Sonntag, 1. Oktober 2017

Lil's Travel Journey: Random Travel to Bromo yang Berujung Wisata Reliji

Few days ago, i finally happened to visit Gunung Bromo for the very first time! Yay. Seru sekali. Saya pergi rombongan bersama teman-teman Cabang Ngasem, Kediri, tempat saya bertugas saat ini. The most important thing to highlight is biaya perjalanannya cuma 150k udah PP dan termasuk sewa mobil jeep di sana, lho! Huahahaha kubahagia hingga jumawa.

Nah, biar postingan ini lebih berfaedah, saya akan share pengalaman saya secara berurutan sejak berangkat sampai balik lagi. Plus ada beberapa tips yang akan saya bagi agar teman-teman yang juga berencana ke sana bisa mempersiapkan perjalanannya lebih baik lagi.


Perjalanan Menuju Bromo

Oke, jadi perjalanan kami mulai sekitar jam 9 malam dari Pare, Kediri- sesuai request si Om-om pemilik travel. Meeting point-nya di perempatan lampu merah yang ada patung burung Garuda besarnya. Kalau nggak salah sih itu Monumen Garuda Pancasila namanya.

Nah, karena kami dari Ngasem itu naik motor, jadi motornya kami titip di RSUD Pare yang letaknya nggak jauh dari meeting point. Tenang, jangan bayangkan harga parkir di Jakarta yang tarifnya progresif nambah tiap jam. Itu motor baru kami ambil besok malemnya dan kami cukup bayar 2k aja.

Setelah semua rombongan kumpul, motor aman terparkir di rumah sakit, kami naik ke mobil travelnya deh. Mobilnya Elf, selayaknya travel-travel pada umumnya. Perjalanan Kediri - Pasuruan (Gunung Bromo itu ada di antara Pasuruan - Malang - Probolinggo btw) itu makan waktu sekitar 6 jam. Saya kurang paham gimana kondisi jalan menuju kesana, selain karena gelap, jadi nggak bisa liat apa-apa, saya orangnya ngantukan. Jadi, baru masuk mobil juga saya sudah buka sleeping bag dan siap-siap bobok hahahaha.

Sepanjang perjalanan, walaupun saya terlelap dalam tidur panjang, saya ngeh kalau kami sempat beberapa kali berhenti. Entah untuk istirahat, jemput satu penumpang lain, atau entahlah (bahkan sempat ada berita berhembus, supirnya berhenti untuk transaksi doping biar kuat melanjutkan perjalanan. duh serem). Saya nggak terlalu paham kejadian waktu itu, karena setiap kebangun sebentar itu, saya liat kanan-kiri, nyadar mobil berhenti, dan lanjut tidur lagi. Hahahahaha.

Sekitar jam 3 pagi, saya kebangun dan suasana mobil udah rame. Ternyata kami sudah sampai. Yay. Hawanya lumayan dingin, tapi belum ngaruh apa-apa sih ke saya. Since saat itu saya masih bisa bertahan dengan kemeja putih tipis tanpa jaket. Temen-temen semobil udah pada heboh kedinginan dan beli-beli kupluk, syal, dll. Padahal mereka udah bawa sendiri-sendiri lho dari Kediri, tapi masih ngerasa kupluk yang mereka bawa kurang menghangatkan. Akhirnya mereka beli lagi di tukang kupluk yang mengepung mobil kami. Padahal kelihatannya sih sama aja bahannya. Hem, impulsive buying. Haha.


Menanti Sunrise

Selama 20 menit kami bertahan di dalam mobil travel karena dikerubungi buk-ibuk dan pak-bapak yang menawarkan kupluk, syal, dll dengan bahasa manis marketing selayaknya SPG terlatih. Sampai akhirnya si Om Supir travel kami bilang, "Ayo-ayo keluar dan ikuti saya. Jangan sampai terpisah ya." (Saya lupa diksi tepatnya seperti apa. Hahaha. Intinya, gitu lah.).

