-menerus narasi itu yang diulang, bisa-bisa disorientasi kita. Saya pernah baca, tapi lupa dimana maapkeun, bahwa zakat, infaq dan shadaqah yang ada di dalam Islam sebenarnya merupakan sebuah skema jaminan sosial bagi umat, agar, masyarakat yang terlahir dalam berbagai kelas ini, melalui zakat, infaq dan shadaqah bisa saling menjamin pemenuhan kebutuhan dasarnya. Semacam, yang kaya ikut menjamin hajat hidupnya si miskin melalui uang yang mereka sisihkan. Dengan begitu, jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin, yang memicu kecemburuan sosial, bisa teratasi. Di sisi lain, martabat si miskin pun terjaga karena mereka tak perlu meminta-minta. Makanya, sayang sekali jika tujuan semulia itu dikerdilkan dengan dominasi narasi tentang keberkahan doa anak yatim. Walaupun, sekali lagi, nggak ada salahnya juga sih mengharap keberkahan.
Lebih jauh, menurut analisis ecek-ecek saya, dominannya penggunaan narasi doa anak yatim yang kerap digunakan lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah untuk menarik masyarakat merupakan gambaran bahwa 'doa anak yatim' telah menjadi komoditas, dengan kata lain mengalami proses komodifikasi. Seingat saya waktu masih kuliah, komodifikasi adalah sebuah proses ketika sesuatu hal yang tidak memiliki kaitan dengan pasar, tidak bernilai jual, menjadi sebuah komoditas atau barang dagangan. Kalau menurut Om Marx, Kapitalisme adalah makhluk yang paling bertanggung jawab atas fenomena komodifikasi ini. Kapitalisme membuat segalanya mungkin diperjualbelikan. Makanya, sesuatu yang awalnya tidak memiliki nilai tukar pun dipaksa untuk memiliki label harga.
Lalu, apa yang salah dari komodifikasi doa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah? Bukankah mengharap keberkahan dari doa yang mereka haturkan adalah sah-sah saja? Bukankah naif jika beribadah tanpa mengharap berkah? Nah, itu dia. Kalau di Islam kan memang kita dianjurkan untuk selalu beribadah dalam takut (khauf) dan harap (rajaa'). Tapi, harap yang gimana dulu nih?
Ketika banyak lembaga zakat, infaq dan shadaqah mengajak untuk berdonasi dengan mengiming-imingi doa anak yatim yang mereka bina, lalu kita memberikan respon dengan berdonasi karena doa tersebut, maka secara tidak langsung kita telah mengaminkan proses ini sebagai sesuatu yang transaksional, 'lu jual gue beli'. Ke depan, mereka akan melihat betapa doa anak yatim binaan mereka ampuh untuk mengajak orang berdonasi. Sehingga, bukan tidak mungkin, akan dibangun narasi-narasi lain tentang si anak yatim yang bisa menarik pasar. Akhirnya, tanpa disadari, ajakan untuk berzakat, infaq dan shadaqah menjadi ajang kontestasi anak yatim mana yang paling makbul doanya, bukan lagi soal program-program mana yang paling efektif untuk pengembangan skill mereka, fasilitas apa yang butuh dibangun untuk pengembangan kapasitas mereka, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, yang terjadi adalah objektifikasi anak yatim, dimana anak yatim menjadi objek, barang atau alat pemenuhan kebutuhan orang lain.
Terus, solusinya apa dongs? Di jaman seperti ini, kita sudah tidak bisa lagi menghindar dari paparan fenomena komodifikasi. Apalagi, komodifikasi yang berhubungan dengan isu agama, mengingat kita tinggal di negara mayoritas muslim yang rasa-rasanya cukup relijius (ingat, relijius tidak selalu berhubungan dengan keshalihan). Apapun yang berbau Islam, berlabel halal dan syariah menjadi industri, dari industri pakaian muslim, bank-bank syariah, acara reliji di televisi, sampai yang selalu membuat saya geli, detergen dengan label halal nan Islami.
Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak dalam praktik komodifikasi, kita harus selalu meluruskan niat pada setiap aktivitas kebaikan yang kita lakukan, semata-mata untuk mengharap ridha Allah, bukan karena tren, ikut-ikutan atau karena harapan mendapatkan balasan duniawi. Selain itu, selalu belajar untuk melihat bigger picture dari setiap hal, khususnya dalam hal beragama. Jangan lupa, agama bukan seperangkat ilmu praktis, yang ilmunya bisa dicomot sana-sini. Setiap ajaran dalam agama punya konteks, maka kita harus memahami konteks tersebut secara utuh agar tidak salah kaprah. Kalau kata Bang Akhyar, "Agama yang dipahami dan dijalani tanpa keutuhan hanya membuat kita melaju ke arah yang keliru".
Tulisan di awal Ramadhan yang baru sempat diselesaikan.
Selamat meresapi Ramadhan yang tinggal sisa-sisa. Semoga, semakin mendekati akhir, kita tidak hanya manis di bibir. Katanya rindu, tapi menyiakan waktu. Bismillah.
Referensi
http://www.tribunnews.com/techno/2018/05/04/lima-produk-paling-dicari-orang-indonesia-selama-ramadan-berdasar-hasil-survei-google
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/06/22/o95s43382-konsumsi-masyarakat-saat-ramadhan-naik-hingga-30-persen
Bulan Ramadhan memang identik dengan bulan berlimpah pahala. Dimana, setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apapun, akan diganjar pahala dengan angka konversi yang jauh lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Begitu tumpah ruahnya pahala di bulan ini, sampai-sampai, beredar hadist di masyarakat yang mengatakan bahwa di bulan Ramadhan, sekalipun kamu tidur, pahala akan terus mengalir, karena tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Sayangnya, tidak banyak orang tahu jika hadist yang mereka gunakan untuk menjustifikasi aktivitas tidur berlebihan mereka di bulan puasa itu dhaif.
Usut punya usut, istimewanya bulan Ramadhan ternyata mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, baik perilaku di dunia maya maupun di dunia nyata. Menurut Ariani Dwijayanti, Industry Analyst Google Indonesia, pada Ramadhan 2017, pertumbuhan pencarian aktivitas religi di Google naik hingga 34% (Tribunnews.com, 2018).
Itu baru aktivitas googling-googling di dunia maya. Bagaimana spending habit mereka selama Ramadhan di dunia nyata? Siapa tahu mereka cuma googling tanpa tindak lanjut atau googling untuk kebutuhan eksis edisi Ramadhan di social media. Siapa tahu yakan.
Ternyata, kalau manut dengan data yang dimiliki Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), saat Ramadhan, konsumsi masyarakat Indonesia naik 20 - 30%. Menurut Ibu Netty Heryawan, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat, salah satu alasannya karena banyak orang menyetok kebutuhan untuk buka puasa bersama, santunan anak yatim dan aktivitas kebaikan lainnya (Republika.co.id, 2016). Btw, kenapa lu tiba-tiba mengutip pendapat istrinya Aher deh, Lil? Ya maklum, saya kan mengais data dari Republika. Ehe.
Data-data di atas menunjukkan bahwa tingkat relijiusitas masyarakat Indonesia masih terbilang tinggi. Terlihat dari adanya respon berupa perilaku positif yang signifikan saat datang bulan suci Ramadhan. Anyway, relijiusitas tidak selalu menandakan tingkat keshalihan seseorang ya. Relijius ya relijius, bersifat keagamaan. Kalau keshalihan lebih personal, menyangkut ketaatan antara kita kepada Rabb kita.
Selain itu, altruisme masyarakat kita juga tinggi, hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya aktivitas 'berbagi' yang muncul selama Ramadhan, misalnya makin banyak orang berdonasi, ngadain acara bukber di panti, sahur on the road, dll. Salah satu aktivitas kebaikan yang juga lumrah dilakukan masyarakat Indonesia adalah sedekah ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa (mon maap saya belum punya data pendukungnya). Sayangnya, dorongan altruisme untuk berbagi tadi tidak dibarengi dengan pemikiran kritis tentang kepada siapa rizki kita disalurkan. Emang dasar orang Indonesia mudah merasa iba, kita pun sangat mudah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas asal-usul dan pertanggungjawabannya, misalnya ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa tak berizin atau bersertifikat yang suka datang ke kantor-kantor atau rumah-rumah.
Sebenarnya, yang ingin saya garisbawahi disini bukan legalitas lembaga tersebut. Saya sendiri kurang paham, apakah ada dalil yang menyebutkan bahwa saat kita berzakat, infaq atau shadaqah, tanggung jawab kita sampai pada memastikan bahwa lembaga pengelola benar-benar terpercaya. Atau, apakah tanggung jawab kita selesai ketika kewajiban untuk menyisihkan sebagian rizki kita tertunaikan, tanpa perlu memastikan bagaimana lembaga penyalur tersebut mengelola dana kita.
Tapi, yang mau saya bahas adalah bagaimana biasanya jurus-jurus marketing dilancarkan oleh Mbak-Mbak peminta donasi. Entah kenapa, yang saya rasa, ketika menawarkan kesempatan untuk berdonasi, Mbak-Mbak tersebut lebih sering membicarakan tentang kemungkinan pahala-pahala yang akan kita dulang dari curahan doa anak panti yang kita bantu. Tapi, mereka sedikit sekali bicara untuk apa uang tersebut akan mereka gunakan, program apa yang akan dijalankan, bagaimana pertanggungjawabannya kepada kita, dan sebagainya.
"Ayo, Mbak, shodaqoh-nya, Mbak, untuk adek-adek yatim di panti. InsyaAllah doa mereka bisa membawa kita masuk sorga."
Well, nggak salah juga sih menggunakan jurus 'dahsyatnya doa anak yatim' untuk mengajak lebih banyak orang bersedekah. Kan memang faktanya doa mereka demikian luar biasa. Tapi, kalau terus-menerus narasi itu yang diulang, bisa-bisa disorientasi kita. Saya pernah baca, tapi lupa dimana maapkeun, bahwa zakat, infaq dan shadaqah yang ada di dalam Islam sebenarnya merupakan sebuah skema jaminan sosial bagi umat, agar, masyarakat yang terlahir dalam berbagai kelas ini, melalui zakat, infaq dan shadaqah bisa saling menjamin pemenuhan kebutuhan dasarnya. Semacam, yang kaya ikut menjamin hajat hidupnya si miskin melalui uang yang mereka sisihkan. Dengan begitu, jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin, yang memicu kecemburuan sosial, bisa teratasi. Di sisi lain, martabat si miskin pun terjaga karena mereka tak perlu meminta-minta. Makanya, sayang sekali jika tujuan semulia itu dikerdilkan dengan dominasi narasi tentang keberkahan doa anak yatim. Walaupun, sekali lagi, nggak ada salahnya juga sih mengharap keberkahan.
Lebih jauh, menurut analisis ecek-ecek saya, dominannya penggunaan narasi doa anak yatim yang kerap digunakan lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah untuk menarik masyarakat merupakan gambaran bahwa 'doa anak yatim' telah menjadi komoditas, dengan kata lain mengalami proses komodifikasi. Seingat saya waktu masih kuliah, komodifikasi adalah sebuah proses ketika sesuatu hal yang tidak memiliki kaitan dengan pasar, tidak bernilai jual, menjadi sebuah komoditas atau barang dagangan. Kalau menurut Om Marx, Kapitalisme adalah makhluk yang paling bertanggung jawab atas fenomena komodifikasi ini. Kapitalisme membuat segalanya mungkin diperjualbelikan. Makanya, sesuatu yang awalnya tidak memiliki nilai tukar pun dipaksa untuk memiliki label harga.
Lalu, apa yang salah dari komodifikasi doa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah? Bukankah mengharap keberkahan dari doa yang mereka haturkan adalah sah-sah saja? Bukankah naif jika beribadah tanpa mengharap berkah? Nah, itu dia. Kalau di Islam kan memang kita dianjurkan untuk selalu beribadah dalam takut (khauf) dan harap (rajaa'). Tapi, harap yang gimana dulu nih?
Ketika banyak lembaga zakat, infaq dan shadaqah mengajak untuk berdonasi dengan mengiming-imingi doa anak yatim yang mereka bina, lalu kita memberikan respon dengan berdonasi karena doa tersebut, maka secara tidak langsung kita telah mengaminkan proses ini sebagai sesuatu yang transaksional, 'lu jual gue beli'. Ke depan, mereka akan melihat betapa doa anak yatim binaan mereka ampuh untuk mengajak orang berdonasi. Sehingga, bukan tidak mungkin, akan dibangun narasi-narasi lain tentang si anak yatim yang bisa menarik pasar. Akhirnya, tanpa disadari, ajakan untuk berzakat, infaq dan shadaqah menjadi ajang kontestasi anak yatim mana yang paling makbul doanya, bukan lagi soal program-program mana yang paling efektif untuk pengembangan skill mereka, fasilitas apa yang butuh dibangun untuk pengembangan kapasitas mereka, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, yang terjadi adalah objektifikasi anak yatim, dimana anak yatim menjadi objek, barang atau alat pemenuhan kebutuhan orang lain.
Terus, solusinya apa dongs? Di jaman seperti ini, kita sudah tidak bisa lagi menghindar dari paparan fenomena komodifikasi. Apalagi, komodifikasi yang berhubungan dengan isu agama, mengingat kita tinggal di negara mayoritas muslim yang rasa-rasanya cukup relijius (ingat, relijius tidak selalu berhubungan dengan keshalihan). Apapun yang berbau Islam, berlabel halal dan syariah menjadi industri, dari industri pakaian muslim, bank-bank syariah, acara reliji di televisi, sampai yang selalu membuat saya geli, detergen dengan label halal nan Islami.
Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak dalam praktik komodifikasi, kita harus selalu meluruskan niat pada setiap aktivitas kebaikan yang kita lakukan, semata-mata untuk mengharap ridha Allah, bukan karena tren, ikut-ikutan atau karena harapan mendapatkan balasan duniawi. Selain itu, selalu belajar untuk melihat bigger picture dari setiap hal, khususnya dalam hal beragama. Jangan lupa, agama bukan seperangkat ilmu praktis, yang ilmunya bisa dicomot sana-sini. Setiap ajaran dalam agama punya konteks, maka kita harus memahami konteks tersebut secara utuh agar tidak salah kaprah. Kalau kata Bang Akhyar, "Agama yang dipahami dan dijalani tanpa keutuhan hanya membuat kita melaju ke arah yang keliru".
Tulisan di awal Ramadhan yang baru sempat diselesaikan.
Selamat meresapi Ramadhan yang tinggal sisa-sisa. Semoga, semakin mendekati akhir, kita tidak hanya manis di bibir. Katanya rindu, tapi menyiakan waktu. Bismillah.
Referensi
http://www.tribunnews.com/techno/2018/05/04/lima-produk-paling-dicari-orang-indonesia-selama-ramadan-berdasar-hasil-survei-google
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/06/22/o95s43382-konsumsi-masyarakat-saat-ramadhan-naik-hingga-30-persen
Label:
imaji,
moment-catcher,
nah!,
nglantur,
opini,
questionmark,
random,
tulisanserius
Montag, 14. Mai 2018
Patah Hati
Kalau dipikir-pikir, selama 25 tahun hidup, saya belum pernah benar-benar patah hati. Setidaknya, dalam konteks sempit, patah hati dengan seorang laki-laki.
Tapi, kalau boleh jujur, suatu kali saya pernah patah hati dengan seorang sahabat perempuan. Err, it's not that i was falling in love with her ya (ku masih suka laki-laki). Or we fell in love with the same guy. Duh, that's too drama.
Jadi begini ceritanya.
