Dienstag, 29. Oktober 2013

Terumbu Karang Punya Kita, Bukan?

Mungkin kita memang patut berbangga dengan negara tempat kita berpijak saat ini. Dengan luas lautan yang mencapai 5.8 Juta KM2 ini, Indonesia menjadi bagian dari wilayah Marine Mega-Biodiversity terbesar di dunia. Selain itu, yang juga tak kalah mengagumkan, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tahun 2010, Indonesia juga menempati urutan ke-2 negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, yaitu sekitar 54.716 KM, setelah posisi pertama ditempati oleh Kanada dengan garis pantai kurang lebih 202.080 KM. Jika ditarik perbandingkan dengan garis pantai dunia, sebuah sumber online menyatakan, bisa digambarkan bahwa panjang pantai Indonesia sekitar 25% dari panjang pantai negara di dunia. Sehingga, tentunya dapat kita bayangkan, bagaimana negara ini telah 'menguasai' paling tidak 1/4 pantai dunia.
Lebih jauh, luasnya laut Indonesia membuat negara yang memang mendapat julukan negara maritim ini menjadi sangat kaya dengan potensi kelautannya. Dari data statistik yang dilansir oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia, tercatat ada lebih dari 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, serta 950 spesies terumbu karang yang bernaung di lautan kita. Berbicara tentang terumbu karang, masih berdasarkan data dari KKP RI, tercatat bahwa luas terumbu karang yang ada di Indonesia adalah 51.000 KM2 atau sekitar 18% dari total seluruh terumbu karang yang ada di dunia. Kabarnya juga, terumbu karang Indonesia yang luar biasa luas itu menjadikan negara ini sebagai bagian dari kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) dunia, yaitu kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut paling kaya di dunia, meliputi laut-laut di enam negara kawasan Asia Pasifik, seperti Indoneia, Filipina, Kepulauan Solomon, Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste (Kompas.com, 2010).
Sayangnya, keistimewaan terumbu karang Indonesia tersebut tidak semerta-merta membuat manusia segan merusaknya. Berdasarkan laporan Reef at Risk tahun 2002, disebutkan bahwa selama 50 tahun terakhir, proporsi penurunan kondisi terumbu karang Indonesia telah meningkat dari 10% menjadi 50%. Lebih jauh, hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menyatakan bahwa 37% kondisi terumbu karang Indonesia berada dalam kategori rusak sedang dan sekitar 33% berada dalam kondisi rusak parah. Walaupun memang, kita tidak bisa mengeneralisasi bahwa seluruh penurunan kondisi tersebut disebabkan oleh ulah manusia—karena tentunya banyak hal yang menjadi faktor kerusakan tersebut, seperti arus laut itu sendiri dan pergerakan biota laut. Namun, sebagai bahan refleksi, mungkin kita bisa melirik fakta yang dirilis oleh World Resources Institute (2012) melalui artikelnya yang berjudul Reefs at Risk Revisited in the Coral Triangle, bahwa ternyata, kebanyakan terumbu karang di dunia terancam karena aktivitas manusia. Selain itu, disebutkan pula bahwa 60% dari terumbu karang yang ada menerima ancaman langsung dari manusia berupa penangkapan yang merusak, penangkapan berlebih, pembangunan pesisir, pencemaran dari Daerah Aliran Sungai (DAS), ataupun pencemaran yang berasal dari laut itu sendiri. Ditambah lagi, sekitar 75% terumbu karang yang ada juga dalam kondisi terancam akibat suhu global yang meninggi—untuk hal ini tentu kita tidak dapat menafikan, bahwa gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkunganlah yang menyebabkan naiknya suhu global.

Dari aspek penegakan hukum, terumbu karang pun tidak luput dari ancaman kejahatan. Komodifikasi terumbu karang Indonesia menjadi semacam kenisayaan yang harus dihadapi. Warna-warni terumbu karang yang indah nampaknya tidak hanya memesonakan kita, namun juga menyilaukan mata para oportunis untuk menjadikan terumbu karang komoditas bisnis. Seperti yang dilansir oleh salah satu portal berita online berikut, pengeksporan terumbu karang ilegal di Jawa dan Bali masih marak terjadi. Bahkan, terumbu karang tersebut dijual dengan harga ekspor yang sangat murah, yaitu sekitar US$ 45 per satuan (metrotvnews.com, 2013). Ya, meskipun ilegal, yang penting kantung tebal—mungkin begitu menurut mereka.