Selanjutnya, kami pun keluar mobil dan mengikuti si Om Supir. Udaranya sudah terasa nyelekit-nyelekit gitu. Tapi, saya masih bertahan dong dengan kemeja tipis. Sementara jaket hanya saya ikatkan di pinggang.

Om Supir ternyata membawa kami ke mobil jeep yang akan mengantar kami ke bukit untuk melihat sunrise. Sayangnya, karena kapasitas mobil jeep terbatas, rombongan kami harus terbagi menjadi dua kelompok. Kurang lebih, satu mobil jeep dapat memuat 7 - 8 orang.




Suasana di dalam mobil jeep. Cukup sempit, tapi seru sekali. Apalagi kalau kalian perginya sama teman-teman terdekat.


Kami sempat menunggu kurang lebih 15 menit sampai akhirnya jeep itu benar-benar berangkat. Perjalanan ke atas sendiri memakan waktu kurang lebih setengah jam. Medannya pun cukup ekstrim dengan banyak tanjakan dan turunan. Saya bahkan sempat mual. Beruntung, angin malam sedikit-sedikit masuk ke dalam jeep kami, sehingga menghilangkan rasa mual akibat kondisi jalanan yang tidak bersahabat tersebut.

At some point, yang saya sendiri tidak paham dimana persisnya, si Bapak Supir jeep menurunkan kami. Di sekitar jeep tumpangan kami juga sudah berjajar jeep-jeep lain. Kata si Bapak Supir, jalur ke atas sudah macet, jadi lebih baik kami menikmati sunrise di titik tersebut. Bapak Supir lalu mengarahkan kami untuk naik ke atas bukit yang berada tidak jauh dari tempat jeep kami terparkir.

Kami pun mengikuti jalan setapak menanjak yang gelap dan licin (bukan licin karena basah, tetapi karena tanahnya seperti tanah merah yang kering dan halus. Saya bingung menggambarkannya hehe). Saat sampai di tempat yang agak landai, ternyata sudah ada banyak pedagang yang menjajakan minuman hangat dan menyewakan tikar serta jaket di sana. Sebenarnya, dari titik kami itu, masih bisa menanjak lagi. Tetapi, demi mempertimbangkan keamanan, kami berhenti di titik tersebut.

Kami pun mengambil posisi berjajar menghadap ke arah matahari terbit. Waktu sepertinya menunjukkan pukul 3.30 WIB. Entahlah, saya kurang tahu persis, yang pasti udara sudah semakin dingin. Saya juga sudah menyerah dengan kemeja tipis dan memutuskan memakai jaket tebal yang sebelumnya melingkar di pinggang.

Kegiatan menanti fajar (baca: sunrise) ini tidak terlalu menyenangkan. Pertama, karena matahari baru akan terbit kurang lebih 1 - 2 jam lagi, nggak tau tepatnya jam berapa ehehe, yang pasti sih nunggunya cukup lama. Kedua, kami bosan karena tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan, selain mendengarkan musik. Tidak ada makanan yang bisa dicemilin, selain roti dua biji yang saya bawa, padahal saya laper. Ketiga, hawanya dingin banget banget banget bangeeeeeet. Bahkan saya sempat lompat-lompat sambil goyang-goyang badan untuk meredakan hawa dinginnya (yang sebenernya nggak begitu nolong sih). Untungnya, saya masih punya sleeping bag yang bisa jadi andalan menangkal hawa dingin. Lumayan banget, muat untuk menghangatkan dua orang. Ohya, kupluk-kupluk punya teman-teman yang teronggok tak terpakai di tas saya juga akhirnya saya berdayakan. Pokoknya, apapun yang penting saya nggak mati kedinginan weh.

Anyway, walaupun lagi safar begini, sholat tetep nggak boleh ketinggalan loh ya. Waktu itu saya sholat subuh di semak-semak dengan beralaskan sleeping bag. Dalam hati ngucap bismillah aja lah, semoga tempatnya suci dari najis. Aamiin.







Menanti sunrise yang tak kunjung tiba. Ternyata, makin pagi, hawanya makin dingin euy.