Bagi orang-orang yang pertama mengenal saya, mereka mungkin akan berpikir bahwa saya adalah orang yang sangat mudah mingle dengan orang baru. Atau saya sangat mudah mencari teman. Atau teman saya banyak. Atau saya tidak pernah kesepian.
Sayangnya, walaupun saya mengakui bahwa saya memiliki kecenderungan ekstrovert ekstrim, asumsi-asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahwa saya sangat mudah bergaul dengan orang baru, ya. Bcz, well, i have to say, i'm so good in cari-cari topik pembicaraan. Jadi, orang seringkali merasa 'nyambung' ngobrol dengan saya. Tapi, duh, mau sampai kapan terus-terusan struggling nyari bahan obrolan? It's so exhausting.
At the end, you have to admit that you cant get along with all of your friends. Semacam seleksi alam. Pada akhirnya, mereka yang bertahan untuk menjadi temanmu, yang komunikasinya masih berlanjut walau kalian sudah jarang bertemu, adalah mereka yang memang satu frekuensi denganmu. They who by nature share the same thoughts with you. Dan susah banget men ketemu orang yang kayak gitu. Itulah kenapa, saya yang ekstrovert ini tumbuh sebagai orang yang tertutup dan tidak punya banyak teman dekat.
Tapi, kalau sekarang kamu tanya saya, apa saya punya teman dekat, i definitely can mention one. Dia adalah teman bimbel saya waktu SMA, perempuan lho. Kami berasal dari sekolah yang berbeda. Pada masa-masa awal kami berkenalan, saya dekat dengan sahabatnya yang juga mengikuti kelas bimbel yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, dia justru semakin jauh dengan sahabatnya dan saya semakin dekat dengannya.
Persahabatan kami berlanjut hingga kami kuliah. Kebetulan kami masuk ke universitas yang sama, tapi fakultas berbeda. Saya sering main ke fakultasnya, begitu pula sebaliknya. Apalagi, salah satu teman jurusan saya juga merupakan teman dekatnya saat SMA. Intinya, kami bersahabat dekat. Walaupun kami tidak setiap hari berkomunikasi, tapi tidak pernah ada hal penting yang lupa kami bagi. Dia bahkan menjadi satu-satunya teman di Jakarta yang saya kabari ketika ibu saya meninggal dunia.
Seiring dengan fase hidup yang kami jalani, persahabatan kami pun mendewasa. Beberapa ketidakcocokan mulai terasa. Keributan-keributan kecil sering terjadi. Jujur, saya sempat melewati momen-momen dimana saya tidak ingin posisi saya sebagai sahabatnya digantikan oleh orang lain. Ya, seposesif itu. Tapi, dari sana saya belajar untuk menurunkan ego. Saya belajar untuk menghormati wilayah personal seseorang yang tidak bisa saya intervensi. Saya yang cenderung cuek, belajar untuk bertanya kabar lebih dulu. Saya yang cerewet dan banyak omong, belajar untuk mendengar tanpa terdistrak sedikit pun. Aih, berasa pacaran yes. Tapi, begitu lah, selayaknya hubungan pacaran, persahabatan juga harus di-maintain agar tetap terjaga sampai jannah-Nya. Aamiin. Lagipula, lumayan lah ini untuk modal saya menjalani hubungan dengan pasangan saat berumah tangga kelak. Wkwk.
Kini, kami tidak lagi intens berkomunikasi seperti dulu, apalagi dengan kondisi long distance friendship seperti sekarang. Tapi, kami masih sering terlibat dalam diskusi-diskusi kecil ala ala orang dewasa, kalau nggak via telfon, via whastapp, via instagram, via LINE atau saluran lain yang memungkinkan kami berkomunikasi.
Sebelum akhirnya saya pindah domisili ke Jawa Timur, dia memberikan saya kejutan perpisahan yang terasa sangat getir. Dia didiagnosis dokter dengan sebuah penyakit yang membuat imunnya tidak mampu mengenal mana teman mana lawan di dalam tubuhnya. Sehingga, ia harus menjalani sebuah operasi untuk mengangkat organ yang memproduksi imun tersebut. Akibatnya, kini dia tidak bisa terlalu lelah, tidak bisa terpapar debu dan segala hal lain yang membutuhkan imunnya bekerja.
Sepanjang perjalanan sakitnya, saya hanya dua kali menemani dia di rumah sakit. Pertama, saat kepulangan saya dari Sumba. Dia masih di-opname setelah operasinya dan saya harus menuntaskan rindu dengan air mata yang saya bendung kuat-kuat. Kedua, saat dia kontrol rutin. Saya menemani dia menunggu antrian. Selebihnya, karena keputusan untuk pindah ke Jawa Timur ini, saya jadi tidak pernah ada di sisinya ketika dia harus menghadapi rumah sakit, dokter dan segala diagnosis-diagnosis intimidatif itu.
Kemarin, sebelum saya pulang ke Jakarta, saya kabari dia. Berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama seperti yang dulu-dulu barang sebentar. Entah dengan numpang makan nasi padang di rumahnya, copy film sebanyak-banyaknya atau sekadar leyeh-leyeh sambil bergosip di sofa rumahnya.
Tapi, jawaban darinya sungguh membuat hati pilu. Dia bilang, siang sebelumnya dia sesak napas di kantor, lalu dibawa ke rumah sakit dan tidak boleh pulang oleh dokter. Saya sedih sekaligus sebal. Dia tahu saya trauma dengan rumah sakit, tapi kenapa kami harus sering-sering bertemu di sana? Jawaban darinya sungguh membuat saya tersentak, bahwa ini semua adalah ketentuan-Nya. Kali ini, saya tidak membendung tangis saya. Toh, dia nggak bisa liat juga. Saya tanyakan padanya, dia mau apa untuk saya bawakan ke rumah sakit. Dia menyebutkan beberapa hal.
Sampai di Jakarta, saya atur rencana untuk mengunjunginya di hari kedua saya disana. Pagi sebelum berangkat, saya tanyakan nomor kamarnya. Tapi, tidak ada jawaban. Saya sungguh-sungguh menyesal karena saat itu saya hanya menanti chat dibalas. Tidak ada upaya untuk menelfon dirinya atau mengontak keluarganya. Dengan alasan yang sangat nonsense--takutnya dia sudah pulang ke rumah, saya tidak beranjak ke rumah sakit. Sampai akhirnya, dia membalas pesan saya pukul 17.15. Tidak mungkin lagi kesana. Jakarta macet parah karena libur nasional, sementara saya harus mengejar kereta ke Kebumen pukul 19.00.
Akhirnya, saya pun meninggalkan Jakarta. Tanpa rasa bersalah, tanpa pamit. Sekitar tengah malam, teman dekat kami berdua, Putu namanya, menghubungi saya, mengabarkan saya bahwa sahabat saya itu masuk rumah sakit. Ia kini menginap di rumah sakit menunggui sahabat saya itu. Saya jawab bahwa saya mengetahuinya dan saya sudah berjanji akan mengunjunginya, tetapi tidak jadi karena dia tidak membalas pesan saya.
Teman saya mengatakan bahwa dia baru saja menjalani Plasmapheresis. Mungkin itu yang membuat dia tidak pegang HP seharian. Seketika perut saya langsung nyeri. Saya mengutuki diri saya yang dengan bodohnya mengharap balasan pesan dari orang sakit. Bodoh, bodoh bodoh. Kenapa saya begitu bodoh dengan tidak jadi pergi ke rumah sakit cuma karena dia tidak membalas pesan saya? Kenapa saya tidak nekat pergi ke rumah sakit saja? Toh, kalau ternyata dia sudah pulang, saya bisa menyusul ke rumahnya. Bodoh.
Detik itu saya merasa patah hati. Entah ini definisi patah hati yang lazim diucapkan kebanyakan orang atau tidak. Yang pasti, saya merasa saya tidak lagi pantas menjadi sahabatnya. Saya terlalu egois dengan pemikiran-pemikiran saya sendiri. Saya terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi pribadi. Agak lebay ya. Tapi, kalau boleh jujur, ini bukan kali pertama saya berlaku demikian. Dia sering bertanya atas hal-hal penting yang tidak saya ceritakan padanya, saya menjawab seolah kesibukannya lah yang membuat saya berlaku demikian. Padahal, di banyak kesempatan, saya yang tidak menyempatkan waktu, saya yang sibuk sendiri. Saya tidak pernah benar-benar ada di sampingnya ketika dia butuh saya, tapi saya menuntut sebaliknya.
Kini, yang bisa saya lakukan hanya melangitkan doa. Semoga sakit yang dideritanya menjadi penggugur dosa.
Tapi, kalau boleh jujur, suatu kali saya pernah patah hati dengan seorang sahabat perempuan. Err, it's not that i was falling in love with her ya (ku masih suka laki-laki). Or we fell in love with the same guy. Duh, that's too drama.
Jadi begini ceritanya.
Bagi orang-orang yang pertama mengenal saya, mereka mungkin akan berpikir bahwa saya adalah orang yang sangat mudah mingle dengan orang baru. Atau saya sangat mudah mencari teman. Atau teman saya banyak. Atau saya tidak pernah kesepian.
Sayangnya, walaupun saya mengakui bahwa saya memiliki kecenderungan ekstrovert ekstrim, asumsi-asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahwa saya sangat mudah bergaul dengan orang baru, ya. Bcz, well, i have to say, i'm so good in cari-cari topik pembicaraan. Jadi, orang seringkali merasa 'nyambung' ngobrol dengan saya. Tapi, duh, mau sampai kapan terus-terusan struggling nyari bahan obrolan? It's so exhausting.
At the end, you have to admit that you cant get along with all of your friends. Semacam seleksi alam. Pada akhirnya, mereka yang bertahan untuk menjadi temanmu, yang komunikasinya masih berlanjut walau kalian sudah jarang bertemu, adalah mereka yang memang satu frekuensi denganmu. They who by nature share the same thoughts with you. Dan susah banget men ketemu orang yang kayak gitu. Itulah kenapa, saya yang ekstrovert ini tumbuh sebagai orang yang tertutup dan tidak punya banyak teman dekat.
Tapi, kalau sekarang kamu tanya saya, apa saya punya teman dekat, i definitely can mention one. Dia adalah teman bimbel saya waktu SMA, perempuan lho. Kami berasal dari sekolah yang berbeda. Pada masa-masa awal kami berkenalan, saya dekat dengan sahabatnya yang juga mengikuti kelas bimbel yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, dia justru semakin jauh dengan sahabatnya dan saya semakin dekat dengannya.
Persahabatan kami berlanjut hingga kami kuliah. Kebetulan kami masuk ke universitas yang sama, tapi fakultas berbeda. Saya sering main ke fakultasnya, begitu pula sebaliknya. Apalagi, salah satu teman jurusan saya juga merupakan teman dekatnya saat SMA. Intinya, kami bersahabat dekat. Walaupun kami tidak setiap hari berkomunikasi, tapi tidak pernah ada hal penting yang lupa kami bagi. Dia bahkan menjadi satu-satunya teman di Jakarta yang saya kabari ketika ibu saya meninggal dunia.
Seiring dengan fase hidup yang kami jalani, persahabatan kami pun mendewasa. Beberapa ketidakcocokan mulai terasa. Keributan-keributan kecil sering terjadi. Jujur, saya sempat melewati momen-momen dimana saya tidak ingin posisi saya sebagai sahabatnya digantikan oleh orang lain. Ya, seposesif itu. Tapi, dari sana saya belajar untuk menurunkan ego. Saya belajar untuk menghormati wilayah personal seseorang yang tidak bisa saya intervensi. Saya yang cenderung cuek, belajar untuk bertanya kabar lebih dulu. Saya yang cerewet dan banyak omong, belajar untuk mendengar tanpa terdistrak sedikit pun. Aih, berasa pacaran yes. Tapi, begitu lah, selayaknya hubungan pacaran, persahabatan juga harus di-maintain agar tetap terjaga sampai jannah-Nya. Aamiin. Lagipula, lumayan lah ini untuk modal saya menjalani hubungan dengan pasangan saat berumah tangga kelak. Wkwk.
Kini, kami tidak lagi intens berkomunikasi seperti dulu, apalagi dengan kondisi long distance friendship seperti sekarang. Tapi, kami masih sering terlibat dalam diskusi-diskusi kecil ala ala orang dewasa, kalau nggak via telfon, via whastapp, via instagram, via LINE atau saluran lain yang memungkinkan kami berkomunikasi.
Sebelum akhirnya saya pindah domisili ke Jawa Timur, dia memberikan saya kejutan perpisahan yang terasa sangat getir. Dia didiagnosis dokter dengan sebuah penyakit yang membuat imunnya tidak mampu mengenal mana teman mana lawan di dalam tubuhnya. Sehingga, ia harus menjalani sebuah operasi untuk mengangkat organ yang memproduksi imun tersebut. Akibatnya, kini dia tidak bisa terlalu lelah, tidak bisa terpapar debu dan segala hal lain yang membutuhkan imunnya bekerja.
Sepanjang perjalanan sakitnya, saya hanya dua kali menemani dia di rumah sakit. Pertama, saat kepulangan saya dari Sumba. Dia masih di-opname setelah operasinya dan saya harus menuntaskan rindu dengan air mata yang saya bendung kuat-kuat. Kedua, saat dia kontrol rutin. Saya menemani dia menunggu antrian. Selebihnya, karena keputusan untuk pindah ke Jawa Timur ini, saya jadi tidak pernah ada di sisinya ketika dia harus menghadapi rumah sakit, dokter dan segala diagnosis-diagnosis intimidatif itu.
Kemarin, sebelum saya pulang ke Jakarta, saya kabari dia. Berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama seperti yang dulu-dulu barang sebentar. Entah dengan numpang makan nasi padang di rumahnya, copy film sebanyak-banyaknya atau sekadar leyeh-leyeh sambil bergosip di sofa rumahnya.
Tapi, jawaban darinya sungguh membuat hati pilu. Dia bilang, siang sebelumnya dia sesak napas di kantor, lalu dibawa ke rumah sakit dan tidak boleh pulang oleh dokter. Saya sedih sekaligus sebal. Dia tahu saya trauma dengan rumah sakit, tapi kenapa kami harus sering-sering bertemu di sana? Jawaban darinya sungguh membuat saya tersentak, bahwa ini semua adalah ketentuan-Nya. Kali ini, saya tidak membendung tangis saya. Toh, dia nggak bisa liat juga. Saya tanyakan padanya, dia mau apa untuk saya bawakan ke rumah sakit. Dia menyebutkan beberapa hal.
Sampai di Jakarta, saya atur rencana untuk mengunjunginya di hari kedua saya disana. Pagi sebelum berangkat, saya tanyakan nomor kamarnya. Tapi, tidak ada jawaban. Saya sungguh-sungguh menyesal karena saat itu saya hanya menanti chat dibalas. Tidak ada upaya untuk menelfon dirinya atau mengontak keluarganya. Dengan alasan yang sangat nonsense--takutnya dia sudah pulang ke rumah, saya tidak beranjak ke rumah sakit. Sampai akhirnya, dia membalas pesan saya pukul 17.15. Tidak mungkin lagi kesana. Jakarta macet parah karena libur nasional, sementara saya harus mengejar kereta ke Kebumen pukul 19.00.
Akhirnya, saya pun meninggalkan Jakarta. Tanpa rasa bersalah, tanpa pamit. Sekitar tengah malam, teman dekat kami berdua, Putu namanya, menghubungi saya, mengabarkan saya bahwa sahabat saya itu masuk rumah sakit. Ia kini menginap di rumah sakit menunggui sahabat saya itu. Saya jawab bahwa saya mengetahuinya dan saya sudah berjanji akan mengunjunginya, tetapi tidak jadi karena dia tidak membalas pesan saya.
