Donnerstag, 23. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 3]

Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, sejak saya membaca surat rekomendasi yang dibuatkan oleh referee saya, saya memiliki keyakinan besar bahwa surat itu akan mampu membawa saya untuk lolos ke tahap interview. Libur lebaran yang cukup panjang membuat saya mempersiapkan diri untuk mafhum jika akhirnya pengumuman peserta lolos ke interview memakan waktu yang lebih lama dari biasanya. Makanya, saya merasa tenang-tenang saja dengan masa penantian tanpa kepastian itu. Sampai pada momen H-sekian lebaran, berbagai kenyataan pahit datang bertubi-tubi. Kenyataan yang membuat saya bahkan tidak berselera menyantap menu-menu khas lebaran.

Pertama, karena pengumuman Fulbright sudah keluar dan saya tidak mendapatkan email notifikasi apapun (bahkan sampai tulisan ini dibuat). Dengan kata lain, saya tidak terpilih menjadi Fulbrighter 2018. Well, sebenarnya hasil ini sudah saya prediksi dari jauh hari. Saya pun sudah mempersiapkan diri atas kegagalan tersebut dengan selalu berdoa agar Allah melapangkan hati saya seluas-luasnya dalam menerima hasil tidak mengenakkan dari Fulbright. Tapi, tetap saja ya, ketika hal tersebut benar-benar terjadi, rasa kecewa tetap muncul walau secuil. 

Kedua, beberapa hari sebelumnya, email pengumuman AAS juga sudah keluar. Hanya saja, karena mungkin sinyal di rumah Mbah kurang bagus, tidak ada notifikasi email masuk kecuali jika saya sengaja update inbox email. Hasil AAS-nya tentu saja tidak menyenangkan, saya tidak lolos bahkan di tahap administrasi. Tapi, ini juga sebenarnya sudah saya prediksi, karena, qadarullah, beberapa hari setelah saya submit berkas, saya baca ulang back up jawaban esai yang saya simpan di Ms. Word. Dan saya pun baru sadar kalau ternyata saya lupa untuk menjawab satu sub-pertanyaan esai. Tetot. Menyesal sekali, tapi yasudah belum rezeki. 

Ketiga, ini yang paling membuat saya tidak bersemangat, i stumbled upon a random blog of the past YSEALI awardee. The blog said that usually the interview invitation will be sent to the selected candidates within a week after the deadline. Meanwhile, the day i read the blog has passed more than 7 days after the deadline and i haven't got any email from YSEALI committee. Fiuh, apa ini pertanda saya tidak masuk ke tahap interview ya? Hiks.

Seketika semua harapan saya runtuh. Semua optimisme yang terbangun selama pengerjaan aplikasi pupus sudah. Perjalanan YSEALI saya berhenti disini. Tidak ada lagi yang perlu dicari tahu, tidak ada lagi yang perlu dipersiapkan, pikir saya. Keyakinan saya untuk dapat melaju ke tahap interview pun saya tukar dengan keyakinan bahwa mungkin ini memang yang terbaik menurut Allah. YSEALI bukan jalan saya. Okesip, mari kita menyambut lebaran aja lah!

Setelah lebaran, saya sempat bertemu dengan beberapa teman lama. Saya ceritakan perjalanan aplikasi YSEALI saya yang bahkan sudah gagal sejak seleksi berkas. Mereka mengaminkan dengan mengatakan, "Iya, YSEALI emang ketat banget sih seleksinya. Ratusan yang daftar, susah banget buat tembus kesana."

Damn, saya mengumpat, mengutuki diri yang sebodoh itu telah menaruh harap pada sebuah program yang tidak mungkin saya tembus. Ibarat ngarep balasan cinta dari gebetan yang jelas-jelas nggak punya tempat buat kita di hatinya. Cailah.

Hari-hari saya pun berlanjut tanpa ada lagi mimpi ke Amerika. Hingga suatu siang yang sengatan panasnya masih saya ingat sampai sekarang, tanggal 3 Juli, saya sedang di lapangan untuk mendampingi Mba Arum, petugas lapangan di cabang dampingan saya yang akan melakukan proses prapencairan. Mba Arum mengajak saya beristirahat sejenak karena dia mau makan siang. Saya mengiyakan dan kami pun mampir ke warung nasi goreng. Agak aneh sih ada yang jual nasi goreng siang-siang (mon maap, ini komentar super nggak penting).

Berhubung saat itu saya sedang puasa, Mba Arum sungkan jika harus makan sambil mengobrol dengan saya. Saya pun mencari 'kesibukan'. Saya aktifkan koneksi internet dan membuka inbox gmail. Dalam beberapa detik, si inbox berusaha untuk memuat email-email baru. Saya skimming email yang masuk, dan 'deg'. Saya tertegun. Saya baca ulang. Tertulis pada subjek salah satu email yang baru masuk:

"Interview Request: YSEALI Academic Fellowship Program (Fall 2018)"

Saya klik email tersebut. Beberapa detik setelahnya jantung saya seperti ingin membuncah. Ini serius nih? Saya baca ulang email tersebut. Baik-baik. Lagi dan lagi. Dengan pelan-pelan. Dengan hati-hati.




I got an interview invitation!!!! Is it for real?!

Reflek, dengan agak heboh saya sampaikan ke Mba Arum kalau saya masuk ke tahap interview YSEALI. Mba Arum tidak paham dengan apa yang saya bicarakan. Tapi, ah, saya tidak peduli. Saya tidak dapat menahan kebahagiaan saya saat itu. Saya tidak dapat berhenti tersenyum.

Sambil menanti Mba Arum selesai makan, saya memastikan sekali lagi bahwa email tersebut nyata, bukan halusinasi saya yang kebelet pengen ke US, bukan email salah subjek dan, yang paling penting, tidak salah alamat. Alhamdulillah. Setelah yakin bahwa saya tidak sedang bermimpi, saya tenangkan diri. Saya ucap dalam hati, "Alhamdulillah, seneng secukupnya aja, Lil. Jangan terlena. Lo masih punya satu tahap lagi untuk dimenangkan. Jangan sampai mengulang kebodohan saat interview Fulbright."

Hari itu, senyum saya tidak bisa berhenti mengembang. Kepala saya juga tidak bisa berhenti berpikir, strategi apa yang harus saya lakukan dalam menghadapi interview dengan waktu persiapan yang hanya seminggu saja. Fiuh.

Ahya, sebelum itu, tidak lupa saya mengabarkan sekaligus mengucapkan terima kasih kepada orang yang secara langsung punya andil besar dalam aplikasi YSEALI saya: Kak Queen, referee saya. Terima kasih banyak, Kak!

Anyway, untuk kelolosan interview YSEALI ini, saya sengaja tidak mengabarkan banyak orang. Saya trauma masa-masa interview Fulbright. Wkwkwk. Udah ngabarin banyak orang, banyak yang ngucapin selamat, dan terlena lah saya dengan kata-kata manis mereka. Saya merasa di atas awan, eizik, lalu lupa bahwa di depan masih ada jurang yang harus saya seberangi. Huff.

Makanya, saat hari H email masuk itu, saya hanya mengabarkan Kak Queen saja. Kemudian, beberapa hari menjelang hari interview, baru deh saya bilang ke temen deket dan Bapak di Jakarta buat minta restu dan doa beliau. Nah, ini tips nih, buat yang lagi bersukacita menghadapi berita baik biar nggak terlena: sharing good news is nice, but too much is exaggerating. Sometimes, not all 'nice words' we got are good for our self-development. In most cases, those are just toxic. So, beware! ehe.


Mempersiapkan Interview

Hal paling pertama yang saya lakukan dalam mempersiapkan interview YSEALI adalah, seperti biasa, baca blog alumni. Sayangnya, kali ini saya mengalami kesulitan karena sedikit sekali alumni yang membagikan pengalaman interview YSEALI mereka. Pun jika ada, pembahasannya tidak mendalam, hanya sebatas memberikan gambaran bahwa interview dilaksanakan via Skype, kalau internet bermasalah, kita akan dikontak via telepon biasa. Selebihnya, tidak ada penjelasan detil tentang hal-hal yang akan ditanyakan selama interview, bagaimana kriteria kandidat yang mereka cari, dsb. Jadi, saya harus cari sumber belajar lain.

Selanjutnya, saya coba menghubungi alumni YSEALI untuk tanya-tanya langsung. Kebetulan, saya sempat mengenal beberapa alumni YSEALI, tapi agak sungkan untuk menghubungi mereka karena kami tidak pernah kontak-kontakan lagi. Walaupun, sebenarnya, mereka sangat terbuka kalau ada kandidat yang mau tanya-tanya sih. Tapi, saya ragu aja hahaha. Maklum, saat itu saya masih pada pemikiran: "Duh, jangan sampe banyak orang tau dulu deh. Takut gagal lagi." Padahal, nggak ada yang salah kok dari gagal berkali-kali, nggak perlu takut apalagi malu. Jadi, mindset saya ini jangan ditiru ya.

Kalau memang mau, kamu bisa menghubungi para alumni itu melalui berbagai saluran, seperti email, linkedin, instagram, dll. Saya pun sempat melihat beberapa tulisan atau vlog alumni yang memang membuka diri untuk ditanya-tanya terkait aplikasi YSEALI. So, jangan ragu ya.

Oke, balik lagi, saat kepo-kepo web YSEALI, saya menemukan sebentuk wajah familiar terpampang di web bersama alumni YSEALI lain. Dia adalah Mas Maxi- founder Riliv, sebuah startup konsultasi Psikologi dari Surabaya. Saya tahu dia sejak mengikuti rangkaian program 1000 Startup Digital. Kebetulan, dia adalah alumni program di batch sebelumnya. Ia sempat pula mengisi beberapa sesi dan menjadi mentor 1000 Startup Digital batch saya. Hem, ternyata, dia alumni YSEALI Academic Fellowship untuk tema yang sama dengan saya, Social Entrepreneurship. Lumayan lah kalau saya kontak Mas Maxi, he's not totally stranger yakaan. 

Singkat cerita, saya kontak Mas Maxi. Saya ceritakan padanya bahwa saya sedang apply YSEALI Academic Fellowship dan tepat kemarin saya mendapatkan undangan interview. Mas Maxi ini baik sekali, dia lalu menjelaskan hal-hal yang harus saya perhatikan saat interview, seperti motivasi yang benar, jangan pernah menyebut jalan-jalan sebagai tujuan, pastikan jawaban-jawaban saat interview tidak bertentangan dengan apa yang kita tulis pada esai, jabarkan rencana setelah program selesai, tunjukkan bahwa program yang kita jalankan akan sustainable, dsb.

Intinya sih, yang saya tangkap, berdasarkan pengalaman interview Fulbright dan YSEALI, dimana-mana interview itu tujuannya sama: mengkonfirmasi jawaban yang kita tulis pada aplikasi, apakah sesuai atau nggak. Karena, kalau kata Mas Dimi, konsultan IDP yang selama ini jadi counselor saya untuk apply S2, ketika kita diundang interview, artinya profil kita pada aplikasi sudah sesuai dengan apa yang mereka cari. Tinggal, saat interview itu, mereka mau gali lebih dalam, beneran sesuai atau nggak, cocok atau nggak sama program yang ditawarkan dan apa rencana setelah programnya. Jangan sampai beasiswa atau kesempatan program yang diberikan ke kita, hilang tak berbekas setelah program selesai. Idealnya sih, kita harus bisa bikin impact positif ke masyarakat, give back lah atas privilege yang udah kita nikmati.

Lanjut, setelah tanya-tanya ke Mas Maxi dan semakin mendapat gambaran mengenai interview yang akan berjalan, saya coba membuat daftar pertanyaan yang kemungkinan besar akan ditanyakan oleh para interviewer. Lalu, saya siapkan pula jawaban-jawaban dari setiap pertanyaan tersebut. Ingat, cobalah untuk mempersiapkan jawaban sespesifik mungkin, jangan normatif dan mengawang-ngawang.

Dengan modal itu, sisa-sisa hari menjelang interview saya isi dengan latihan menjawab pertanyaan. Biasanya, saya latihan di kasur, sebelum dan sesudah tidur. Sambil duduk, saya coba rekam, kadang rekam video, kadang cuma rekam suara. Nanti, rekamannya saya putar, kalau masih ada yang kurang sip, seperti bahasa tubuh yang kurang enak dilihat, mata yang tidak fokus menatap ke depan, suara yang tidak enak didengar, diksi yang kurang pas, atau bahkan senyum yang kurang greget (eyyaaa), saya ulang lagi.

Jujur, trik membuat daftar pertanyaan sekaligus jawaban dan melatihnya setiap hari sangat-sangat membantu saya dalam menghadapi interview YSEALI kemarin. Pertama, kita jadi bisa memprediksi apa yang akan menjadi pertanyaan lanjutan dan kemana arah pembicaraan selama interview. Dengan demikian, kita tidak akan terlalu kaget dengan random questions yang tiba-tiba keluar dari interviewer.

Kedua, saya jadi bisa memfokuskan pengetahuan-pengetahuan baru apa yang sebaiknya saya pelajari. Mengingat, waktu persiapan yang sempit, kita tidak bisa mempelajari semua hal baru. Kita harus pandai memilah, apa yang kita butuh pelajari yang mungkin bisa memperkaya perspektif kita saat interview.

Selain itu, interview YSEALI nanti akan full english. Kamu nggak mau dong kalau selama interview akan menggunakan diksi yang itu-itu aja? Atau bahkan kebingungan memberikan jawaban dalam bahasa Inggris, padahal kamu tahu betul jawabannya dalam bahasa Indonesia. Makanya, biar nanti jawaban kamu terdengar smooth, natural dan nggak kaku, perbanyak latihan ngomong.

Ahya, ini saya kasih contoh pertanyaan yang pasti banget keluar beserta contoh jawaban oke dan nggak oke ya:

Pertanyaan:

"Why do you want to join YSEALI?"

Tipe jawaban normatif dan ngawang-ngawang:

"Because YSEALI will be held in USA, the most powerful country in the world, it has the best university in the world dst..."

"Because YSEALI is an international youth program where I can enrich my network with other youths in Southeast Asia, I can sharpen my leadership skill, I can improve my knowledge..."

Tipe jawaban spesifik:

"Because this program will be held in USA. We all know that USA is the country where the term social entrepreneurship was first introduced. The country where the very first organization promoting social entrepreneurship was founded, like Ashoka Foundation. So, there will be no other country better for me to learn about social entrepreneurship besides USA."

"Because YSEALI offers me the opportunity to mingle with other youth from different countries and character. That experience would be beneficial for me in leading my social enterprise, as the team I lead consist of people who are coming from different background."

Gimana? Kelihatan kan perbedaannya? Salah satu tips agar jawaban kamu spesifik dan tidak normatif adalah dengan perbanyak riset, baca artikel, update isu terkini yang relevan atau apapun yang bisa memperkuat argumenmu.

Terakhir, jangan lupa untuk mempersiapkan print out form aplikasi dan recommendation letter kamu. Print out tersebut akan memudahkan kamu untuk mempelajari segala hal yang kamu dan referee-mu tulis saat apply. Ingat, usahakan jawaban-jawabanmu tidak bertentangan dengan isi form aplikasi dan surat rekomendasi ya.


Interview D-Day

Jadwal interview saya di pagi hari pukul 8.30 WIB. Alhamdulillah, karena saya sudah mencoba mempersiapkan interview sebaik yang saya bisa, saya tidak sakit perut karena tegang seperti biasanya saya menghadapi interview. Ahya, karena hari itu hari kerja, saya pun berangkat ke kantor cabang seperti biasa, lalu saya mojok ke tempat sepi, dan saya siapkan semua peralatan yang diperlukan. Siapin print out berkas, laptop sambil di-charge (walaupun keknya masih penuh wkwk), headset disambungin ke laptop dan, yang paling penting, standby Skype.

Menjelang pukul 8.30 kurang sekian menit, belum ada tanda-tanda pihak US Embassy menghubungi saya. Saya agak gelisah, walaupun sebenarnya nggak perlu gelisah haha. Tepat di pukul 8.30 WIB, pihak US Embassy mengirim pesan Skype yang mengabarkan bahwa interview akan diadakan sebentar lagi. Saya melakukan final check, segala tools saya tes dan print out form aplikasi saya tempatkan pada posisi yang mudah dijangkau, in case saya butuh baca form di tengah-tengah interview.

Saat akhirnya US Embassy benar-benar menghubungi saya via Skype, ternyata panggilannya masuk ke hp, bukan ke laptop. Duh, saya agak panik, karena pasti tidak akan nyaman sekali kalau harus Skype call via hp. Tapi, saat saya cek laptop, panggilannya nggak masuk. Okelah, biar interviewer-nya nggak terlalu lama menunggu, saya langsung pindahkan sambungan headset dan mengangkat panggilan Skype di hp. Ternyata, interviewer meminta video call. Okesip, jadi lah sepanjang interview, hp itu saya pegang di depan wajah saya. Mayan, pegel.

Di awal, para interviewer memperkenalkan diri. Jujur, sekarang saya udah lupa nama-nama mereka karena saat itu deg-degan banget. Jadi, pikiran nggak bisa diajak mikir, apalagi untuk menghafal nama interviewer. Yang pasti, ada tiga orang yang meng-interview saya, ketiganya dari US Embassy Jakarta, orang Indonesia, dua laki-laki dan satu perempuan.

Nah, ini saya share pertanyaan-pertanyaan yang keluar saat interview kemarin yaw:

1. Introduce yourself
2. Explain your academic and work background. Why your academic background is not aligned with your current work
3. Explain the social enterprise you're currently working at
4. Your plan in the next 5 years. Whether you would stay in Jombang or go back to Jakarta
5. Progress and challenges faced by your social enterprise
6. Why applying for YSEALI
7. If you are chosen to be the YSEALI awardee, what things you want to learn from the program
7. After the program, any plan to start off other project ideas?
9. If you are chosen and go to US, what about your work at office and your social enterprise
10. Any question?

Ohya, disclaimer, saat kalian interview, belum tentu juga semua pertanyaan itu yang keluar ya. Coba kira-kira kemungkinan yang lain, sesuatu yang menurut para interviewer mungkin menarik untuk digali dari dirimu. Interview diestimasikan berjalan selama 20 menit, tapi, waktu saya interview, total waktunya cuma 19 menit 54 detik.


Menanti Hasil

Saat proses interview selesai, salah satu interviewer mengatakan bahwa pengumuman hasil akan disampaikan 'by the end of next week', yang mana saya artikan frase tersebut menjadi hari Jumat tanggal 20 Juli 2018. Wah, cepat ya, pikir saya dalam hati. Menjelang tanggal tersebut, saya tidak terlalu cemas memikirkan, kebetulan saat itu saya sedang persiapan backpacking ke Jepang. Tepat di tanggal 20 Juli itu pun, saya sedang di Jepang.

Akhirnya, tanggal keramat yang dinanti tiba. Saat itu, saya sedang di Osaka, baru tiba dari Tokyo di pagi harinya. Hp saya seharian mati total, jadi tidak bisa cek-cek email. Baru bisa buka email itu kalau tidak salah menjelang jam 4 sore, setelah kami check in penginapan.

Wagelaseh, deg-degan banget waktu itu. Proses hp nyala, konek internet, sampe akhirnya bisa tarik email, terasa sangat lama. Mata saya skimming cepat, yes, ada email dari YSEALI. Duh, ternyata, itu bukan email pengumuman. Itu email pemberitahuan untuk mengumpulkan 4-pages scanned passport. Saya liat jam kirimnya, oh, jam 15, baru aja dikirim berarti, nanti deh balesnya, nggak memungkinkan juga kirim scanned passport saat itu (belakangan saya tau bahwa email tersebut dikirim sekitar jam 1 waktu Indonesia).

Saya masih ingat sekali, saat saya dan pasangan backpacking saya (Indah namanya), mengunjungi destinasi kami selanjutnya, saya nggak bisa fokus menikmati suasana saat itu. Kepikiran YSEALI, sist. Sayang banget sih, belum tentu balik lagi (semoga balik lagi sih), tapi hati bawaannya pengen segera reply email itu. Singkat cerita, saya baru bisa mengumpulkan scanned passport yang diminta hari Senin pagi ketika saya sudah kembali ke Indonesia.

Sejak itu, hari-hari saya benar-benar tidak bisa lepas dari memikirkan pengumuman YSEALI. Setiap hari mengecek email, buka facebook group YSEALI dll. Sampai pada titik dimana saya merasa 'Kok kayaknya YSEALI sudah pengumuman yaa', saya pun secara random menghubungi alumni YSEALI melalui instagram untuk menanyakan perihal pengumuman tersebut. Jawaban dari mereka lumayan membuat perut saya kram. Mereka mengatakan bahwa untuk regional Timur Indonesia dan Sumatera, peserta terpilih telah diumumkan. Sayangnya, mereka nggak paham kabar untuk regional Jakarta.

Saat itu saya baru tahu, ternyata, seleksi YSEALI ini dibedakan dalam 3 wilayah seleksi, yaitu wilayah Indonesia Timur oleh Konjen AS Surabaya, wilayah Jakarta (dan kemungkinan Jabar, Jateng, Kalimantan) oleh US Embassy Jakarta dan wilayah Sumatera oleh Konjen AS Medan. Saya sendiri tidak paham, akan masuk wilayah seleksi yang mana, mengingat KTP saya Jakarta, tapi tinggal di Jawa Timur. Walaupun saya diwawancara oleh orang-orang dari US Embassy, tapi tidak menjamin kan kalau saya masuk ke wilayah seleksi Jakarta dan sekitarnya? Di titik tersebut, saya benar-benar pasrah. Jika memang saya dimasukkan ke wilayah Timur, dan itu sudah diumumkan, berarti yaa saya nggak lolos.

Tanggal 6 Agustus, karena saya tidak dapat membendung rasa penasaran saya, saya lakukan ikhtiar terakhir. Saya email pihak US Embassy untuk menanyakan, apakah pengumuman final YSEALI sudah keluar atau belum. Saya sudah siap dengan semua jawaban, insyaAllah. Kalau memang sudah, berarti YSEALI bukan rezeki saya. Tapi, kalau memang belum, setidaknya masih ada harap yang bisa saya gantungkan.

Hingga sore, saya tidak mendapat email balasan. Well, nggak mungkin balasannya di hari yang sama juga sih. Tapi, lumayan lah, ikhtiar terakhir saya itu cukup menenangkan dan meringankan hati untuk melepaskan kalau-kalau saya memang tidak terpilih mengikuti YSEALI.

Besoknya sekitar jam 9 pagi, tanggal 8 Agustus, saya menerima telfon dengan kode Jakarta yang kombinasi angkanya cukup familiar di mata saya. Saya angkat, di seberang telfon seorang perempuan berbicara. Ia menyatakan dari US Embassy Jakarta dan mengatakan bahwa saya terpilih menjadi salah satu awardee YSEALI Academic Fellowship Fall 2018. Allahu Akbar!

Kalimat-kalimat selanjutnya yang disampaikan oleh perempuan di ujung telepon tidak lagi saya dengar dengan baik. Saya cuma ingat sekilas, bahwa kampus saya masih belum pasti, antara University of Connecticut atau Brown University. Sekilas saya pikir, apa tuh Brown, macam karakter LINE aja. Seketika, telepon pun ditutup dan saya tak habis mengucap syukur. MasyaAllah, anugerah-Mu, ya Allah!