Sekian lama menanti sang fajar, ternyata cuaca kurang berkenan. Menurut orang-orang, sunrise-nya lagi nggak bagus karena banyak kabut yang menutupi. Alhasil, gradasi warna langit yang biasanya menyertai sunrise nggak kelihatan jelas. Loh, kenapa kok 'menurut orang-orang'? Karena saya sendiri tidak berpengalaman nontonin sunrise di alam terbuka. Jadi, mau gimana pun penampakannya, menurut saya mah indah-indah aja dan cukup bikin hati berdecak sembari mengucap Maasya Allah aja lah. Bersyukur Allah masih kasih kesempatan ke saya untuk berkunjung ke Bromo.



Sebelum beralih ke destinasi selanjutnya, foto dulu di sebelah jeep kami.


Lautan Pasir

Ketika matahari semakin beranjak naik, kami kembali ke mobil jeep untuk meneruskan perjalanan. Hawa yang awalnya dingin mulai berangsur hangat. Pemandangan saat perjalanan menuju titik destinasi selanjutnya cukup memanjakan mata. Sayang sekali kalau di waktu tersebut kita tidur, walaupun saya sendiri tidur sih hahaha. Saya bangun ketika pemandangan sekitar yang mulanya berupa pepohonan dan jalan curam berubah menjadi lautan pasir. Jeep yang kami tumpangi pun berhenti di satu titik di tengah-tengah lautan pasir tersebut. Gunung Bromo sendiri masih cukup jauh dari posisi kami saat itu. Sepertinya, titik tersebut memang menjadi titik persinggahan wisatawan sebelum benar-benar sampai di kaki Gunung Bromo.

Sejauh mata memandang, yang saya lihat hanya lautan pasir dan bukit besar nan tinggi yang berbaris-baris. Langitnya biru cerah dengan sedikit guratan-guratan putih awan. Semburat cahaya matahari pagi membentuk siluet alam yang manis. Gulma-gulma hidup menggerombol di beberapa titik. Warnanya yang keemasan semakin membuat klasik pemandangan yang terhampar (btw, bener yak namanya gulma? kok gue ragu yaa hahaha). Hem, pokoknya gitu lah, saya nggak jago mendeskripsikan pemandangan indah dengan personifikasi ala ala sastrawan. Mending liat foto-fotonya langsung aja deh. No filter lho, saya jepret langsung pakai HP low-end ber-tagline 'Camera Phone' dengan spek paling rendah.






No filter cuy!


Sayangnya, momen langka nan memesona itu tidak bisa saya nikmati lama-lama. Bukan, bukan karena si Bapak Supir meminta kami untuk bersegera naik jeep dan meneruskan perjalanan. Tapi, karena naluri manusiawi untuk pipis saya yang tiba-tiba datang mengganggu. Dan berita buruknya, there's no toilet there, at all. Toilet terdekat lokasinya tepat di kaki Gunung Bromo, which is still quite far from there. Hem, okay then, i have no other choice beside staying calm and holding it. Saya pun berusaha membuyarkan hasrat untuk pipis tersebut dengan foto-foto manis. Namun, rasa yang datang dari dalam diri memang sungguh tidak dapat berbohong. Saya sampai pada titik di mana saya tidak sanggup menahan lagi. Well, i'm indeed not a pro in menahan rasa ingin pup atau pipis.

Melihat saya yang tampak tersiksa menahan pipis, si Bapak Supir nggak tega dan akhirnya menawarkan saya sarungnya agar saya bisa pipis darurat. Tapi kan saya nggak mungkin pinjem sarung si Bapak Supir yaa. Beruntung, salah satu teman saya juga bawa sarung, jadi saya bisa pinjam sarung dia deh (tentunya setelah izin sama istrinya, since he just got married, istrinya juga teman saya dan ikut dalam rombongan. wq).