Teman saya mengatakan bahwa dia baru saja menjalani Plasmapheresis. Mungkin itu yang membuat dia tidak pegang HP seharian. Seketika perut saya langsung nyeri. Saya mengutuki diri saya yang dengan bodohnya mengharap balasan pesan dari orang sakit. Bodoh, bodoh bodoh. Kenapa saya begitu bodoh dengan tidak jadi pergi ke rumah sakit cuma karena dia tidak membalas pesan saya? Kenapa saya tidak nekat pergi ke rumah sakit saja? Toh, kalau ternyata dia sudah pulang, saya bisa menyusul ke rumahnya. Bodoh.
Detik itu saya merasa patah hati. Entah ini definisi patah hati yang lazim diucapkan kebanyakan orang atau tidak. Yang pasti, saya merasa saya tidak lagi pantas menjadi sahabatnya. Saya terlalu egois dengan pemikiran-pemikiran saya sendiri. Saya terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi pribadi. Agak lebay ya. Tapi, kalau boleh jujur, ini bukan kali pertama saya berlaku demikian. Dia sering bertanya atas hal-hal penting yang tidak saya ceritakan padanya, saya menjawab seolah kesibukannya lah yang membuat saya berlaku demikian. Padahal, di banyak kesempatan, saya yang tidak menyempatkan waktu, saya yang sibuk sendiri. Saya tidak pernah benar-benar ada di sampingnya ketika dia butuh saya, tapi saya menuntut sebaliknya.
Kini, yang bisa saya lakukan hanya melangitkan doa. Semoga sakit yang dideritanya menjadi penggugur dosa.
Saya, Dia dan Putu
Montag, 7. Mai 2018
Things I Don't Tell People about My IELTS Journey [Bagian Kedua]
Selanjutnya, sekitar awal bulan April 2017, saya pindah penempatan ke Nganjuk. Kertas target yang sama masih saya bawa dan saya tempel di dinding kosan yang baru. Aktivitas belajar IELTS saya pun semakin rutin, walaupun belum ada jadwal khusus dan materi yang dipelajari masih dipilah sesuka hati, bukan berdasarkan kebutuhan.
Saat di Nganjuk, saya juga membuka kelas belajar bahasa Inggris gratis bagi anak-anak SMA di sekitar kosan. Well, saya meyakini bahwa mengajar adalah salah satu cara belajar paling efektif. Lagi pula, saya juga bosan belajar sendiri, jadi ini salah satu cara mencari teman seperjuangan belajar bahasa Inggris. Ehe.
Kelas diadakan seminggu dua kali di kosan saya, setiap hari Jumat sore dan Sabtu pagi. Seru sekali, kosan saya jadi selalu rame. Kenalan saya juga jadi banyak, anak SMA semua pula isinya. Saya merasa lebih muda dari usia sesungguhnya.
Sayangnya, waktu lagi seru-serunya dan deket-deketnya sama dedek-dedek gemesh di Nganjuk, saya harus pindah penempatan. Saat itu, saya kembali lagi ke Madiun. Fokus saya pun agak bergeser, bukan lagi memikirkan IELTS dan S2, tapi merintis SiMaggie. Tiap weekend pasti bolak-balik ke Surabaya untuk ikutan program 1000 Startup Digital.
Setelah satu bulan di Madiun, saya pindah penempatan lagi ke Kediri. Karena udah lama nggak mikir soal IELTS, saya pun mulai nggak pede lagi. Tapi, saat itu saya cukup excited karena daerah penempatan saya dekat dengan Kampung Inggris yang ada di Pare, Kediri. Jadilah saya mulai cari-cari info les bahasa Inggris di Kampung Inggris tersebut. Sayangnya, setelah banyak googling dan tanya sana-sini, saya dapat info kalau les bahasa Inggris di Pare cuma ada di weekdays. Saya nggak nemu sama sekali kelas yang bukanya setiap weekend. Nggak memungkinkan banget buat saya yang kerja full time saat weekdays. Jadilah saya patah hati karena lagi-lagi nggak bisa ikutan les persiapan IELTS. Apa boleh buat, satu-satunya pilihan adalah mempersiapkan IELTS secara mandiri. Tapi, tetep, penyakit nggak istiqomah-nya muncul. Kadang belajar, lebih sering nggak.
Lalu, Desember 2017 akhir, saya pindah penempatan ke Tulungagung. Duh, memasuki tahun baru, saya semakin panik dengan mimpi-mimpi saya. Di lain sisi, persiapan saya tidak kunjung menunjukkan progress. Sampai akhirnya, di Januari tahun 2018, saya malah nekat daftar tes IELTS di bulan yang sama, tepatnya tanggal 20 Januari 2018 di Surabaya. Tanpa pikir panjang, uang pendaftaran saya transfer dan yaks seketika saya tidak punya pilihan untuk mundur atau santai-santai lagi. Waktu yang saya punya tinggal 3 minggu menuju hari H tes.
Saya tidak paham mengapa saya bisa-bisanya nekat mempertaruhkan uang dengan nominal yang tidak sedikit tersebut untuk tes IELTS. Padahal, saya tidak pernah benar-benar belajar IELTS sebagai modal untuk memenangkan pertaruhan tersebut. Well, mungkin ini dipengaruhi oleh obsesi saya terhadap kisah heroik Thariq bin Ziyad yang terkenal itu. Ketika ia memutuskan membakar kapalnya untuk menghilangkan pilihan mundur dari peperangan saat menuju Andalusia. Agar tidak ada jalan lain selain menghadapi pertarungan yang terjadi di depan mata. Walaupun, beberapa ulama sejarah melemahkan kisah tersebut dan menyatakannya sebagai kisah fiktif, tapi kisah tersebut terlanjur membekas di kepala saya.
Di sisa waktu yang ada, saya kebut latihan soal-soal yang ada di print out ebook IELTS Cambridge yang sudah sejak dulu saya bawa kemana-mana. Saya banyak membaca blog-blog yang menjelaskan secara detil tentang hal-hal yang diujikan dalam IELTS. Saya juga rajin menonton channel-channel Youtube tentang IELTS, TEDTalks dan berbagai video lain yang berbahasa Inggris yang menjadi teman baik saya dalam mempersiapkan tes, utamanya untuk section writing, speaking dan yang pasti listening. Lebih jauh soal bagaimana trik berlatih saya akan dijelaskan pada tulisan terpisah ya!
Seminggu terakhir menjelang tes IELTS, saya sudah tidak bisa konsentrasi dalam belajar. Saya sakit demam, pusing dan mules karena nervous. Setiap saya cerita ke Bapak tentang kondisi saya yang semakin mengkhawatirkan menjelang tes, beliau hanya menjawab enteng, "Udah biasa itu. Kalau Kakak mau tes, pasti sebelumnya Kakak sakit dulu." Tetot, bener juga sih kata Bapak. Ini udah kebiasaan saya sejak SD. Sebelum saya tes, ujian atau lomba, pasti saya sakit dulu. Huh, ternyata kebiasaan itu terbawa ya sampai saya sebesar sekarang.
Di hari Jumat tanggal 19 Januari 2018, saya masih masuk kantor. Sambil menunggu batas absen finger print sore pukul 17.00 WIB, saya beres-beres dan pamit ke teman-teman kantor cabang. Nggak lupa juga minta doa ke mereka supaya tes yang akan saya jalani diberikan kelancaran.
Tepat pukul 17.00 WIB, saya absen dan order Grab menuju ke perempatan jalan besar untuk menunggu Bus Harapan Jaya tujuan Surabaya. Perjalanan Surabaya - Tulungagung memakan waktu sekitar 5 jam. Di bus, saya sudah nggak bisa belajar karena mual dan ngantuk, tapi mau tidur nggak tenang rasanya.
Saya tiba di Terminal Bungurasih Surabaya sekitar jam 10 malam. Beruntungnya, Terminal Bungurasih adalah terminal besar, jadi masih ramai hingga larut malam. Saya pun segera order Go-Jek untuk mengantar saya ke kosan Hanum, karena saya akan menginap di sana. Ya Allah, semoga Engkau senantiasa memudahkan urusan Hanum, sebagaimana ia memudahkan urusan hamba-Mu ini.
Saya tiba di kosan Hanum sekitar jam setengah 11 malam. Saya mandi, bersih-bersih, terus ngobrol sama Hanum sampai jam setengah 12 malam. Saya sempat buka Youtube untuk mengejar materi writing yang belum sempat saya tonton (tetep yes deadliner). Tapi, saya sudah nggak bisa fokus dan ngantuk. Jadi, saya bobok saja.
Peserta tes diminta untuk hadir di lokasi tes pukul 08.00 pagi. Tapi, Hanum mau pulang ke Kediri dan sudah dijemput temannya sekitar jam 06.00 pagi. Jadi lah saya ikutan cabut dari kosan Hanum dan cuss langsung ke IALF, lokasi tes IELTS di Surabaya. Sampai di sana, suasana masih sangat sepi. IALF masih tutup, tetapi satu dua peserta tes sudah ada yang menunggu di lobi. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencari sarapan terlebih dahulu di pinggir jalan. Alhamdulillah, ada warung tenda yang menjual nasi bungkus di seberang IALF. Saya beli dua bungkus sekaligus, satu untuk sarapan, satu lagi untuk persiapan makan siang, agar saya nggak perlu repot-repot keluar cari makan lagi.
Sekitar jam 08.00, peserta tes diarahkan untuk antre menitipkan tas. Barang yang boleh dibawa hanya tempat minum dan ID Card. Setelah itu, satu demi satu peserta naik ke lantai dua untuk masuk ke ruang tes. Di depan ruangan, kami diminta untuk antre lagi, kali ini untuk pengambilan foto setengah badan, sidik jari dan pemeriksaan pakaian yang kami kenakan. Jadi, kalau masih ada barang-barang yang seharusnya tidak dibawa, harus langsung dititipkan. Termasuk alat tulis yang saya bawa juga harus dititipkan, karena setiap peserta akan dipinjamkan pensil serta penghapus di ruangan tes.
Tepat pukul 09.00, tes dimulai. Dibuka dengan listening, lalu reading, terakhir writing. Luar biasa jackpot, saya mendapatkan soal tes writing yang semalam belum sempat saya pelajari. Duh, Gusti. Saya mencoba mengerjakan sebisanya. Keseluruhan tes tertulis selesai sekitar pukul 12.00 WIB. Kami keluar ruangan untuk menanti jadwal speaking. Saya sendiri mendapat jadwal speaking pukul 17.00 dengan interviewer yang, dari namanya, sepertinya Chinese.
Sambil menunggu, saya makan nasi bungkus yang pagi tadi saya beli. Sambil makan, saya mengobrol dengan ibu-ibu yang sejak awal sudah saya tandai kehadirannya. Kerudungnya menjulur lebar, baju gamisnya longgar, wajahnya bareface tanpa make up sama sekali. Namanya Mba Listi. Seluruh praduga saya saat pertama kali melihat kehadirannya salah. Bahwa sepertinya kala itu adalah tes IELTS-nya yang pertama, bahwa sepertinya ia butuh IELTS score untuk melamar beasiswa master degree, bahwa toh kalau pun dia ingin melanjutkan S3, sepertinya S2-nya ia jalani di dalam negeri. Ternyata, itu salah semua. Faktanya, ia adalah seorang dosen di sebuah universitas yang ada di Kalimantan, alumni program master degree di Michigan State University. IELTS-nya kali itu bukan yang pertama, karena sekian tahun sebelumnya, ia pernah menjalani tes serupa untuk ikhtiarnya mendapatkan beasiswa kuliah S2 di luar negeri. Sampai akhirnya, Allah memuarakan takdirnya sebagai awardee Beasiswa Prestasi. Maasya Allah. Jangan pernah menilai orang dari penampilannya, Lil!
Setelah banyak mengobrol, Mba Listi pamit karena akan pulang sebentar ke rumah saudaranya di Surabaya. Makan siang saya pun sudah selesai dan saya lanjut ke musholla untuk bobok siang. Ya, kamu nggak salah baca, saya mau bobok siang. Ini serius. Saat itu, pusing kepala saya kampuh lagi, badan saya pun demam lagi. Setelah sholat dzuhur, saya pun merebahkan badan. Untung musholla-nya sepi.
Tidak lama setelah itu, datang seorang ibu yang juga peserta tes. Beliau adalah dosen FKG di salah satu universitas di Surabaya. Dengan memegang buku teks, dia melatih kemampuan speaking-nya. Kemudian, datang pula mbak-mbak yang baru saja menyelesaikan tes speaking-nya. Ia menceritakan pengalaman tes speaking-nya yang tidak begitu memuaskan. Interviewer-nya berwajah intimidatif, bicaranya tidak mudah dipahami, serta topik diskusinya terlalu spesifik dan tidak umum--tentang periode sejarah. Alamak, dia bikin saya tambah mules.
Alhamdulillah-nya, karena saya sudah tidak lagi memiliki energi untuk panik, saya hanya melempar senyum semangat kepadanya, sambil terus memberikan afirmasi positif kepada diri saya sendiri bahwa hal negatif yang terjadi padanya, bisa jadi sebaliknya pada saya.
Sekitar pukul 4 sore, saya menguat-nguatkan diri untuk berjalan keluar musholla. Dengan sedikit tertatih,asik dah drama dikit, saya naik tangga dan memasuki ruang tunggu tes. Di sana, saya sempatkan untuk sekali lagi berdoa, saya pasrahkan hasil dari segala ikhtiar yang saya lakukan. Allah yang paling tau apa yang terbaik bagi saya, kalau pun toh nilai saya kelak tidak mencukupi, Allah pasti memberikan rezeki lebih untuk saya mendaftar tes lagi.
Setelah itu, saya juga membaca-baca beberapa artikel tentang tips speaking, siapa tau ada high level vocab yang bisa saya gunakan saat tes nanti. Sekitar jam 16.40, saya dipanggil untuk masuk ke ruangan tes. Waktu tes saya lebih cepat dari jadwal. Saya masuk ruangan dengan kondisi tangan dingin. Sudah biasa, kalau lagi deg-degan, tangan saya pasti dingin. Ruangan tes juga dingin ternyata, lengkap sudah ketegangan saat itu.
Saya menyalami si mas-mas interviewer dengan gerakan tangan yang meberikan kesan bahwa saya sangat antusias. Ternyata benar, beliau Chinese. Dia menanyakan kondisi saya, saya jawab jujur kalau saya sedang tidak enak badan but still okay for an interview. Saya pasang muka excited dan senyum manis meyakinkan, seolah saya sangat menantikan momen interview tersebut.
Saat interview berjalan, berbagai kekonyolan dan keajaiban terjadi bersamaan. Si interviewer membuka sesi speaking dengan omongan super duper cepat. Semacam dia sudah jutaan kali ngomong kalimat yang sama, makanya sudah sangat hafal di luar kepala. Kalau boleh jujur, saya nggak paham apa yang dia omongin, saya cuma modal manggut-manggut dan senyum lebar saja.