Belakangan, saya baru tahu jika saya akhirnya ditempatkan di Brown University. Ada sedikit rasa kecewa dalam diri saya (Astaghfirullah), karena YSEALI Academic tema Social Entrepreneurship sangat identik dengan UConn (sebutan untuk University of Connecticut). Saya pun sudah sedikit membayang-bayangkan diri menjadi UConn Huskies- sebutan bagi mahasiswa UConn (cikal bakal dari logo kampusnya yang berupa Husky).

Lagipula, nama Brown terasa kurang keren dan terlalu imut. Tapi, memang dasar saya harus banyak-banyak belajar bersyukur, rasa kecewa saya itu seketika runtuh ketika mengetahui bahwa Brown University adalah salah satu kampus Ivy League. IVY LEAGUE! Sebuah kumpulan kampus bergengsi di US! Dengan acceptance rate yang hanya 9 koma sekian persen. Fall 2018 ini adalah periode pertama Brown University bergabung menjadi host institution bagi program YSEALI Academic dan satu-satunya host institute yang merupakan Ivy League. Maasya Allah!

Seketika, saya pun merasa hanya manusia yang kebetulan beruntung karena dianugerahi Allah kesempatan yang luar biasa ini. Alhamdulillah.


Pesan-Pesan

Bagi teman-teman yang tertarik untuk ikutan YSEALI atau program sejenis, saya punya beberapa pesan. Asiks.

Pertama: Cari tau apa tujuan jangka panjangmu
Sebelum kita coba berbagai hal menggiurkan di luar sana seperti YSEALI dan berbagai program serupa, ada baiknya kita coba untuk mendefinisikan apa yang sesungguhnya menjadi tujuan kita dalam jangka panjang. Misalnya, saya punya tujuan jangka panjang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa dengan cara yang membuat mereka berdaya, salah satu jalannya melalui konsep social entrepreneurship.

Nantinya, program YSEALI atau kesempatan lain yang saya temukan sepanjang perjalanan memperjuangkan mimpi, bisa saya gunakan sebagai alat bantu untuk mengakselerasi diri agar memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan jangka panjang itu. Sehingga, kita tidak akan berlebihan memandang program semacam ini. Tidak kelewat bahagia ketika diterima, pun tidak kelewat sedih ketika ditolak. Karena toh itu cuma alat bantu, bukan tujuan yang utama yang mau kita capai. Jangan sampe disorientasi!

Kedua: Hati-hati dengan euforia program ke luar negeri
Ke luar negeri itu memang menyenangkan, makanya bisa bikin kecanduan. Banyak orang berjuang mati-matian untuk ikutan program-program di luar negeri, seperti youth forum, conference, youth camp atau program lain seperti YSEALI, tanpa memahami esensi program sesungguhnya. Atau parahnya lagi, mereka tidak memahami isu yang diangkat oleh program terkait. Wes sing penting budhal luar negeri wes.

Akibatnya, setelah kembali dari youth forum X di Taiwan, berjuang lagi untuk youth camp di Australia, setelah berangkat, pergi lagi untuk conference di Inggris. Terus apa? Apa sisa perjalanan tersebut? Inferiority complex terhadap negara tetangga? Foto-foto yang instagramable?

Sebenernya, poin 'berjuang pantang menyerah untuk punya pengalaman ke luar negeri'-nya sih bagus. Tapi, signifikansi jangka panjangnya apa? Padahal, kita ke luar negeri lewat sebuah program gratis itu tanggung jawabnya besar. Ada hutang pengabdian yang harus kita bayar.

Makanya, hal itu nggak akan terjadi kalau sejak awal kita tau mimpi jangka panjang kita. Segala kesempatan yang ada akan dilihat sebagai alat bantu aja. Kalau ternyata ada kesempatan ke Amerika, kita akan liat, membantu pencapaian mimpi jangka panjang nggak nih? Kalau iya, cuss, kalau nggak, kasih kesempatan ke yang lain. Bukan malah semua program diikutin. Kalau begitu, kita bukannya makin mahir di bidang kita, tapi makin mahir bikin essay aplikasi program. Btw, saya ngomong begini bukan karena saya suci dari dosa-dosa semacam itu ya. Justru, karena saya pernah berada di posisi obsessed ikutan event-event begitu, makanya saya bisa berbagi nasihat. Ehe

Ketiga: Jangan 'memantaskan diri' untuk sebuah program
Waktu kita terbatas, fokus lah pada apa yang menjadi mimpi dan cita-cita jangka panjang kita. Jangan menghabiskan waktu untuk memantaskan diri agar bisa diterima sebuah program. Misalnya, YSEALI mencari orang yang punya kontribusi ke masyarakat, yaudah saya adakan rumah baca di desa saya deh biar bisa keterima YSEALI. Kalau sejak awal niatnya sudah ngawur begitu, selesai YSEALI belum tentu rumah bacanya masih berjalan.

Dude, we're bigger than the program. Our dream is beyond YSEALI. Bekerja keraslah untuk mimpi jangka panjang kita, bukan untuk program. Mimpi yang luhur, mimpi yang membawa kebaikan tidak hanya untuk diri kita sendiri. Dengan begitu, percaya deh, segala kesempatan akan mengikuti. Kalian mau ke Eropa, Amerika, Australia akan ada aja jalannya. Ingat, bahwa ada logika langit di atas logika manusia.

Keempat: Libatkan Allah
Pada akhirnya, kita bukan apa-apa. Kita cuma makhluk yang diatur oleh Yang Maha Kuasa. Jangan lupa untuk terus libatkan Allah atas setiap proses yang kita jalani. Dan, yang paling penting, karena ridha Allah juga ada di tangan orang tua, jangan lupa untuk terus minta doa mereka. Ah tapi, orang tua mah nggak perlu diminta juga akan selalu doain anaknya. Justru kita anak-anaknya yang sering lupain mereka :(

Sekian. Kalau kalian mau tanya-tanya lebih jauh ke saya, bisa tinggalkan komentar di bawah atau email ke lili.nurindahsari93@gmail.com

---
Ohya, siapakah Juminten?

Cek disini. Dulu, saya cuma ketawa-ketawa aja tiap denger Juminten kuliah di Washington. Nggak nyangka bisa ikut nyusulin kesana~



Mittwoch, 15. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 2]

Sekarang, saya akan berbagi langkah-langkah yang saya lakukan dalam mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018. Ingat, ini langkah yang saya lakukan, cuma referensi buat kamu, bukan langkah yang 'seharusnya' kamu lakukan ya. So, you may have your own steps in doing the application. That would be very much okay :)


1. Minta Izin ke Atasan Kantor

Kalau kamu adalah karyawan seperti saya, minta izin ke atasan di masa-masa awal sebelum daftar adalah sesuatu yang penting, karena program ini akan berjalan selama 5 pekan. Belum lagi, kamu harus mengikuti orientasi sebelum keberangkatan dan, yang paling krusial, kamu akan riweuh mengurus visa. Jadi, ada baiknya atasanmu paham dengan rencanamu itu. Dari sana, akan ketahuan, atasanmu mendukung atau tidak. Kalau mendukung, aman. Kalau tidak, kamu harus mulai berpikir, jika kamu benar-benar diterima nanti, apa kamu sudah yakin untuk menukar karirmu di tempat kerja dengan perjalanan ke US melalui YSEALI? Atau justru melepas kesempatan di YSEALI adalah pilihan terbaik? 


2. Memilih Referee

It's such a tricky part, karena siapa referee kita akan memengaruhi bagaimana kualitas surat rekomendasi yang kita submit. Walaupun, saya sendiri kurang paham seberapa besar bobot surat rekomendasi pada seleksi YSEALI. Tapi, saya cukup yakin jika surat rekomendasi saya sangat-sangat memengaruhi keputusan reviewer dalam meloloskan saya. Karena yaa kita tahu, kesempatan untuk meyakinkan reviewer melalui aplikasi sangat terbatas. Bayangin aja, kita harus meyakinkan reviewer untuk memilih aplikasi kita dibandingkan ratusan pendaftar lain dengan hanya melihat riwayat aktivitas dan esai super singkat yang tidak lebih dari 250 kata. Kalau kamu jadi reviewer, pasti kamu akan mencari pertimbangan lain kan? Nah, surat rekomendasi ini lah yang jadi salah satu referensi mereka. 

Lalu, bagaimana caranya memilih referee yang tepat? Untuk YSEALI (ini belum tentu berlaku pada program lain ya), saya sarankan pilih referee yang tidak sekadar punya nama besar. Tapi, pastikan beliau memang mengenal kita dengan baik. Sehingga, rekomendasi yang beliau berikan bisa detailed dan personalized, tidak memberikan kesan template. Misalnya, kalau kamu berada dalam sebuah organisasi kemasyarakatan, jangan langsung menyasar ketua organisasi tersebut sebagai referee-mu, hanya karena beliau cukup dikenal di masyarakat. Beliau sendiri kenal kamu dengan baik ndak? Jangan-jangan selama ini cuma saling lempar senyum doang lagi *lah berasa sama gebetan dong.

Ndak apa-apa lho kalau kita minta rekomendasi ke orang di level manajer atau bahkan officer, yang penting kalian rutin berkomunikasi dan beliau paham perkembangan diri kamu. Etapi, bukan berarti temen main yang se-level juga boleh ya, pilih mentor atau supervisor lah paling nggak. Biar isi surat rekomendasinya nggak sebatas: she is good; she is a hard worker; she is attentive to detail; dan parahnya, she is beautiful. eyyaa. 

Selain itu, pastikan referee-mu itu mengenalmu dalam lingkup kegiatan yang berkaitan dengan tema program YSEALI yang kamu pilih. Sehingga, pemaparan yang beliau sampaikan tentangmu dapat spesifik dihubungkan dengan tema program yang kamu pilih itu. Misalnya, saya memilih tema Social Entrepreneurship and Economic Development. Saya tidak meminta rekomendasi dari dekan kampus, dosen pembimbing atau atasan di kantor. Tetapi, saya minta rekomendasi dari orang yang menjadi mentor saya saat mewakili SiMaggie mengikuti sebuah program inkubasi social enterprise. Jadi, beliau paham betul dengan perjalanan saya dan SiMaggie selama ini.

Surat rekomendasi yang beliau tulis untuk saya cukup detail. Maklum, saya berada di bawah asistensinya secara langsung selama beberapa bulan. Beliau juga tahu betul bagaimana tertariknya saya dengan konsep social entrepreneurship. Semua pemahaman beliau tentang saya itu ditulis dengan menyertakan contoh konkret. Dengan begitu, saya sendiri yang membaca tulisan beliau merasa bahwa surat rekomendasi tersebut sangat meyakinkan. Sehingga, walaupun di akhir surat referee saya menulis posisinya sebagai program officer, karena isi suratnya sudah meyakinkan, posisinya tidak membuat rekomendasinya diragukan.

Entahlah, ini asumsi saya sih, yang jelas, walau jabatan referee-mu mentereng di tingkat CEO sekalipun, kalau konten surat rekomendasinya cuma common sense, sayang aja sih.

"Ya tapi kan kualitas surat rekomendasi yang ditulis referee di luar kendali kita."

Makanya, pilih referee yang tepat. Dan perbaiki hubunganmu dengan orang-orang di sekelilingmu. Dari sekarang. Jangan dateng pas butuh aja. Misalnya, ke dosen pembimbing jaman kuliah, founder startup yang dulu pernah kamu ajak kenalan, ketua organisasi X yang pernah kamu ajak kerjasama, supervisor di mantan kantor atau bahkan sekadar temen lama, jaga hubungan baik dengan mereka. Keep the relationship 'alive'. Kita nggak pernah tahu kapan kita butuh mereka.

"Kok nyambungnya kesana?"

Lha iya, kalau kamu udah lama nggak kontak-kontakan sama dosenmu atau mantan atasanmu, tau-tau kamu dateng ke doi minta surat rekomendasi. Beliau-beliau yang terhormat bisa apa selain menulis surat rekomendasi seadanya dengan template hasil searching di Google? Bukan salah mereka, kan kalian sudah lama tidak berinteraksi. They just simply have no idea what to put in the letter.

Lanjut. Setelah kamu memutuskan siapa orang yang kamu pilih untuk dimintai rekomendasi, pastikan untuk tidak menghubunginya dekat dengan deadline. Ingat, kita sedang minta bantuan orang, dan orang yang kita mintai bantuannya pasti punya urusan lain. Jangan tempatkan ia di posisi sulit karena harus kamu kejar-kejar untuk menyelesaikan apa yang menjadi kebutuhanmu.


3. Memahami dan Mengisi Form Aplikasi

Seperti yang sudah saya sebutkan pada tulisan sebelumnya, formulir aplikasi YSEALI Academic Fellowship tahun ini berupa Google Form. Artinya, ketika mengisi formulir tersebut, tidak ada pilihan 'save draft'. Oleh karena itu, sebelum mulai mengisi, saya menyarankan teman-teman untuk mempelajari baik-baik formulirnya. Kalau perlu, di-'save page' saja agar kalian bisa buka sewaktu-waktu.

Mempelajari formulir aplikasi ini penting sekali untuk mengantisipasi ketentuan-ketentuan yang tidak kalian duga. Misalnya, pada bagian akhir formulir aplikasi Fall 2018 (tidak tahu apakah ketentuan yang sama juga diminta pada periode sebelumnya), saya diminta untuk mengetik ulang surat rekomendasi pada box di Google Form. Bisa dibayangkan, mengetik ulang surat rekomendasi cukup time-consuming. Kalau hal ini tidak kamu ketahui sejak awal, mungkin kamu tidak akan menyiapkan waktu untuk itu. Akibatnya, kamu bisa jadi terlambat untuk submit aplikasi. Kesalahan yang tidak perlu.

Saat mempelajari Google Form itu pula, teman-teman bisa memilah, mana pertanyaan-pertanyaan yang bisa dijawab on the spot dan mana pertanyaan-pertanyaan yang butuh dipikir matang-matang. Untuk pertanyaan yang bisa dijawab on the spot, misalnya pertanyaan tentang data diri, detail paspor, food restrictions, dll., insyaAllah akan aman-aman saja. Kalian cukup mempersiapkan dokumen terkait, seperti KTP, Paspor, bukti kemampuan bahasa Inggris, dll. Anyway, bukti kemampuan bahasa Inggrisnya nggak harus hasil tes IELTS atau TOEFL kok. Bisa berupa bukti keikutsertaan les bahasa Inggris, acara internasional, dll. Cek sendiri nanti di formulirnya ya.

Sedangkan, untuk pertanyaan yang butuh dipikir dan dipertimbangkan matang, contohnya pengalaman organisasi, pengalaman bekerja dan magang, keanggotaan pada komunitas, dsb. Saat mengisi pertanyaan tersebut, saya sarankan kalian untuk mengetik jawaban kalian di Ms. Word atau note terlebih dahulu agar kalian punya back up data. Setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut selesai dijawab, coba eliminasi poin-poin jawaban yang tidak relevan dengan tema program yang kamu pilih. Pastikan semua jawabanmu spesifik dan mengerucut pada tema program. Tujuannya, agar reviewer bisa melihat ketertarikan dan keseriusanmu pada tema yang kamu pilih dari konsistensi pengalamanmu.

Metode yang sama bisa kamu gunakan ketika mengerjakan esai. Walaupun esai yang diminta hanya 250 kata dan sangat mungkin dikerjakan dalam waktu kurang dari satu jam, pastikan kamu membuatnya dengan sangat matang. Ketik esaimu di Ms. Word atau note, lalu minta tolong mentormu untuk proofread esaimu. Edit, baca lagi, edit, baca lagi, dan seterusnya. Ingat, 250 kata itu yang akan menentukan kamu diundang interview atau tidak. 

Saat menulis esai, kamu tidak perlu menyertakan data yang skalanya terlalu luas, misalnya data statistik angka kemiskinan di Indonesia, data jumlah pengangguran di Jakarta, dll. Fokus untuk menjelaskan dirimu, latar belakangmu, kegiatan yang kamu geluti dan apa yang kamu cari dari mengikuti program YSEALI ini. Data statistik atau analogi-analogi tidak penting akan membuat arah esaimu menjadi kabur, kuncinya fokus pada siapa kamu, spesifik dan konkret atas apa yang kamu kerjakan, serta realistis pada implementasinya.

Kalau semua pertanyaan pada formulir aplikasi sudah terjawab dan ter-back up dengan baik, kamu bisa mulai menyalin jawaban tersebut pada Google Form sesungguhnya. Pastikan tidak mepet dengan deadline ya. Selalu sediakan waktu untuk kemungkinan terburuk yang terjadi.

Meskipun, saya sendiri waktu itu submit aplikasi jam 11.43 AM while the application was due at 1 PM. Ehehe. Jangan ditiru ya, mentemen. Saat itu saya kost di Bojonegoro, nggak punya paket internet, karena kalau pun punya, sinyalnya syulit. Terus, nggak mau juga nongkrong di kafe untuk sekadar numpang internet karena saya anaknya nggak mau rugi wkwk. Kebetulan, kantor cabang saya lagi libur karena waktu itu hari libur nasional. Tapi, karena saya agak nggak tau malu, saya tetep ke kantor cabang dan duduk di emperan cabang, belum mandi, masih pake celana tidur, terus numpang submit aplikasi di sana deh. Heheu.


4. Mari Berdoa!

Setelah aplikasimu terkirim, perjuanganmu belum selesai. Selalu dampingi aplikasimu dengan doa ya. Ingat, ada 'logika langit' di samping logika manusia yang bekerja. Biasanya, proses seleksi ini akan memakan waktu kurang lebih satu bulan. Pada periode seleksi Fall 2018 sendiri, deadline aplikasi adalah 1 Juni 2018 pukul 13.00 WIB, sementara saya mendapatkan email undangan interview di tanggal 3 Juli 2018, tepat ketika saya sedang mendampingi petugas cabang di lapangan. Eyyaa, mengenang dikit.

Sedihnya, pemberitahuan apakah kita melaju ke tahap interview atau tidak hanya disampaikan kepada applicant yang lolos saja. Hal ini membuat kita jadi was-was, bahwa kabar baik yang tidak kunjung datang itu, apakah karena kita memang tidak lolos atau karena proses seleksi masih berlangsung. Tapi gapapa, justru di masa-masa ini lah kita benar-benar butuh pasrah dan husnudzan sama Allah. Saya paham betul nggak enaknya masa-masa menanti pengumuman itu, bahkan lebih tidak menyenangkan dari  menanti jodoh yang tidak kunjung datang wkwk. Makanya, tips paling mudah dari saya sih, setelah apply, lupakan dan ikhlaskan. Kalau programnya memang jadi jodoh kita, maka Alhamdulillah, kabar baik insyaAllah datang. Tapi, kalau bukan, yaa ikhlaskan. Yakin aja, Allah pasti punya rencana lain yang lebih baik untuk kita.

Selanjutnya, perjalanan saya untuk menjenguk Juminten ini belum selesai, teman-teman. Saya masih akan berbagi pengalaman ketika saya menjalani interview YSEALI. Simak disini!


Sonntag, 12. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 1]

Kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya 'berkenalan' dengan YSEALI hingga akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018 dan mendapat pengumuman diterima pada Selasa (7/8) lalu.

Pertama, tujuan saya menulis ini untuk give back, karena saat masa-masa daftar YSEALI yang penuh drama resah gelisah bahkan demam diare itu, saya benar-benar mengandalkan tulisan-tulisan di blog para alumni yang berbagi pengalaman YSEALI mereka. Saya banyak mencari clue-clue mengenai proses aplikasi, seperti kriteria kandidat terpilih, tips wawancara, linimasa program dan sebagainya dari sana. Tulisan-tulisan itu luar biasa membantu sekali lho, Mas Mbak Alumni. Terima kasih banyak.

Kedua, tulisan ini untuk refleksi saya di masa datang, that it's always my choice to take or ignore what universe has offered. Thus, i need to be fully aware of the consequences yet be respectful with the process. Kalau gagal ya dinikmati, kalau berhasil ya disyukuri, karena masa datang nanti adalah akumulasi konsekuensi dari pilihan-pilihan yang saya ambil.

Ketiga, tulisan ini untuk alarm diri sendiri, bahwa hidup itu Allah yang mengendalikan. Kadang, segala hal berjalan di luar kalkulasi manusia. Makanya, saya harus selalu melibatkan Allah pada setiap hal yang saya lakukan, sesepele apapun hal itu. Dan, yang paling penting, kalau saya inginnya banyak, doanya harus lebih banyak, syukurnya apalagi.

Okedeh, sekarang yuk mari kita mulai!


Berkenalan dengan YSEALI

YSEALI (Young Southeast Asia Leaders Initiative) merupakan sebuah program kepemudaan yang diselenggarakan dan dibiayai penuh oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan sekaligus memperkuat jaringan para pemuda di Asia Tenggara. YSEALI pertama kali diluncurkan pada tahun 2013 dan fokus pada beberapa topik utama, seperti kewarganegaraan (civic engagement), pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pendidikan (education) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth).

Program-program YSEALI sendiri beragam:
1. Professional Fellowship ke Amerika Serikat
2. Academic Fellowship ke Amerika Serikat
3. Regional Workshop (Biasanya diadakan di negara-negara Asia Tenggara)
4. Grant Funding (Lebih dikenal dengan YSEALI Seeds for the Future Grant)

Oleh karena itu, jangan heran kalau kamu mendengar temanmu lolos seleksi YSEALI tapi berangkatnya bukan ke US, karena memang tidak semua program dilaksanakan di US. Lebih lengkap tentang YSEALI bisa cek disini.

Saya lupa kapan pertama kali saya mendengar tentang YSEALI, yang pasti, saat itu saya masih kuliah dan sedang semangat-semangatnya mengikuti berbagai kegiatan kepemudaan, baik di dalam maupun di luar kampus. Kalau nggak salah, waktu itu YSEALI Academic Fellowship sedang buka pendaftaran. Saya sempat baca deskripsi programnya sepintas. Keren juga yaks, ke US lima minggu, fully funded pula. Biasanya kan program yang begitu harus cari sponsor sendiri, pikir saya.

Saat itu, aplikasi YSEALI masih menggunakan formulir Ms. Word (kalau tidak salah). Saya coba cek persyaratannya. Duh, ribet sekali, harus bikin esai, harus minta surat rekomendasi juga. Singkat cerita, saya tidak jadi mendaftar karena yakin tidak akan terpilih. Bukannya apa-apa, saya sudah sering daftar program fully funded yang 'jauh' begitu dan belum pernah tembus berangkat. Jadi, ya udah males duluan untuk coba.

Secara tidak langsung, pikiran saya itu menutup kemungkinan saya untuk mendaftar program YSEALI pada pembukaan-pembukaan selanjutnya. To be honest, that moment, I thought this program was too prestigious. It would waste my time to struggle on things that are impossible to conquer. Apalah saya, cuma sebentuk udara yang terperangkap di bubble wrap. Dipencet sedikit, terjadi letusan kecil, dan hilang tak berbekas. 

Tapi, saat itu saya tetap mendaftar sebagai YSEALI member. Jadi, update tentang program-program YSEALI selalu masuk ke email setiap bulan. Walaupun, saya pribadi sudah tidak punya lagi keinginan untuk mendaftar. Semacam berpikir, "yailah nggak mungkin berangkat, Lil". Ditambah lagi, di tahun-tahun akhir kuliah, saya sibuk dengan berbagai urusan magang dan skripsi, serta percintaan sesekali. Wkwk boong deng.