Akhirnya, dengan bantuan seorang teman dan sarung mejik, saya berhasil menuntaskan hasrat ingin pipis saya di satu spot di tengah gulma-gulma. Alhamdulillah. Jadi, sedikit pesan buat teman-teman yang akan ke Bromo, kalau kalian kelak menemukan satu spot dengan air menggenang, jangan dulu bahagia. Kita tidak berada pada zaman Nabi Ismail dimana sumber air zamzam muncul. Saya agak khawatir itu adalah genangan air yang sempat saya tinggalkan. ehe.


Finally, the magnificent Bromo!

Sekitar pukul 6 lebih sedikit kami masuk jeep dan bersiap ke titik selanjutnya. Medan yang kami lewati sangat berdebu karena isinya pasir semua. Tapi, tetep aja kece. Tenang, kali ini saya nggak bobok kok karena saking excited-nya mau liat Gunung Bromo dari jarak yang sangat dekat. Sepanjang jalan si Bapak Supir menyuguhkan atraksi jeep kecil-kecilan kepada kami. Jeep-nya dibawa ngebut terus jalannya agak zig zag gitu. Nahlo, kebayang nggak tuh gimana maksudnya. Saya sempet record momen-nya, semoga bisa tergambarkan. Ohya, sepanjang jalan, kami juga sempat liat wisatawan-wisatawan bermotor yang motornya 'selip' kesulitan berjalan di lautan pasir itu. Ngeri-ngeri sedap.




After such a tough road, finally we touch down kawasan Gunung Bromo! Yeay. Keren banget banget banget yaa penampakan aslinya. Masya Allah, memang luar biasa deh Allah.





Mobil jeep dan si Bapak Supir hanya mengantar kami hingga batas parkir mobil. Selebihnya, kami bisa berjalan atau sewa kuda hingga ke puncak. Biaya sewa kuda sekitar 150k. But, none of us sewa kuda, kan mau berhemat hehe. Saya sendiri ngerasa lebih worth it kalau jalan kaki sih, bisa menikmati pemandangan lama-lama dan 'me time' untuk bertafakur. aih.




Saya kurang tahu persis berapa panjang jarak dari parkiran menuju tangga penanjakan ke kawah Gunung Bromo, yang pasti, ketika saya jalan, berasa sih nggak sampe-sampe. Padahal, kalau dari parkiran, kelihatannya itu gunung ada di depan mata. Mungkin juga karena kami sempat berhenti di beberapa titik sih. Titik pertama, kami berhenti untuk beli pentol karena lapar, kan belum sarapan. Harga pentolnya 5k saja. Wait, what, jadi di sekitar Gunung Bromo ada yang jualan? Yes, lebih tepatnya, banyak yang jualan. Makanya, kalau kamu lapar atau butuh sesuatu untuk menghangatkan badan di pagi hari, jangan khawatir, karena banyak pedagang yang menjajakan minuman sachet atau mie instan yang diseduh. Titik kedua, kami berhenti di toilet umum karena ada beberapa teman yang mau pipis, biaya toiletnya juga 5k.

Selesai dari toilet, medan sudah lebih syulit. Banyak yang jual masker karena kondisinya memang sangat berdebu. Hawanya sendiri masih dingin karena anginnya kencang, tapi juga hangat karena matahari. Intinya sih kostum hangat kami subuh tadi sudah tidak dibutuhkan lagi. Beberapa dari rombongan kami memutuskan untuk tidak naik ke atas. Saya sendiri, cuss naik aja lah selagi masih aman.







Tangga menuju kawah Bromo ternyata antre luar biasa. Beberapa orang yang tidak sabar memutuskan untuk berjalan melalui tebing di samping tangga yang terjal dan berbahaya. Beruntungnya, saya tidak punya nyali sebesar mereka, jadi saya bersabar saja dengan mengantre lewat tangga.

Kondisi tangga menuju kawah sendiri cukup menyedihkan. Walaupun konstruksinya masih cukup kokoh (cailah, sok ngomongin konstruksi), permukaannya banyak dicoret-coret oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Padahal, Bromo itu nggak cuma dikunjungi wisatawan domestik aja lho, banyak juga wisatawan mancanegaranya. Tapi, kok ya vandalisme macam gitu masih dilakukan. 