Masuk ke sesi short question, si interviewer menanyakan pertanyaan yang cukup umum dan wajar. Jadi, Alhamdulillah saya bisa handle dengan baik. Setelah itu, masuk ke sesi pertanyaan yang agak lebih panjang. Lagi-lagi, karena dia ngomongnya cepet, saya nggak paham. Beberapa kali pertanyaan dari dia saya jawab dengan pertanyaan juga, "Pardon me?". Tepatnya sih sampai tiga kali untuk sebuah pertanyaan yang sama. Hingga akhirnya, karena saya tetap nggak paham, saya jawab dengan sekenanya. Wajah si babang menunjukkan ekspresi nggak puas dan kecewa dengan jawaban saya. Entahlah. Yang pasti, sesi 15 menit interview itu terasa sangat cepat sekali. Tau-tau udah selesai dan saya pun keluar ruangan. Jujur, saya tidak puas dengan hasil interview saya tersebut. Banyak pertanyaan yang tidak saya jawab dengan jawaban terbaik. Tapi, ya sudah lah, saya tidak dapat berbuat apa pun selain berdoa semoga Allah berikan hasil terbaik sesuai kebutuhan. Selanjutnya, mari move on ke urusan saya yang lain.
Hari itu, selesai tes IELTS, saya masih belum bisa pulang ke Tulungagung. Saya sudah janji dengan Deva, salah satu dedek gemesh yang dulu pernah ikut kelas belajar bahasa Inggris saya di Nganjuk, untuk mengisi acara English Day yang diadakan organisasi rohis di sana. Saat itu, saya benar-benar tidak paham, energi dari mana yang membuat saya tetap mampu melanjutkan perjalanan kurang lebih 4 - 5 jam dengan bus ke Nganjuk setelah lama perjalanan yang sama antara Tulungagung - Surabaya di malam sebelumnya dan tes IELTS di hari setelahnya dengan tubuh yang hampir tumbang. Pikir saya saat itu cuma satu, surat Muhammad ayat 7. Rumus sederhana yang dulu selalu diulang-ulang murabbi saya.
Dengan niat tersebut, saya bulat-bulatkan tekad untuk berangkat ke Nganjuk, walau kala itu rasanya sudah ingin bilang ke Deva bahwa saya tidak jadi ke sana. Dengan energi yang tersisa, sekitar jam setengah 6 sore, saya bergegas ke Terminal Bungurasih dengan Go-Jek dan naik bus Mira jurusan Nganjuk - Yogyakarta. Sambil di jalan, saya terus merapalkan doa, biar Allah yang mampukan. Allah yang akan mampukan.
Sekitar jam 10 malam, saya tiba di rumah Deva. Karena sudah lama tidak bertemu, kami bertukar cerita hingga hari menjelang berganti. Maasya Allah, bangga sekali saya dengan adik-ketemu-besar saya satu ini. Di tengah kesibukannya mempersiapkan UN dan berbagai ujian masuk kampus, dia masih mau merepotkan dirinya untuk kegiatan rohis. Saya jadi malu dan belajar banyak sekali darinya. Insya Allah, apa yang ditanam di jalan Allah, balasannya langsung dari Allah ya, Dik :)
Setelah temu kangen, update kabar dan kenal-kenalan dengan keluarga Deva, kami bobok di kamar Deva yang mirip kamar-kamar di FTV. Lucu banget loh kamarnya Deva, posisinya di lantai mezzanine dan full dari kayu jati, berasa di film-film Korea gitu (Lah, kayak lo paham film Korea aja, Lil -___-).
Besoknya, pagi-pagi sekali, kami mempersiapkan materi English Day, mengatur tata letak venue acara yang berupa ruangan bekas cafe pinggir jalan milik orang tua Deva, mengangkut peralatan acara, dll. Duh, saya berasa jaman SMA dulu ngerjain proker, wkwk. Setelah itu, kami sarapan dengan menu yang sudah dibuatkan oleh mamah-nya Deva. Terima kasih, Tante!
Sekitar jam 8 pagi, satu per satu peserta acara yang masih berusia SMP dan SMA berdatangan. Acara dimulai sekitar pukul 9 pagi. Kami bermain games, belajar listening dengan mengisi lirik lagu, belajar tenses, latihan wudhu dengan hanya segelas air, dll. Seru sekali! Saya berasa muda lagi ih gaulnya sama anak-anak SMP dan SMA. Kegiatan selesai sekitar pukul 5 sore dengan kondisi suara saya habis karena teriak-teriak. Maklum, mic-nya tidak bekerja sama dengan baik, padahal lokasi kegiatan tepat di pinggir jalan besar yang banyak dilewati truk dan bus antarkota, jadilah saya teriak dikit-dikit yaks.
Setelah kegiatan selesai dan segala peralatan telah kami rapikan, Deva mengantar saya untuk naik bus menuju Tulungagung. Tapi, sebelum itu, kami makan bakso kesukaan kami berdua dulu dongs. Perjalanan menuju Tulungagung terasa sangat-sangat lama dan melelahkan, padahal cuma 3 jam perjalanan. Mungkin karena saya harus ganti bus di Kediri dengan energi yang benar-benar tinggal sisa-sisa. Apalagi besok pagi saya harus bekerja. Duh, rasanya saya ingin cepat-cepat sampai kosan dan bobok cantik.
Hari ini, kalau saya pikir-pikir lagi, sepertinya saya nggak akan kuat lah mengulang perjalanan panjang Tulungagung - Surabaya - Nganjuk - Tulungagung hanya dalam waktu 3 hari. Dimana, Alhamdulillah-nya, saya selalu hanya hampir tumbang, tidak pernah benar-benar jatuh sakit yang mengharuskan saya hanya berbaring di kasur. Seolah, energi saya selalu hanya hampir habis. Tidak benar-benar habis. Allah benar-benar kuatkan.
Kini, ketika pada akhirnya saya tahu skor IELTS saya yang ajaib itu, saya hanya bisa tersenyum malu. Ah, Allah, budi baik apa yang telah hamba lakukan sehingga hamba berhak atas skor tersebut? Sungguh, betapa saya yakin, itu semua karena doa tulus orang-orang di sekitar saya sudah mengungguli doa saya yang terhalang dosa. Well, Allah memang selalu punya kejutan bagi hambanya yang tak putus berharap, tak payah berusaha dan tak hitung-menghitung dalam berbagi. Makanya, tips selanjutnya nih untuk teman-teman yang juga akan tes IELTS, yuk ah doanya dikencengin, belajarnya dibanyakin dan hasilnya dipasrahin. Allah sudah menyimpan rencana terbaik bagi hamba-Nya.
Seqyan.
Kebumen, 12 Mei 2018
akhirnya selesai juga tulisan iniiiiiiii. Huff. Semoga bermanfaat. Untuk tips yang lebih practical, tunggu aja yes.
Saat di Nganjuk, saya juga membuka kelas belajar bahasa Inggris gratis bagi anak-anak SMA di sekitar kosan. Well, saya meyakini bahwa mengajar adalah salah satu cara belajar paling efektif. Lagi pula, saya juga bosan belajar sendiri, jadi ini salah satu cara mencari teman seperjuangan belajar bahasa Inggris. Ehe.
Kelas diadakan seminggu dua kali di kosan saya, setiap hari Jumat sore dan Sabtu pagi. Seru sekali, kosan saya jadi selalu rame. Kenalan saya juga jadi banyak, anak SMA semua pula isinya. Saya merasa lebih muda dari usia sesungguhnya.
Sayangnya, waktu lagi seru-serunya dan deket-deketnya sama dedek-dedek gemesh di Nganjuk, saya harus pindah penempatan. Saat itu, saya kembali lagi ke Madiun. Fokus saya pun agak bergeser, bukan lagi memikirkan IELTS dan S2, tapi merintis SiMaggie. Tiap weekend pasti bolak-balik ke Surabaya untuk ikutan program 1000 Startup Digital.
Setelah satu bulan di Madiun, saya pindah penempatan lagi ke Kediri. Karena udah lama nggak mikir soal IELTS, saya pun mulai nggak pede lagi. Tapi, saat itu saya cukup excited karena daerah penempatan saya dekat dengan Kampung Inggris yang ada di Pare, Kediri. Jadilah saya mulai cari-cari info les bahasa Inggris di Kampung Inggris tersebut. Sayangnya, setelah banyak googling dan tanya sana-sini, saya dapat info kalau les bahasa Inggris di Pare cuma ada di weekdays. Saya nggak nemu sama sekali kelas yang bukanya setiap weekend. Nggak memungkinkan banget buat saya yang kerja full time saat weekdays. Jadilah saya patah hati karena lagi-lagi nggak bisa ikutan les persiapan IELTS. Apa boleh buat, satu-satunya pilihan adalah mempersiapkan IELTS secara mandiri. Tapi, tetep, penyakit nggak istiqomah-nya muncul. Kadang belajar, lebih sering nggak.
Lalu, Desember 2017 akhir, saya pindah penempatan ke Tulungagung. Duh, memasuki tahun baru, saya semakin panik dengan mimpi-mimpi saya. Di lain sisi, persiapan saya tidak kunjung menunjukkan progress. Sampai akhirnya, di Januari tahun 2018, saya malah nekat daftar tes IELTS di bulan yang sama, tepatnya tanggal 20 Januari 2018 di Surabaya. Tanpa pikir panjang, uang pendaftaran saya transfer dan yaks seketika saya tidak punya pilihan untuk mundur atau santai-santai lagi. Waktu yang saya punya tinggal 3 minggu menuju hari H tes.
Saya tidak paham mengapa saya bisa-bisanya nekat mempertaruhkan uang dengan nominal yang tidak sedikit tersebut untuk tes IELTS. Padahal, saya tidak pernah benar-benar belajar IELTS sebagai modal untuk memenangkan pertaruhan tersebut. Well, mungkin ini dipengaruhi oleh obsesi saya terhadap kisah heroik Thariq bin Ziyad yang terkenal itu. Ketika ia memutuskan membakar kapalnya untuk menghilangkan pilihan mundur dari peperangan saat menuju Andalusia. Agar tidak ada jalan lain selain menghadapi pertarungan yang terjadi di depan mata. Walaupun, beberapa ulama sejarah melemahkan kisah tersebut dan menyatakannya sebagai kisah fiktif, tapi kisah tersebut terlanjur membekas di kepala saya.
Di sisa waktu yang ada, saya kebut latihan soal-soal yang ada di print out ebook IELTS Cambridge yang sudah sejak dulu saya bawa kemana-mana. Saya banyak membaca blog-blog yang menjelaskan secara detil tentang hal-hal yang diujikan dalam IELTS. Saya juga rajin menonton channel-channel Youtube tentang IELTS, TEDTalks dan berbagai video lain yang berbahasa Inggris yang menjadi teman baik saya dalam mempersiapkan tes, utamanya untuk section writing, speaking dan yang pasti listening. Lebih jauh soal bagaimana trik berlatih saya akan dijelaskan pada tulisan terpisah ya!
Seminggu terakhir menjelang tes IELTS, saya sudah tidak bisa konsentrasi dalam belajar. Saya sakit demam, pusing dan mules karena nervous. Setiap saya cerita ke Bapak tentang kondisi saya yang semakin mengkhawatirkan menjelang tes, beliau hanya menjawab enteng, "Udah biasa itu. Kalau Kakak mau tes, pasti sebelumnya Kakak sakit dulu." Tetot, bener juga sih kata Bapak. Ini udah kebiasaan saya sejak SD. Sebelum saya tes, ujian atau lomba, pasti saya sakit dulu. Huh, ternyata kebiasaan itu terbawa ya sampai saya sebesar sekarang.
Di hari Jumat tanggal 19 Januari 2018, saya masih masuk kantor. Sambil menunggu batas absen finger print sore pukul 17.00 WIB, saya beres-beres dan pamit ke teman-teman kantor cabang. Nggak lupa juga minta doa ke mereka supaya tes yang akan saya jalani diberikan kelancaran.
Tepat pukul 17.00 WIB, saya absen dan order Grab menuju ke perempatan jalan besar untuk menunggu Bus Harapan Jaya tujuan Surabaya. Perjalanan Surabaya - Tulungagung memakan waktu sekitar 5 jam. Di bus, saya sudah nggak bisa belajar karena mual dan ngantuk, tapi mau tidur nggak tenang rasanya.
Saya tiba di Terminal Bungurasih Surabaya sekitar jam 10 malam. Beruntungnya, Terminal Bungurasih adalah terminal besar, jadi masih ramai hingga larut malam. Saya pun segera order Go-Jek untuk mengantar saya ke kosan Hanum, karena saya akan menginap di sana. Ya Allah, semoga Engkau senantiasa memudahkan urusan Hanum, sebagaimana ia memudahkan urusan hamba-Mu ini.
Saya tiba di kosan Hanum sekitar jam setengah 11 malam. Saya mandi, bersih-bersih, terus ngobrol sama Hanum sampai jam setengah 12 malam. Saya sempat buka Youtube untuk mengejar materi writing yang belum sempat saya tonton (tetep yes deadliner). Tapi, saya sudah nggak bisa fokus dan ngantuk. Jadi, saya bobok saja.
Peserta tes diminta untuk hadir di lokasi tes pukul 08.00 pagi. Tapi, Hanum mau pulang ke Kediri dan sudah dijemput temannya sekitar jam 06.00 pagi. Jadi lah saya ikutan cabut dari kosan Hanum dan cuss langsung ke IALF, lokasi tes IELTS di Surabaya. Sampai di sana, suasana masih sangat sepi. IALF masih tutup, tetapi satu dua peserta tes sudah ada yang menunggu di lobi. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencari sarapan terlebih dahulu di pinggir jalan. Alhamdulillah, ada warung tenda yang menjual nasi bungkus di seberang IALF. Saya beli dua bungkus sekaligus, satu untuk sarapan, satu lagi untuk persiapan makan siang, agar saya nggak perlu repot-repot keluar cari makan lagi.
Sekitar jam 08.00, peserta tes diarahkan untuk antre menitipkan tas. Barang yang boleh dibawa hanya tempat minum dan ID Card. Setelah itu, satu demi satu peserta naik ke lantai dua untuk masuk ke ruang tes. Di depan ruangan, kami diminta untuk antre lagi, kali ini untuk pengambilan foto setengah badan, sidik jari dan pemeriksaan pakaian yang kami kenakan. Jadi, kalau masih ada barang-barang yang seharusnya tidak dibawa, harus langsung dititipkan. Termasuk alat tulis yang saya bawa juga harus dititipkan, karena setiap peserta akan dipinjamkan pensil serta penghapus di ruangan tes.
Tepat pukul 09.00, tes dimulai. Dibuka dengan listening, lalu reading, terakhir writing. Luar biasa jackpot, saya mendapatkan soal tes writing yang semalam belum sempat saya pelajari. Duh, Gusti. Saya mencoba mengerjakan sebisanya. Keseluruhan tes tertulis selesai sekitar pukul 12.00 WIB. Kami keluar ruangan untuk menanti jadwal speaking. Saya sendiri mendapat jadwal speaking pukul 17.00 dengan interviewer yang, dari namanya, sepertinya Chinese.
Sambil menunggu, saya makan nasi bungkus yang pagi tadi saya beli. Sambil makan, saya mengobrol dengan ibu-ibu yang sejak awal sudah saya tandai kehadirannya. Kerudungnya menjulur lebar, baju gamisnya longgar, wajahnya bareface tanpa make up sama sekali. Namanya Mba Listi. Seluruh praduga saya saat pertama kali melihat kehadirannya salah. Bahwa sepertinya kala itu adalah tes IELTS-nya yang pertama, bahwa sepertinya ia butuh IELTS score untuk melamar beasiswa master degree, bahwa toh kalau pun dia ingin melanjutkan S3, sepertinya S2-nya ia jalani di dalam negeri. Ternyata, itu salah semua. Faktanya, ia adalah seorang dosen di sebuah universitas yang ada di Kalimantan, alumni program master degree di Michigan State University. IELTS-nya kali itu bukan yang pertama, karena sekian tahun sebelumnya, ia pernah menjalani tes serupa untuk ikhtiarnya mendapatkan beasiswa kuliah S2 di luar negeri. Sampai akhirnya, Allah memuarakan takdirnya sebagai awardee Beasiswa Prestasi. Maasya Allah. Jangan pernah menilai orang dari penampilannya, Lil!