Di masa setelah kelulusan, saya bekerja di sebuah social enterprise asal Singapura dan ditempatkan di pelosok Sumba, NTT. Hidup bersama warga desa dengan budaya yang benar-benar baru, tanpa listrik, tanpa gemerlap ibukota, membuat saya menemukan kesenangan baru yang cukup menyita perhatian. Hem, apa itu YSEALI? Saya sudah lupa. 


Titik Balik

Tahun 2016 akhir, saya keluar dari social enterprise asal Singapura itu. Aaakk, sedih sekali, tapi sepertinya memang demikian jalannya. Saya lalu bergabung dengan Water.org dan ditugaskan untuk mendampingi cabang-cabang salah satu microfinance partner mereka yang berada di Jawa Timur. Kebayang nggak sih, berawal dari hidup penuh keterbatasan di pelosok Sumba, dalam waktu sekian bulan, hidup saya berubah menjadi gerilyawan di sudut-sudut kabupaten di Jawa Timur.

Pekerjaan saya itu membuat saya banyak berinteraksi dengan warga desa. Pertama sih karena sebagian besar waktu kerja saya memang dihabiskan di lapangan, bertemu dengan ibu-ibu mitra dan suaminya yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan peternak. Kedua, work load di kantor cabang juga memang nggak terlalu padat, jadi saya punya banyak waktu luang buat melipir di jam kantor dan ngobrol-ngobrol semi khozip dengan warga sekitar. Dari sana, saya banyak terpapar informasi mengenai 'drama kehidupan' yang mereka hadapi, dari masalah-masalah serius yang menyangkut ummat (asiks), semacam isu pertanian, sumber daya desa, ketersediaan akses terhadap kebutuhan dasar, sampe urusan pribadi, macam uang belanja dari suami yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup, rasa insecure si suami yang berpaling ke lain hati dan segala printilan problematika manusia.

Singkat cerita, dari ngobrol sama mitra-mitranya kantor cabang, saya kepikiran untuk menggali potensi ide social enterprise saya dengan niat idealis nan bombastis menyelesaikan persoalan petani sekaligus melawan hegemoni produk-produk serupa yang tidak ramah lingkungan. Pret banget dah. Tapi, hamdalah, di pertengahan 2017, lahirlah SiMaggie, sebuah social enterprise yang saya kembangkan bersama beberapa teman (baru) saya. Kenapa baru? Karena emang kita kenalan juga baru aja. Saya sendiri nggak paham, ada wangsit darimana sampai mereka percaya sama saya dan mau gabung. Nanti ya, saya buat tulisan khusus tentang SiMaggie.

Hari-hari setelah itu, selain bekerja, saya sibuk merintis SiMaggie. Saya sibuk mentransformasi konsep-konsep yang kami rancang di atas kertas menjadi wujud nyata. Wqwq. Saya juga sibuk bolak-balik Nganjuk-Surabaya-Nganjuk, Kediri-Surabaya-Kediri, Tulungagung-Surabaya-Tulungagung, berangkat subuh, pulang hampir tengah malam, setiap wiken, untuk belajar tentang startup, business model canvas, idea validation, dll melalui program 1000 Startup Digital. Capek banget, tapi seru. 

Dari rutinitas tersebut, semakin hari, saya merasa semakin paham apa yang saya mau, apa minat saya. Saya semakin punya gambaran di masa depan mau jadi apa. Kalau orang bilang, semacam i discovered my passion kali ya. Saya semakin merasa social entrepreneurship adalah jalan hidup saya. Isu yang saya minati pun semakin mengerucut, seputar pemberdayaan desa, pertanian dan pangan. 

Dari sana, karena merasa butuh lebih banyak sarana aktualisasi diri dalam mengembangkan SiMaggie, saya jadi banyak daftar program inkubasi dan kompetisi startup. Ada yang lolos dan menang, tapi lebih banyak yang gagal. Hahaha. Gapapa, yang penting pengalaman dan pembelajaran yang didapat selama prosesnya.

Sekitar tahun 2018 awal, keputusan saya bulat untuk kuliah lagi dan mengambil bidang spesifik social entrepreneurship. Saya merasa, dengan latar belakang pendidikan saya yang social science murni dan pengalaman dalam bisnis yang paling mentok ngurus online shop, saya agak kesulitan ketika harus mengambil keputusan-keputusan penting untuk SiMaggie. Saya bingung, variabel-variabel apa yang harus dipertimbangkan ketika akan membuat keputusan bisnis, entah itu menyangkut urusan operasional, marketing, legal, dll. Saya juga lemah dalam urusan forecasting kondisi finansial, apa sebuah bisnis masih sehat atau nggak. Padahal, itu kan krusial banget, dan SiMaggie sudah merasakan imbas dari kesalahan saya dalam mengambil keputusan finansial itu ehe. Makanya, framework dasarnya harus dipelajari lagi nih. 

Selanjutnya, karena saya tahu bahwa semua cikal bakal social entrepreneurship itu berasal dari US, termasuk Bapak Social Entrepreneurship dunia yang kita kenal, si Om Bill Drayton, juga dari US, saya pengen banget-banget belajar social entrepreneurship di negara pencetusnya langsung. Jadilah saya mulai perjalanan saya mencari beasiswa S2 dengan daftar Fulbright Scholarship biar bisa kuliah di Amerikah. Ajaibnya, aplikasi Fulbright yang saya kerjakan cuma semalam itu tembus sampe wawancara (Ya Allah, ini jangan ditiru, guys. Selayaknya makan nasi, yang dimasak matang selalu lebih enak dari yang setengah matang. Duh apasih. Intinya, makin matang aplikasi kamu, makin bagus lah pokoknya. Jangan bikin aplikasi beasiswa dalam semalam, kita bukan Roro Jonggrang).

Btw, I would not tell you whether or not my Fulbright interview went well. Bcz, of course it didn't haha (I'll write a separate post about my Fulbright journey later). Terlepas dari itu, momen wawancara Fulbright ini lah yang menjadi titik balik saya daftar YSEALI Academic Fellowship.

Alkisah, ejie, wawancara Fulbright saya berjalan dengan penuh kesuraman. Dimulai dengan minim persiapan, saya dicecar berbagai pertanyaan dari empat interviewer yang bikin gelagapan. Di akhir wawancara, kayaknya salah satu interviewer bule kasian sama saya yang keliatan hopeless banget. Lalu, dengan senyum tulus, doi nanya in English yang artinya kurang lebih: "Kamu tau YSEALI nggak? Coba kamu daftar itu". Gitu. Petuah dari si bule tidak lantas membuat saya termotivasi daftar YSEALI. Yang ada, saya justru mikir, "Duh, ini aja gue tembus Fulbright sampe interview karena beruntung. Yakali keberuntungan bisa keulang dua kali. Apalagi di YSEALI." Saya pun keluar ruang wawancara tanpa intensi sedikit pun untuk coba daftar YSEALI. Nggak mungkin tembus lah.


Memantapkan Hati

Selesai wawancara Fulbright (9/4), saya tidak mengalami masa harap-harap cemas menanti pengumuman. InsyaAllah sudah haqqul yaqin nggak akan lolos hahaha. Jadi, saya menyibukkan diri dengan hal lain. Sampai suatu siang menjelang sore di tanggal 15 Mei, saya cek gmail dan menemukan ada monthly update dari YSEALI yang menyebutkan bahwa pendaftaran YSEALI Academic Fellowship untuk Fall 2018 baru saja dibuka, deadline-nya tanggal 1 Juni 2018 (kalau kamu YSEALI member, pasti kamu juga akan dapat info ini).

Saat itu, tidak ada 'Aha' momen dimana saya merasa tertantang untuk daftar, termotivasi, terilhami atau apalah ala ala motivator. Saya cuma ingat, waktu masih kuliah, saya merasa aplikasi YSEALI sulit dan proses seleksinya ketat, lebih ketat dari legging Via Vallen. Saya pun mencoba mengingat lagi, kenapa saya merasa demikian, apa saya sudah pernah daftar dan tidak lolos atau jangan-jangan itu cuma ketakutan semu akan kegagalan aja, karena saya terlanjur berasumsi bahwa program ini nggak mungkin saya tembus (Yang saya lakukan ini mirip metode Chunking di ilmu parenting, cmiiw. Kamu bisa coba terapkan setiap kamu merasa ragu atas sesuatu. Sebelum ambil keputusan, coba breakdown dulu, kamu ragunya karena apa, penyebab ragunya dari dalam diri atau luar diri, bisa diintervensi atau nggak, dsb. Cukup memudahkan untuk assess berbagai emosi positif atau negatif di diri kita sih).

Ternyata, setelah saya ingat-ingat lagi, saya belum pernah sekali pun daftar program YSEALI yang ke US, baik Academic maupun Professional Fellowship. Pernahnya itu, saya daftar YSEALI Regional Workshop sebanyak dua kali. Pertama, YSEALI Impact XL Workshop di Myanmar, kedua, YSEALI Generation GR3EN di Brunei Darussalam. Terakhir, saya daftar YSEALI Seeds for the Future Grant, dengan project yang diajukan adalah SiMaggie. Tapi, Alhamdulillah, tiga-tiganya nggak ada yang lolos wkwkwk.

Dari sana, saya mencoba reframing pola pikir saya dan bilang ke diri sendiri, "Oke, Lil, lo belum pernah coba, berarti belum bisa bilang sulit." Setelah itu, saya ceki-ceki lebih jauh, ini program ngapain sih, kenapa banyak peminatnya (selain karena ke US gratis). Ternyata, oemji, program ini menawarkan intensive course di kampus US dengan pilihan tema yang salah satunya Social Entrepreneurship! Waw, bidang yang selama ini saya tekuni, di US pula- the country where the term social entrepreneurship was first born. Aaaakk, pengen! Saya pun kepo-kepo alumninya, banyak orang keren dan beberapa orang yang saya kenal di bidang startup pernah ikutan program ini. Hem, bisa dibilang, this is a sort of benchmark program before you embark your career choice lah. Okesip, di momen itu, saya mantapkan hati untuk daftar. 

Saat itu juga, saya coba mempelajari segala printilan tentang YSEALI, jenis-jenis programnya, kegiatan selama program, kriteria kandidat yang dipilih, dll. Saat cek eligibility criteria, saya nyaris nggak bisa apply, karena untuk Academic Fellowship, batas usianya ternyata 25 tahun, dan, kalau nggak salah, maksimal graduated 4 tahun. Ya Allah, nyarissss. Detil tentang requirement dan eligibility criteria Academic Fellowship bisa dicek disini ya. 

Anyway, saya juga sempat memastikan seribet apa aplikasinya, apakah rumit seperti yang selama ini saya asumsikan. Ternyata, sama sekali nggak ribet dong! Aplikasinya bener-bener cuma ngisi Google Form dan menyertakan satu surat rekomendasi. Udah itu aja. I-tu-a-ja. Saya juga coba ngisi Google Form-nya, biar ada gambaran isi pertanyaannya apa aja, biasanya kan beranak pinak gitu ya. Ternyata, sederhana saja, keluarga berencana, nggak beranak pinak. Di Google Form bener-bener cuma ditanyain data diri, latar belakang pendidikan, pekerjaan dan beberapa pertanyaan lain yang jawabannya bisa kamu temuin di CV kamu.

Di akhir Google Form, kita diminta untuk menulis esai singkat untuk meyakinkan kenapa kita merupakan kandidat yang paling sesuai untuk program tersebut dan apa rencana kita setelah program selesai. Esainya beneran singkat lho ya, saking singkatnya, kamu nggak boleh nulis lebih dari 250 kata. Yes, you read that right, cuma 250 kata. Well, sebagai orang yang lagi bolak-balik apply beasiswa S2, bolak-balik ngurus berkas ini itu, aplikasi YSEALI ini sungguh memudahkan pendaftarnya banget sih. Jadi, nggak ada alasan ribet atau sulit ya, mentemen.

Ahya, hari itu saya nggak langsung daftar. Saya ngumpulin sebanyak mungkin bahan belajar mengenai program untuk dibaca atau ditonton di kosan, entah berasal dari web resmi YSEALI, blog-blog alumni atau bahkan vlog-vlog selama program berlangsung. Tujuannya, saya harus paham bener-bener dulu nih sama programnya, apa yang mereka tawarkan, orang kayak gimana yang mereka cari dan apa tujuan akhir dari programnya. Saya bahkan sempat bikin mindmap sederhana tentang YSEALI ini (anaknya visual banget wk). Belajar tentang program itu penting ya untuk memudahkan kita merumuskan aplikasi dan memproyeksikan siapa orang yang tepat untuk kita mintakan surat rekomendasi.

Jangan coba-coba untuk ngisi formulir aplikasi, apalagi bikin esai, ketika kita masih buta sama program, itu namanya bunuh diri. Walaupun formulirnya sederhana, biasakan untuk pahami dulu segalanya, refleksi, bagian mana dari diri kita yang mau kita tonjolkan yang 'aligned' dengan program. Kan nggak mungkin semua jejak hidup kita dimasukin ke form. Pilah dulu, baru pelan-pelan diisi deh.

Sekarang, mari kita lanjutkan ke tulisan selanjutnya disini dan simpan dulu rasa penasaranmu tentang siapakah Juminten yang kuliah di Washington. Haha.


Dienstag, 7. August 2018

Sebagaimana Engkau

Sebagaimana Engkau menghibur Nabi Muhammad SAW, kekasih-Mu, yang kala itu dirundung kepedihan, dengan sebuah perjalanan mahadahsyat isra' mi'raj yang sungguh menyisakan pelajaran.

Seperti itu pula yang hamba rasakan atas nikmat tak terkira yang Engkau berikan. Bagai penghiburan atas duka yang kesekian.

Walau, ah, derita hamba tak serupa apalagi setara dengan perinya hati Rasul-Mu. Yang berjuang demi ummat membawa kalimat taubat.

Yang harus menerima kenyataan bahwa orang yang selama ini berbagi bahu menanggung beban, istri tercinta ibu peradaban, harus pergi, menandai akhir segala pengorbanan.

Yang harus menerima takdir bahwa paman setia yang selalu membela tanpa banyak pikir, sudi pasang badan dari mereka yang bersikap pandir, kini hidupnya telah berakhir.

Setidaknya, kisah tersebut selalu menjadi jawaban atas tanya hamba, mengapa sifat-Mu yang Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang selalu disebut berulang. Karena atas apa pun, Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tak kan Engkau biarkan hamba-Mu hidup dalam malang.

Prasangka Baik

Atas semua cita yang gagal diraih.
Tawa yang berujung tangis lirih.
Sayap yang patah. Pun hati yang payah.

Sedihlah. Seperlunya
Hancurlah. Secukupnya.
Tapi, jangan lupa, selalu sisakan ruang untuk prasangka baik pada-Nya.

Montag, 16. Juli 2018

Hei.

Aku mau cerita tentang drama hidup yang belakangan aku alami. Ala ala orang dewasa gitu. Tentang berusaha untuk menjadi bukan siapa-siapa. Tentang berusaha untuk merasa bahwa diri bukan apa-apa. Tentang hidup dan segala dinamikanya yang... biasa aja. Jadi, ya, biasa aja (niru dikit nkcthi).

Etapi, belum ada waktu yang pas nih. Haha. Aku butuh mikir lama soalnya.
Pan kapan ya. 
bye.

Montag, 25. Juni 2018

(Hampir) 2 Jam Di Pesawat Bersama Emil Dardak [Bukan Tulisan Berbayar]

Kejadian random satu ini berawal dari saya yang super deg-degan di Go-Jek karena harus ngejar flight ke SUB sekitar jam 8 malem, tapi jam 6 sore masih leyeh-leyeh di rumah. Padahal, hari itu adalah hari kerja, artinya kalau saya berangkat ke bandara mepet, saya harus berkompetisi di jalanan dengan manusia-manusia lain yang baru pulang kantor.

Betapa dudulnya saya, waktu itu tuh mikirnya, "Ah, cuma di Halim. Deket." Saya yg dulu sempat jadi anak gaul Kalibata Mall lupa kalau lampu merah Taman Makam Pahlawan Kalibata macetnya nggak ada obat.

Hal lain yang membuat adrenalin saya makin meningkat adalah driver Go-Jek yang nyangkut ke app saya ternyata ibuk-ibuk. Alamak, gimana saya mau minta beliau ngebut ini mah. Tapi ternyata, anggapan saya itu hanya bias gender belaka. Sambil ngobrol intimate ala ala perempuan, doi super ngebut krn khawatir saya ketinggalan pesawat. Makasi banyak, Buk!

Sampe Halim, saya lari-lari, ngos-ngosan, kumus-kumus. Tapi ah, ku tak peduli. Untung saya masih sempet nunggu sekitar 10 menit di boarding room. Anyway, pas berangkat dari rumah, i didnt put on make up at all. Bukan karena nggak sempet, tapi ya emang saya nggak mau aja hahaha. Siapa mau peduli juga sama muka saya di malam hari, lagipula bedak mahal cuy. Hemat lah.

Tiba waktu boarding, saya masuk pesawat. Semuanya terasa biasa saja sampai saya menemukan bahwa bangku saya didudukin bule yang lagi asik baca buku sambil dengerin musik. Tapi, bangku sebelahnya doi kosong. And i thought, that was his seat. Jadi, karena nggak mau ganggu doi, saya duduk di bangku kosong tersebut.

Nggak berapa lama, datanglah lelaki berparas rupawan pake kemeja putih polos dan celana bahan hitam, mengklaim bahwa bangku yang saya dudukin itu adalah bangku dia. Saya pun bingung, saya sampaikan bahwa saya pikir ini bangku si Om Bule sebelah saya. Si lelaki rupawan menunjukkan nomor kursinya dan langsung nanyain nomor kursi si bule.

Jujur, pada detik tersebut, saya udah nggak peduli lagi urusan perbangkuan ini. Ada hal lain yang lebih menarik untuk saya pikirin, ini orang kayak nggak asing ya wajahnya. Seperti wajah mantan saya, tapi, duh, Li, lo nggak punya mantan woy.

Akhirnya, si bule yang awalnya menempati kursi saya pindah ke depan karena ternyata doi salah liat seat number. Sambil masih mikir siapakah gerangan lelaki rupawan ini, saya pun nanya ke si lelaki, dia mau duduk di tengah (di bangku saya) atau di bangkunya di pinggir (yang sudah lebih dulu saya tempati). Dia pun tetep mau di pinggir, di bangkunya. Saya pun bergeser ke tengah.

Kalau di pesawat, saya adalah orang yang sangat disiplin yg sudah pasti memasang setting Flight Mode tanpa harus menunggu peringatan Mba-Mba Pramugari. Tapi oh tapi, ini lelaki rupawan sebelah saya masih buka Youtube. "Oh, mungkin itu offline mode ya Youtube-nya", husnudzan saya begitu. Lha tapi kok, videonya tersendat-sendat macam susah sinyal. Adudu.

Menjelang take off, saya yang biasanya bubuk cantik kalau flight malem (walau saat itu saya bawa buku (yang niatnya) mau dibaca di pesawat sih), menyempatkan diri untuk ngintip-ngintip wajah si lelaki rupawan sebelah saya lewat pantulan bayangan di hp saya. Saya masih penasaran. Fixed, ini orang kayaknya saya kenal. Tapi dimana ya hem.

Entah kenapa, saya lalu teringat baliho Pilkada yang biasa saya lewati setiap kali berkunjung ke Jombang. Ada foto pasangan Cagub-Cawagub Jawa Timur disana. Wah, Emil Dardak kayaknya nih.

Saya berusaha mengingat seperti apa persisnya wajah Emil Dardak. Duh, yang saya ingat, dia ganteng. Tapi gantengnya macam apa, saya kurang paham. Saya sama Bapak di rumah sebenernya sering diskusi tentang beliau dan landscape perpolitikan Jawa Timur, tapi diskusi kami jarang menyoal rupa wajah. Wkwk.

Saya lalu aktifin internet HP, mumpung belum take off. Ehe. Ampun Om Pilot. Saya searching wajah Emil Dardak cepat-cepat. Saya bandingkan dengan sosok yang ada di sebelah saya. Hem, mayan mirip sih. Tapi, saya masih belum yakin.

Saya intip video yang lagi serius banget dia tonton. Di Youtube. Dan pake internet HP. Sesekali buffering pulak. Video yang bikin dia didatengin Mba-Mba Pramugari berkali-kali untuk ngingetin HP yang harus mati. Tapi, dia tetep aja hajar bleh.

Oh, ternyata video debat Pilgub Jatim, ada Khofifah dan Emil Dardak-nya. Bajunya Emil Dardak di video itu mirip dengan apa yang dipake lelaki rupawan sebelah saya.

Aaakk, sebelah saya Emil Dardak nih. Fix fix. Rasanya saya pengen lompat dari bangku. Pengen nengok langsung depan mukanya sambil menjajarkan HP saya yang memuat foto beliau hasil kulik-kulik Google tepat di sebelah wajahnya. Biar shahih aja gitu kalau sebelah saya memang Emil Dardak. Capek kali ngintip-ngintip dari pantulan HP dan mengandalkan kelihaian bola mata terus.

Tapi, ah, sedetik kemudian keyakinan saya pupus. Saya ragu, yakali ah Emil Dardak nggak paham fitur Download Video dan nonton Offline di Youtube. Saya senyum-senyum sendiri. Mayan nih, kalau laki-laki sebelah saya ini beneran Emil Dardak, saya bisa keliatan pinter dikit dengan ngajarin beliau cara hasyiks main Youtube. Tapi eh tapi, seriusan nih Emil Dardak naik pesawat ekonomi? Tanpa pengawal atau ajudan macam orang-orang penting gitu? ihwaw.

Saya mencoba mengumpul-ngumpulkan keyakinan. Emil Dardak juga manusia biasa. Hidupnya sibuk memikirkan kemaslahatan ummat, wajar kalau beliau tak paham fitur Youtube. Jangan kau bandingkan dengan dirimu yang surplus waktu luang, Lil.

Saat saya sudah sepenuhnya yakin bahwa lelaki rupawan yang duduknya tepat sebelah saya adalah Emil Dardak, saya riset dikit-dikit visi misi beliau. Ini masih belum take off, kok. Pesawatnya masih nyentuh tanah. Saya skimming visi misi beliau, berusaha mengingat beberapa keyword. Si pesawat akhirnya benar-benar akan take off. Tap, saya mengaktifkan Flight Mode. Saya tidak sempat mencari bahan obrolan lain.

Ealah, lelaki 'terduga Emil Dardak' sebelah saya ini masih sibuk nonton Youtube wakakak. Pramugari sampai-sampai mendatangi beliau dan benar-benar menunggu di sampingnya hingga beliau mematikan HP-nya. Beliau nggak mengelak dari kesalahannya tersebut dan nurut apa kata Mbak Pramugari. Yes, sekarang beliau tanpa distraksi.

Saya yang tidak mampu menahan senyum mencoba bertanya dengan sopan, "Pak Emil, ya?"

Gesture tubuh beliau dalam menanggapi pertanyaan saya cukup mengesankan saya. Beliau langsung mengubah arah tubuhnya ke arah saya dan menjawab dengan wajah ramah tanpa kesan dibuat-buat, "Iya."

Bahasa tubuh yang sederhana itu cukup memberikan impresi pertama yang positif bagi saya, bahwa beliau adalah pribadi yang terbuka.

Selanjutnya, saya membuka topik dengan membahas visi misi beliau yang akan dibawa dalam pertarungan pilgub mendatang. Jangan bayangkan saya menyebut secara rinci visi misi beliau yang saya baca sebelum take off ya. Saya hanya mengingat keyword, lalu saya kembangkan sendiri sekenanya. Deg-degan takut salah euy.