Sumber: Pribadi
  
Padahal, aktivitas ekspor terumbu karang ilegal ini jelas telah melanggar hukum, salah satunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Ratifikasi Pengesahan Protokol Nagoya* mengenai Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya. Protokol Nagoya sendiri berisi tentang capaian historis tentang pelaksanaan Convention on Biological Diversity (CBD) sejak 18 tahun yang lalu. Hal ini karena pelaksanaan CBD tersebut dianggap belum optimal karena tidak ada protokol yang menjadi bentuk konkret dari konvensi tersebut. Oleh karena itu, Protokol Nagoya juga berisi aturan pemberian akses dan kemauan berbagi keuntungan secara adil dan setara atas pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati tersebut (Kompas.com, 2010).
Dengan demikian, upaya penyelamatan terumbu karang kita menjadi harga mati. Karena sesungguhnya, pemaparan akan risiko dan ancaman di atas hanyalah sebagian kecil dari fakta yang tercatat rapi atas kondisi terumbu karang kini. Penanganan terhadap terumbu karang pun harus dilakukan secara komprehensif, jangan lagi parsial. Mengingat, permasalahan terumbu karang ini adalah persoalan multidimensional, menyangkut aspek hukum, lingkungan, ekonomi, dan bahkan kemanusiaan yang keseluruhannya bukanlah sesuatu yang opsional. Lebih jauh, keterlibatan semua pihak dalam upaya penyelamatan ini juga menjadi satu faktor yang harus diperhatikan. Jangan hanya pemerintah, penegak hukum atau pemerhati lingkungan. Tetapi yang muda yang tua, yang pekerja yang pengusaha, semuanya harus turut ambil bagian. Terumbu karang ini punya kita semua, bukan?



*Protokol Nagoya dalam bentuk lengkap bisa diakses di http://www.cbd.int/abs/doc/protocol/nagoya-protocol-en.pdf

*tulisan ini juga dimuat disini.

Dienstag, 29. Oktober 2013

Terumbu Karang Punya Kita, Bukan?

Mungkin kita memang patut berbangga dengan negara tempat kita berpijak saat ini. Dengan luas lautan yang mencapai 5.8 Juta KM2 ini, Indonesia menjadi bagian dari wilayah Marine Mega-Biodiversity terbesar di dunia. Selain itu, yang juga tak kalah mengagumkan, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tahun 2010, Indonesia juga menempati urutan ke-2 negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, yaitu sekitar 54.716 KM, setelah posisi pertama ditempati oleh Kanada dengan garis pantai kurang lebih 202.080 KM. Jika ditarik perbandingkan dengan garis pantai dunia, sebuah sumber online menyatakan, bisa digambarkan bahwa panjang pantai Indonesia sekitar 25% dari panjang pantai negara di dunia. Sehingga, tentunya dapat kita bayangkan, bagaimana negara ini telah 'menguasai' paling tidak 1/4 pantai dunia.
Lebih jauh, luasnya laut Indonesia membuat negara yang memang mendapat julukan negara maritim ini menjadi sangat kaya dengan potensi kelautannya. Dari data statistik yang dilansir oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia, tercatat ada lebih dari 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, serta 950 spesies terumbu karang yang bernaung di lautan kita. Berbicara tentang terumbu karang, masih berdasarkan data dari KKP RI, tercatat bahwa luas terumbu karang yang ada di Indonesia adalah 51.000 KM2 atau sekitar 18% dari total seluruh terumbu karang yang ada di dunia. Kabarnya juga, terumbu karang Indonesia yang luar biasa luas itu menjadikan negara ini sebagai bagian dari kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) dunia, yaitu kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut paling kaya di dunia, meliputi laut-laut di enam negara kawasan Asia Pasifik, seperti Indoneia, Filipina, Kepulauan Solomon, Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste (Kompas.com, 2010).
Sayangnya, keistimewaan terumbu karang Indonesia tersebut tidak semerta-merta membuat manusia segan merusaknya. Berdasarkan laporan Reef at Risk tahun 2002, disebutkan bahwa selama 50 tahun terakhir, proporsi penurunan kondisi terumbu karang Indonesia telah meningkat dari 10% menjadi 50%. Lebih jauh, hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menyatakan bahwa 37% kondisi terumbu karang Indonesia berada dalam kategori rusak sedang dan sekitar 33% berada dalam kondisi rusak parah. Walaupun memang, kita tidak bisa mengeneralisasi bahwa seluruh penurunan kondisi tersebut disebabkan oleh ulah manusia—karena tentunya banyak hal yang menjadi faktor kerusakan tersebut, seperti arus laut itu sendiri dan pergerakan biota laut. Namun, sebagai bahan refleksi, mungkin kita bisa melirik fakta yang dirilis oleh World Resources Institute (2012) melalui artikelnya yang berjudul Reefs at Risk Revisited in the Coral Triangle, bahwa ternyata, kebanyakan terumbu karang di dunia terancam karena aktivitas manusia. Selain itu, disebutkan pula bahwa 60% dari terumbu karang yang ada menerima ancaman langsung dari manusia berupa penangkapan yang merusak, penangkapan berlebih, pembangunan pesisir, pencemaran dari Daerah Aliran Sungai (DAS), ataupun pencemaran yang berasal dari laut itu sendiri. Ditambah lagi, sekitar 75% terumbu karang yang ada juga dalam kondisi terancam akibat suhu global yang meninggi—untuk hal ini tentu kita tidak dapat menafikan, bahwa gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkunganlah yang menyebabkan naiknya suhu global.