Setelah banyak mengobrol, Mba Listi pamit karena akan pulang sebentar ke rumah saudaranya di Surabaya. Makan siang saya pun sudah selesai dan saya lanjut ke musholla untuk bobok siang. Ya, kamu nggak salah baca, saya mau bobok siang. Ini serius. Saat itu, pusing kepala saya kampuh lagi, badan saya pun demam lagi. Setelah sholat dzuhur, saya pun merebahkan badan. Untung musholla-nya sepi.
Tidak lama setelah itu, datang seorang ibu yang juga peserta tes. Beliau adalah dosen FKG di salah satu universitas di Surabaya. Dengan memegang buku teks, dia melatih kemampuan speaking-nya. Kemudian, datang pula mbak-mbak yang baru saja menyelesaikan tes speaking-nya. Ia menceritakan pengalaman tes speaking-nya yang tidak begitu memuaskan. Interviewer-nya berwajah intimidatif, bicaranya tidak mudah dipahami, serta topik diskusinya terlalu spesifik dan tidak umum--tentang periode sejarah. Alamak, dia bikin saya tambah mules.
Alhamdulillah-nya, karena saya sudah tidak lagi memiliki energi untuk panik, saya hanya melempar senyum semangat kepadanya, sambil terus memberikan afirmasi positif kepada diri saya sendiri bahwa hal negatif yang terjadi padanya, bisa jadi sebaliknya pada saya.
Sekitar pukul 4 sore, saya menguat-nguatkan diri untuk berjalan keluar musholla. Dengan sedikit tertatih,
Setelah itu, saya juga membaca-baca beberapa artikel tentang tips speaking, siapa tau ada high level vocab yang bisa saya gunakan saat tes nanti. Sekitar jam 16.40, saya dipanggil untuk masuk ke ruangan tes. Waktu tes saya lebih cepat dari jadwal. Saya masuk ruangan dengan kondisi tangan dingin. Sudah biasa, kalau lagi deg-degan, tangan saya pasti dingin. Ruangan tes juga dingin ternyata, lengkap sudah ketegangan saat itu.
Saya menyalami si mas-mas interviewer dengan gerakan tangan yang meberikan kesan bahwa saya sangat antusias. Ternyata benar, beliau Chinese. Dia menanyakan kondisi saya, saya jawab jujur kalau saya sedang tidak enak badan but still okay for an interview. Saya pasang muka excited dan senyum manis meyakinkan, seolah saya sangat menantikan momen interview tersebut.
Saat interview berjalan, berbagai kekonyolan dan keajaiban terjadi bersamaan. Si interviewer membuka sesi speaking dengan omongan super duper cepat. Semacam dia sudah jutaan kali ngomong kalimat yang sama, makanya sudah sangat hafal di luar kepala. Kalau boleh jujur, saya nggak paham apa yang dia omongin, saya cuma modal manggut-manggut dan senyum lebar saja.
Masuk ke sesi short question, si interviewer menanyakan pertanyaan yang cukup umum dan wajar. Jadi, Alhamdulillah saya bisa handle dengan baik. Setelah itu, masuk ke sesi pertanyaan yang agak lebih panjang. Lagi-lagi, karena dia ngomongnya cepet, saya nggak paham. Beberapa kali pertanyaan dari dia saya jawab dengan pertanyaan juga, "Pardon me?". Tepatnya sih sampai tiga kali untuk sebuah pertanyaan yang sama. Hingga akhirnya, karena saya tetap nggak paham, saya jawab dengan sekenanya. Wajah si babang menunjukkan ekspresi nggak puas dan kecewa dengan jawaban saya. Entahlah. Yang pasti, sesi 15 menit interview itu terasa sangat cepat sekali. Tau-tau udah selesai dan saya pun keluar ruangan. Jujur, saya tidak puas dengan hasil interview saya tersebut. Banyak pertanyaan yang tidak saya jawab dengan jawaban terbaik. Tapi, ya sudah lah, saya tidak dapat berbuat apa pun selain berdoa semoga Allah berikan hasil terbaik sesuai kebutuhan. Selanjutnya, mari move on ke urusan saya yang lain.
"Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain." (QS. Al-Insyirah: 7)
Hari itu, selesai tes IELTS, saya masih belum bisa pulang ke Tulungagung. Saya sudah janji dengan Deva, salah satu dedek gemesh yang dulu pernah ikut kelas belajar bahasa Inggris saya di Nganjuk, untuk mengisi acara English Day yang diadakan organisasi rohis di sana. Saat itu, saya benar-benar tidak paham, energi dari mana yang membuat saya tetap mampu melanjutkan perjalanan kurang lebih 4 - 5 jam dengan bus ke Nganjuk setelah lama perjalanan yang sama antara Tulungagung - Surabaya di malam sebelumnya dan tes IELTS di hari setelahnya dengan tubuh yang hampir tumbang. Pikir saya saat itu cuma satu, surat Muhammad ayat 7. Rumus sederhana yang dulu selalu diulang-ulang murabbi saya.
"Hai, orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad: 7)
Dengan niat tersebut, saya bulat-bulatkan tekad untuk berangkat ke Nganjuk, walau kala itu rasanya sudah ingin bilang ke Deva bahwa saya tidak jadi ke sana. Dengan energi yang tersisa, sekitar jam setengah 6 sore, saya bergegas ke Terminal Bungurasih dengan Go-Jek dan naik bus Mira jurusan Nganjuk - Yogyakarta. Sambil di jalan, saya terus merapalkan doa, biar Allah yang mampukan. Allah yang akan mampukan.
Sekitar jam 10 malam, saya tiba di rumah Deva. Karena sudah lama tidak bertemu, kami bertukar cerita hingga hari menjelang berganti. Maasya Allah, bangga sekali saya dengan adik-ketemu-besar saya satu ini. Di tengah kesibukannya mempersiapkan UN dan berbagai ujian masuk kampus, dia masih mau merepotkan dirinya untuk kegiatan rohis. Saya jadi malu dan belajar banyak sekali darinya. Insya Allah, apa yang ditanam di jalan Allah, balasannya langsung dari Allah ya, Dik :)
Setelah temu kangen, update kabar dan kenal-kenalan dengan keluarga Deva, kami bobok di kamar Deva yang mirip kamar-kamar di FTV. Lucu banget loh kamarnya Deva, posisinya di lantai mezzanine dan full dari kayu jati, berasa di film-film Korea gitu (Lah, kayak lo paham film Korea aja, Lil -___-).
Besoknya, pagi-pagi sekali, kami mempersiapkan materi English Day, mengatur tata letak venue acara yang berupa ruangan bekas cafe pinggir jalan milik orang tua Deva, mengangkut peralatan acara, dll. Duh, saya berasa jaman SMA dulu ngerjain proker, wkwk. Setelah itu, kami sarapan dengan menu yang sudah dibuatkan oleh mamah-nya Deva. Terima kasih, Tante!
Sekitar jam 8 pagi, satu per satu peserta acara yang masih berusia SMP dan SMA berdatangan. Acara dimulai sekitar pukul 9 pagi. Kami bermain games, belajar listening dengan mengisi lirik lagu, belajar tenses, latihan wudhu dengan hanya segelas air, dll. Seru sekali! Saya berasa muda lagi ih gaulnya sama anak-anak SMP dan SMA. Kegiatan selesai sekitar pukul 5 sore dengan kondisi suara saya habis karena teriak-teriak. Maklum, mic-nya tidak bekerja sama dengan baik, padahal lokasi kegiatan tepat di pinggir jalan besar yang banyak dilewati truk dan bus antarkota, jadilah saya teriak dikit-dikit yaks.
Setelah kegiatan selesai dan segala peralatan telah kami rapikan, Deva mengantar saya untuk naik bus menuju Tulungagung. Tapi, sebelum itu, kami makan bakso kesukaan kami berdua dulu dongs. Perjalanan menuju Tulungagung terasa sangat-sangat lama dan melelahkan, padahal cuma 3 jam perjalanan. Mungkin karena saya harus ganti bus di Kediri dengan energi yang benar-benar tinggal sisa-sisa. Apalagi besok pagi saya harus bekerja. Duh, rasanya saya ingin cepat-cepat sampai kosan dan bobok cantik.
Hari ini, kalau saya pikir-pikir lagi, sepertinya saya nggak akan kuat lah mengulang perjalanan panjang Tulungagung - Surabaya - Nganjuk - Tulungagung hanya dalam waktu 3 hari. Dimana, Alhamdulillah-nya, saya selalu hanya hampir tumbang, tidak pernah benar-benar jatuh sakit yang mengharuskan saya hanya berbaring di kasur. Seolah, energi saya selalu hanya hampir habis. Tidak benar-benar habis. Allah benar-benar kuatkan.
Kini, ketika pada akhirnya saya tahu skor IELTS saya yang ajaib itu, saya hanya bisa tersenyum malu. Ah, Allah, budi baik apa yang telah hamba lakukan sehingga hamba berhak atas skor tersebut? Sungguh, betapa saya yakin, itu semua karena doa tulus orang-orang di sekitar saya sudah mengungguli doa saya yang terhalang dosa. Well, Allah memang selalu punya kejutan bagi hambanya yang tak putus berharap, tak payah berusaha dan tak hitung-menghitung dalam berbagi. Makanya, tips selanjutnya nih untuk teman-teman yang juga akan tes IELTS, yuk ah doanya dikencengin, belajarnya dibanyakin dan hasilnya dipasrahin. Allah sudah menyimpan rencana terbaik bagi hamba-Nya.
Seqyan.
Kebumen, 12 Mei 2018
akhirnya selesai juga tulisan iniiiiiiii. Huff. Semoga bermanfaat. Untuk tips yang lebih practical, tunggu aja yes.
Label:
hidup,
hope so,
IELTSJourney,
moment-catcher,
nah!,
random,
rasa
Montag, 30. April 2018
Things I Don't Tell People about My IELTS Journey [Bagian Pertama]
Tanggal 20 Januari 2018 lalu, saya baru saja mengikuti tes IELTS di IALF Surabaya. Sekitar dua minggu kemudian, kalau nggak salah sih awal Februari, hasil tesnya keluar. Alhamdulillah, skornya sungguh ajaib dan di luar perkiraan saya. Allah memang super baik lah.
Saya sempat bercerita ke beberapa teman, dosen, mentor, dll soal hasil tes ini. Tujuannya bukan untuk memamerkan hasil, perihal minta doa untuk sebuah hajat dan laporan atas hasil yang didapat memang sudah jadi hobi saya. Bukan cuma ke orang tua, tetapi juga ke adek saya sendiri, pembimbing akademik jaman kuliah, mentor, senior, adek kelas, teman kantor atau bahkan orang yang baru saya kenal macam babang-babang Go-Jek, tukang nasi goreng, ibu kosan, dll. Hem, karena saya selalu percaya, kita nggak akan pernah tahu, doa apa yang terucap dari mulut siapa yang akan dikabulkan sama Allah.
Bisa jadi, saya udah banyak-banyak doa sama Allah, tapi dosa-dosa saya yang nggak kalah banyak menghalangi terkabulnya doa tersebut. Sebaliknya, babang Go-Jek yang hatinya tulus bantu penumpang, bisa jadi doanya akan langsung diijabah sama Allah. Bisa jadi.
Balik lagi ke hasil tes, karena kebanyakan teman saya juga sedang dalam ikhtiar untuk S2, makanya saat saya cerita ke mereka, banyak yang balik tanya tips mempersiapkan IELTS. Kalau muncul pertanyaan begitu, jujur saya bingung jawabnya. Saya intensif mempersiapkan IELTS dalam waktu kurang dari sebulan. Itu pun bener-bener serius belajarnya cuma dua minggu awal, karena menjelang tes, saya demam, mules dan udah nggak konsen.
Tapi, saya nggak pengen, karena cerita saya itu, orang lain jadi berpikir bahwa boleh-boleh aja prepare IELTS dalam waktu sebulan. Kecuali kita memang udah jago bahasa Inggris banget sih. Tapi, tetep deh, sejago-jagonya kita, IELTS itu bukan semata-mata ngetes bahasa Inggris aja. IELTS tuh ngetes ketangkasan terhadap waktu, ketelitian, skill berbahasa, dll. Pertaruhannya pun uang registrasi yang bisa dipake buat beli smartphone high end. Jadi, sejago apa pun, mending persiapan lebih matang sih, jangan cuma sebulan menjelang tes.
Lah, itu lo sendiri prepare-nya kurang dari satu bulan? Ngerasa jago luuuuuu?
Itu dia! Ada banyak hal yang sulit saya jelaskan setiap kali ada orang nanya gimana saya mempersiapkan IELTS. Karena ceritanya panjang dan kadang waktu ngobrolnya sedikit. Jadi, nggak sempet nyeritain. Ehe. Atau saya nya yang nggak bisa ngeringkas cerita ya wkwk (maklum ekstrovert, selalu ngerasa banyak yang harus diceritain). Makanya, untuk membayar kekhawatiran tersebut, saya coba menggambarkan perjalanan saya mempersiapkan IELTS sejak awal sekali disini.
Oh ya, brace yourself, nanti kontennya akan lebih banyak memuat curhat-curhat receh saya. Karena saya sekaligus mau mengabadikan momen perjuangan jaman baheula. So, if you're looking for practical tips for your IELTS test or simple ways to boost your IELTS score, too bad, you've landed to the wrong blog :(
Oke, mari kita mulai. Perjalanan saya mempersiapkan IELTS sudah dimulai sejak tahun 2015. Sedangkan, saya baru ngambil tes di awal 2018. Lama banget kan?! Jadi, saat itu, saya lulus kuliah dan bekerja di ChapterW.org (dulu namanya Nusantara Development Initiatives/ NDI). Saya ditugaskan di Sumba, NTT, sebelum pulau itu terkenal kayak sekarang.
Sebelum berangkat, saya ingat sekali, salah satu persiapan saya adalah pergi ke Barel (anak UI pasti paham, Barel itu singkatan dari Belakang Rel, semacam gang sempit yang banyak tukang fotokopi murah). Di sana, saya print beberapa ebook IELTS Cambridge di tukang fotokopi langganan jaman skripsian. Baru masuk kerja kenapa udah mikir tes IELTS? karena saat itu saya ingin S2 secepat-cepatnya. Paling nggak setahun setelah kerja lah. Padahal, itu cara berpikir yang salah gengs. Kapan-kapan ya, saya bahas soal ini.
Kalau nggak salah, ebook IELTS yang saya print waktu itu jilid 9, jilid 8, jilid 6 dan jilid 1. Saya lupa, beneran jilid-jilid itu atau nggak, yang pasti saya print 4 buku. Saya bawa 4 buku tersebut selama tugas pindah-pindah desa di Sumba. Harapannya, biar bisa ngisi waktu luang dengan belajar IELTS.
Terus, beneran dibaca nggak tuh? Nggak lah! Hahahaha. Saat itu saya baru ngerasain, kerja di lapangan sungguh sangat melelahkan. Selain karena medan desa yang menguras energi dan adrenalin, di sana juga nggak ada listrik. Jadi, energi yang habis di siang hari ditambah cahaya yang cuma remang-remang saat malam semakin jadi justifikasi buat saya untuk menunda-nunda belajar. Duh, kebayang nggak sih anak-anak asli sana yang harus belajar malem-malem? Sedih deh.
Ohya, meskipun begitu, setiap weekend, saya masih bisa ngerjain 5-4 soal, tapi nggak konsisten sih. Karena, walaupun waktu luang saat weekend lebih banyak, saya lebih tertarik nobar Master Chef di laptop temen daripada belajar IELTS wkwk.