Sonntag, 1. Oktober 2017

Lil's Travel Journey: Random Travel to Bromo yang Berujung Wisata Reliji

Few days ago, i finally happened to visit Gunung Bromo for the very first time! Yay. Seru sekali. Saya pergi rombongan bersama teman-teman Cabang Ngasem, Kediri, tempat saya bertugas saat ini. The most important thing to highlight is biaya perjalanannya cuma 150k udah PP dan termasuk sewa mobil jeep di sana, lho! Huahahaha kubahagia hingga jumawa.

Nah, biar postingan ini lebih berfaedah, saya akan share pengalaman saya secara berurutan sejak berangkat sampai balik lagi. Plus ada beberapa tips yang akan saya bagi agar teman-teman yang juga berencana ke sana bisa mempersiapkan perjalanannya lebih baik lagi.


Perjalanan Menuju Bromo

Oke, jadi perjalanan kami mulai sekitar jam 9 malam dari Pare, Kediri- sesuai request si Om-om pemilik travel. Meeting point-nya di perempatan lampu merah yang ada patung burung Garuda besarnya. Kalau nggak salah sih itu Monumen Garuda Pancasila namanya.

Nah, karena kami dari Ngasem itu naik motor, jadi motornya kami titip di RSUD Pare yang letaknya nggak jauh dari meeting point. Tenang, jangan bayangkan harga parkir di Jakarta yang tarifnya progresif nambah tiap jam. Itu motor baru kami ambil besok malemnya dan kami cukup bayar 2k aja.

Setelah semua rombongan kumpul, motor aman terparkir di rumah sakit, kami naik ke mobil travelnya deh. Mobilnya Elf, selayaknya travel-travel pada umumnya. Perjalanan Kediri - Pasuruan (Gunung Bromo itu ada di antara Pasuruan - Malang - Probolinggo btw) itu makan waktu sekitar 6 jam. Saya kurang paham gimana kondisi jalan menuju kesana, selain karena gelap, jadi nggak bisa liat apa-apa, saya orangnya ngantukan. Jadi, baru masuk mobil juga saya sudah buka sleeping bag dan siap-siap bobok hahahaha.

Sepanjang perjalanan, walaupun saya terlelap dalam tidur panjang, saya ngeh kalau kami sempat beberapa kali berhenti. Entah untuk istirahat, jemput satu penumpang lain, atau entahlah (bahkan sempat ada berita berhembus, supirnya berhenti untuk transaksi doping biar kuat melanjutkan perjalanan. duh serem). Saya nggak terlalu paham kejadian waktu itu, karena setiap kebangun sebentar itu, saya liat kanan-kiri, nyadar mobil berhenti, dan lanjut tidur lagi. Hahahahaha.

Sekitar jam 3 pagi, saya kebangun dan suasana mobil udah rame. Ternyata kami sudah sampai. Yay. Hawanya lumayan dingin, tapi belum ngaruh apa-apa sih ke saya. Since saat itu saya masih bisa bertahan dengan kemeja putih tipis tanpa jaket. Temen-temen semobil udah pada heboh kedinginan dan beli-beli kupluk, syal, dll. Padahal mereka udah bawa sendiri-sendiri lho dari Kediri, tapi masih ngerasa kupluk yang mereka bawa kurang menghangatkan. Akhirnya mereka beli lagi di tukang kupluk yang mengepung mobil kami. Padahal kelihatannya sih sama aja bahannya. Hem, impulsive buying. Haha.


Menanti Sunrise

Selama 20 menit kami bertahan di dalam mobil travel karena dikerubungi buk-ibuk dan pak-bapak yang menawarkan kupluk, syal, dll dengan bahasa manis marketing selayaknya SPG terlatih. Sampai akhirnya si Om Supir travel kami bilang, "Ayo-ayo keluar dan ikuti saya. Jangan sampai terpisah ya." (Saya lupa diksi tepatnya seperti apa. Hahaha. Intinya, gitu lah.).