Dari sana berbagai obrolan mengalir. Kami membahas berbagai hal, dari kebijakan hingga pekerjaan saya. Apa yang beliau rencanakan jika terpilih nanti, target pembangunan, fokus anggaran, dll (ini semi kampanye sih, tapi gapapa, itu hak dia untuk meyakinkan saya bahwa dia adalah kandidat yang tepat). Saya juga sempat menanyakan beberapa pertanyaan filosofis dan mendasar tentang pilihan-pilihan hidup beliau. Sayangnya, saya sudah tidak terlalu ingat detil jawaban beliau. Saya menyesal karena saat sampai kosan tidak langsung menuliskannya. Selama dua jam (kurang dikit sih) kami di pesawat, selama itu pula kami berdiskusi. Tidak ada momen dimana kami kehabisan topik, beliau banyak sharing pengalaman dan gagasan. Yang pasti, saat itu saya belajar banyak. Banyak sekali.

Dari obrolan intensif hampir 2 jam kami selama di udara itu, saya mendapatkan gambaran karakter beliau yang mungkin bisa menjadi pertimbangan teman-teman dalam menentukan Cagub-Cawagub pilihan pada Pilgub serentak 27 Juni besok. Ohya, disclaimer ya, ini murni opini saya. Saya juga tidak terafiliasi dengan pihak mana pun, jadi maaf kalau tulisan ini dinilai menaikkan atau justru menjatuhkan Pak Emil atau pihak lain yang terkait. Saya hanya membagikan apa yang saya rasakan selama bersebelahan dengan beliau (dipengaruhi sedikit dengan opini setelah nonton debat Cagub-Cawagub Jawa Timur deng). Hehe.

Pertama, Emil Dardak adalah benar-benar seorang yang cerdas. Beliau kaya dengan data, jadi kalau ngomong selalu ada dasar datanya. Kemampuan beliau dalam menganalisis dan menarik kesimpulan dari data-data tersebut juga keren. Ini saya rasain waktu ngobrol dengan beliau dan saya lihat di acara debat sih. Setiap beliau memaparkan gagasan, beliau selalu membawa alasan karena datanya begini, maka harus begini, karena kalau begitu, blablabla dan seterusnya.

Beliau punya latar belakang pendidikan yang (seingat saya) berhubungan dengan economic development. Maafkan saya kalau kurang tepat, Pak. Yang jelas, saya melihat bahwa apa yang beliau coba aplikasikan pada setiap kebijakan-kebijakan beliau berakar dari teori yang beliau baca dan pelajari waktu masih sekolah. Saya masih ingat sekali, saat kami mengobrol, beliau beberapa kali bilang, "Menurut X dalam buku....." atau "Kalau kamu tahu dalam teori lalala......." Intinya sih, setiap keputusan yang dia ambil nggak pake pertimbangan commonsense lah. Sedikit banyak beliau (kelihatan) punya ilmunya.

Kedua, beliau sungguh well-experienced di sektor tata kelola kota, pembangunan, ekonomi dan sektor lain yang berhubungan. Beliau sempat bercerita tentang pengalamannya bekerja di World Bank sampai akhirnya mengambil risiko untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Trenggalek. Bahkan, waktu saya bercerita tentang pekerjaan saya yang related dengan sektor community development, beliau dengan cepat langsung menangkap apa yang menjadi tantangan kami di lapangan. Padahal, saya cuma cerita sedikit saja. Tentunya itu bukan karena beliau punya kemampuan cenayang ala ala ya. Tapi, karena pengalaman dia di bidang development sudah luas, jadi ya dia paham betul.

Ketiga, saya senang karena beliau masih muda. Eits, ini bukan berarti 'dia muda maka dia ganteng'  yang bikin saya suka (ala cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. hahaha lucu nggak?). Tapi, menurut saya, idealisme beliau juga merefleksikan jiwa mudanya. Pemikirannya juga segar. Beliau cukup terbuka dengan diskusi dan nggak gampang mutung. Waktu itu sempet saya pancing dengan pertanyaan yang agak sensitif, misalnya pertanyaan tentang alasan dia meninggalkan Trenggalek, padahal masa kepemimpinannya belum selesai, atau pertanyaan tentang kenapa majunya sama Khofifah yang udah berkali-kali mencalonkan diri tapi nggak kepilih-kepilih. Pertanyaan-pertanyaan saya itu beliau jawab tanpa rasa keberatan.

Keempat, beliau sungguh humble, praktis dan dinamis. Percaya nggak, beliau ke bandara naik Go-Jek (Go-Ride lebih spesifiknya) karena takut macet. Tanpa pengawal satu orang pun. Di pesawat juga doi sendirian. Pesawatnya kelas ekonomi pula. Padahal kursi bisnisnya kosong melompong. Bagi beliau, dalam melakukan sesuatu ya pertimbangannya kepraktisan. Bukan semata-mata merakyat atau bahkan pencitraan. Jadi, kalau praktisnya naik motor, ya naik motor aja. Tapi kalau praktisnya naik mobil karena hujan, ya naik mobil. Nggak usah ngotot naik motor biar dianggap merakyat.

Kelima, dan sepertinya menjadi yang terakhir, walaupun Pak Emil Dardak ini menurut saya cukup perfek tipikal kandidat idaman, tapi beliau tetaplah manusia biasa. Ada beberapa sikap beliau yang membuat saya sedikit berkomentar dalam hati, "Hem, gini ya ternyata."

Misalnya, setiap saya mencoba menyampaikan aspirasi saya dan menanyakan berbagai pertanyaan kenapa gini kenapa gitu. Beliau memang tidak mutung, beliau memang tidak tersinggung, tapi beliau langsung meluncurkan jawaban-jawaban untuk meng-counter omongan saya tersebut. Padahal, kalau saya jadi Pak Emil dan kebetulan ketemu rakyat butiran jasjus macam saya, maka saya akan cenderung sedikit bicara dan membuka telinga lebar-lebar. Terlepas dari omongan si rakyat benar atau salah, saya akan coba tampung sebanyak-banyaknya. Bagi saya, kesempatan untuk mendengar perspektif yang berbeda, apalagi dari rakyat biasa macam saya, kan jarang sekali terjadi. Sedangkan, beliau, dengan segala power yang dipunya, apalagi beliau juga sedang mencalonkan diri sebagai Cawagub, beliau punya panggung yang lebih luas dan banyak. Mudah bagi beliau untuk meng-counter atau menjawab argumen apapun. Tapi, nyatanya beliau cukup mendominasi obrolan dan bukan banyak mendengarkan. Entah karena by nature beliau adalah orang yang dominan atau itu hanya kebetulan. Saya kurang paham.

Hal lain, sepanjang obrolan, beliau juga banyak menyebutkan teori-teori atau istilah yang saya kurang paham. Hehe. Entah karena beliau merasa bahwa saya anak muda 'berpendidikan' jadi sudah semestinya paham (kalau iya, berarti saya harus baca lebih banyak buku lagi nih, wawasan saya masih belum mumpuni hiks), atau memang beliau memiliki kecenderungan demikian, membawa sophisticated words ke dalam obrolan dengan orang awam di bidang tersebut. Padahal ya, orang-orang yang well-educated tidak berarti dia menguasai semua bidang lho. Jadi, menurutku sih, toleransi terhadap manusia berbeda bidang itu tetep butuh. Misalnya, kamu yang lulusan S3 Kriminologi belum tentu paham sama istilah-istilahnya anak S1 Planologi. Walaupun, jenjang stratanya lebih tinggi. Atau nama ilmunya mirip pakek logi-logian.

Nah, kurang lebih gitu deh. Mon maap kalau sungguh subjektif, ini kan blog saya, jadi tidak ada tuntutan untuk menyuguhkan tulisan yang netral hahaha. Terlepas dari itu, saya cukup merekomendasikan Khofifah-Emil untuk menjadi pilihan kawan-kawan di hari pencoblosan besok. Pertama, jelas alasannya karena impresi yang saya dapat ketika bersebelahan tempat duduk di pesawat dengan beliau. Walaupun, tidak semua impresinya positif hahahaha. Kedua, saya sempat mengikuti beberapa kali debat Cagub-Cawagub Jawa Timur. Lumayan keliatan sih, Khofifah-Emil memang 'siap memimpin', baik secara data, ide dan gagasan, dibandingkan pasangan lain yang mengandalkan takaran ketidakpastian, seperti "Kalau dari pengalaman saya dulu, blablabla...", atau "Sepertinya ada kurang lebih blablabla...".

Tapi, segalanya tetap kembali lagi kepada kalian wahai kaum yang akan memilih. Kalau kalian memiliki pertimbangan lain, sepenuhnya itu hak kalian. Asal jangan golput aja, kusedih karena harga yang harus dibayar untuk sebuah hak pilih dari seorang warga negara terlalu mahal untuk selembar kertas kosong tanpa lubang coblosan. So, selamat nyoblos! Anyway, saya nggak ikutan nyoblos, karena KTP Jakarta. ehehe.



P.s. we happened to take some good pictures- with my very own barefaced.
Ahya, sawrry, i wouldn't ask for your pardon bcz of my barefaced just like other women did outside.
Cz, ya know, im not that typical woman in the majority haha.


Mittwoch, 20. Juni 2018

Magis

Cinta memang magis. Membicarakannya, ibarat mengecap gula-gula manis yang tak habis-habis. Tapi, jangan lupa, ia pedang bermata dua. Salah-salah, berakhir ceritamu menjadi derita.

Dienstag, 19. Juni 2018

Tentang Menikah

Berada di usia matang seperti saya sekarang, membuat obrolan menjadi semakin monoton. Apapun topik pembukanya, ujungnya pasti soal cinta, jodoh dan nikah. Perubahan status KTP kawan, dari jomblo menjadi 'Kawin', membuat lebih banyak hati menjadi gelisah. Bibir ingin mendesah. Mak, kapan nikah? Aduduh, bosen uwe dengernyah.

Sebenarnya, tak apa merasa deg-degan, tapi jangan sampai khawatir tidak kebagian. InsyaAllah, jodoh, rizki dan mati sudah tertulis takdirnya. Tidak akan tertukar, apalagi kehabisan.

Membicarakan gebetan banyak-banyak tidak lantas membuatmu cepat menikah, yang ada justru kamu jatuh semakin dalam pada kubangan dosa. Begitu pula dengan cinta, menumbuhkannya pada orang yang belum tentu menjadi jodohmu, pada masa yang belum waktunya, tidak membawa manfaat barang sebulir, yang ada justru mubazir. Karena kamu harus membagi-bagi cintamu kepada orang yang tidak berhak, cinta yang seharusnya bisa kamu berikan utuh tanpa cela pada kekasihmu sesungguhnya, yang halal di hadapan-Nya.

Karena, kalau kata Kurniawan Gunadi, mencintai bukan hanya soal waktu, keberanian dan kesempatan. Namun, soal keimanan dan ketaqwaan. Bagi saya, menikah adalah sarana mengakselerasi diri untuk menjadi lebih baik lagi. Menikah adalah wadah melipatganda ibadah. Menikah berarti mewujudkan mimpi-mimpi tentang pengabdian yang lama tertahan. Dan yang tidak kalah penting, menikah adalah melahirkan generasi penerus perjuangan-perjuangan yang belum selesai. Sehingga, modalnya tak cukup hanya cinta, ada ilmunya, ada landasannya.

Makanya, menikah bukan muara, ia hanya gapura. Menuju kesana, tidak boleh tergesa, apalagi dengan persiapan seadanya. Ingat, kita sedang mengejar ridho-Nya.


Sonntag, 17. Juni 2018

Kehilangan Dua

Suatu hari, ayah seorang teman tutup usia. Sebagai penghormatan, saya berkunjung ke rumahnya. Ia sedang bersandar di sudut jendela. Dengan wajah yang biasa-biasa saja. Tapi, sebagai teman lama yang dulu bermain boneka bersama, saya tahu ia menahan duka. Saya bisikkan padanya, "Bersyukur, kehilangan ayah berarti kehilangan satu, ayahmu saja. Kalau ibu yang pergi, kamu kehilangan dua, ibu dan ayahmu sekaligus. Aku sudah merasakannya."

Mittwoch, 6. Juni 2018

Komodifikasi dalam Narasi Doa Anak Yatim

Berhubung sudah memasuki bulan Ramadhan, mari kita membicarakan sesuatu yang relijius-relijius.

Bulan Ramadhan memang identik dengan bulan berlimpah pahala. Dimana, setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apapun, akan diganjar pahala dengan angka konversi yang jauh lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Begitu tumpah ruahnya pahala di bulan ini, sampai-sampai, beredar hadist di masyarakat yang mengatakan bahwa di bulan Ramadhan, sekalipun kamu tidur, pahala akan terus mengalir, karena tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Sayangnya, tidak banyak orang tahu jika hadist yang mereka gunakan untuk menjustifikasi aktivitas tidur berlebihan mereka di bulan puasa itu dhaif.

Usut punya usut, istimewanya bulan Ramadhan ternyata mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, baik perilaku di dunia maya maupun di dunia nyata. Menurut Ariani Dwijayanti, Industry Analyst Google Indonesia, pada Ramadhan 2017, pertumbuhan pencarian aktivitas religi di Google naik hingga 34% (Tribunnews.com, 2018).

Itu baru aktivitas googling-googling di dunia maya. Bagaimana spending habit mereka selama Ramadhan di dunia nyata? Siapa tahu mereka cuma googling tanpa tindak lanjut atau googling untuk kebutuhan eksis edisi Ramadhan di social media. Siapa tahu yakan.

Ternyata, kalau manut dengan data yang dimiliki Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), saat Ramadhan, konsumsi masyarakat Indonesia naik 20 - 30%. Menurut Ibu Netty Heryawan, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat, salah satu alasannya karena banyak orang menyetok kebutuhan untuk buka puasa bersama, santunan anak yatim dan aktivitas kebaikan lainnya (Republika.co.id, 2016). Btw, kenapa lu tiba-tiba mengutip pendapat istrinya Aher deh, Lil? Ya maklum, saya kan mengais data dari Republika. Ehe.

Data-data di atas menunjukkan bahwa tingkat relijiusitas masyarakat Indonesia masih terbilang tinggi. Terlihat dari adanya respon berupa perilaku positif yang signifikan saat datang bulan suci Ramadhan. Anyway, relijiusitas tidak selalu menandakan tingkat keshalihan seseorang ya. Relijius ya relijius, bersifat keagamaan. Kalau keshalihan lebih personal, menyangkut ketaatan antara kita kepada Rabb kita. Sotoy banget gue.

Selain itu, altruisme masyarakat kita juga tinggi, hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya aktivitas 'berbagi' yang muncul selama Ramadhan, misalnya makin banyak orang berdonasi, ngadain acara bukber di panti, sahur on the road, dll. Salah satu aktivitas kebaikan yang juga lumrah dilakukan masyarakat Indonesia adalah sedekah ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa (mon maap saya belum punya data pendukungnya). Sayangnya, dorongan altruisme untuk berbagi tadi tidak dibarengi dengan pemikiran kritis tentang kepada siapa rizki kita disalurkan. Emang dasar orang Indonesia mudah merasa iba, kita pun sangat mudah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas asal-usul dan pertanggungjawabannya, misalnya ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa tak berizin atau bersertifikat yang suka datang ke kantor-kantor atau rumah-rumah.

Sebenarnya, yang ingin saya garisbawahi disini bukan legalitas lembaga tersebut. Saya sendiri kurang paham, apakah ada dalil yang menyebutkan bahwa saat kita berzakat, infaq atau shadaqah, tanggung jawab kita sampai pada memastikan bahwa lembaga pengelola benar-benar terpercaya. Atau, apakah tanggung jawab kita selesai ketika kewajiban untuk menyisihkan sebagian rizki kita tertunaikan, tanpa perlu memastikan bagaimana lembaga penyalur tersebut mengelola dana kita.

Tapi, yang mau saya bahas adalah bagaimana biasanya jurus-jurus marketing dilancarkan oleh Mbak-Mbak peminta donasi. Entah kenapa, yang saya rasa, ketika menawarkan kesempatan untuk berdonasi, Mbak-Mbak tersebut lebih sering membicarakan tentang kemungkinan pahala-pahala yang akan kita dulang dari curahan doa anak panti yang kita bantu. Tapi, mereka sedikit sekali bicara untuk apa uang tersebut akan mereka gunakan, program apa yang akan dijalankan, bagaimana pertanggungjawabannya kepada kita, dan sebagainya.

"Ayo, Mbak, shodaqoh-nya, Mbak, untuk adek-adek yatim di panti. InsyaAllah doa mereka bisa membawa kita masuk sorga."
 

Well, nggak salah juga sih menggunakan jurus 'dahsyatnya doa anak yatim' untuk mengajak lebih banyak orang bersedekah. Kan memang faktanya doa mereka demikian luar biasa. Tapi, kalau terus-menerus narasi itu yang diulang, bisa-bisa disorientasi kita. Saya pernah baca, tapi lupa dimana maapkeun, bahwa zakat, infaq dan shadaqah yang ada di dalam Islam sebenarnya merupakan sebuah skema jaminan sosial bagi umat, agar, masyarakat yang terlahir dalam berbagai kelas ini, melalui zakat, infaq dan shadaqah bisa saling menjamin pemenuhan kebutuhan dasarnya. Semacam, yang kaya ikut menjamin hajat hidupnya si miskin melalui uang yang mereka sisihkan. Dengan begitu, jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin, yang memicu kecemburuan sosial, bisa teratasi. Di sisi lain, martabat si miskin pun terjaga karena mereka tak perlu meminta-minta. Makanya, sayang sekali jika tujuan semulia itu dikerdilkan dengan dominasi narasi tentang keberkahan doa anak yatim. Walaupun, sekali lagi, nggak ada salahnya juga sih mengharap keberkahan.

Lebih jauh, menurut analisis ecek-ecek saya, dominannya penggunaan narasi doa anak yatim yang kerap digunakan lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah untuk menarik masyarakat merupakan gambaran bahwa 'doa anak yatim' telah menjadi komoditas, dengan kata lain mengalami proses komodifikasi. Seingat saya waktu masih kuliah, komodifikasi adalah sebuah proses ketika sesuatu hal yang tidak memiliki kaitan dengan pasar, tidak bernilai jual, menjadi sebuah komoditas atau barang dagangan. Kalau menurut Om Marx, Kapitalisme adalah makhluk yang paling bertanggung jawab atas fenomena komodifikasi ini. Kapitalisme membuat segalanya mungkin diperjualbelikan. Makanya, sesuatu yang awalnya tidak memiliki nilai tukar pun dipaksa untuk memiliki label harga.

Lalu, apa yang salah dari komodifikasi doa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah? Bukankah mengharap keberkahan dari doa yang mereka haturkan adalah sah-sah saja? Bukankah naif jika beribadah tanpa mengharap berkah? Nah, itu dia. Kalau di Islam kan memang kita dianjurkan untuk selalu beribadah dalam takut (khauf) dan harap (rajaa'). Tapi, harap yang gimana dulu nih?

Ketika banyak lembaga zakat, infaq dan shadaqah mengajak untuk berdonasi dengan mengiming-imingi doa anak yatim yang mereka bina, lalu kita memberikan respon dengan berdonasi karena doa tersebut, maka secara tidak langsung kita telah mengaminkan proses ini sebagai sesuatu yang transaksional, 'lu jual gue beli'. Ke depan, mereka akan melihat betapa doa anak yatim binaan mereka ampuh untuk mengajak orang berdonasi. Sehingga, bukan tidak mungkin, akan dibangun narasi-narasi lain tentang si anak yatim yang bisa menarik pasar. Akhirnya, tanpa disadari, ajakan untuk berzakat, infaq dan shadaqah menjadi ajang kontestasi anak yatim mana yang paling makbul doanya, bukan lagi soal program-program mana yang paling efektif untuk pengembangan skill mereka, fasilitas apa yang butuh dibangun untuk pengembangan kapasitas mereka, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, yang terjadi adalah objektifikasi anak yatim, dimana anak yatim menjadi objek, barang atau alat pemenuhan kebutuhan orang lain.

Terus, solusinya apa dongs? Di jaman seperti ini, kita sudah tidak bisa lagi menghindar dari paparan fenomena komodifikasi. Apalagi, komodifikasi yang berhubungan dengan isu agama, mengingat kita tinggal di negara mayoritas muslim yang rasa-rasanya cukup relijius (ingat, relijius tidak selalu berhubungan dengan keshalihan). Apapun yang berbau Islam, berlabel halal dan syariah menjadi industri, dari industri pakaian muslim, bank-bank syariah, acara reliji di televisi, sampai yang selalu membuat saya geli, detergen dengan label halal nan Islami.

Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak dalam praktik komodifikasi, kita harus selalu meluruskan niat pada setiap aktivitas kebaikan yang kita lakukan, semata-mata untuk mengharap ridha Allah, bukan karena tren, ikut-ikutan atau karena harapan mendapatkan balasan duniawi. Selain itu, selalu belajar untuk melihat bigger picture dari setiap hal, khususnya dalam hal beragama. Jangan lupa, agama bukan seperangkat ilmu praktis, yang ilmunya bisa dicomot sana-sini. Setiap ajaran dalam agama punya konteks, maka kita harus memahami konteks tersebut secara utuh agar tidak salah kaprah. Kalau kata Bang Akhyar, "Agama yang dipahami dan dijalani tanpa keutuhan hanya membuat kita melaju ke arah yang keliru".










Tulisan di awal Ramadhan yang baru sempat diselesaikan.
Selamat meresapi Ramadhan yang tinggal sisa-sisa. Semoga, semakin mendekati akhir, kita tidak hanya manis di bibir. Katanya rindu, tapi menyiakan waktu. Bismillah.


Referensi
http://www.tribunnews.com/techno/2018/05/04/lima-produk-paling-dicari-orang-indonesia-selama-ramadan-berdasar-hasil-survei-google
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/06/22/o95s43382-konsumsi-masyarakat-saat-ramadhan-naik-hingga-30-persen

Freitag, 18. Mai 2018

Bapak-Bapak

Pekerjaan saya saat ini membuat saya banyak berinteraksi dengan bapak-bapak. Sudah banyak topik diskusi kami bahas, dari urusan pekerjaan hingga pengakuan kenakalan ketika istri tidak memberikan pengawasan. Khas laki-laki.

Tapi, baru setelah satu tahun lebih bekerja, saya sadar suatu hal. Pada setiap diskusi yang terjadi di antara kami, para bapak tidak pernah alfa bercerita tentang anak mereka. Dengan ketulusan sempurna. Dan antusiasme yang paripurna.

Mereka memuji. Mereka mengunggulkan. Mereka membandingkan anak mereka dengan anak tetangga, anak teman, anak bos atau anak siapa pun, yang pasti, entah rumus perbandingannya seperti apa, anak mereka selalu menjadi juaranya.

Di banyak kesempatan, saya tidak pernah ambil pusing akan cerita-cerita tersebut. Saya lebih sering mengiyakan dengan wajah template antusias. Bagi saya, human being lah ya, membanggakan kepemilikan dan capaian pribadi. Apalagi bagi seorang laki-laki yang hidup di negara patriarkis seperti Indonesia, mampu membina sebuah keluarga ideal dengan anak-anak yang layak dibanggakan adalah sebuah pencapaian. Dan patut dipublikasikan.