Terlepas dari itu, walaupun saya nggak berhasil menyelesaikan satu buku pun selama satu tahun bekerja di NDI, setidaknya, karena saya udah bolak-balik bawa buku-buku tersebut kemana-mana, saya jadi cukup familiar dengan vocab-vocab yang ada di dalamnya. Nah, tips pertama nih, mungkin kamu bisa coba bawa buku IELTS kemana-mana walau nggak yakin bakal dibaca haha.
Ahya, since bos saya di NDI adalah orang Singapura, kami kalau ngomong ke Pak Bos full English, dan itu cukup intensif. Teman-teman satu tim saya (saat itu kami berlima cewek semua) juga kebanyakan punya pengalaman satu-dua tahun hidup di luar negeri. Terutama Kak Ay, teman berantem saya yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di India. Dari mereka, saya membiasakan diri ngomong daily English, walaupun saat itu English saya sungguh kacau. Tapi mayanlah, dari bahasa formal, slang, sampe swearing dengan uncommon words saya pelajari dari mereka. Hahaha
Waktu itu juga ada tim NDI yang sedang menanti keberangkatan master degree-nya di Univ of Glasgow intake tahun 2016, namanya Kak Cutin. Seneng banget jadi bisa tanya-tanya banyak soal S2 dan persiapannya ke doi. Termasuk soal IELTS, dia orang yang menginspirasi saya untuk mempersiapkan IELTS secara mandiri tanpa bergantung sama les-lesan yang harganya nggak masuk akal. Nah, tips kedua nih, ketika kamu memutuskan akan tes IELTS, praktekin tuh English-nya di aktivitas sehari-hari. Cari lingkungan yang kondusif untuk kamu praktek.
Lanjut, akhir 2016, saya pindah kerja ke Water.org, yang kemudian menugaskan saya untuk mendampingi microfinance partner di Jawa Timur. Dari timur Nusa Tenggara ke timur Jawa, akankah ini pertanda jodoh saya orang timur? Yak, mulai halu.......
Pertama kali tugas di Jawa Timur, saya penempatan di Madiun. Saya belum lupa dengan mimpi saya untuk S2 di luar negeri. Makanya, print-an ebook IELTS yang wujudnya sudah tak layak itu, padahal belum saya pelajari itu, tetap saya bawa berkelana. Kampus impian dan target skor IELTS saya tulis besar-besar di kertas dan saya tempel di dinding kosan searah kiblat. Biar nggak lupa masuk list doa setiap selesai sholat.
Seiring dengan pengalaman bekerja dan insight dari senior, target berangkat S2 saya bergeser menjadi setelah 2 - 3 tahun bekerja. Namun, tetap saja, waktu persiapan saya semakin sempit. Sementara, saya tidak semakin yakin untuk mengambil tes IELTS. Yaiyalah, belajarnya kan nggak konsisten. Saya pun terpikir untuk mengikuti les persiapan IELTS. Dari pada uangnya habis untuk mengikuti tes IELTS berkali-kali, lebih baik habis untuk persiapan tes saja. Mahal tak apa, yang penting melenggang menuju tes dengan penuh keyakinan, pikir saya waktu itu. Haiyah, berasa bimbel SNMPTN.
Sayangnya, Madiun kan kota kecil. Nggak ada kursus macam itu di sana (tapi Inul Vizta ada lho). Sampai suatu hari, seorang senior yang cukup saya kenal baik di kampus merekomendasikan kursus persiapan IELTS online, sebut saja Kursus X. Sepertinya sih beliau itu bagian dari tim marketing-nya. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, saya pun daftar kursus online tersebut.
Biaya yang harus saya bayarkan Rp 800.000.00 untuk satu paket program. Kalau tidak salah, Rp 600.000,00 itu untuk biaya kursusnya, sedangkan Rp 200.000,00 sisanya sebagai uang jaminan yang akan dikembalikan jika saya mengikuti seluruh prediction test di setiap sesi. Saya lupa-lupa ingat, satu paket program berjalan selama berapa sesi, kalau tidak salah sih 5 sesi ya. Jadi, kalau saya tidak mengerjakan sekali prediction test, uang jaminan saya akan dipotong Rp 40.000,00. Kalau tidak salah begitu. Semoga benar.
Kursus tersebut dimulai pada pertengahan Februari 2017. Setiap sesi diadakan seminggu sekali selama lima sesi. Sistemnya, kita akan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp yang isinya mentor kita, si senior yang menawari program ini dan peserta belajar lain yang kebetulan jumlahnya 8 orang. Di grup tersebut, kita akan berdiskusi membahas soal prediction test atau phone call dengan si mentor. Mentor saya adalah alumni S2 kampus luar negeri yang S1-nya di sebuah institut teknologi ternama di Bandung, skor IELTS-nya 7.0 (kalau tidak salah), sudah menikah dan memiliki anak kecil perempuan, bahasa kekiniannya papah muda kali ya. Duh, ngapain lo jelasin sedetil itu, Li? Karena ternyata, itu mempengaruhi performance dia dalam mengajar kami :(
Seingat saya, jadwal belajar itu sesuai dengan kesepakatan kita, mau hari apa dan jam berapa. Nah, karena saya merasa bayar, jadi dong saya nggak mau rugi, berusaha untuk selalu online tepat waktu dan siap dengan berbagai pertanyaan diskusi. Tapi oh tapi, si papah muda ini suka terlambat join diskusi atau bahkan izin untuk nggak join hari itu. Lah pegimane, Bang?! Alasannya beliau ini beragam, karena mengantar istrinya, anaknya tidak ada yang menjaga, dll. Feedback yang dia berikan terhadap hasil latihan kita juga super lambat. Semacam, dia itu udah sibuk bekerja, sibuk jadi papah muda dan masih memaksakan diri jadi mentor program tersebut. Entah karena dipaksa atau kemauan dia sendiri tuh.
Alhasil, saya jadi males join diskusi wkwk. Prediction test (yang sesungguhnya itu diambil dari soal-soal IELTS Cambridge) jadinya jarang saya kerjakan (excuse wk). Padahal kan saya orangnya pantang merugi, tapi jadi semales itu dan nggak peduli dengan uang jaminan hahahaha.Satu-satunya hal yang paling menghibur dari si mentor adalah suaranya yang sungguh menenangkan untuk didengar.
Jadilah semenjak itu, saya nggak pernah lagi percaya dengan kursus-kursus online IELTS. Saya pun tidak merekomendasikan teman-teman saya untuk belajar dari kursus-kursus online macam itu. Percayalah, itu sama saja dengan kita belajar sendiri, justru kalau kita disiplin, lebih efektif belajar sendiri. Bisa hemat uang juga. Kecuali kalau lesnya gratis yass.
Oh ya, disclaimer biar saya nggak diamuk pelaku industri serupa, cerita saya barusan adalah testimoni real berdasarkan pengalaman saya mengikuti SALAH SATU online course IELTS prep ya. Tidak berlaku untuk semua kursus online. Saya juga tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak mana pun. Kalau kalian merasa produk les-lesan IELTS kalian nggak begitu, silakan istiqomah dengan jalan kalian. Pun bagi kalian yang merasa ikut kursus IELTS online justru sangat membantu, silakan membuat tulisan opini di blog kalian sendiri, Ehe.
-Bersambung. Bisa cek di postingan selanjutnya yaa :)
Saya sempat bercerita ke beberapa teman, dosen, mentor, dll soal hasil tes ini. Tujuannya bukan untuk memamerkan hasil, perihal minta doa untuk sebuah hajat dan laporan atas hasil yang didapat memang sudah jadi hobi saya. Bukan cuma ke orang tua, tetapi juga ke adek saya sendiri, pembimbing akademik jaman kuliah, mentor, senior, adek kelas, teman kantor atau bahkan orang yang baru saya kenal macam babang-babang Go-Jek, tukang nasi goreng, ibu kosan, dll. Hem, karena saya selalu percaya, kita nggak akan pernah tahu, doa apa yang terucap dari mulut siapa yang akan dikabulkan sama Allah.
Bisa jadi, saya udah banyak-banyak doa sama Allah, tapi dosa-dosa saya yang nggak kalah banyak menghalangi terkabulnya doa tersebut. Sebaliknya, babang Go-Jek yang hatinya tulus bantu penumpang, bisa jadi doanya akan langsung diijabah sama Allah. Bisa jadi.
Balik lagi ke hasil tes, karena kebanyakan teman saya juga sedang dalam ikhtiar untuk S2, makanya saat saya cerita ke mereka, banyak yang balik tanya tips mempersiapkan IELTS. Kalau muncul pertanyaan begitu, jujur saya bingung jawabnya. Saya intensif mempersiapkan IELTS dalam waktu kurang dari sebulan. Itu pun bener-bener serius belajarnya cuma dua minggu awal, karena menjelang tes, saya demam, mules dan udah nggak konsen.
Tapi, saya nggak pengen, karena cerita saya itu, orang lain jadi berpikir bahwa boleh-boleh aja prepare IELTS dalam waktu sebulan. Kecuali kita memang udah jago bahasa Inggris banget sih. Tapi, tetep deh, sejago-jagonya kita, IELTS itu bukan semata-mata ngetes bahasa Inggris aja. IELTS tuh ngetes ketangkasan terhadap waktu, ketelitian, skill berbahasa, dll. Pertaruhannya pun uang registrasi yang bisa dipake buat beli smartphone high end. Jadi, sejago apa pun, mending persiapan lebih matang sih, jangan cuma sebulan menjelang tes.
Lah, itu lo sendiri prepare-nya kurang dari satu bulan? Ngerasa jago luuuuuu?
Itu dia! Ada banyak hal yang sulit saya jelaskan setiap kali ada orang nanya gimana saya mempersiapkan IELTS. Karena ceritanya panjang dan kadang waktu ngobrolnya sedikit. Jadi, nggak sempet nyeritain. Ehe. Atau saya nya yang nggak bisa ngeringkas cerita ya wkwk (maklum ekstrovert, selalu ngerasa banyak yang harus diceritain). Makanya, untuk membayar kekhawatiran tersebut, saya coba menggambarkan perjalanan saya mempersiapkan IELTS sejak awal sekali disini.
Oh ya, brace yourself, nanti kontennya akan lebih banyak memuat curhat-curhat receh saya. Karena saya sekaligus mau mengabadikan momen perjuangan jaman baheula. So, if you're looking for practical tips for your IELTS test or simple ways to boost your IELTS score, too bad, you've landed to the wrong blog :(
Oke, mari kita mulai. Perjalanan saya mempersiapkan IELTS sudah dimulai sejak tahun 2015. Sedangkan, saya baru ngambil tes di awal 2018. Lama banget kan?! Jadi, saat itu, saya lulus kuliah dan bekerja di ChapterW.org (dulu namanya Nusantara Development Initiatives/ NDI). Saya ditugaskan di Sumba, NTT, sebelum pulau itu terkenal kayak sekarang.
Sebelum berangkat, saya ingat sekali, salah satu persiapan saya adalah pergi ke Barel (anak UI pasti paham, Barel itu singkatan dari Belakang Rel, semacam gang sempit yang banyak tukang fotokopi murah). Di sana, saya print beberapa ebook IELTS Cambridge di tukang fotokopi langganan jaman skripsian. Baru masuk kerja kenapa udah mikir tes IELTS? karena saat itu saya ingin S2 secepat-cepatnya. Paling nggak setahun setelah kerja lah. Padahal, itu cara berpikir yang salah gengs. Kapan-kapan ya, saya bahas soal ini.
Kalau nggak salah, ebook IELTS yang saya print waktu itu jilid 9, jilid 8, jilid 6 dan jilid 1. Saya lupa, beneran jilid-jilid itu atau nggak, yang pasti saya print 4 buku. Saya bawa 4 buku tersebut selama tugas pindah-pindah desa di Sumba. Harapannya, biar bisa ngisi waktu luang dengan belajar IELTS.
Terus, beneran dibaca nggak tuh? Nggak lah! Hahahaha. Saat itu saya baru ngerasain, kerja di lapangan sungguh sangat melelahkan. Selain karena medan desa yang menguras energi dan adrenalin, di sana juga nggak ada listrik. Jadi, energi yang habis di siang hari ditambah cahaya yang cuma remang-remang saat malam semakin jadi justifikasi buat saya untuk menunda-nunda belajar. Duh, kebayang nggak sih anak-anak asli sana yang harus belajar malem-malem? Sedih deh.
Ohya, meskipun begitu, setiap weekend, saya masih bisa ngerjain 5-4 soal, tapi nggak konsisten sih. Karena, walaupun waktu luang saat weekend lebih banyak, saya lebih tertarik nobar Master Chef di laptop temen daripada belajar IELTS wkwk.
Terlepas dari itu, walaupun saya nggak berhasil menyelesaikan satu buku pun selama satu tahun bekerja di NDI, setidaknya, karena saya udah bolak-balik bawa buku-buku tersebut kemana-mana, saya jadi cukup familiar dengan vocab-vocab yang ada di dalamnya. Nah, tips pertama nih, mungkin kamu bisa coba bawa buku IELTS kemana-mana walau nggak yakin bakal dibaca haha.
Ahya, since bos saya di NDI adalah orang Singapura, kami kalau ngomong ke Pak Bos full English, dan itu cukup intensif. Teman-teman satu tim saya (saat itu kami berlima cewek semua) juga kebanyakan punya pengalaman satu-dua tahun hidup di luar negeri. Terutama Kak Ay, teman berantem saya yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di India. Dari mereka, saya membiasakan diri ngomong daily English, walaupun saat itu English saya sungguh kacau. Tapi mayanlah, dari bahasa formal, slang, sampe swearing dengan uncommon words saya pelajari dari mereka. Hahaha
Waktu itu juga ada tim NDI yang sedang menanti keberangkatan master degree-nya di Univ of Glasgow intake tahun 2016, namanya Kak Cutin. Seneng banget jadi bisa tanya-tanya banyak soal S2 dan persiapannya ke doi. Termasuk soal IELTS, dia orang yang menginspirasi saya untuk mempersiapkan IELTS secara mandiri tanpa bergantung sama les-lesan yang harganya nggak masuk akal. Nah, tips kedua nih, ketika kamu memutuskan akan tes IELTS, praktekin tuh English-nya di aktivitas sehari-hari. Cari lingkungan yang kondusif untuk kamu praktek.
Lanjut, akhir 2016, saya pindah kerja ke Water.org, yang kemudian menugaskan saya untuk mendampingi microfinance partner di Jawa Timur. Dari timur Nusa Tenggara ke timur Jawa, akankah ini pertanda jodoh saya orang timur? Yak, mulai halu.......
Pertama kali tugas di Jawa Timur, saya penempatan di Madiun. Saya belum lupa dengan mimpi saya untuk S2 di luar negeri. Makanya, print-an ebook IELTS yang wujudnya sudah tak layak itu, padahal belum saya pelajari itu, tetap saya bawa berkelana. Kampus impian dan target skor IELTS saya tulis besar-besar di kertas dan saya tempel di dinding kosan searah kiblat. Biar nggak lupa masuk list doa setiap selesai sholat.
Seiring dengan pengalaman bekerja dan insight dari senior, target berangkat S2 saya bergeser menjadi setelah 2 - 3 tahun bekerja. Namun, tetap saja, waktu persiapan saya semakin sempit. Sementara, saya tidak semakin yakin untuk mengambil tes IELTS. Yaiyalah, belajarnya kan nggak konsisten. Saya pun terpikir untuk mengikuti les persiapan IELTS. Dari pada uangnya habis untuk mengikuti tes IELTS berkali-kali, lebih baik habis untuk persiapan tes saja. Mahal tak apa, yang penting melenggang menuju tes dengan penuh keyakinan, pikir saya waktu itu. Haiyah, berasa bimbel SNMPTN.