Selanjutnya, kami pun keluar mobil dan mengikuti si Om Supir. Udaranya sudah terasa nyelekit-nyelekit gitu. Tapi, saya masih bertahan dong dengan kemeja tipis. Sementara jaket hanya saya ikatkan di pinggang.

Om Supir ternyata membawa kami ke mobil jeep yang akan mengantar kami ke bukit untuk melihat sunrise. Sayangnya, karena kapasitas mobil jeep terbatas, rombongan kami harus terbagi menjadi dua kelompok. Kurang lebih, satu mobil jeep dapat memuat 7 - 8 orang.




Suasana di dalam mobil jeep. Cukup sempit, tapi seru sekali. Apalagi kalau kalian perginya sama teman-teman terdekat.


Kami sempat menunggu kurang lebih 15 menit sampai akhirnya jeep itu benar-benar berangkat. Perjalanan ke atas sendiri memakan waktu kurang lebih setengah jam. Medannya pun cukup ekstrim dengan banyak tanjakan dan turunan. Saya bahkan sempat mual. Beruntung, angin malam sedikit-sedikit masuk ke dalam jeep kami, sehingga menghilangkan rasa mual akibat kondisi jalanan yang tidak bersahabat tersebut.

At some point, yang saya sendiri tidak paham dimana persisnya, si Bapak Supir jeep menurunkan kami. Di sekitar jeep tumpangan kami juga sudah berjajar jeep-jeep lain. Kata si Bapak Supir, jalur ke atas sudah macet, jadi lebih baik kami menikmati sunrise di titik tersebut. Bapak Supir lalu mengarahkan kami untuk naik ke atas bukit yang berada tidak jauh dari tempat jeep kami terparkir.

Kami pun mengikuti jalan setapak menanjak yang gelap dan licin (bukan licin karena basah, tetapi karena tanahnya seperti tanah merah yang kering dan halus. Saya bingung menggambarkannya hehe). Saat sampai di tempat yang agak landai, ternyata sudah ada banyak pedagang yang menjajakan minuman hangat dan menyewakan tikar serta jaket di sana. Sebenarnya, dari titik kami itu, masih bisa menanjak lagi. Tetapi, demi mempertimbangkan keamanan, kami berhenti di titik tersebut.

Kami pun mengambil posisi berjajar menghadap ke arah matahari terbit. Waktu sepertinya menunjukkan pukul 3.30 WIB. Entahlah, saya kurang tahu persis, yang pasti udara sudah semakin dingin. Saya juga sudah menyerah dengan kemeja tipis dan memutuskan memakai jaket tebal yang sebelumnya melingkar di pinggang.

Kegiatan menanti fajar (baca: sunrise) ini tidak terlalu menyenangkan. Pertama, karena matahari baru akan terbit kurang lebih 1 - 2 jam lagi, nggak tau tepatnya jam berapa ehehe, yang pasti sih nunggunya cukup lama. Kedua, kami bosan karena tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan, selain mendengarkan musik. Tidak ada makanan yang bisa dicemilin, selain roti dua biji yang saya bawa, padahal saya laper. Ketiga, hawanya dingin banget banget banget bangeeeeeet. Bahkan saya sempat lompat-lompat sambil goyang-goyang badan untuk meredakan hawa dinginnya (yang sebenernya nggak begitu nolong sih). Untungnya, saya masih punya sleeping bag yang bisa jadi andalan menangkal hawa dingin. Lumayan banget, muat untuk menghangatkan dua orang. Ohya, kupluk-kupluk punya teman-teman yang teronggok tak terpakai di tas saya juga akhirnya saya berdayakan. Pokoknya, apapun yang penting saya nggak mati kedinginan weh.

Anyway, walaupun lagi safar begini, sholat tetep nggak boleh ketinggalan loh ya. Waktu itu saya sholat subuh di semak-semak dengan beralaskan sleeping bag. Dalam hati ngucap bismillah aja lah, semoga tempatnya suci dari najis. Aamiin.







Menanti sunrise yang tak kunjung tiba. Ternyata, makin pagi, hawanya makin dingin euy.