Tapi, saat kemarin diskusi serupa terjadi lagi, dengan rekan kerja yang merupakan bapak beranak dua, dengan dialog yang juga hampir serupa, saya menyadari sesuatu yang lebih dalam. Narasi tentang sang anak yang diceritakan berulang-ulang oleh para bapak, sepertinya bukan semata-mata upaya untuk menuntaskan dahaga mereka akan pengakuan orang lain, bahwa hidupnya ideal karena berhasil memiliki istri yang mampu beranak-pinak menciptakan keturunan kebanggaan. Bukan pula karena upaya menciptakan kontestasi remeh-temeh untuk menunjukkan anaknya lebih bernial jual dibanding anak orang lain.

At some point, i noticed their true love for their children lie behind each stories spoken. Sederhananya, semua bapak sayang anaknya. Segala cerita mereka tentang sang anak adalah representasi ketulusan cinta si bapak tentang anak-anak mereka. Yaa, walaupun kadang ceritanya agak hiperbola. Dimana, cerita tersebut, walau lancar dituturkan ke saya, belum tentu demikian di depan anaknya. Bisa jadi, di depan anak-anaknya, para bapak justru cuek. Atau galak. Atau ragu karena menjaga wibawa. Atau kelu karena memang tak pandai menyusun kata. Atau bahkan, sesederhana tak biasa mengekspresikan rasa cinta.

Menarik ya. Fathers always have their own way to show love. We just don't understand. Or not yet understand.

Beliau memang tidak seekspresif ibu, tapi percayalah, takaran cintanya, tak kurang barang setetes dari apa yang dimiliki ibu kita.

Montag, 14. Mai 2018

Patah Hati

Kalau dipikir-pikir, selama 25 tahun hidup, saya belum pernah benar-benar patah hati. Setidaknya, dalam konteks sempit, patah hati dengan seorang laki-laki.

Tapi, kalau boleh jujur, suatu kali saya pernah patah hati dengan seorang sahabat perempuan. Err, it's not that i was falling in love with her ya (ku masih suka laki-laki). Or we fell in love with the same guy. Duh, that's too drama.

Jadi begini ceritanya.

Bagi orang-orang yang pertama mengenal saya, mereka mungkin akan berpikir bahwa saya adalah orang yang sangat mudah mingle dengan orang baru. Atau saya sangat mudah mencari teman. Atau teman saya banyak. Atau saya tidak pernah kesepian.

Sayangnya, walaupun saya mengakui bahwa saya memiliki kecenderungan ekstrovert ekstrim, asumsi-asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahwa saya sangat mudah bergaul dengan orang baru, ya. Bcz, well, i have to say, i'm so good in cari-cari topik pembicaraan. Jadi, orang seringkali merasa 'nyambung' ngobrol dengan saya. Tapi, duh, mau sampai kapan terus-terusan struggling nyari bahan obrolan? It's so exhausting.

At the end, you have to admit that you cant get along with all of your friends. Semacam seleksi alam. Pada akhirnya, mereka yang bertahan untuk menjadi temanmu, yang komunikasinya masih berlanjut walau kalian sudah jarang bertemu, adalah mereka yang memang satu frekuensi denganmu. They who by nature share the same thoughts with you. Dan susah banget men ketemu orang yang kayak gitu. Itulah kenapa, saya yang ekstrovert ini tumbuh sebagai orang yang tertutup dan tidak punya banyak teman dekat.

Tapi, kalau sekarang kamu tanya saya, apa saya punya teman dekat, i definitely can mention one. Dia adalah teman bimbel saya waktu SMA, perempuan lho. Kami berasal dari sekolah yang berbeda. Pada masa-masa awal kami berkenalan, saya dekat dengan sahabatnya yang juga mengikuti kelas bimbel yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, dia justru semakin jauh dengan sahabatnya dan saya semakin dekat dengannya.

Persahabatan kami berlanjut hingga kami kuliah. Kebetulan kami masuk ke universitas yang sama, tapi fakultas berbeda. Saya sering main ke fakultasnya, begitu pula sebaliknya. Apalagi, salah satu teman jurusan saya juga merupakan teman dekatnya saat SMA. Intinya, kami bersahabat dekat. Walaupun kami tidak setiap hari berkomunikasi, tapi tidak pernah ada hal penting yang lupa kami bagi. Dia bahkan menjadi satu-satunya teman di Jakarta yang saya kabari ketika ibu saya meninggal dunia.

Seiring dengan fase hidup yang kami jalani, persahabatan kami pun mendewasa. Beberapa ketidakcocokan mulai terasa. Keributan-keributan kecil sering terjadi. Jujur, saya sempat melewati momen-momen dimana saya tidak ingin posisi saya sebagai sahabatnya digantikan oleh orang lain. Ya, seposesif itu. Tapi, dari sana saya belajar untuk menurunkan ego. Saya belajar untuk menghormati wilayah personal seseorang yang tidak bisa saya intervensi. Saya yang cenderung cuek, belajar untuk bertanya kabar lebih dulu. Saya yang cerewet dan banyak omong, belajar untuk mendengar tanpa terdistrak sedikit pun. Aih, berasa pacaran yes. Tapi, begitu lah, selayaknya hubungan pacaran, persahabatan juga harus di-maintain agar tetap terjaga sampai jannah-Nya. Aamiin.  Lagipula, lumayan lah ini untuk modal saya menjalani hubungan dengan pasangan saat berumah tangga kelak. Wkwk.

Kini, kami tidak lagi intens berkomunikasi seperti dulu, apalagi dengan kondisi long distance friendship seperti sekarang. Tapi, kami masih sering terlibat dalam diskusi-diskusi kecil ala ala orang dewasa, kalau nggak via telfon, via whastapp, via instagram, via LINE atau saluran lain yang memungkinkan kami berkomunikasi.

Sebelum akhirnya saya pindah domisili ke Jawa Timur, dia memberikan saya kejutan perpisahan yang terasa sangat getir. Dia didiagnosis dokter dengan sebuah penyakit yang membuat imunnya tidak mampu mengenal mana teman mana lawan di dalam tubuhnya. Sehingga, ia harus menjalani sebuah operasi untuk mengangkat organ yang memproduksi imun tersebut. Akibatnya, kini dia tidak bisa terlalu lelah, tidak bisa terpapar debu dan segala hal lain yang membutuhkan imunnya bekerja.

Sepanjang perjalanan sakitnya, saya hanya dua kali menemani dia di rumah sakit. Pertama, saat kepulangan saya dari Sumba. Dia masih di-opname setelah operasinya dan saya harus menuntaskan rindu dengan air mata yang saya bendung kuat-kuat. Kedua, saat dia kontrol rutin. Saya menemani dia menunggu antrian. Selebihnya, karena keputusan untuk pindah ke Jawa Timur ini, saya jadi tidak pernah ada di sisinya ketika dia harus menghadapi rumah sakit, dokter dan segala diagnosis-diagnosis intimidatif itu.

Kemarin, sebelum saya pulang ke Jakarta, saya kabari dia. Berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama seperti yang dulu-dulu barang sebentar. Entah dengan numpang makan nasi padang di rumahnya, copy film sebanyak-banyaknya atau sekadar leyeh-leyeh sambil bergosip di sofa rumahnya.

Tapi, jawaban darinya sungguh membuat hati pilu. Dia bilang, siang sebelumnya dia sesak napas di kantor, lalu dibawa ke rumah sakit dan tidak boleh pulang oleh dokter. Saya sedih sekaligus sebal. Dia tahu saya trauma dengan rumah sakit, tapi kenapa kami harus sering-sering bertemu di sana? Jawaban darinya sungguh membuat saya tersentak, bahwa ini semua adalah ketentuan-Nya. Kali ini, saya tidak membendung tangis saya. Toh, dia nggak bisa liat juga. Saya tanyakan padanya, dia mau apa untuk saya bawakan ke rumah sakit. Dia menyebutkan beberapa hal.

Sampai di Jakarta, saya atur rencana untuk mengunjunginya di hari kedua saya disana. Pagi sebelum berangkat, saya tanyakan nomor kamarnya. Tapi, tidak ada jawaban. Saya sungguh-sungguh menyesal karena saat itu saya hanya menanti chat dibalas. Tidak ada upaya untuk menelfon dirinya atau mengontak keluarganya. Dengan alasan yang sangat nonsense--takutnya dia sudah pulang ke rumah, saya tidak beranjak ke rumah sakit. Sampai akhirnya, dia membalas pesan saya pukul 17.15. Tidak mungkin lagi kesana. Jakarta macet parah karena libur nasional, sementara saya harus mengejar kereta ke Kebumen pukul 19.00.

Akhirnya, saya pun meninggalkan Jakarta. Tanpa rasa bersalah, tanpa pamit. Sekitar tengah malam, teman dekat kami berdua, Putu namanya, menghubungi saya, mengabarkan saya bahwa sahabat saya itu masuk rumah sakit. Ia kini menginap di rumah sakit menunggui sahabat saya itu. Saya jawab bahwa saya mengetahuinya dan saya sudah berjanji akan mengunjunginya, tetapi tidak jadi karena dia tidak membalas pesan saya.

Teman saya mengatakan bahwa dia baru saja menjalani Plasmapheresis. Mungkin itu yang membuat dia tidak pegang HP seharian. Seketika perut saya langsung nyeri. Saya mengutuki diri saya yang dengan bodohnya mengharap balasan pesan dari orang sakit. Bodoh, bodoh bodoh. Kenapa saya begitu bodoh dengan tidak jadi pergi ke rumah sakit cuma karena dia tidak membalas pesan saya? Kenapa saya tidak nekat pergi ke rumah sakit saja? Toh, kalau ternyata dia sudah pulang, saya bisa menyusul ke rumahnya. Bodoh.

Detik itu saya merasa patah hati. Entah ini definisi patah hati yang lazim diucapkan kebanyakan orang atau tidak. Yang pasti, saya merasa saya tidak lagi pantas menjadi sahabatnya. Saya terlalu egois dengan pemikiran-pemikiran saya sendiri. Saya terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi pribadi. Agak lebay ya. Tapi, kalau boleh jujur, ini bukan kali pertama saya berlaku demikian. Dia sering bertanya atas hal-hal penting yang tidak saya ceritakan padanya, saya menjawab seolah kesibukannya lah yang membuat saya berlaku demikian. Padahal, di banyak kesempatan, saya yang tidak menyempatkan waktu, saya yang sibuk sendiri. Saya tidak pernah benar-benar ada di sampingnya ketika dia butuh saya, tapi saya menuntut sebaliknya.

Kini, yang bisa saya lakukan hanya melangitkan doa. Semoga sakit yang dideritanya menjadi penggugur dosa.



Saya, Dia dan Putu


Donnerstag, 23. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 3]

Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, sejak saya membaca surat rekomendasi yang dibuatkan oleh referee saya, saya memiliki keyakinan besar bahwa surat itu akan mampu membawa saya untuk lolos ke tahap interview. Libur lebaran yang cukup panjang membuat saya mempersiapkan diri untuk mafhum jika akhirnya pengumuman peserta lolos ke interview memakan waktu yang lebih lama dari biasanya. Makanya, saya merasa tenang-tenang saja dengan masa penantian tanpa kepastian itu. Sampai pada momen H-sekian lebaran, berbagai kenyataan pahit datang bertubi-tubi. Kenyataan yang membuat saya bahkan tidak berselera menyantap menu-menu khas lebaran.

Pertama, karena pengumuman Fulbright sudah keluar dan saya tidak mendapatkan email notifikasi apapun (bahkan sampai tulisan ini dibuat). Dengan kata lain, saya tidak terpilih menjadi Fulbrighter 2018. Well, sebenarnya hasil ini sudah saya prediksi dari jauh hari. Saya pun sudah mempersiapkan diri atas kegagalan tersebut dengan selalu berdoa agar Allah melapangkan hati saya seluas-luasnya dalam menerima hasil tidak mengenakkan dari Fulbright. Tapi, tetap saja ya, ketika hal tersebut benar-benar terjadi, rasa kecewa tetap muncul walau secuil. 

Kedua, beberapa hari sebelumnya, email pengumuman AAS juga sudah keluar. Hanya saja, karena mungkin sinyal di rumah Mbah kurang bagus, tidak ada notifikasi email masuk kecuali jika saya sengaja update inbox email. Hasil AAS-nya tentu saja tidak menyenangkan, saya tidak lolos bahkan di tahap administrasi. Tapi, ini juga sebenarnya sudah saya prediksi, karena, qadarullah, beberapa hari setelah saya submit berkas, saya baca ulang back up jawaban esai yang saya simpan di Ms. Word. Dan saya pun baru sadar kalau ternyata saya lupa untuk menjawab satu sub-pertanyaan esai. Tetot. Menyesal sekali, tapi yasudah belum rezeki. 

Ketiga, ini yang paling membuat saya tidak bersemangat, i stumbled upon a random blog of the past YSEALI awardee. The blog said that usually the interview invitation will be sent to the selected candidates within a week after the deadline. Meanwhile, the day i read the blog has passed more than 7 days after the deadline and i haven't got any email from YSEALI committee. Fiuh, apa ini pertanda saya tidak masuk ke tahap interview ya? Hiks.

Seketika semua harapan saya runtuh. Semua optimisme yang terbangun selama pengerjaan aplikasi pupus sudah. Perjalanan YSEALI saya berhenti disini. Tidak ada lagi yang perlu dicari tahu, tidak ada lagi yang perlu dipersiapkan, pikir saya. Keyakinan saya untuk dapat melaju ke tahap interview pun saya tukar dengan keyakinan bahwa mungkin ini memang yang terbaik menurut Allah. YSEALI bukan jalan saya. Okesip, mari kita menyambut lebaran aja lah!

Setelah lebaran, saya sempat bertemu dengan beberapa teman lama. Saya ceritakan perjalanan aplikasi YSEALI saya yang bahkan sudah gagal sejak seleksi berkas. Mereka mengaminkan dengan mengatakan, "Iya, YSEALI emang ketat banget sih seleksinya. Ratusan yang daftar, susah banget buat tembus kesana."

Damn, saya mengumpat, mengutuki diri yang sebodoh itu telah menaruh harap pada sebuah program yang tidak mungkin saya tembus. Ibarat ngarep balasan cinta dari gebetan yang jelas-jelas nggak punya tempat buat kita di hatinya. Cailah.

Hari-hari saya pun berlanjut tanpa ada lagi mimpi ke Amerika. Hingga suatu siang yang sengatan panasnya masih saya ingat sampai sekarang, tanggal 3 Juli, saya sedang di lapangan untuk mendampingi Mba Arum, petugas lapangan di cabang dampingan saya yang akan melakukan proses prapencairan. Mba Arum mengajak saya beristirahat sejenak karena dia mau makan siang. Saya mengiyakan dan kami pun mampir ke warung nasi goreng. Agak aneh sih ada yang jual nasi goreng siang-siang (mon maap, ini komentar super nggak penting).

Berhubung saat itu saya sedang puasa, Mba Arum sungkan jika harus makan sambil mengobrol dengan saya. Saya pun mencari 'kesibukan'. Saya aktifkan koneksi internet dan membuka inbox gmail. Dalam beberapa detik, si inbox berusaha untuk memuat email-email baru. Saya skimming email yang masuk, dan 'deg'. Saya tertegun. Saya baca ulang. Tertulis pada subjek salah satu email yang baru masuk:

"Interview Request: YSEALI Academic Fellowship Program (Fall 2018)"

Saya klik email tersebut. Beberapa detik setelahnya jantung saya seperti ingin membuncah. Ini serius nih? Saya baca ulang email tersebut. Baik-baik. Lagi dan lagi. Dengan pelan-pelan. Dengan hati-hati.




I got an interview invitation!!!! Is it for real?!

Reflek, dengan agak heboh saya sampaikan ke Mba Arum kalau saya masuk ke tahap interview YSEALI. Mba Arum tidak paham dengan apa yang saya bicarakan. Tapi, ah, saya tidak peduli. Saya tidak dapat menahan kebahagiaan saya saat itu. Saya tidak dapat berhenti tersenyum.

Sambil menanti Mba Arum selesai makan, saya memastikan sekali lagi bahwa email tersebut nyata, bukan halusinasi saya yang kebelet pengen ke US, bukan email salah subjek dan, yang paling penting, tidak salah alamat. Alhamdulillah. Setelah yakin bahwa saya tidak sedang bermimpi, saya tenangkan diri. Saya ucap dalam hati, "Alhamdulillah, seneng secukupnya aja, Lil. Jangan terlena. Lo masih punya satu tahap lagi untuk dimenangkan. Jangan sampai mengulang kebodohan saat interview Fulbright."

Hari itu, senyum saya tidak bisa berhenti mengembang. Kepala saya juga tidak bisa berhenti berpikir, strategi apa yang harus saya lakukan dalam menghadapi interview dengan waktu persiapan yang hanya seminggu saja. Fiuh.

Ahya, sebelum itu, tidak lupa saya mengabarkan sekaligus mengucapkan terima kasih kepada orang yang secara langsung punya andil besar dalam aplikasi YSEALI saya: Kak Queen, referee saya. Terima kasih banyak, Kak!

Anyway, untuk kelolosan interview YSEALI ini, saya sengaja tidak mengabarkan banyak orang. Saya trauma masa-masa interview Fulbright. Wkwkwk. Udah ngabarin banyak orang, banyak yang ngucapin selamat, dan terlena lah saya dengan kata-kata manis mereka. Saya merasa di atas awan, eizik, lalu lupa bahwa di depan masih ada jurang yang harus saya seberangi. Huff.

Makanya, saat hari H email masuk itu, saya hanya mengabarkan Kak Queen saja. Kemudian, beberapa hari menjelang hari interview, baru deh saya bilang ke temen deket dan Bapak di Jakarta buat minta restu dan doa beliau. Nah, ini tips nih, buat yang lagi bersukacita menghadapi berita baik biar nggak terlena: sharing good news is nice, but too much is exaggerating. Sometimes, not all 'nice words' we got are good for our self-development. In most cases, those are just toxic. So, beware! ehe.


Mempersiapkan Interview

Hal paling pertama yang saya lakukan dalam mempersiapkan interview YSEALI adalah, seperti biasa, baca blog alumni. Sayangnya, kali ini saya mengalami kesulitan karena sedikit sekali alumni yang membagikan pengalaman interview YSEALI mereka. Pun jika ada, pembahasannya tidak mendalam, hanya sebatas memberikan gambaran bahwa interview dilaksanakan via Skype, kalau internet bermasalah, kita akan dikontak via telepon biasa. Selebihnya, tidak ada penjelasan detil tentang hal-hal yang akan ditanyakan selama interview, bagaimana kriteria kandidat yang mereka cari, dsb. Jadi, saya harus cari sumber belajar lain.

Selanjutnya, saya coba menghubungi alumni YSEALI untuk tanya-tanya langsung. Kebetulan, saya sempat mengenal beberapa alumni YSEALI, tapi agak sungkan untuk menghubungi mereka karena kami tidak pernah kontak-kontakan lagi. Walaupun, sebenarnya, mereka sangat terbuka kalau ada kandidat yang mau tanya-tanya sih. Tapi, saya ragu aja hahaha. Maklum, saat itu saya masih pada pemikiran: "Duh, jangan sampe banyak orang tau dulu deh. Takut gagal lagi." Padahal, nggak ada yang salah kok dari gagal berkali-kali, nggak perlu takut apalagi malu. Jadi, mindset saya ini jangan ditiru ya.

Kalau memang mau, kamu bisa menghubungi para alumni itu melalui berbagai saluran, seperti email, linkedin, instagram, dll. Saya pun sempat melihat beberapa tulisan atau vlog alumni yang memang membuka diri untuk ditanya-tanya terkait aplikasi YSEALI. So, jangan ragu ya.

Oke, balik lagi, saat kepo-kepo web YSEALI, saya menemukan sebentuk wajah familiar terpampang di web bersama alumni YSEALI lain. Dia adalah Mas Maxi- founder Riliv, sebuah startup konsultasi Psikologi dari Surabaya. Saya tahu dia sejak mengikuti rangkaian program 1000 Startup Digital. Kebetulan, dia adalah alumni program di batch sebelumnya. Ia sempat pula mengisi beberapa sesi dan menjadi mentor 1000 Startup Digital batch saya. Hem, ternyata, dia alumni YSEALI Academic Fellowship untuk tema yang sama dengan saya, Social Entrepreneurship. Lumayan lah kalau saya kontak Mas Maxi, he's not totally stranger yakaan. 

Singkat cerita, saya kontak Mas Maxi. Saya ceritakan padanya bahwa saya sedang apply YSEALI Academic Fellowship dan tepat kemarin saya mendapatkan undangan interview. Mas Maxi ini baik sekali, dia lalu menjelaskan hal-hal yang harus saya perhatikan saat interview, seperti motivasi yang benar, jangan pernah menyebut jalan-jalan sebagai tujuan, pastikan jawaban-jawaban saat interview tidak bertentangan dengan apa yang kita tulis pada esai, jabarkan rencana setelah program selesai, tunjukkan bahwa program yang kita jalankan akan sustainable, dsb.

Intinya sih, yang saya tangkap, berdasarkan pengalaman interview Fulbright dan YSEALI, dimana-mana interview itu tujuannya sama: mengkonfirmasi jawaban yang kita tulis pada aplikasi, apakah sesuai atau nggak. Karena, kalau kata Mas Dimi, konsultan IDP yang selama ini jadi counselor saya untuk apply S2, ketika kita diundang interview, artinya profil kita pada aplikasi sudah sesuai dengan apa yang mereka cari. Tinggal, saat interview itu, mereka mau gali lebih dalam, beneran sesuai atau nggak, cocok atau nggak sama program yang ditawarkan dan apa rencana setelah programnya. Jangan sampai beasiswa atau kesempatan program yang diberikan ke kita, hilang tak berbekas setelah program selesai. Idealnya sih, kita harus bisa bikin impact positif ke masyarakat, give back lah atas privilege yang udah kita nikmati.

Lanjut, setelah tanya-tanya ke Mas Maxi dan semakin mendapat gambaran mengenai interview yang akan berjalan, saya coba membuat daftar pertanyaan yang kemungkinan besar akan ditanyakan oleh para interviewer. Lalu, saya siapkan pula jawaban-jawaban dari setiap pertanyaan tersebut. Ingat, cobalah untuk mempersiapkan jawaban sespesifik mungkin, jangan normatif dan mengawang-ngawang.

Dengan modal itu, sisa-sisa hari menjelang interview saya isi dengan latihan menjawab pertanyaan. Biasanya, saya latihan di kasur, sebelum dan sesudah tidur. Sambil duduk, saya coba rekam, kadang rekam video, kadang cuma rekam suara. Nanti, rekamannya saya putar, kalau masih ada yang kurang sip, seperti bahasa tubuh yang kurang enak dilihat, mata yang tidak fokus menatap ke depan, suara yang tidak enak didengar, diksi yang kurang pas, atau bahkan senyum yang kurang greget (eyyaaa), saya ulang lagi.

Jujur, trik membuat daftar pertanyaan sekaligus jawaban dan melatihnya setiap hari sangat-sangat membantu saya dalam menghadapi interview YSEALI kemarin. Pertama, kita jadi bisa memprediksi apa yang akan menjadi pertanyaan lanjutan dan kemana arah pembicaraan selama interview. Dengan demikian, kita tidak akan terlalu kaget dengan random questions yang tiba-tiba keluar dari interviewer.

Kedua, saya jadi bisa memfokuskan pengetahuan-pengetahuan baru apa yang sebaiknya saya pelajari. Mengingat, waktu persiapan yang sempit, kita tidak bisa mempelajari semua hal baru. Kita harus pandai memilah, apa yang kita butuh pelajari yang mungkin bisa memperkaya perspektif kita saat interview.