Sayangnya, Madiun kan kota kecil. Nggak ada kursus macam itu di sana (tapi Inul Vizta ada lho). Sampai suatu hari, seorang senior yang cukup saya kenal baik di kampus merekomendasikan kursus persiapan IELTS online, sebut saja Kursus X. Sepertinya sih beliau itu bagian dari tim marketing-nya. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, saya pun daftar kursus online tersebut.
Biaya yang harus saya bayarkan Rp 800.000.00 untuk satu paket program. Kalau tidak salah, Rp 600.000,00 itu untuk biaya kursusnya, sedangkan Rp 200.000,00 sisanya sebagai uang jaminan yang akan dikembalikan jika saya mengikuti seluruh prediction test di setiap sesi. Saya lupa-lupa ingat, satu paket program berjalan selama berapa sesi, kalau tidak salah sih 5 sesi ya. Jadi, kalau saya tidak mengerjakan sekali prediction test, uang jaminan saya akan dipotong Rp 40.000,00. Kalau tidak salah begitu. Semoga benar.
Kursus tersebut dimulai pada pertengahan Februari 2017. Setiap sesi diadakan seminggu sekali selama lima sesi. Sistemnya, kita akan dimasukkan ke dalam grup WhatsApp yang isinya mentor kita, si senior yang menawari program ini dan peserta belajar lain yang kebetulan jumlahnya 8 orang. Di grup tersebut, kita akan berdiskusi membahas soal prediction test atau phone call dengan si mentor. Mentor saya adalah alumni S2 kampus luar negeri yang S1-nya di sebuah institut teknologi ternama di Bandung, skor IELTS-nya 7.0 (kalau tidak salah), sudah menikah dan memiliki anak kecil perempuan, bahasa kekiniannya papah muda kali ya. Duh, ngapain lo jelasin sedetil itu, Li? Karena ternyata, itu mempengaruhi performance dia dalam mengajar kami :(
Seingat saya, jadwal belajar itu sesuai dengan kesepakatan kita, mau hari apa dan jam berapa. Nah, karena saya merasa bayar, jadi dong saya nggak mau rugi, berusaha untuk selalu online tepat waktu dan siap dengan berbagai pertanyaan diskusi. Tapi oh tapi, si papah muda ini suka terlambat join diskusi atau bahkan izin untuk nggak join hari itu. Lah pegimane, Bang?! Alasannya beliau ini beragam, karena mengantar istrinya, anaknya tidak ada yang menjaga, dll. Feedback yang dia berikan terhadap hasil latihan kita juga super lambat. Semacam, dia itu udah sibuk bekerja, sibuk jadi papah muda dan masih memaksakan diri jadi mentor program tersebut. Entah karena dipaksa atau kemauan dia sendiri tuh.
Alhasil, saya jadi males join diskusi wkwk. Prediction test (yang sesungguhnya itu diambil dari soal-soal IELTS Cambridge) jadinya jarang saya kerjakan (excuse wk). Padahal kan saya orangnya pantang merugi, tapi jadi semales itu dan nggak peduli dengan uang jaminan hahahaha.
Jadilah semenjak itu, saya nggak pernah lagi percaya dengan kursus-kursus online IELTS. Saya pun tidak merekomendasikan teman-teman saya untuk belajar dari kursus-kursus online macam itu. Percayalah, itu sama saja dengan kita belajar sendiri, justru kalau kita disiplin, lebih efektif belajar sendiri. Bisa hemat uang juga. Kecuali kalau lesnya gratis yass.
Oh ya, disclaimer biar saya nggak diamuk pelaku industri serupa, cerita saya barusan adalah testimoni real berdasarkan pengalaman saya mengikuti SALAH SATU online course IELTS prep ya. Tidak berlaku untuk semua kursus online. Saya juga tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak mana pun. Kalau kalian merasa produk les-lesan IELTS kalian nggak begitu, silakan istiqomah dengan jalan kalian. Pun bagi kalian yang merasa ikut kursus IELTS online justru sangat membantu, silakan membuat tulisan opini di blog kalian sendiri, Ehe.
-Bersambung. Bisa cek di postingan selanjutnya yaa :)
Label:
edu-cat-e,
hidup,
hope so,
IELTSJourney,
moment-catcher,
nah!,
nglantur,
postgraduate,
tulisanserius
Mittwoch, 31. Januar 2018
Lil's Movie Review: Nonton Coco Bikin Pengen Peluk Keluarga
Saya selalu suka film-film besutan Pixar. Tapi, biasanya, saya mulai dari liat visualnya. Yaa namanya juga film animasi, kalau bagus penampakan tokoh-tokohnya, ya lanjut nonton, kalau nggak menarik ya saya skip. ehe.
Untuk Coco sendiri, impresi pertama saya saat lihat visual tokoh-tokohnya, saya nggak terlalu tertarik. Hahaha. Bukan karena jelek, cuma not my typical movie animation aja. Tipikal animasi saya itu macam Up (wkwk, mainstream banget yes) dan Despicable Me, yang tokohnya agak rounded (hem, piye maksute ya).
Tapi, karena menurut sebagian orang alur cerita Coco bagus, saya tetep lanjut nonton. Walaupun, ketika awal orang bilang kalau Coco cerita tentang anak kecil yang masuk ke alam kubur, saya udah agak males. Takutnya ceritanya jadi ala ala mistis versi kartun gitu. Tapi, ternyata nggak kok, kata orang-orang, ini film keluarga.
Secara umum, Coco bercerita tentang seorang anak kecil bernama Miguel yang terlahir dari keluarga besar pembuat sepatu. Bisnis sepatu keluarganya sudah dijalankan secara turun temurun, sehingga, tidak mungkin bagi Miguel untuk tidak ikut melanggengkan bisnis tersebut. Di sisi lain, Miguel cilik punya ketertarikan yang besar dengan musik. Dia sangat terobsesi dengan legenda musik De La Cruz, sampai-sampai dia menghafal setiap dialog pada potongan film yang diperankan De La Cruz. Padahal, keluarga besar Miguel sangat-sangat membenci musik. Mereka tidak menoleransi setiap anggota keluarga yang ketahuan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan musik, termasuk Miguel.
Pada film, alasan mengapa keluarga tersebut membenci musik dijelaskan secara eksplisit di awal cerita. Bahwa Mama Imelda, yang merupakan mamanya mama buyut Miguel, ditinggalkan oleh suaminya yang ingin mengejar mimpi bermusiknya. Sehingga, Mama Imelda harus membesarkan Coco- anak semata wayangnya yang merupakan mama buyut Miguel, seorang diri. Mama Imelda lalu mulai membuat sepatu untuk bertahan diri. Hingga bisnisnya menurun ke generasi orang tua Miguel. Alasan kepergian suami Mama Imelda itu pula yang membuat keluarga besar tersebut begitu membenci musik. Bahkan, sosok suami Mama Imelda sendiri berusaha untuk dilupakan oleh keluarga tersebut.
Drama selanjutnya berlanjut seputar cerita Miguel yang berusaha untuk mencapai mimpi bermusiknya. Nah, untuk tau kelanjutannya bagaimana, kalian bisa nonton sendiri ya. Nggak asik kalau saya ceritakan. Hehe
Pokoknya, jalan cerita Coco ini cukup worth it untuk dinikmati. Semacam mengingatkan kita kembali tentang betapa berharganya keluarga yang kita punya saat ini. Buat teman-teman yang suka film musikal, Coco ini cukup recommended juga. Walaupun bukan tergolong film musikal, tapi terdapat beberapa scene nyanyi dengan petikan gitar yang ciamik. Tapi, bagi saya sendiri, favorite scene-nya saat Miguel terdampar bersama lelaki homeless yang saya lupa namanya (wkwk, padahal dia salah satu tokoh utamanya). Di sana ada plot twist menjelang ending cerita yang nggak ketebak banget. Super keren buat penulis filmnya!
Rating: 4/5
After Taste: Pengen peluk bapak sama adek yang lama tak jumpa karena saling merantau :(
Label:
Coco,
disneypixar,
family,
imaji,
lilsmoviereview,
nah!,
random,
rasa
Montag, 1. September 2014
Aksidental Trip: Ungkapan Rezeki di Siang Bolong itu Ada! (Part #1)
Saya tahu, beberapa minggu belakangan ini, trafik blog saya meningkat tajam--bahkan lebih tajam dari silet. Cailah. Saya pun tahu specific factor that did it. Well, apalagi kalo bukan postingan tentang (unfinished written story) seleksi XL Future Leaders yang saya posting entah dari kapan, namun belum selesai part selanjutnya hingga sekarang, lebih tepatnya hingga gelombang 1 seleksi tertulis regional Jakarta sudah dilaksanakan. What a PHP blog memang ya~ Maafkan saya teman-teman yang sudah menaruh harap besar pada blog ini, alih-alih sharing tentang proses seleksi XLFL, saya justru curhat tak karuan.
But, it's okay. Mungkin blog ini tidak menjadi rejeki bagi teman-teman yang seleksi XLFL tahun ini hehe. Karena saya pun belum tahu akan menyelesaikan tulisan-tulisan tersebut kapan. Mengingat, sebagai anak tingkat akhir yang mulai merintis karir sebagai freelance writer (nyari mati ya, udah tingkat akhir, mestinya fokus skripsi malah nyari kerjaan jadi penulis. duh), waktu saya minim untuk menulis hal lain di luar kerjaan. Postingan ini aja, saya curi-curi waktu tidur nih haha. It's already 2.24 AM there.
Oke, jadi hal super duper penting apa yang mendesak banget untuk dibahas kali ini? Yap, just like the title, saya mau mengabadikan momen awkward dan random yang baru saya alami beberapa hari yang lalu. I swear that was the most awkward moment in my 20-some life.
Jadi, cerita bermula ketika Woro--teman dekat semasa SMA (cailah), mengajak saya dan geng PSP--singkatan nama angkatan Paskibra SMA saya, bertemu kangen selepas lebaran. Iya, iya, lebaran udah lewat iya. Tapi, atas nama silaturrahim yang harus terus dijaga dan membayar hutang ketidakhadiran kami saat bukber PSP ramadhan lalu, kami pun janjian untuk ketemuan. Saya pun mengusulkan untuk bertemu di Roti Bakar Eddy (RBE) Margonda, karena saya belum pernah kesana dan ke RBE cabang manapun. Singkat kata, teman saya setuju dan jadilah kita bertemu di hari Jumat yang (subhanallah) berkah.
(Actually, cerita tadi bukan main story-nya ya, gengs. Itu pengantar aja biar seru haha)
Nah, saya inget banget tuh, karena hari itu hari Jumat sekaligus hari deadline proposal skripsi, jadi sebelum berangkat saya rapi-rapi rumah (apa hubungannya?), koreksi-koreksi dikit proposal skripsi, dan berangkat dari rumah setelah Bapak pulang shalat Jumat. Di rumah itu sebelum berangkat terjadilah the tetot moment. Saya baru sadar kalo hari itu saya lagi shaum. Huaaaa, padahal pengen banget nyobain roti bakarnya Pak Eddy itu, tapi lupa banget kalo hari itu lagi puasa. Saya pun sedih, tapi tidak memberitahu teman saya yang telah setia menanti di venue. Karena pasti mereka akan ngomel-ngomel hahaha. Jadi, saya pikir biarlah ini menjadi kejutan buat mereka. Biar saja marahnya on the spot di depan muka saya, jangan via telfon, wasap, line apalagi sms. Kasihan mereka, nanti capek ngetiknya.
(Dan, ini kok udah panjang ya tulisannya? Padahal belum masih belum menyentuh main story -__-)
Singkat kata, saya akhirnya sampe tuh di Roti Bakar Eddy Margonda. Ternyata yang dateng cuma Woro sama Desna. Sedih sih, tapi yasudahlah karena ada berita lebih menyedihkan yang harus saya sampaikan hari itu--bahwa saya puasa, jadinya nggak bisa ikut makan-makan. Desna sama Woro begitu tau langsung murka sama saya. Tapi ujungnya maklum sih hahaha.
Setelah ngobrol panjang lebar, foto-foto dengan berbagai gaya, foto lagi, foto lagi dan foto lagi, hal absurd pun mulai terjadi. Sekitar jam 1 lewat, ada telfon masuk ke hp saya. Awalnya saya kira itu dosen pembimbing saya, karena setelah ketemuan itu, saya berencana untuk bimbingan soal proposal skripsi saya sama PA. Tapi ternyata bukan, yang nelfon itu Irfan--anggota geng Kampung Banana. Haha. Sejujurnya, pas awal-awal dia ngomong di telfon, saya nggak ngerti maksudnya apa. Kedengerannya cuma: "Lili, brnbrk mwkjsbs blubub blubub.......". Mungkin karena Roti Bakar Eddy itu tempatnya terbuka di pinggir jalan kali ya, jadi saya nggak jelas dengernya--atau boleh lah mungkin telinga saya yang bermasalah. Intinya, jawaban saya pas awal itu cuma, "Apa?...... Apa? Oh, Apa?"
Setelah beberapa detik, saya mencoba untuk mendengarkan suara di telfon dengan seksama. Ternyata si Irfan dengan santainya nanya, besok ada acara nggak, bisa nggak berangkat ikutan NLC sampe tanggal 27 Agustus. Saya yang denger dia ngomong dengan santai gitu, cuma ketawa-ketawa aja dan mikir dia bercanda--or mocking at me (secara saya kan sempet apply, tapi nggak lolos). Yaa, gimana nggak mikir kayak gitu, NLC (Nusantara Leadership Camp) 2014 itu bakal diadain di Putrajaya, Malaysia tanggal 23 Agustus 2014 - 27 Agustus 2014. Yang mau ikutan itu, ada seleksi berkasnya. Saya daftar dan tidak lolos. And that time, he was asking my availability to be in. Simply thru phone call. With an innocent yet flat voice.Ini orang kayaknya sakit deh. Sekejap kemudian, saya langsung menyambar ajakan Irfan: "Wah, lo bercanda ya? Lo tau gue apply dan nggak keterima ya?" Dan Irfan, tetap dengan nada datar, bilang: "Nggak, nggak ini serius. Singapura nggak jadi ngirim delegasi, jadi kita cari orang buat isi kuota yang kosong. Nah, lo kan alumni UISDP, jadi ditawarin." Saya pun terdiam. Asik, kalo di FTV-FTV macam terbengong-bengong gitu. Macam nggak yakin ini mimpi atau kejadian beneran. Random amat. Ngerasa amazed banget kalo hal se-absurd dan se-kebetulan ini bisa kejadian. Basically, it's not about Malaysia that made me amazed. But, how this random thing happened. Kalo kata Paulo Coelho, how the universe conspires to make it happen.
Well, mungkin QS. Faathir : 2 ini bisa menjawab...
(2) مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidaklah ada yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan-Nya maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. 35 : 2)
Beberapa detik setelahnya, saya minta waktu buat mikir. Cailah. Telfon pun dimatikan. Saya pun reflek bertanya ke Woro dan Desna yang masih sibuk foto-foto cantik, "Masa temen gue random banget deh. Ngajak ke Malaysia besok pagi. Menurut lo berangkat nggak?" Terus mereka jawab, "Lah iya? random banget. Kalo gratis mah berangkat." Dan jadilah, tanpa sebelumnya saya konfirmasi dulu berapa biaya yang harus saya keluarkan--yang beberapa jam setelahnya saya baru tau jika saya tidak perlu membayar apapun, saya konfirmasi via sms jika saya tertarik ikut.