Sekian lama menanti sang fajar, ternyata cuaca kurang berkenan. Menurut orang-orang, sunrise-nya lagi nggak bagus karena banyak kabut yang menutupi. Alhasil, gradasi warna langit yang biasanya menyertai sunrise nggak kelihatan jelas. Loh, kenapa kok 'menurut orang-orang'? Karena saya sendiri tidak berpengalaman nontonin sunrise di alam terbuka. Jadi, mau gimana pun penampakannya, menurut saya mah indah-indah aja dan cukup bikin hati berdecak sembari mengucap Maasya Allah aja lah. Bersyukur Allah masih kasih kesempatan ke saya untuk berkunjung ke Bromo.



Sebelum beralih ke destinasi selanjutnya, foto dulu di sebelah jeep kami.


Lautan Pasir

Ketika matahari semakin beranjak naik, kami kembali ke mobil jeep untuk meneruskan perjalanan. Hawa yang awalnya dingin mulai berangsur hangat. Pemandangan saat perjalanan menuju titik destinasi selanjutnya cukup memanjakan mata. Sayang sekali kalau di waktu tersebut kita tidur, walaupun saya sendiri tidur sih hahaha. Saya bangun ketika pemandangan sekitar yang mulanya berupa pepohonan dan jalan curam berubah menjadi lautan pasir. Jeep yang kami tumpangi pun berhenti di satu titik di tengah-tengah lautan pasir tersebut. Gunung Bromo sendiri masih cukup jauh dari posisi kami saat itu. Sepertinya, titik tersebut memang menjadi titik persinggahan wisatawan sebelum benar-benar sampai di kaki Gunung Bromo.

Sejauh mata memandang, yang saya lihat hanya lautan pasir dan bukit besar nan tinggi yang berbaris-baris. Langitnya biru cerah dengan sedikit guratan-guratan putih awan. Semburat cahaya matahari pagi membentuk siluet alam yang manis. Gulma-gulma hidup menggerombol di beberapa titik. Warnanya yang keemasan semakin membuat klasik pemandangan yang terhampar (btw, bener yak namanya gulma? kok gue ragu yaa hahaha). Hem, pokoknya gitu lah, saya nggak jago mendeskripsikan pemandangan indah dengan personifikasi ala ala sastrawan. Mending liat foto-fotonya langsung aja deh. No filter lho, saya jepret langsung pakai HP low-end ber-tagline 'Camera Phone' dengan spek paling rendah.






No filter cuy!


Sayangnya, momen langka nan memesona itu tidak bisa saya nikmati lama-lama. Bukan, bukan karena si Bapak Supir meminta kami untuk bersegera naik jeep dan meneruskan perjalanan. Tapi, karena naluri manusiawi untuk pipis saya yang tiba-tiba datang mengganggu. Dan berita buruknya, there's no toilet there, at all. Toilet terdekat lokasinya tepat di kaki Gunung Bromo, which is still quite far from there. Hem, okay then, i have no other choice beside staying calm and holding it. Saya pun berusaha membuyarkan hasrat untuk pipis tersebut dengan foto-foto manis. Namun, rasa yang datang dari dalam diri memang sungguh tidak dapat berbohong. Saya sampai pada titik di mana saya tidak sanggup menahan lagi. Well, i'm indeed not a pro in menahan rasa ingin pup atau pipis.

Melihat saya yang tampak tersiksa menahan pipis, si Bapak Supir nggak tega dan akhirnya menawarkan saya sarungnya agar saya bisa pipis darurat. Tapi kan saya nggak mungkin pinjem sarung si Bapak Supir yaa. Beruntung, salah satu teman saya juga bawa sarung, jadi saya bisa pinjam sarung dia deh (tentunya setelah izin sama istrinya, since he just got married, istrinya juga teman saya dan ikut dalam rombongan. wq).