Selain itu, interview YSEALI nanti akan full english. Kamu nggak mau dong kalau selama interview akan menggunakan diksi yang itu-itu aja? Atau bahkan kebingungan memberikan jawaban dalam bahasa Inggris, padahal kamu tahu betul jawabannya dalam bahasa Indonesia. Makanya, biar nanti jawaban kamu terdengar smooth, natural dan nggak kaku, perbanyak latihan ngomong.

Ahya, ini saya kasih contoh pertanyaan yang pasti banget keluar beserta contoh jawaban oke dan nggak oke ya:

Pertanyaan:

"Why do you want to join YSEALI?"

Tipe jawaban normatif dan ngawang-ngawang:

"Because YSEALI will be held in USA, the most powerful country in the world, it has the best university in the world dst..."

"Because YSEALI is an international youth program where I can enrich my network with other youths in Southeast Asia, I can sharpen my leadership skill, I can improve my knowledge..."

Tipe jawaban spesifik:

"Because this program will be held in USA. We all know that USA is the country where the term social entrepreneurship was first introduced. The country where the very first organization promoting social entrepreneurship was founded, like Ashoka Foundation. So, there will be no other country better for me to learn about social entrepreneurship besides USA."

"Because YSEALI offers me the opportunity to mingle with other youth from different countries and character. That experience would be beneficial for me in leading my social enterprise, as the team I lead consist of people who are coming from different background."

Gimana? Kelihatan kan perbedaannya? Salah satu tips agar jawaban kamu spesifik dan tidak normatif adalah dengan perbanyak riset, baca artikel, update isu terkini yang relevan atau apapun yang bisa memperkuat argumenmu.

Terakhir, jangan lupa untuk mempersiapkan print out form aplikasi dan recommendation letter kamu. Print out tersebut akan memudahkan kamu untuk mempelajari segala hal yang kamu dan referee-mu tulis saat apply. Ingat, usahakan jawaban-jawabanmu tidak bertentangan dengan isi form aplikasi dan surat rekomendasi ya.


Interview D-Day

Jadwal interview saya di pagi hari pukul 8.30 WIB. Alhamdulillah, karena saya sudah mencoba mempersiapkan interview sebaik yang saya bisa, saya tidak sakit perut karena tegang seperti biasanya saya menghadapi interview. Ahya, karena hari itu hari kerja, saya pun berangkat ke kantor cabang seperti biasa, lalu saya mojok ke tempat sepi, dan saya siapkan semua peralatan yang diperlukan. Siapin print out berkas, laptop sambil di-charge (walaupun keknya masih penuh wkwk), headset disambungin ke laptop dan, yang paling penting, standby Skype.

Menjelang pukul 8.30 kurang sekian menit, belum ada tanda-tanda pihak US Embassy menghubungi saya. Saya agak gelisah, walaupun sebenarnya nggak perlu gelisah haha. Tepat di pukul 8.30 WIB, pihak US Embassy mengirim pesan Skype yang mengabarkan bahwa interview akan diadakan sebentar lagi. Saya melakukan final check, segala tools saya tes dan print out form aplikasi saya tempatkan pada posisi yang mudah dijangkau, in case saya butuh baca form di tengah-tengah interview.

Saat akhirnya US Embassy benar-benar menghubungi saya via Skype, ternyata panggilannya masuk ke hp, bukan ke laptop. Duh, saya agak panik, karena pasti tidak akan nyaman sekali kalau harus Skype call via hp. Tapi, saat saya cek laptop, panggilannya nggak masuk. Okelah, biar interviewer-nya nggak terlalu lama menunggu, saya langsung pindahkan sambungan headset dan mengangkat panggilan Skype di hp. Ternyata, interviewer meminta video call. Okesip, jadi lah sepanjang interview, hp itu saya pegang di depan wajah saya. Mayan, pegel.

Di awal, para interviewer memperkenalkan diri. Jujur, sekarang saya udah lupa nama-nama mereka karena saat itu deg-degan banget. Jadi, pikiran nggak bisa diajak mikir, apalagi untuk menghafal nama interviewer. Yang pasti, ada tiga orang yang meng-interview saya, ketiganya dari US Embassy Jakarta, orang Indonesia, dua laki-laki dan satu perempuan.

Nah, ini saya share pertanyaan-pertanyaan yang keluar saat interview kemarin yaw:

1. Introduce yourself
2. Explain your academic and work background. Why your academic background is not aligned with your current work
3. Explain the social enterprise you're currently working at
4. Your plan in the next 5 years. Whether you would stay in Jombang or go back to Jakarta
5. Progress and challenges faced by your social enterprise
6. Why applying for YSEALI
7. If you are chosen to be the YSEALI awardee, what things you want to learn from the program
7. After the program, any plan to start off other project ideas?
9. If you are chosen and go to US, what about your work at office and your social enterprise
10. Any question?

Ohya, disclaimer, saat kalian interview, belum tentu juga semua pertanyaan itu yang keluar ya. Coba kira-kira kemungkinan yang lain, sesuatu yang menurut para interviewer mungkin menarik untuk digali dari dirimu. Interview diestimasikan berjalan selama 20 menit, tapi, waktu saya interview, total waktunya cuma 19 menit 54 detik.


Menanti Hasil

Saat proses interview selesai, salah satu interviewer mengatakan bahwa pengumuman hasil akan disampaikan 'by the end of next week', yang mana saya artikan frase tersebut menjadi hari Jumat tanggal 20 Juli 2018. Wah, cepat ya, pikir saya dalam hati. Menjelang tanggal tersebut, saya tidak terlalu cemas memikirkan, kebetulan saat itu saya sedang persiapan backpacking ke Jepang. Tepat di tanggal 20 Juli itu pun, saya sedang di Jepang.

Akhirnya, tanggal keramat yang dinanti tiba. Saat itu, saya sedang di Osaka, baru tiba dari Tokyo di pagi harinya. Hp saya seharian mati total, jadi tidak bisa cek-cek email. Baru bisa buka email itu kalau tidak salah menjelang jam 4 sore, setelah kami check in penginapan.

Wagelaseh, deg-degan banget waktu itu. Proses hp nyala, konek internet, sampe akhirnya bisa tarik email, terasa sangat lama. Mata saya skimming cepat, yes, ada email dari YSEALI. Duh, ternyata, itu bukan email pengumuman. Itu email pemberitahuan untuk mengumpulkan 4-pages scanned passport. Saya liat jam kirimnya, oh, jam 15, baru aja dikirim berarti, nanti deh balesnya, nggak memungkinkan juga kirim scanned passport saat itu (belakangan saya tau bahwa email tersebut dikirim sekitar jam 1 waktu Indonesia).

Saya masih ingat sekali, saat saya dan pasangan backpacking saya (Indah namanya), mengunjungi destinasi kami selanjutnya, saya nggak bisa fokus menikmati suasana saat itu. Kepikiran YSEALI, sist. Sayang banget sih, belum tentu balik lagi (semoga balik lagi sih), tapi hati bawaannya pengen segera reply email itu. Singkat cerita, saya baru bisa mengumpulkan scanned passport yang diminta hari Senin pagi ketika saya sudah kembali ke Indonesia.

Sejak itu, hari-hari saya benar-benar tidak bisa lepas dari memikirkan pengumuman YSEALI. Setiap hari mengecek email, buka facebook group YSEALI dll. Sampai pada titik dimana saya merasa 'Kok kayaknya YSEALI sudah pengumuman yaa', saya pun secara random menghubungi alumni YSEALI melalui instagram untuk menanyakan perihal pengumuman tersebut. Jawaban dari mereka lumayan membuat perut saya kram. Mereka mengatakan bahwa untuk regional Timur Indonesia dan Sumatera, peserta terpilih telah diumumkan. Sayangnya, mereka nggak paham kabar untuk regional Jakarta.

Saat itu saya baru tahu, ternyata, seleksi YSEALI ini dibedakan dalam 3 wilayah seleksi, yaitu wilayah Indonesia Timur oleh Konjen AS Surabaya, wilayah Jakarta (dan kemungkinan Jabar, Jateng, Kalimantan) oleh US Embassy Jakarta dan wilayah Sumatera oleh Konjen AS Medan. Saya sendiri tidak paham, akan masuk wilayah seleksi yang mana, mengingat KTP saya Jakarta, tapi tinggal di Jawa Timur. Walaupun saya diwawancara oleh orang-orang dari US Embassy, tapi tidak menjamin kan kalau saya masuk ke wilayah seleksi Jakarta dan sekitarnya? Di titik tersebut, saya benar-benar pasrah. Jika memang saya dimasukkan ke wilayah Timur, dan itu sudah diumumkan, berarti yaa saya nggak lolos.

Tanggal 6 Agustus, karena saya tidak dapat membendung rasa penasaran saya, saya lakukan ikhtiar terakhir. Saya email pihak US Embassy untuk menanyakan, apakah pengumuman final YSEALI sudah keluar atau belum. Saya sudah siap dengan semua jawaban, insyaAllah. Kalau memang sudah, berarti YSEALI bukan rezeki saya. Tapi, kalau memang belum, setidaknya masih ada harap yang bisa saya gantungkan.

Hingga sore, saya tidak mendapat email balasan. Well, nggak mungkin balasannya di hari yang sama juga sih. Tapi, lumayan lah, ikhtiar terakhir saya itu cukup menenangkan dan meringankan hati untuk melepaskan kalau-kalau saya memang tidak terpilih mengikuti YSEALI.

Besoknya sekitar jam 9 pagi, tanggal 8 Agustus, saya menerima telfon dengan kode Jakarta yang kombinasi angkanya cukup familiar di mata saya. Saya angkat, di seberang telfon seorang perempuan berbicara. Ia menyatakan dari US Embassy Jakarta dan mengatakan bahwa saya terpilih menjadi salah satu awardee YSEALI Academic Fellowship Fall 2018. Allahu Akbar!

Kalimat-kalimat selanjutnya yang disampaikan oleh perempuan di ujung telepon tidak lagi saya dengar dengan baik. Saya cuma ingat sekilas, bahwa kampus saya masih belum pasti, antara University of Connecticut atau Brown University. Sekilas saya pikir, apa tuh Brown, macam karakter LINE aja. Seketika, telepon pun ditutup dan saya tak habis mengucap syukur. MasyaAllah, anugerah-Mu, ya Allah!

Belakangan, saya baru tahu jika saya akhirnya ditempatkan di Brown University. Ada sedikit rasa kecewa dalam diri saya (Astaghfirullah), karena YSEALI Academic tema Social Entrepreneurship sangat identik dengan UConn (sebutan untuk University of Connecticut). Saya pun sudah sedikit membayang-bayangkan diri menjadi UConn Huskies- sebutan bagi mahasiswa UConn (cikal bakal dari logo kampusnya yang berupa Husky).

Lagipula, nama Brown terasa kurang keren dan terlalu imut. Tapi, memang dasar saya harus banyak-banyak belajar bersyukur, rasa kecewa saya itu seketika runtuh ketika mengetahui bahwa Brown University adalah salah satu kampus Ivy League. IVY LEAGUE! Sebuah kumpulan kampus bergengsi di US! Dengan acceptance rate yang hanya 9 koma sekian persen. Fall 2018 ini adalah periode pertama Brown University bergabung menjadi host institution bagi program YSEALI Academic dan satu-satunya host institute yang merupakan Ivy League. Maasya Allah!

Seketika, saya pun merasa hanya manusia yang kebetulan beruntung karena dianugerahi Allah kesempatan yang luar biasa ini. Alhamdulillah.


Pesan-Pesan

Bagi teman-teman yang tertarik untuk ikutan YSEALI atau program sejenis, saya punya beberapa pesan. Asiks.

Pertama: Cari tau apa tujuan jangka panjangmu
Sebelum kita coba berbagai hal menggiurkan di luar sana seperti YSEALI dan berbagai program serupa, ada baiknya kita coba untuk mendefinisikan apa yang sesungguhnya menjadi tujuan kita dalam jangka panjang. Misalnya, saya punya tujuan jangka panjang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa dengan cara yang membuat mereka berdaya, salah satu jalannya melalui konsep social entrepreneurship.

Nantinya, program YSEALI atau kesempatan lain yang saya temukan sepanjang perjalanan memperjuangkan mimpi, bisa saya gunakan sebagai alat bantu untuk mengakselerasi diri agar memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan jangka panjang itu. Sehingga, kita tidak akan berlebihan memandang program semacam ini. Tidak kelewat bahagia ketika diterima, pun tidak kelewat sedih ketika ditolak. Karena toh itu cuma alat bantu, bukan tujuan yang utama yang mau kita capai. Jangan sampe disorientasi!

Kedua: Hati-hati dengan euforia program ke luar negeri
Ke luar negeri itu memang menyenangkan, makanya bisa bikin kecanduan. Banyak orang berjuang mati-matian untuk ikutan program-program di luar negeri, seperti youth forum, conference, youth camp atau program lain seperti YSEALI, tanpa memahami esensi program sesungguhnya. Atau parahnya lagi, mereka tidak memahami isu yang diangkat oleh program terkait. Wes sing penting budhal luar negeri wes.

Akibatnya, setelah kembali dari youth forum X di Taiwan, berjuang lagi untuk youth camp di Australia, setelah berangkat, pergi lagi untuk conference di Inggris. Terus apa? Apa sisa perjalanan tersebut? Inferiority complex terhadap negara tetangga? Foto-foto yang instagramable?

Sebenernya, poin 'berjuang pantang menyerah untuk punya pengalaman ke luar negeri'-nya sih bagus. Tapi, signifikansi jangka panjangnya apa? Padahal, kita ke luar negeri lewat sebuah program gratis itu tanggung jawabnya besar. Ada hutang pengabdian yang harus kita bayar.

Makanya, hal itu nggak akan terjadi kalau sejak awal kita tau mimpi jangka panjang kita. Segala kesempatan yang ada akan dilihat sebagai alat bantu aja. Kalau ternyata ada kesempatan ke Amerika, kita akan liat, membantu pencapaian mimpi jangka panjang nggak nih? Kalau iya, cuss, kalau nggak, kasih kesempatan ke yang lain. Bukan malah semua program diikutin. Kalau begitu, kita bukannya makin mahir di bidang kita, tapi makin mahir bikin essay aplikasi program. Btw, saya ngomong begini bukan karena saya suci dari dosa-dosa semacam itu ya. Justru, karena saya pernah berada di posisi obsessed ikutan event-event begitu, makanya saya bisa berbagi nasihat. Ehe

Ketiga: Jangan 'memantaskan diri' untuk sebuah program
Waktu kita terbatas, fokus lah pada apa yang menjadi mimpi dan cita-cita jangka panjang kita. Jangan menghabiskan waktu untuk memantaskan diri agar bisa diterima sebuah program. Misalnya, YSEALI mencari orang yang punya kontribusi ke masyarakat, yaudah saya adakan rumah baca di desa saya deh biar bisa keterima YSEALI. Kalau sejak awal niatnya sudah ngawur begitu, selesai YSEALI belum tentu rumah bacanya masih berjalan.

Dude, we're bigger than the program. Our dream is beyond YSEALI. Bekerja keraslah untuk mimpi jangka panjang kita, bukan untuk program. Mimpi yang luhur, mimpi yang membawa kebaikan tidak hanya untuk diri kita sendiri. Dengan begitu, percaya deh, segala kesempatan akan mengikuti. Kalian mau ke Eropa, Amerika, Australia akan ada aja jalannya. Ingat, bahwa ada logika langit di atas logika manusia.

Keempat: Libatkan Allah
Pada akhirnya, kita bukan apa-apa. Kita cuma makhluk yang diatur oleh Yang Maha Kuasa. Jangan lupa untuk terus libatkan Allah atas setiap proses yang kita jalani. Dan, yang paling penting, karena ridha Allah juga ada di tangan orang tua, jangan lupa untuk terus minta doa mereka. Ah tapi, orang tua mah nggak perlu diminta juga akan selalu doain anaknya. Justru kita anak-anaknya yang sering lupain mereka :(

Sekian. Kalau kalian mau tanya-tanya lebih jauh ke saya, bisa tinggalkan komentar di bawah atau email ke lili.nurindahsari93@gmail.com

---
Ohya, siapakah Juminten?

Cek disini. Dulu, saya cuma ketawa-ketawa aja tiap denger Juminten kuliah di Washington. Nggak nyangka bisa ikut nyusulin kesana~



Mittwoch, 15. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 2]

Sekarang, saya akan berbagi langkah-langkah yang saya lakukan dalam mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018. Ingat, ini langkah yang saya lakukan, cuma referensi buat kamu, bukan langkah yang 'seharusnya' kamu lakukan ya. So, you may have your own steps in doing the application. That would be very much okay :)


1. Minta Izin ke Atasan Kantor

Kalau kamu adalah karyawan seperti saya, minta izin ke atasan di masa-masa awal sebelum daftar adalah sesuatu yang penting, karena program ini akan berjalan selama 5 pekan. Belum lagi, kamu harus mengikuti orientasi sebelum keberangkatan dan, yang paling krusial, kamu akan riweuh mengurus visa. Jadi, ada baiknya atasanmu paham dengan rencanamu itu. Dari sana, akan ketahuan, atasanmu mendukung atau tidak. Kalau mendukung, aman. Kalau tidak, kamu harus mulai berpikir, jika kamu benar-benar diterima nanti, apa kamu sudah yakin untuk menukar karirmu di tempat kerja dengan perjalanan ke US melalui YSEALI? Atau justru melepas kesempatan di YSEALI adalah pilihan terbaik? 


2. Memilih Referee

It's such a tricky part, karena siapa referee kita akan memengaruhi bagaimana kualitas surat rekomendasi yang kita submit. Walaupun, saya sendiri kurang paham seberapa besar bobot surat rekomendasi pada seleksi YSEALI. Tapi, saya cukup yakin jika surat rekomendasi saya sangat-sangat memengaruhi keputusan reviewer dalam meloloskan saya. Karena yaa kita tahu, kesempatan untuk meyakinkan reviewer melalui aplikasi sangat terbatas. Bayangin aja, kita harus meyakinkan reviewer untuk memilih aplikasi kita dibandingkan ratusan pendaftar lain dengan hanya melihat riwayat aktivitas dan esai super singkat yang tidak lebih dari 250 kata. Kalau kamu jadi reviewer, pasti kamu akan mencari pertimbangan lain kan? Nah, surat rekomendasi ini lah yang jadi salah satu referensi mereka. 

Lalu, bagaimana caranya memilih referee yang tepat? Untuk YSEALI (ini belum tentu berlaku pada program lain ya), saya sarankan pilih referee yang tidak sekadar punya nama besar. Tapi, pastikan beliau memang mengenal kita dengan baik. Sehingga, rekomendasi yang beliau berikan bisa detailed dan personalized, tidak memberikan kesan template. Misalnya, kalau kamu berada dalam sebuah organisasi kemasyarakatan, jangan langsung menyasar ketua organisasi tersebut sebagai referee-mu, hanya karena beliau cukup dikenal di masyarakat. Beliau sendiri kenal kamu dengan baik ndak? Jangan-jangan selama ini cuma saling lempar senyum doang lagi *lah berasa sama gebetan dong.

Ndak apa-apa lho kalau kita minta rekomendasi ke orang di level manajer atau bahkan officer, yang penting kalian rutin berkomunikasi dan beliau paham perkembangan diri kamu. Etapi, bukan berarti temen main yang se-level juga boleh ya, pilih mentor atau supervisor lah paling nggak. Biar isi surat rekomendasinya nggak sebatas: she is good; she is a hard worker; she is attentive to detail; dan parahnya, she is beautiful. eyyaa. 

Selain itu, pastikan referee-mu itu mengenalmu dalam lingkup kegiatan yang berkaitan dengan tema program YSEALI yang kamu pilih. Sehingga, pemaparan yang beliau sampaikan tentangmu dapat spesifik dihubungkan dengan tema program yang kamu pilih itu. Misalnya, saya memilih tema Social Entrepreneurship and Economic Development. Saya tidak meminta rekomendasi dari dekan kampus, dosen pembimbing atau atasan di kantor. Tetapi, saya minta rekomendasi dari orang yang menjadi mentor saya saat mewakili SiMaggie mengikuti sebuah program inkubasi social enterprise. Jadi, beliau paham betul dengan perjalanan saya dan SiMaggie selama ini.

Surat rekomendasi yang beliau tulis untuk saya cukup detail. Maklum, saya berada di bawah asistensinya secara langsung selama beberapa bulan. Beliau juga tahu betul bagaimana tertariknya saya dengan konsep social entrepreneurship. Semua pemahaman beliau tentang saya itu ditulis dengan menyertakan contoh konkret. Dengan begitu, saya sendiri yang membaca tulisan beliau merasa bahwa surat rekomendasi tersebut sangat meyakinkan. Sehingga, walaupun di akhir surat referee saya menulis posisinya sebagai program officer, karena isi suratnya sudah meyakinkan, posisinya tidak membuat rekomendasinya diragukan.

Entahlah, ini asumsi saya sih, yang jelas, walau jabatan referee-mu mentereng di tingkat CEO sekalipun, kalau konten surat rekomendasinya cuma common sense, sayang aja sih.

"Ya tapi kan kualitas surat rekomendasi yang ditulis referee di luar kendali kita."

Makanya, pilih referee yang tepat. Dan perbaiki hubunganmu dengan orang-orang di sekelilingmu. Dari sekarang. Jangan dateng pas butuh aja. Misalnya, ke dosen pembimbing jaman kuliah, founder startup yang dulu pernah kamu ajak kenalan, ketua organisasi X yang pernah kamu ajak kerjasama, supervisor di mantan kantor atau bahkan sekadar temen lama, jaga hubungan baik dengan mereka. Keep the relationship 'alive'. Kita nggak pernah tahu kapan kita butuh mereka.

"Kok nyambungnya kesana?"

Lha iya, kalau kamu udah lama nggak kontak-kontakan sama dosenmu atau mantan atasanmu, tau-tau kamu dateng ke doi minta surat rekomendasi. Beliau-beliau yang terhormat bisa apa selain menulis surat rekomendasi seadanya dengan template hasil searching di Google? Bukan salah mereka, kan kalian sudah lama tidak berinteraksi. They just simply have no idea what to put in the letter.

Lanjut. Setelah kamu memutuskan siapa orang yang kamu pilih untuk dimintai rekomendasi, pastikan untuk tidak menghubunginya dekat dengan deadline. Ingat, kita sedang minta bantuan orang, dan orang yang kita mintai bantuannya pasti punya urusan lain. Jangan tempatkan ia di posisi sulit karena harus kamu kejar-kejar untuk menyelesaikan apa yang menjadi kebutuhanmu.


3. Memahami dan Mengisi Form Aplikasi

Seperti yang sudah saya sebutkan pada tulisan sebelumnya, formulir aplikasi YSEALI Academic Fellowship tahun ini berupa Google Form. Artinya, ketika mengisi formulir tersebut, tidak ada pilihan 'save draft'. Oleh karena itu, sebelum mulai mengisi, saya menyarankan teman-teman untuk mempelajari baik-baik formulirnya. Kalau perlu, di-'save page' saja agar kalian bisa buka sewaktu-waktu.