Saya mengehela napas, subhanallah, jadi ini yang namanya rezeki di siang bolong?
-to be continued. Udah subuh euy.
But, it's okay. Mungkin blog ini tidak menjadi rejeki bagi teman-teman yang seleksi XLFL tahun ini hehe. Karena saya pun belum tahu akan menyelesaikan tulisan-tulisan tersebut kapan. Mengingat, sebagai anak tingkat akhir yang mulai merintis karir sebagai freelance writer (nyari mati ya, udah tingkat akhir, mestinya fokus skripsi malah nyari kerjaan jadi penulis. duh), waktu saya minim untuk menulis hal lain di luar kerjaan. Postingan ini aja, saya curi-curi waktu tidur nih haha. It's already 2.24 AM there.
Oke, jadi hal super duper penting apa yang mendesak banget untuk dibahas kali ini? Yap, just like the title, saya mau mengabadikan momen awkward dan random yang baru saya alami beberapa hari yang lalu. I swear that was the most awkward moment in my 20-some life.
Jadi, cerita bermula ketika Woro--teman dekat semasa SMA (cailah), mengajak saya dan geng PSP--singkatan nama angkatan Paskibra SMA saya, bertemu kangen selepas lebaran. Iya, iya, lebaran udah lewat iya. Tapi, atas nama silaturrahim yang harus terus dijaga dan membayar hutang ketidakhadiran kami saat bukber PSP ramadhan lalu, kami pun janjian untuk ketemuan. Saya pun mengusulkan untuk bertemu di Roti Bakar Eddy (RBE) Margonda, karena saya belum pernah kesana dan ke RBE cabang manapun. Singkat kata, teman saya setuju dan jadilah kita bertemu di hari Jumat yang (subhanallah) berkah.
(Actually, cerita tadi bukan main story-nya ya, gengs. Itu pengantar aja biar seru haha)
Nah, saya inget banget tuh, karena hari itu hari Jumat sekaligus hari deadline proposal skripsi, jadi sebelum berangkat saya rapi-rapi rumah (apa hubungannya?), koreksi-koreksi dikit proposal skripsi, dan berangkat dari rumah setelah Bapak pulang shalat Jumat. Di rumah itu sebelum berangkat terjadilah the tetot moment. Saya baru sadar kalo hari itu saya lagi shaum. Huaaaa, padahal pengen banget nyobain roti bakarnya Pak Eddy itu, tapi lupa banget kalo hari itu lagi puasa. Saya pun sedih, tapi tidak memberitahu teman saya yang telah setia menanti di venue. Karena pasti mereka akan ngomel-ngomel hahaha. Jadi, saya pikir biarlah ini menjadi kejutan buat mereka. Biar saja marahnya on the spot di depan muka saya, jangan via telfon, wasap, line apalagi sms. Kasihan mereka, nanti capek ngetiknya.
(Dan, ini kok udah panjang ya tulisannya? Padahal belum masih belum menyentuh main story -__-)
Singkat kata, saya akhirnya sampe tuh di Roti Bakar Eddy Margonda. Ternyata yang dateng cuma Woro sama Desna. Sedih sih, tapi yasudahlah karena ada berita lebih menyedihkan yang harus saya sampaikan hari itu--bahwa saya puasa, jadinya nggak bisa ikut makan-makan. Desna sama Woro begitu tau langsung murka sama saya. Tapi ujungnya maklum sih hahaha.
Setelah ngobrol panjang lebar, foto-foto dengan berbagai gaya, foto lagi, foto lagi dan foto lagi, hal absurd pun mulai terjadi. Sekitar jam 1 lewat, ada telfon masuk ke hp saya. Awalnya saya kira itu dosen pembimbing saya, karena setelah ketemuan itu, saya berencana untuk bimbingan soal proposal skripsi saya sama PA. Tapi ternyata bukan, yang nelfon itu Irfan--anggota geng Kampung Banana. Haha. Sejujurnya, pas awal-awal dia ngomong di telfon, saya nggak ngerti maksudnya apa. Kedengerannya cuma: "Lili, brnbrk mwkjsbs blubub blubub.......". Mungkin karena Roti Bakar Eddy itu tempatnya terbuka di pinggir jalan kali ya, jadi saya nggak jelas dengernya--atau boleh lah mungkin telinga saya yang bermasalah. Intinya, jawaban saya pas awal itu cuma, "Apa?...... Apa? Oh, Apa?"
Setelah beberapa detik, saya mencoba untuk mendengarkan suara di telfon dengan seksama. Ternyata si Irfan dengan santainya nanya, besok ada acara nggak, bisa nggak berangkat ikutan NLC sampe tanggal 27 Agustus. Saya yang denger dia ngomong dengan santai gitu, cuma ketawa-ketawa aja dan mikir dia bercanda--or mocking at me (secara saya kan sempet apply, tapi nggak lolos). Yaa, gimana nggak mikir kayak gitu, NLC (Nusantara Leadership Camp) 2014 itu bakal diadain di Putrajaya, Malaysia tanggal 23 Agustus 2014 - 27 Agustus 2014. Yang mau ikutan itu, ada seleksi berkasnya. Saya daftar dan tidak lolos. And that time, he was asking my availability to be in. Simply thru phone call. With an innocent yet flat voice.
Well, mungkin QS. Faathir : 2 ini bisa menjawab...
(2) مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidaklah ada yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan-Nya maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. 35 : 2)
Beberapa detik setelahnya, saya minta waktu buat mikir. Cailah. Telfon pun dimatikan. Saya pun reflek bertanya ke Woro dan Desna yang masih sibuk foto-foto cantik, "Masa temen gue random banget deh. Ngajak ke Malaysia besok pagi. Menurut lo berangkat nggak?" Terus mereka jawab, "Lah iya? random banget. Kalo gratis mah berangkat." Dan jadilah, tanpa sebelumnya saya konfirmasi dulu berapa biaya yang harus saya keluarkan--yang beberapa jam setelahnya saya baru tau jika saya tidak perlu membayar apapun, saya konfirmasi via sms jika saya tertarik ikut.
Saya mengehela napas, subhanallah, jadi ini yang namanya rezeki di siang bolong?
-to be continued. Udah subuh euy.
Sonntag, 30. März 2014
XL Future Leaders 2nd Batch: The Uncensored Story Part #1
Dan yak, setelah membuat kesal beberapa orang dengan blog berjudul super panjang tapi super nggak penting (Emm, atau justru tidak ada yang kesal, karena memang tidak ada yang mengunjungi. haha. *Lili edisi hopeless*) beberapa menit kemudian, saya pun meng-click compose button lagi haha. But now, i've decided what things i will share first.
Jadi, kali ini saya mau berbagi cerita sedikit tentang program XL Future Leaders (XLFL) yang saya ikuti. Jengejerejeeeeeng, ayo kalian yang lagi baca, heboh-heboh gitu ya sebelum kita menuju tulisan utama. Wuhuuuu wuhuuuu. Oke stop being stupid, Li :)
Sebelumnya, saya mau mengingatkan, cerita saya kali ini kan bukan cerita komersil berbayar ya haha, jadi maaf jika nantinya, isi tulisan justru lebih banyak curhat dan sedikit memberikan informasi. heheu.
Oke, semuanya bermula di kost-an Lita (Nama lengkap: Nurlita Dewi Ramadhani | Kuliah: Vokasi UI 2011 | Status: InsyaAllah jomblo hingga menikah). Jadi, saat itu siang menjelang sore, saya dan beberapa teman lain berkumpul di kost-an Lita untuk rapat program Kampung Banana yang merupakan proyek pemberdayaan masyarakat yang saat ituhingga kini masih berusaha kami kembangkan di Beji, Depok (more info tentang Kampung Banana disini). Saya masih ingat dengan sangat detail, hampir semua teman-teman saya saat itu sibuk membicarakan program XLFL. Ternyata, beberapa dari mereka lolos tahapan seleksi awal dan bersiap untuk seleksi wawancara. Nah, saya yang saat itu nggak tau program XLFL itu apa, hanya diam (tapi menyimak), yaa paling saya nanya-nanya seadanya lah haha. Saya agak sebel juga, kenapa saya bisa nggak dapet kabar sama sekali tentang itu program. Belakangan saya tau, kalo ternyata XL Future Leaders itu adalah program leadership yang diadakan untuk pertama kalinya oleh sebuah provider *piiip*. Nama providernya dirahasiakan ya hahahaha you know lah. Makanya, saya nggak terlalu menyalahkan diri gitu sih, karena nggak tau informasi tentang program ini. Tapi, gimana caranya itu temen geng gaul di Kampung Banana pada tau soal program XLFL? Saya juga nggak tau sih haha. Yang saya tau, begitulah culture kita, setiap ketemu, pasti update event atau lomba hahahahaha.
Singkat cerita, pas udah di rumah, saya langsung cari tau deh tuh info tentang XL Future Leaders. Saya catet segala kontak, website, twitter, dan sebagainya, buat jaga-jaga untuk seleksi tahun depan. Pokoknya saya nggak mau ketinggalan info lagi. Even saat itu, saya pun belom tau banget benefit apa aja yang bisa kita dapet kalo kepilih nanti. Yang penting buat saya, daftar aja. Itu kan program leadership, lolos nggak lolos, there must be priceless values we could get, right? Haha. Sounds ambitious? Oh no, guys! It's what we usually call it as stra-te-gy hahahah.
Setelah masa seleksi program XLFL Batch I selesai, saya ikut berbahagia karena dari geng Kampung Banana, ternyata ada satu orang yang lolos sampai tahap akhir, please welcome..... Irfaaaaaaaaaannnnn!!! Yuhuuuu. Sejujurnya, gue nggak ngerasa amazed banget sih knowing that he passed the selection process. Pertama, karena dia emang cukup kece, kan temen gue di Kampung Banana. Pokoknya anak Kampung Banana itu keren-keren semua haha. Jadi kan kita pernah ikut satu program student development gitu, jadi taulah saya gimana track record dia hahaha. Nah, tapi, setelah denger beberapa kali cerita Irfan tentang program-program XLFL yang kereeen banget, gimana dia dapet pendampingan dari para fasilitator yang merupakan konsultan dari lembaga yang sangat kredibel, gimana kurikulum programnya sangat menyenangkan, gimana metode belajarnya yang fun, gimana dia seleksi via regional Yogya (biar chance-nya lebih gede dari regional Jakarta katanya. which means emang seleksinya ketat banget, bahkan lebih ketat dari leggingnya penyanyi dangdut), dan yang paling penting gimana ikhlasnya XL menginvestasikan banyak fasilitas (HP touch screen, notebook, modem, pulsa) ke para peserta-- fixed banget semua hal itu bikin saya semakin bulat untuk ikut seleksi XL Future Leaders tahun berikutnya.
Yaaak, udah cukup panjang yaa ceritanya. Tapi bahkan, setengah cerita pun belom ini hahaha. Oke, jadi lanjut ke postingan selanjutnya ya.
Jadi, kali ini saya mau berbagi cerita sedikit tentang program XL Future Leaders (XLFL) yang saya ikuti. Jengejerejeeeeeng, ayo kalian yang lagi baca, heboh-heboh gitu ya sebelum kita menuju tulisan utama. Wuhuuuu wuhuuuu. Oke stop being stupid, Li :)
Sebelumnya, saya mau mengingatkan, cerita saya kali ini kan bukan cerita komersil berbayar ya haha, jadi maaf jika nantinya, isi tulisan justru lebih banyak curhat dan sedikit memberikan informasi. heheu.
Oke, semuanya bermula di kost-an Lita (Nama lengkap: Nurlita Dewi Ramadhani | Kuliah: Vokasi UI 2011 | Status: InsyaAllah jomblo hingga menikah). Jadi, saat itu siang menjelang sore, saya dan beberapa teman lain berkumpul di kost-an Lita untuk rapat program Kampung Banana yang merupakan proyek pemberdayaan masyarakat yang saat itu
Singkat cerita, pas udah di rumah, saya langsung cari tau deh tuh info tentang XL Future Leaders. Saya catet segala kontak, website, twitter, dan sebagainya, buat jaga-jaga untuk seleksi tahun depan. Pokoknya saya nggak mau ketinggalan info lagi. Even saat itu, saya pun belom tau banget benefit apa aja yang bisa kita dapet kalo kepilih nanti. Yang penting buat saya, daftar aja. Itu kan program leadership, lolos nggak lolos, there must be priceless values we could get, right? Haha. Sounds ambitious? Oh no, guys! It's what we usually call it as stra-te-gy hahahah.
Setelah masa seleksi program XLFL Batch I selesai, saya ikut berbahagia karena dari geng Kampung Banana, ternyata ada satu orang yang lolos sampai tahap akhir, please welcome..... Irfaaaaaaaaaannnnn!!! Yuhuuuu. Sejujurnya, gue nggak ngerasa amazed banget sih knowing that he passed the selection process. Pertama, karena dia emang cukup kece, kan temen gue di Kampung Banana. Pokoknya anak Kampung Banana itu keren-keren semua haha. Jadi kan kita pernah ikut satu program student development gitu, jadi taulah saya gimana track record dia hahaha. Nah, tapi, setelah denger beberapa kali cerita Irfan tentang program-program XLFL yang kereeen banget, gimana dia dapet pendampingan dari para fasilitator yang merupakan konsultan dari lembaga yang sangat kredibel, gimana kurikulum programnya sangat menyenangkan, gimana metode belajarnya yang fun, gimana dia seleksi via regional Yogya (biar chance-nya lebih gede dari regional Jakarta katanya. which means emang seleksinya ketat banget, bahkan lebih ketat dari leggingnya penyanyi dangdut), dan yang paling penting gimana ikhlasnya XL menginvestasikan banyak fasilitas (HP touch screen, notebook, modem, pulsa) ke para peserta-- fixed banget semua hal itu bikin saya semakin bulat untuk ikut seleksi XL Future Leaders tahun berikutnya.
Yaaak, udah cukup panjang yaa ceritanya. Tapi bahkan, setengah cerita pun belom ini hahaha. Oke, jadi lanjut ke postingan selanjutnya ya.
Abonnieren
Posts (Atom)
Popular posts
-
Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, sejak saya membaca surat rekomendasi yang dibuatkan oleh referee saya, saya memil...
-
Kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya 'berkenalan' dengan YSEALI hingga akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar program ...
-
Setelah beberapa bulan penantian, finally woro-woro tentang pembukaan pendaftaran seleksi program XL Future Leaders Batch II pun dibuka. K...
-
Sekarang, saya akan berbagi langkah-langkah yang saya lakukan dalam mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018. Ingat, i...
-
Few days ago, i finally happened to visit Gunung Bromo for the very first time! Yay . Seru sekali. Saya pergi rombongan bersama teman-teman...
-
Hai guys! (tampang sok asik) So, it is my second writing. hahah yang sabar ya bacanya. Semoga gak bikin mual. Amiiiin Oke, j...
-
Oops Oops Oops... Oops Oops Oops... Oops Fugu Fugu... Oops Fugu Fugu... Bagi Anda yang merupakan penikmat iklan, pasti familiar denga...
-
Dan yak, setelah membuat kesal beberapa orang dengan blog berjudul super panjang tapi super nggak penting (Emm, atau justru tidak ada yang k...
-
Berbicara tentang nasionalisme, maka kadang pikiran kita akan langsung tertuju pada segala hal yang berkaitan dengan rasa cinta tanah air, ...
-
Genap sudah empat kali idul adha gue terasa sangat kentang karena jauh dari rumah. Empat kali idul adha juga kagak makan daging qurban. ...