Dari aspek penegakan hukum, terumbu karang pun tidak luput dari ancaman kejahatan. Komodifikasi terumbu karang Indonesia menjadi semacam kenisayaan yang harus dihadapi. Warna-warni terumbu karang yang indah nampaknya tidak hanya memesonakan kita, namun juga menyilaukan mata para oportunis untuk menjadikan terumbu karang komoditas bisnis. Seperti yang dilansir oleh salah satu portal berita online berikut, pengeksporan terumbu karang ilegal di Jawa dan Bali masih marak terjadi. Bahkan, terumbu karang tersebut dijual dengan harga ekspor yang sangat murah, yaitu sekitar US$ 45 per satuan (metrotvnews.com, 2013). Ya, meskipun ilegal, yang penting kantung tebal—mungkin begitu menurut mereka.


Sumber: Pribadi
  
Padahal, aktivitas ekspor terumbu karang ilegal ini jelas telah melanggar hukum, salah satunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Ratifikasi Pengesahan Protokol Nagoya* mengenai Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya. Protokol Nagoya sendiri berisi tentang capaian historis tentang pelaksanaan Convention on Biological Diversity (CBD) sejak 18 tahun yang lalu. Hal ini karena pelaksanaan CBD tersebut dianggap belum optimal karena tidak ada protokol yang menjadi bentuk konkret dari konvensi tersebut. Oleh karena itu, Protokol Nagoya juga berisi aturan pemberian akses dan kemauan berbagi keuntungan secara adil dan setara atas pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati tersebut (Kompas.com, 2010).
Dengan demikian, upaya penyelamatan terumbu karang kita menjadi harga mati. Karena sesungguhnya, pemaparan akan risiko dan ancaman di atas hanyalah sebagian kecil dari fakta yang tercatat rapi atas kondisi terumbu karang kini. Penanganan terhadap terumbu karang pun harus dilakukan secara komprehensif, jangan lagi parsial. Mengingat, permasalahan terumbu karang ini adalah persoalan multidimensional, menyangkut aspek hukum, lingkungan, ekonomi, dan bahkan kemanusiaan yang keseluruhannya bukanlah sesuatu yang opsional. Lebih jauh, keterlibatan semua pihak dalam upaya penyelamatan ini juga menjadi satu faktor yang harus diperhatikan. Jangan hanya pemerintah, penegak hukum atau pemerhati lingkungan. Tetapi yang muda yang tua, yang pekerja yang pengusaha, semuanya harus turut ambil bagian. Terumbu karang ini punya kita semua, bukan?



*Protokol Nagoya dalam bentuk lengkap bisa diakses di http://www.cbd.int/abs/doc/protocol/nagoya-protocol-en.pdf

*tulisan ini juga dimuat disini.

Popular posts