Akhirnya, dengan bantuan seorang teman dan sarung mejik, saya berhasil menuntaskan hasrat ingin pipis saya di satu spot di tengah gulma-gulma. Alhamdulillah. Jadi, sedikit pesan buat teman-teman yang akan ke Bromo, kalau kalian kelak menemukan satu spot dengan air menggenang, jangan dulu bahagia. Kita tidak berada pada zaman Nabi Ismail dimana sumber air zamzam muncul. Saya agak khawatir itu adalah genangan air yang sempat saya tinggalkan. ehe.


Finally, the magnificent Bromo!

Sekitar pukul 6 lebih sedikit kami masuk jeep dan bersiap ke titik selanjutnya. Medan yang kami lewati sangat berdebu karena isinya pasir semua. Tapi, tetep aja kece. Tenang, kali ini saya nggak bobok kok karena saking excited-nya mau liat Gunung Bromo dari jarak yang sangat dekat. Sepanjang jalan si Bapak Supir menyuguhkan atraksi jeep kecil-kecilan kepada kami. Jeep-nya dibawa ngebut terus jalannya agak zig zag gitu. Nahlo, kebayang nggak tuh gimana maksudnya. Saya sempet record momen-nya, semoga bisa tergambarkan. Ohya, sepanjang jalan, kami juga sempat liat wisatawan-wisatawan bermotor yang motornya 'selip' kesulitan berjalan di lautan pasir itu. Ngeri-ngeri sedap.




After such a tough road, finally we touch down kawasan Gunung Bromo! Yeay. Keren banget banget banget yaa penampakan aslinya. Masya Allah, memang luar biasa deh Allah.





Mobil jeep dan si Bapak Supir hanya mengantar kami hingga batas parkir mobil. Selebihnya, kami bisa berjalan atau sewa kuda hingga ke puncak. Biaya sewa kuda sekitar 150k. But, none of us sewa kuda, kan mau berhemat hehe. Saya sendiri ngerasa lebih worth it kalau jalan kaki sih, bisa menikmati pemandangan lama-lama dan 'me time' untuk bertafakur. aih.




Saya kurang tahu persis berapa panjang jarak dari parkiran menuju tangga penanjakan ke kawah Gunung Bromo, yang pasti, ketika saya jalan, berasa sih nggak sampe-sampe. Padahal, kalau dari parkiran, kelihatannya itu gunung ada di depan mata. Mungkin juga karena kami sempat berhenti di beberapa titik sih. Titik pertama, kami berhenti untuk beli pentol karena lapar, kan belum sarapan. Harga pentolnya 5k saja. Wait, what, jadi di sekitar Gunung Bromo ada yang jualan? Yes, lebih tepatnya, banyak yang jualan. Makanya, kalau kamu lapar atau butuh sesuatu untuk menghangatkan badan di pagi hari, jangan khawatir, karena banyak pedagang yang menjajakan minuman sachet atau mie instan yang diseduh. Titik kedua, kami berhenti di toilet umum karena ada beberapa teman yang mau pipis, biaya toiletnya juga 5k.

Selesai dari toilet, medan sudah lebih syulit. Banyak yang jual masker karena kondisinya memang sangat berdebu. Hawanya sendiri masih dingin karena anginnya kencang, tapi juga hangat karena matahari. Intinya sih kostum hangat kami subuh tadi sudah tidak dibutuhkan lagi. Beberapa dari rombongan kami memutuskan untuk tidak naik ke atas. Saya sendiri, cuss naik aja lah selagi masih aman.







Tangga menuju kawah Bromo ternyata antre luar biasa. Beberapa orang yang tidak sabar memutuskan untuk berjalan melalui tebing di samping tangga yang terjal dan berbahaya. Beruntungnya, saya tidak punya nyali sebesar mereka, jadi saya bersabar saja dengan mengantre lewat tangga.

Kondisi tangga menuju kawah sendiri cukup menyedihkan. Walaupun konstruksinya masih cukup kokoh (cailah, sok ngomongin konstruksi), permukaannya banyak dicoret-coret oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Padahal, Bromo itu nggak cuma dikunjungi wisatawan domestik aja lho, banyak juga wisatawan mancanegaranya. Tapi, kok ya vandalisme macam gitu masih dilakukan. 








Popular posts