Mempelajari formulir aplikasi ini penting sekali untuk mengantisipasi ketentuan-ketentuan yang tidak kalian duga. Misalnya, pada bagian akhir formulir aplikasi Fall 2018 (tidak tahu apakah ketentuan yang sama juga diminta pada periode sebelumnya), saya diminta untuk mengetik ulang surat rekomendasi pada box di Google Form. Bisa dibayangkan, mengetik ulang surat rekomendasi cukup time-consuming. Kalau hal ini tidak kamu ketahui sejak awal, mungkin kamu tidak akan menyiapkan waktu untuk itu. Akibatnya, kamu bisa jadi terlambat untuk submit aplikasi. Kesalahan yang tidak perlu.

Saat mempelajari Google Form itu pula, teman-teman bisa memilah, mana pertanyaan-pertanyaan yang bisa dijawab on the spot dan mana pertanyaan-pertanyaan yang butuh dipikir matang-matang. Untuk pertanyaan yang bisa dijawab on the spot, misalnya pertanyaan tentang data diri, detail paspor, food restrictions, dll., insyaAllah akan aman-aman saja. Kalian cukup mempersiapkan dokumen terkait, seperti KTP, Paspor, bukti kemampuan bahasa Inggris, dll. Anyway, bukti kemampuan bahasa Inggrisnya nggak harus hasil tes IELTS atau TOEFL kok. Bisa berupa bukti keikutsertaan les bahasa Inggris, acara internasional, dll. Cek sendiri nanti di formulirnya ya.

Sedangkan, untuk pertanyaan yang butuh dipikir dan dipertimbangkan matang, contohnya pengalaman organisasi, pengalaman bekerja dan magang, keanggotaan pada komunitas, dsb. Saat mengisi pertanyaan tersebut, saya sarankan kalian untuk mengetik jawaban kalian di Ms. Word atau note terlebih dahulu agar kalian punya back up data. Setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut selesai dijawab, coba eliminasi poin-poin jawaban yang tidak relevan dengan tema program yang kamu pilih. Pastikan semua jawabanmu spesifik dan mengerucut pada tema program. Tujuannya, agar reviewer bisa melihat ketertarikan dan keseriusanmu pada tema yang kamu pilih dari konsistensi pengalamanmu.

Metode yang sama bisa kamu gunakan ketika mengerjakan esai. Walaupun esai yang diminta hanya 250 kata dan sangat mungkin dikerjakan dalam waktu kurang dari satu jam, pastikan kamu membuatnya dengan sangat matang. Ketik esaimu di Ms. Word atau note, lalu minta tolong mentormu untuk proofread esaimu. Edit, baca lagi, edit, baca lagi, dan seterusnya. Ingat, 250 kata itu yang akan menentukan kamu diundang interview atau tidak. 

Saat menulis esai, kamu tidak perlu menyertakan data yang skalanya terlalu luas, misalnya data statistik angka kemiskinan di Indonesia, data jumlah pengangguran di Jakarta, dll. Fokus untuk menjelaskan dirimu, latar belakangmu, kegiatan yang kamu geluti dan apa yang kamu cari dari mengikuti program YSEALI ini. Data statistik atau analogi-analogi tidak penting akan membuat arah esaimu menjadi kabur, kuncinya fokus pada siapa kamu, spesifik dan konkret atas apa yang kamu kerjakan, serta realistis pada implementasinya.

Kalau semua pertanyaan pada formulir aplikasi sudah terjawab dan ter-back up dengan baik, kamu bisa mulai menyalin jawaban tersebut pada Google Form sesungguhnya. Pastikan tidak mepet dengan deadline ya. Selalu sediakan waktu untuk kemungkinan terburuk yang terjadi.

Meskipun, saya sendiri waktu itu submit aplikasi jam 11.43 AM while the application was due at 1 PM. Ehehe. Jangan ditiru ya, mentemen. Saat itu saya kost di Bojonegoro, nggak punya paket internet, karena kalau pun punya, sinyalnya syulit. Terus, nggak mau juga nongkrong di kafe untuk sekadar numpang internet karena saya anaknya nggak mau rugi wkwk. Kebetulan, kantor cabang saya lagi libur karena waktu itu hari libur nasional. Tapi, karena saya agak nggak tau malu, saya tetep ke kantor cabang dan duduk di emperan cabang, belum mandi, masih pake celana tidur, terus numpang submit aplikasi di sana deh. Heheu.


4. Mari Berdoa!

Setelah aplikasimu terkirim, perjuanganmu belum selesai. Selalu dampingi aplikasimu dengan doa ya. Ingat, ada 'logika langit' di samping logika manusia yang bekerja. Biasanya, proses seleksi ini akan memakan waktu kurang lebih satu bulan. Pada periode seleksi Fall 2018 sendiri, deadline aplikasi adalah 1 Juni 2018 pukul 13.00 WIB, sementara saya mendapatkan email undangan interview di tanggal 3 Juli 2018, tepat ketika saya sedang mendampingi petugas cabang di lapangan. Eyyaa, mengenang dikit.

Sedihnya, pemberitahuan apakah kita melaju ke tahap interview atau tidak hanya disampaikan kepada applicant yang lolos saja. Hal ini membuat kita jadi was-was, bahwa kabar baik yang tidak kunjung datang itu, apakah karena kita memang tidak lolos atau karena proses seleksi masih berlangsung. Tapi gapapa, justru di masa-masa ini lah kita benar-benar butuh pasrah dan husnudzan sama Allah. Saya paham betul nggak enaknya masa-masa menanti pengumuman itu, bahkan lebih tidak menyenangkan dari  menanti jodoh yang tidak kunjung datang wkwk. Makanya, tips paling mudah dari saya sih, setelah apply, lupakan dan ikhlaskan. Kalau programnya memang jadi jodoh kita, maka Alhamdulillah, kabar baik insyaAllah datang. Tapi, kalau bukan, yaa ikhlaskan. Yakin aja, Allah pasti punya rencana lain yang lebih baik untuk kita.

Selanjutnya, perjalanan saya untuk menjenguk Juminten ini belum selesai, teman-teman. Saya masih akan berbagi pengalaman ketika saya menjalani interview YSEALI. Simak disini!


Sonntag, 12. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 1]

Kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya 'berkenalan' dengan YSEALI hingga akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018 dan mendapat pengumuman diterima pada Selasa (7/8) lalu.

Pertama, tujuan saya menulis ini untuk give back, karena saat masa-masa daftar YSEALI yang penuh drama resah gelisah bahkan demam diare itu, saya benar-benar mengandalkan tulisan-tulisan di blog para alumni yang berbagi pengalaman YSEALI mereka. Saya banyak mencari clue-clue mengenai proses aplikasi, seperti kriteria kandidat terpilih, tips wawancara, linimasa program dan sebagainya dari sana. Tulisan-tulisan itu luar biasa membantu sekali lho, Mas Mbak Alumni. Terima kasih banyak.

Kedua, tulisan ini untuk refleksi saya di masa datang, that it's always my choice to take or ignore what universe has offered. Thus, i need to be fully aware of the consequences yet be respectful with the process. Kalau gagal ya dinikmati, kalau berhasil ya disyukuri, karena masa datang nanti adalah akumulasi konsekuensi dari pilihan-pilihan yang saya ambil.

Ketiga, tulisan ini untuk alarm diri sendiri, bahwa hidup itu Allah yang mengendalikan. Kadang, segala hal berjalan di luar kalkulasi manusia. Makanya, saya harus selalu melibatkan Allah pada setiap hal yang saya lakukan, sesepele apapun hal itu. Dan, yang paling penting, kalau saya inginnya banyak, doanya harus lebih banyak, syukurnya apalagi.

Okedeh, sekarang yuk mari kita mulai!


Berkenalan dengan YSEALI

YSEALI (Young Southeast Asia Leaders Initiative) merupakan sebuah program kepemudaan yang diselenggarakan dan dibiayai penuh oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan sekaligus memperkuat jaringan para pemuda di Asia Tenggara. YSEALI pertama kali diluncurkan pada tahun 2013 dan fokus pada beberapa topik utama, seperti kewarganegaraan (civic engagement), pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pendidikan (education) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth).

Program-program YSEALI sendiri beragam:
1. Professional Fellowship ke Amerika Serikat
2. Academic Fellowship ke Amerika Serikat
3. Regional Workshop (Biasanya diadakan di negara-negara Asia Tenggara)
4. Grant Funding (Lebih dikenal dengan YSEALI Seeds for the Future Grant)

Oleh karena itu, jangan heran kalau kamu mendengar temanmu lolos seleksi YSEALI tapi berangkatnya bukan ke US, karena memang tidak semua program dilaksanakan di US. Lebih lengkap tentang YSEALI bisa cek disini.

Saya lupa kapan pertama kali saya mendengar tentang YSEALI, yang pasti, saat itu saya masih kuliah dan sedang semangat-semangatnya mengikuti berbagai kegiatan kepemudaan, baik di dalam maupun di luar kampus. Kalau nggak salah, waktu itu YSEALI Academic Fellowship sedang buka pendaftaran. Saya sempat baca deskripsi programnya sepintas. Keren juga yaks, ke US lima minggu, fully funded pula. Biasanya kan program yang begitu harus cari sponsor sendiri, pikir saya.

Saat itu, aplikasi YSEALI masih menggunakan formulir Ms. Word (kalau tidak salah). Saya coba cek persyaratannya. Duh, ribet sekali, harus bikin esai, harus minta surat rekomendasi juga. Singkat cerita, saya tidak jadi mendaftar karena yakin tidak akan terpilih. Bukannya apa-apa, saya sudah sering daftar program fully funded yang 'jauh' begitu dan belum pernah tembus berangkat. Jadi, ya udah males duluan untuk coba.

Secara tidak langsung, pikiran saya itu menutup kemungkinan saya untuk mendaftar program YSEALI pada pembukaan-pembukaan selanjutnya. To be honest, that moment, I thought this program was too prestigious. It would waste my time to struggle on things that are impossible to conquer. Apalah saya, cuma sebentuk udara yang terperangkap di bubble wrap. Dipencet sedikit, terjadi letusan kecil, dan hilang tak berbekas. 

Tapi, saat itu saya tetap mendaftar sebagai YSEALI member. Jadi, update tentang program-program YSEALI selalu masuk ke email setiap bulan. Walaupun, saya pribadi sudah tidak punya lagi keinginan untuk mendaftar. Semacam berpikir, "yailah nggak mungkin berangkat, Lil". Ditambah lagi, di tahun-tahun akhir kuliah, saya sibuk dengan berbagai urusan magang dan skripsi, serta percintaan sesekali. Wkwk boong deng.

Di masa setelah kelulusan, saya bekerja di sebuah social enterprise asal Singapura dan ditempatkan di pelosok Sumba, NTT. Hidup bersama warga desa dengan budaya yang benar-benar baru, tanpa listrik, tanpa gemerlap ibukota, membuat saya menemukan kesenangan baru yang cukup menyita perhatian. Hem, apa itu YSEALI? Saya sudah lupa. 


Titik Balik

Tahun 2016 akhir, saya keluar dari social enterprise asal Singapura itu. Aaakk, sedih sekali, tapi sepertinya memang demikian jalannya. Saya lalu bergabung dengan Water.org dan ditugaskan untuk mendampingi cabang-cabang salah satu microfinance partner mereka yang berada di Jawa Timur. Kebayang nggak sih, berawal dari hidup penuh keterbatasan di pelosok Sumba, dalam waktu sekian bulan, hidup saya berubah menjadi gerilyawan di sudut-sudut kabupaten di Jawa Timur.

Pekerjaan saya itu membuat saya banyak berinteraksi dengan warga desa. Pertama sih karena sebagian besar waktu kerja saya memang dihabiskan di lapangan, bertemu dengan ibu-ibu mitra dan suaminya yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan peternak. Kedua, work load di kantor cabang juga memang nggak terlalu padat, jadi saya punya banyak waktu luang buat melipir di jam kantor dan ngobrol-ngobrol semi khozip dengan warga sekitar. Dari sana, saya banyak terpapar informasi mengenai 'drama kehidupan' yang mereka hadapi, dari masalah-masalah serius yang menyangkut ummat (asiks), semacam isu pertanian, sumber daya desa, ketersediaan akses terhadap kebutuhan dasar, sampe urusan pribadi, macam uang belanja dari suami yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup, rasa insecure si suami yang berpaling ke lain hati dan segala printilan problematika manusia.

Singkat cerita, dari ngobrol sama mitra-mitranya kantor cabang, saya kepikiran untuk menggali potensi ide social enterprise saya dengan niat idealis nan bombastis menyelesaikan persoalan petani sekaligus melawan hegemoni produk-produk serupa yang tidak ramah lingkungan. Pret banget dah. Tapi, hamdalah, di pertengahan 2017, lahirlah SiMaggie, sebuah social enterprise yang saya kembangkan bersama beberapa teman (baru) saya. Kenapa baru? Karena emang kita kenalan juga baru aja. Saya sendiri nggak paham, ada wangsit darimana sampai mereka percaya sama saya dan mau gabung. Nanti ya, saya buat tulisan khusus tentang SiMaggie.

Hari-hari setelah itu, selain bekerja, saya sibuk merintis SiMaggie. Saya sibuk mentransformasi konsep-konsep yang kami rancang di atas kertas menjadi wujud nyata. Wqwq. Saya juga sibuk bolak-balik Nganjuk-Surabaya-Nganjuk, Kediri-Surabaya-Kediri, Tulungagung-Surabaya-Tulungagung, berangkat subuh, pulang hampir tengah malam, setiap wiken, untuk belajar tentang startup, business model canvas, idea validation, dll melalui program 1000 Startup Digital. Capek banget, tapi seru. 

Dari rutinitas tersebut, semakin hari, saya merasa semakin paham apa yang saya mau, apa minat saya. Saya semakin punya gambaran di masa depan mau jadi apa. Kalau orang bilang, semacam i discovered my passion kali ya. Saya semakin merasa social entrepreneurship adalah jalan hidup saya. Isu yang saya minati pun semakin mengerucut, seputar pemberdayaan desa, pertanian dan pangan. 

Dari sana, karena merasa butuh lebih banyak sarana aktualisasi diri dalam mengembangkan SiMaggie, saya jadi banyak daftar program inkubasi dan kompetisi startup. Ada yang lolos dan menang, tapi lebih banyak yang gagal. Hahaha. Gapapa, yang penting pengalaman dan pembelajaran yang didapat selama prosesnya.

Sekitar tahun 2018 awal, keputusan saya bulat untuk kuliah lagi dan mengambil bidang spesifik social entrepreneurship. Saya merasa, dengan latar belakang pendidikan saya yang social science murni dan pengalaman dalam bisnis yang paling mentok ngurus online shop, saya agak kesulitan ketika harus mengambil keputusan-keputusan penting untuk SiMaggie. Saya bingung, variabel-variabel apa yang harus dipertimbangkan ketika akan membuat keputusan bisnis, entah itu menyangkut urusan operasional, marketing, legal, dll. Saya juga lemah dalam urusan forecasting kondisi finansial, apa sebuah bisnis masih sehat atau nggak. Padahal, itu kan krusial banget, dan SiMaggie sudah merasakan imbas dari kesalahan saya dalam mengambil keputusan finansial itu ehe. Makanya, framework dasarnya harus dipelajari lagi nih. 

Selanjutnya, karena saya tahu bahwa semua cikal bakal social entrepreneurship itu berasal dari US, termasuk Bapak Social Entrepreneurship dunia yang kita kenal, si Om Bill Drayton, juga dari US, saya pengen banget-banget belajar social entrepreneurship di negara pencetusnya langsung. Jadilah saya mulai perjalanan saya mencari beasiswa S2 dengan daftar Fulbright Scholarship biar bisa kuliah di Amerikah. Ajaibnya, aplikasi Fulbright yang saya kerjakan cuma semalam itu tembus sampe wawancara (Ya Allah, ini jangan ditiru, guys. Selayaknya makan nasi, yang dimasak matang selalu lebih enak dari yang setengah matang. Duh apasih. Intinya, makin matang aplikasi kamu, makin bagus lah pokoknya. Jangan bikin aplikasi beasiswa dalam semalam, kita bukan Roro Jonggrang).

Btw, I would not tell you whether or not my Fulbright interview went well. Bcz, of course it didn't haha (I'll write a separate post about my Fulbright journey later). Terlepas dari itu, momen wawancara Fulbright ini lah yang menjadi titik balik saya daftar YSEALI Academic Fellowship.

Alkisah, ejie, wawancara Fulbright saya berjalan dengan penuh kesuraman. Dimulai dengan minim persiapan, saya dicecar berbagai pertanyaan dari empat interviewer yang bikin gelagapan. Di akhir wawancara, kayaknya salah satu interviewer bule kasian sama saya yang keliatan hopeless banget. Lalu, dengan senyum tulus, doi nanya in English yang artinya kurang lebih: "Kamu tau YSEALI nggak? Coba kamu daftar itu". Gitu. Petuah dari si bule tidak lantas membuat saya termotivasi daftar YSEALI. Yang ada, saya justru mikir, "Duh, ini aja gue tembus Fulbright sampe interview karena beruntung. Yakali keberuntungan bisa keulang dua kali. Apalagi di YSEALI." Saya pun keluar ruang wawancara tanpa intensi sedikit pun untuk coba daftar YSEALI. Nggak mungkin tembus lah.


Memantapkan Hati

Selesai wawancara Fulbright (9/4), saya tidak mengalami masa harap-harap cemas menanti pengumuman. InsyaAllah sudah haqqul yaqin nggak akan lolos hahaha. Jadi, saya menyibukkan diri dengan hal lain. Sampai suatu siang menjelang sore di tanggal 15 Mei, saya cek gmail dan menemukan ada monthly update dari YSEALI yang menyebutkan bahwa pendaftaran YSEALI Academic Fellowship untuk Fall 2018 baru saja dibuka, deadline-nya tanggal 1 Juni 2018 (kalau kamu YSEALI member, pasti kamu juga akan dapat info ini).

Saat itu, tidak ada 'Aha' momen dimana saya merasa tertantang untuk daftar, termotivasi, terilhami atau apalah ala ala motivator. Saya cuma ingat, waktu masih kuliah, saya merasa aplikasi YSEALI sulit dan proses seleksinya ketat, lebih ketat dari legging Via Vallen. Saya pun mencoba mengingat lagi, kenapa saya merasa demikian, apa saya sudah pernah daftar dan tidak lolos atau jangan-jangan itu cuma ketakutan semu akan kegagalan aja, karena saya terlanjur berasumsi bahwa program ini nggak mungkin saya tembus (Yang saya lakukan ini mirip metode Chunking di ilmu parenting, cmiiw. Kamu bisa coba terapkan setiap kamu merasa ragu atas sesuatu. Sebelum ambil keputusan, coba breakdown dulu, kamu ragunya karena apa, penyebab ragunya dari dalam diri atau luar diri, bisa diintervensi atau nggak, dsb. Cukup memudahkan untuk assess berbagai emosi positif atau negatif di diri kita sih).

Ternyata, setelah saya ingat-ingat lagi, saya belum pernah sekali pun daftar program YSEALI yang ke US, baik Academic maupun Professional Fellowship. Pernahnya itu, saya daftar YSEALI Regional Workshop sebanyak dua kali. Pertama, YSEALI Impact XL Workshop di Myanmar, kedua, YSEALI Generation GR3EN di Brunei Darussalam. Terakhir, saya daftar YSEALI Seeds for the Future Grant, dengan project yang diajukan adalah SiMaggie. Tapi, Alhamdulillah, tiga-tiganya nggak ada yang lolos wkwkwk.

Dari sana, saya mencoba reframing pola pikir saya dan bilang ke diri sendiri, "Oke, Lil, lo belum pernah coba, berarti belum bisa bilang sulit." Setelah itu, saya ceki-ceki lebih jauh, ini program ngapain sih, kenapa banyak peminatnya (selain karena ke US gratis). Ternyata, oemji, program ini menawarkan intensive course di kampus US dengan pilihan tema yang salah satunya Social Entrepreneurship! Waw, bidang yang selama ini saya tekuni, di US pula- the country where the term social entrepreneurship was first born. Aaaakk, pengen! Saya pun kepo-kepo alumninya, banyak orang keren dan beberapa orang yang saya kenal di bidang startup pernah ikutan program ini. Hem, bisa dibilang, this is a sort of benchmark program before you embark your career choice lah. Okesip, di momen itu, saya mantapkan hati untuk daftar. 

Saat itu juga, saya coba mempelajari segala printilan tentang YSEALI, jenis-jenis programnya, kegiatan selama program, kriteria kandidat yang dipilih, dll. Saat cek eligibility criteria, saya nyaris nggak bisa apply, karena untuk Academic Fellowship, batas usianya ternyata 25 tahun, dan, kalau nggak salah, maksimal graduated 4 tahun. Ya Allah, nyarissss. Detil tentang requirement dan eligibility criteria Academic Fellowship bisa dicek disini ya. 

Anyway, saya juga sempat memastikan seribet apa aplikasinya, apakah rumit seperti yang selama ini saya asumsikan. Ternyata, sama sekali nggak ribet dong! Aplikasinya bener-bener cuma ngisi Google Form dan menyertakan satu surat rekomendasi. Udah itu aja. I-tu-a-ja. Saya juga coba ngisi Google Form-nya, biar ada gambaran isi pertanyaannya apa aja, biasanya kan beranak pinak gitu ya. Ternyata, sederhana saja, keluarga berencana, nggak beranak pinak. Di Google Form bener-bener cuma ditanyain data diri, latar belakang pendidikan, pekerjaan dan beberapa pertanyaan lain yang jawabannya bisa kamu temuin di CV kamu.

Di akhir Google Form, kita diminta untuk menulis esai singkat untuk meyakinkan kenapa kita merupakan kandidat yang paling sesuai untuk program tersebut dan apa rencana kita setelah program selesai. Esainya beneran singkat lho ya, saking singkatnya, kamu nggak boleh nulis lebih dari 250 kata. Yes, you read that right, cuma 250 kata. Well, sebagai orang yang lagi bolak-balik apply beasiswa S2, bolak-balik ngurus berkas ini itu, aplikasi YSEALI ini sungguh memudahkan pendaftarnya banget sih. Jadi, nggak ada alasan ribet atau sulit ya, mentemen.

Ahya, hari itu saya nggak langsung daftar. Saya ngumpulin sebanyak mungkin bahan belajar mengenai program untuk dibaca atau ditonton di kosan, entah berasal dari web resmi YSEALI, blog-blog alumni atau bahkan vlog-vlog selama program berlangsung. Tujuannya, saya harus paham bener-bener dulu nih sama programnya, apa yang mereka tawarkan, orang kayak gimana yang mereka cari dan apa tujuan akhir dari programnya. Saya bahkan sempat bikin mindmap sederhana tentang YSEALI ini (anaknya visual banget wk). Belajar tentang program itu penting ya untuk memudahkan kita merumuskan aplikasi dan memproyeksikan siapa orang yang tepat untuk kita mintakan surat rekomendasi.

Jangan coba-coba untuk ngisi formulir aplikasi, apalagi bikin esai, ketika kita masih buta sama program, itu namanya bunuh diri. Walaupun formulirnya sederhana, biasakan untuk pahami dulu segalanya, refleksi, bagian mana dari diri kita yang mau kita tonjolkan yang 'aligned' dengan program. Kan nggak mungkin semua jejak hidup kita dimasukin ke form. Pilah dulu, baru pelan-pelan diisi deh.

Sekarang, mari kita lanjutkan ke tulisan selanjutnya disini dan simpan dulu rasa penasaranmu tentang siapakah Juminten yang kuliah di Washington. Haha.


Dienstag, 7. August 2018

Sebagaimana Engkau

Sebagaimana Engkau menghibur Nabi Muhammad SAW, kekasih-Mu, yang kala itu dirundung kepedihan, dengan sebuah perjalanan mahadahsyat isra' mi'raj yang sungguh menyisakan pelajaran.

Seperti itu pula yang hamba rasakan atas nikmat tak terkira yang Engkau berikan. Bagai penghiburan atas duka yang kesekian.

Walau, ah, derita hamba tak serupa apalagi setara dengan perinya hati Rasul-Mu. Yang berjuang demi ummat membawa kalimat taubat.

Yang harus menerima kenyataan bahwa orang yang selama ini berbagi bahu menanggung beban, istri tercinta ibu peradaban, harus pergi, menandai akhir segala pengorbanan.

Yang harus menerima takdir bahwa paman setia yang selalu membela tanpa banyak pikir, sudi pasang badan dari mereka yang bersikap pandir, kini hidupnya telah berakhir.

Setidaknya, kisah tersebut selalu menjadi jawaban atas tanya hamba, mengapa sifat-Mu yang Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang selalu disebut berulang. Karena atas apa pun, Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tak kan Engkau biarkan hamba-Mu hidup dalam malang.

Prasangka Baik

Atas semua cita yang gagal diraih.
Tawa yang berujung tangis lirih.
Sayap yang patah. Pun hati yang payah.

Sedihlah. Seperlunya
Hancurlah. Secukupnya.
Tapi, jangan lupa, selalu sisakan ruang untuk prasangka baik pada-Nya.

Montag, 16. Juli 2018

Hei.

Aku mau cerita tentang drama hidup yang belakangan aku alami. Ala ala orang dewasa gitu. Tentang berusaha untuk menjadi bukan siapa-siapa. Tentang berusaha untuk merasa bahwa diri bukan apa-apa. Tentang hidup dan segala dinamikanya yang... biasa aja. Jadi, ya, biasa aja (niru dikit nkcthi).

Etapi, belum ada waktu yang pas nih. Haha. Aku butuh mikir lama soalnya.
Pan kapan ya. 
bye.

Montag, 25. Juni 2018

(Hampir) 2 Jam Di Pesawat Bersama Emil Dardak [Bukan Tulisan Berbayar]

Kejadian random satu ini berawal dari saya yang super deg-degan di Go-Jek karena harus ngejar flight ke SUB sekitar jam 8 malem, tapi jam 6 sore masih leyeh-leyeh di rumah. Padahal, hari itu adalah hari kerja, artinya kalau saya berangkat ke bandara mepet, saya harus berkompetisi di jalanan dengan manusia-manusia lain yang baru pulang kantor.

Betapa dudulnya saya, waktu itu tuh mikirnya, "Ah, cuma di Halim. Deket." Saya yg dulu sempat jadi anak gaul Kalibata Mall lupa kalau lampu merah Taman Makam Pahlawan Kalibata macetnya nggak ada obat.

Hal lain yang membuat adrenalin saya makin meningkat adalah driver Go-Jek yang nyangkut ke app saya ternyata ibuk-ibuk. Alamak, gimana saya mau minta beliau ngebut ini mah. Tapi ternyata, anggapan saya itu hanya bias gender belaka. Sambil ngobrol intimate ala ala perempuan, doi super ngebut krn khawatir saya ketinggalan pesawat. Makasi banyak, Buk!

Sampe Halim, saya lari-lari, ngos-ngosan, kumus-kumus. Tapi ah, ku tak peduli. Untung saya masih sempet nunggu sekitar 10 menit di boarding room. Anyway, pas berangkat dari rumah, i didnt put on make up at all. Bukan karena nggak sempet, tapi ya emang saya nggak mau aja hahaha. Siapa mau peduli juga sama muka saya di malam hari, lagipula bedak mahal cuy. Hemat lah.

Tiba waktu boarding, saya masuk pesawat. Semuanya terasa biasa saja sampai saya menemukan bahwa bangku saya didudukin bule yang lagi asik baca buku sambil dengerin musik. Tapi, bangku sebelahnya doi kosong. And i thought, that was his seat. Jadi, karena nggak mau ganggu doi, saya duduk di bangku kosong tersebut.

Nggak berapa lama, datanglah lelaki berparas rupawan pake kemeja putih polos dan celana bahan hitam, mengklaim bahwa bangku yang saya dudukin itu adalah bangku dia. Saya pun bingung, saya sampaikan bahwa saya pikir ini bangku si Om Bule sebelah saya. Si lelaki rupawan menunjukkan nomor kursinya dan langsung nanyain nomor kursi si bule.

Jujur, pada detik tersebut, saya udah nggak peduli lagi urusan perbangkuan ini. Ada hal lain yang lebih menarik untuk saya pikirin, ini orang kayak nggak asing ya wajahnya. Seperti wajah mantan saya, tapi, duh, Li, lo nggak punya mantan woy.

Akhirnya, si bule yang awalnya menempati kursi saya pindah ke depan karena ternyata doi salah liat seat number. Sambil masih mikir siapakah gerangan lelaki rupawan ini, saya pun nanya ke si lelaki, dia mau duduk di tengah (di bangku saya) atau di bangkunya di pinggir (yang sudah lebih dulu saya tempati). Dia pun tetep mau di pinggir, di bangkunya. Saya pun bergeser ke tengah.

Kalau di pesawat, saya adalah orang yang sangat disiplin yg sudah pasti memasang setting Flight Mode tanpa harus menunggu peringatan Mba-Mba Pramugari. Tapi oh tapi, ini lelaki rupawan sebelah saya masih buka Youtube. "Oh, mungkin itu offline mode ya Youtube-nya", husnudzan saya begitu. Lha tapi kok, videonya tersendat-sendat macam susah sinyal. Adudu.

Menjelang take off, saya yang biasanya bubuk cantik kalau flight malem (walau saat itu saya bawa buku (yang niatnya) mau dibaca di pesawat sih), menyempatkan diri untuk ngintip-ngintip wajah si lelaki rupawan sebelah saya lewat pantulan bayangan di hp saya. Saya masih penasaran. Fixed, ini orang kayaknya saya kenal. Tapi dimana ya hem.

Entah kenapa, saya lalu teringat baliho Pilkada yang biasa saya lewati setiap kali berkunjung ke Jombang. Ada foto pasangan Cagub-Cawagub Jawa Timur disana. Wah, Emil Dardak kayaknya nih.

Saya berusaha mengingat seperti apa persisnya wajah Emil Dardak. Duh, yang saya ingat, dia ganteng. Tapi gantengnya macam apa, saya kurang paham. Saya sama Bapak di rumah sebenernya sering diskusi tentang beliau dan landscape perpolitikan Jawa Timur, tapi diskusi kami jarang menyoal rupa wajah. Wkwk.

Saya lalu aktifin internet HP, mumpung belum take off. Ehe. Ampun Om Pilot. Saya searching wajah Emil Dardak cepat-cepat. Saya bandingkan dengan sosok yang ada di sebelah saya. Hem, mayan mirip sih. Tapi, saya masih belum yakin.

Saya intip video yang lagi serius banget dia tonton. Di Youtube. Dan pake internet HP. Sesekali buffering pulak. Video yang bikin dia didatengin Mba-Mba Pramugari berkali-kali untuk ngingetin HP yang harus mati. Tapi, dia tetep aja hajar bleh.

Oh, ternyata video debat Pilgub Jatim, ada Khofifah dan Emil Dardak-nya. Bajunya Emil Dardak di video itu mirip dengan apa yang dipake lelaki rupawan sebelah saya.

Aaakk, sebelah saya Emil Dardak nih. Fix fix. Rasanya saya pengen lompat dari bangku. Pengen nengok langsung depan mukanya sambil menjajarkan HP saya yang memuat foto beliau hasil kulik-kulik Google tepat di sebelah wajahnya. Biar shahih aja gitu kalau sebelah saya memang Emil Dardak. Capek kali ngintip-ngintip dari pantulan HP dan mengandalkan kelihaian bola mata terus.

Tapi, ah, sedetik kemudian keyakinan saya pupus. Saya ragu, yakali ah Emil Dardak nggak paham fitur Download Video dan nonton Offline di Youtube. Saya senyum-senyum sendiri. Mayan nih, kalau laki-laki sebelah saya ini beneran Emil Dardak, saya bisa keliatan pinter dikit dengan ngajarin beliau cara hasyiks main Youtube. Tapi eh tapi, seriusan nih Emil Dardak naik pesawat ekonomi? Tanpa pengawal atau ajudan macam orang-orang penting gitu? ihwaw.

Saya mencoba mengumpul-ngumpulkan keyakinan. Emil Dardak juga manusia biasa. Hidupnya sibuk memikirkan kemaslahatan ummat, wajar kalau beliau tak paham fitur Youtube. Jangan kau bandingkan dengan dirimu yang surplus waktu luang, Lil.

Saat saya sudah sepenuhnya yakin bahwa lelaki rupawan yang duduknya tepat sebelah saya adalah Emil Dardak, saya riset dikit-dikit visi misi beliau. Ini masih belum take off, kok. Pesawatnya masih nyentuh tanah. Saya skimming visi misi beliau, berusaha mengingat beberapa keyword. Si pesawat akhirnya benar-benar akan take off. Tap, saya mengaktifkan Flight Mode. Saya tidak sempat mencari bahan obrolan lain.

Ealah, lelaki 'terduga Emil Dardak' sebelah saya ini masih sibuk nonton Youtube wakakak. Pramugari sampai-sampai mendatangi beliau dan benar-benar menunggu di sampingnya hingga beliau mematikan HP-nya. Beliau nggak mengelak dari kesalahannya tersebut dan nurut apa kata Mbak Pramugari. Yes, sekarang beliau tanpa distraksi.

Saya yang tidak mampu menahan senyum mencoba bertanya dengan sopan, "Pak Emil, ya?"

Gesture tubuh beliau dalam menanggapi pertanyaan saya cukup mengesankan saya. Beliau langsung mengubah arah tubuhnya ke arah saya dan menjawab dengan wajah ramah tanpa kesan dibuat-buat, "Iya."

Bahasa tubuh yang sederhana itu cukup memberikan impresi pertama yang positif bagi saya, bahwa beliau adalah pribadi yang terbuka.

Selanjutnya, saya membuka topik dengan membahas visi misi beliau yang akan dibawa dalam pertarungan pilgub mendatang. Jangan bayangkan saya menyebut secara rinci visi misi beliau yang saya baca sebelum take off ya. Saya hanya mengingat keyword, lalu saya kembangkan sendiri sekenanya. Deg-degan takut salah euy.

Dari sana berbagai obrolan mengalir. Kami membahas berbagai hal, dari kebijakan hingga pekerjaan saya. Apa yang beliau rencanakan jika terpilih nanti, target pembangunan, fokus anggaran, dll (ini semi kampanye sih, tapi gapapa, itu hak dia untuk meyakinkan saya bahwa dia adalah kandidat yang tepat). Saya juga sempat menanyakan beberapa pertanyaan filosofis dan mendasar tentang pilihan-pilihan hidup beliau. Sayangnya, saya sudah tidak terlalu ingat detil jawaban beliau. Saya menyesal karena saat sampai kosan tidak langsung menuliskannya. Selama dua jam (kurang dikit sih) kami di pesawat, selama itu pula kami berdiskusi. Tidak ada momen dimana kami kehabisan topik, beliau banyak sharing pengalaman dan gagasan. Yang pasti, saat itu saya belajar banyak. Banyak sekali.

Dari obrolan intensif hampir 2 jam kami selama di udara itu, saya mendapatkan gambaran karakter beliau yang mungkin bisa menjadi pertimbangan teman-teman dalam menentukan Cagub-Cawagub pilihan pada Pilgub serentak 27 Juni besok. Ohya, disclaimer ya, ini murni opini saya. Saya juga tidak terafiliasi dengan pihak mana pun, jadi maaf kalau tulisan ini dinilai menaikkan atau justru menjatuhkan Pak Emil atau pihak lain yang terkait. Saya hanya membagikan apa yang saya rasakan selama bersebelahan dengan beliau (dipengaruhi sedikit dengan opini setelah nonton debat Cagub-Cawagub Jawa Timur deng). Hehe.

Pertama, Emil Dardak adalah benar-benar seorang yang cerdas. Beliau kaya dengan data, jadi kalau ngomong selalu ada dasar datanya. Kemampuan beliau dalam menganalisis dan menarik kesimpulan dari data-data tersebut juga keren. Ini saya rasain waktu ngobrol dengan beliau dan saya lihat di acara debat sih. Setiap beliau memaparkan gagasan, beliau selalu membawa alasan karena datanya begini, maka harus begini, karena kalau begitu, blablabla dan seterusnya.

Beliau punya latar belakang pendidikan yang (seingat saya) berhubungan dengan economic development. Maafkan saya kalau kurang tepat, Pak. Yang jelas, saya melihat bahwa apa yang beliau coba aplikasikan pada setiap kebijakan-kebijakan beliau berakar dari teori yang beliau baca dan pelajari waktu masih sekolah. Saya masih ingat sekali, saat kami mengobrol, beliau beberapa kali bilang, "Menurut X dalam buku....." atau "Kalau kamu tahu dalam teori lalala......." Intinya sih, setiap keputusan yang dia ambil nggak pake pertimbangan commonsense lah. Sedikit banyak beliau (kelihatan) punya ilmunya.

Kedua, beliau sungguh well-experienced di sektor tata kelola kota, pembangunan, ekonomi dan sektor lain yang berhubungan. Beliau sempat bercerita tentang pengalamannya bekerja di World Bank sampai akhirnya mengambil risiko untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Trenggalek. Bahkan, waktu saya bercerita tentang pekerjaan saya yang related dengan sektor community development, beliau dengan cepat langsung menangkap apa yang menjadi tantangan kami di lapangan. Padahal, saya cuma cerita sedikit saja. Tentunya itu bukan karena beliau punya kemampuan cenayang ala ala ya. Tapi, karena pengalaman dia di bidang development sudah luas, jadi ya dia paham betul.

Ketiga, saya senang karena beliau masih muda. Eits, ini bukan berarti 'dia muda maka dia ganteng'  yang bikin saya suka (ala cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. hahaha lucu nggak?). Tapi, menurut saya, idealisme beliau juga merefleksikan jiwa mudanya. Pemikirannya juga segar. Beliau cukup terbuka dengan diskusi dan nggak gampang mutung. Waktu itu sempet saya pancing dengan pertanyaan yang agak sensitif, misalnya pertanyaan tentang alasan dia meninggalkan Trenggalek, padahal masa kepemimpinannya belum selesai, atau pertanyaan tentang kenapa majunya sama Khofifah yang udah berkali-kali mencalonkan diri tapi nggak kepilih-kepilih. Pertanyaan-pertanyaan saya itu beliau jawab tanpa rasa keberatan.

Keempat, beliau sungguh humble, praktis dan dinamis. Percaya nggak, beliau ke bandara naik Go-Jek (Go-Ride lebih spesifiknya) karena takut macet. Tanpa pengawal satu orang pun. Di pesawat juga doi sendirian. Pesawatnya kelas ekonomi pula. Padahal kursi bisnisnya kosong melompong. Bagi beliau, dalam melakukan sesuatu ya pertimbangannya kepraktisan. Bukan semata-mata merakyat atau bahkan pencitraan. Jadi, kalau praktisnya naik motor, ya naik motor aja. Tapi kalau praktisnya naik mobil karena hujan, ya naik mobil. Nggak usah ngotot naik motor biar dianggap merakyat.

Kelima, dan sepertinya menjadi yang terakhir, walaupun Pak Emil Dardak ini menurut saya cukup perfek tipikal kandidat idaman, tapi beliau tetaplah manusia biasa. Ada beberapa sikap beliau yang membuat saya sedikit berkomentar dalam hati, "Hem, gini ya ternyata."

Misalnya, setiap saya mencoba menyampaikan aspirasi saya dan menanyakan berbagai pertanyaan kenapa gini kenapa gitu. Beliau memang tidak mutung, beliau memang tidak tersinggung, tapi beliau langsung meluncurkan jawaban-jawaban untuk meng-counter omongan saya tersebut. Padahal, kalau saya jadi Pak Emil dan kebetulan ketemu rakyat butiran jasjus macam saya, maka saya akan cenderung sedikit bicara dan membuka telinga lebar-lebar. Terlepas dari omongan si rakyat benar atau salah, saya akan coba tampung sebanyak-banyaknya. Bagi saya, kesempatan untuk mendengar perspektif yang berbeda, apalagi dari rakyat biasa macam saya, kan jarang sekali terjadi. Sedangkan, beliau, dengan segala power yang dipunya, apalagi beliau juga sedang mencalonkan diri sebagai Cawagub, beliau punya panggung yang lebih luas dan banyak. Mudah bagi beliau untuk meng-counter atau menjawab argumen apapun. Tapi, nyatanya beliau cukup mendominasi obrolan dan bukan banyak mendengarkan. Entah karena by nature beliau adalah orang yang dominan atau itu hanya kebetulan. Saya kurang paham.

Hal lain, sepanjang obrolan, beliau juga banyak menyebutkan teori-teori atau istilah yang saya kurang paham. Hehe. Entah karena beliau merasa bahwa saya anak muda 'berpendidikan' jadi sudah semestinya paham (kalau iya, berarti saya harus baca lebih banyak buku lagi nih, wawasan saya masih belum mumpuni hiks), atau memang beliau memiliki kecenderungan demikian, membawa sophisticated words ke dalam obrolan dengan orang awam di bidang tersebut. Padahal ya, orang-orang yang well-educated tidak berarti dia menguasai semua bidang lho. Jadi, menurutku sih, toleransi terhadap manusia berbeda bidang itu tetep butuh. Misalnya, kamu yang lulusan S3 Kriminologi belum tentu paham sama istilah-istilahnya anak S1 Planologi. Walaupun, jenjang stratanya lebih tinggi. Atau nama ilmunya mirip pakek logi-logian.

Nah, kurang lebih gitu deh. Mon maap kalau sungguh subjektif, ini kan blog saya, jadi tidak ada tuntutan untuk menyuguhkan tulisan yang netral hahaha. Terlepas dari itu, saya cukup merekomendasikan Khofifah-Emil untuk menjadi pilihan kawan-kawan di hari pencoblosan besok. Pertama, jelas alasannya karena impresi yang saya dapat ketika bersebelahan tempat duduk di pesawat dengan beliau. Walaupun, tidak semua impresinya positif hahahaha. Kedua, saya sempat mengikuti beberapa kali debat Cagub-Cawagub Jawa Timur. Lumayan keliatan sih, Khofifah-Emil memang 'siap memimpin', baik secara data, ide dan gagasan, dibandingkan pasangan lain yang mengandalkan takaran ketidakpastian, seperti "Kalau dari pengalaman saya dulu, blablabla...", atau "Sepertinya ada kurang lebih blablabla...".

Tapi, segalanya tetap kembali lagi kepada kalian wahai kaum yang akan memilih. Kalau kalian memiliki pertimbangan lain, sepenuhnya itu hak kalian. Asal jangan golput aja, kusedih karena harga yang harus dibayar untuk sebuah hak pilih dari seorang warga negara terlalu mahal untuk selembar kertas kosong tanpa lubang coblosan. So, selamat nyoblos! Anyway, saya nggak ikutan nyoblos, karena KTP Jakarta. ehehe.



P.s. we happened to take some good pictures- with my very own barefaced.
Ahya, sawrry, i wouldn't ask for your pardon bcz of my barefaced just like other women did outside.
Cz, ya know, im not that typical woman in the majority haha.


Mittwoch, 20. Juni 2018

Magis

Cinta memang magis. Membicarakannya, ibarat mengecap gula-gula manis yang tak habis-habis. Tapi, jangan lupa, ia pedang bermata dua. Salah-salah, berakhir ceritamu menjadi derita.

Dienstag, 19. Juni 2018

Tentang Menikah

Berada di usia matang seperti saya sekarang, membuat obrolan menjadi semakin monoton. Apapun topik pembukanya, ujungnya pasti soal cinta, jodoh dan nikah. Perubahan status KTP kawan, dari jomblo menjadi 'Kawin', membuat lebih banyak hati menjadi gelisah. Bibir ingin mendesah. Mak, kapan nikah? Aduduh, bosen uwe dengernyah.

Sebenarnya, tak apa merasa deg-degan, tapi jangan sampai khawatir tidak kebagian. InsyaAllah, jodoh, rizki dan mati sudah tertulis takdirnya. Tidak akan tertukar, apalagi kehabisan.

Membicarakan gebetan banyak-banyak tidak lantas membuatmu cepat menikah, yang ada justru kamu jatuh semakin dalam pada kubangan dosa. Begitu pula dengan cinta, menumbuhkannya pada orang yang belum tentu menjadi jodohmu, pada masa yang belum waktunya, tidak membawa manfaat barang sebulir, yang ada justru mubazir. Karena kamu harus membagi-bagi cintamu kepada orang yang tidak berhak, cinta yang seharusnya bisa kamu berikan utuh tanpa cela pada kekasihmu sesungguhnya, yang halal di hadapan-Nya.

Karena, kalau kata Kurniawan Gunadi, mencintai bukan hanya soal waktu, keberanian dan kesempatan. Namun, soal keimanan dan ketaqwaan. Bagi saya, menikah adalah sarana mengakselerasi diri untuk menjadi lebih baik lagi. Menikah adalah wadah melipatganda ibadah. Menikah berarti mewujudkan mimpi-mimpi tentang pengabdian yang lama tertahan. Dan yang tidak kalah penting, menikah adalah melahirkan generasi penerus perjuangan-perjuangan yang belum selesai. Sehingga, modalnya tak cukup hanya cinta, ada ilmunya, ada landasannya.

Makanya, menikah bukan muara, ia hanya gapura. Menuju kesana, tidak boleh tergesa, apalagi dengan persiapan seadanya. Ingat, kita sedang mengejar ridho-Nya.


Sonntag, 17. Juni 2018

Kehilangan Dua

Suatu hari, ayah seorang teman tutup usia. Sebagai penghormatan, saya berkunjung ke rumahnya. Ia sedang bersandar di sudut jendela. Dengan wajah yang biasa-biasa saja. Tapi, sebagai teman lama yang dulu bermain boneka bersama, saya tahu ia menahan duka. Saya bisikkan padanya, "Bersyukur, kehilangan ayah berarti kehilangan satu, ayahmu saja. Kalau ibu yang pergi, kamu kehilangan dua, ibu dan ayahmu sekaligus. Aku sudah merasakannya."

Mittwoch, 6. Juni 2018

Komodifikasi dalam Narasi Doa Anak Yatim

Berhubung sudah memasuki bulan Ramadhan, mari kita membicarakan sesuatu yang relijius-relijius.

Bulan Ramadhan memang identik dengan bulan berlimpah pahala. Dimana, setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apapun, akan diganjar pahala dengan angka konversi yang jauh lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Begitu tumpah ruahnya pahala di bulan ini, sampai-sampai, beredar hadist di masyarakat yang mengatakan bahwa di bulan Ramadhan, sekalipun kamu tidur, pahala akan terus mengalir, karena tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Sayangnya, tidak banyak orang tahu jika hadist yang mereka gunakan untuk menjustifikasi aktivitas tidur berlebihan mereka di bulan puasa itu dhaif.

Usut punya usut, istimewanya bulan Ramadhan ternyata mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, baik perilaku di dunia maya maupun di dunia nyata. Menurut Ariani Dwijayanti, Industry Analyst Google Indonesia, pada Ramadhan 2017, pertumbuhan pencarian aktivitas religi di Google naik hingga 34% (Tribunnews.com, 2018).

Itu baru aktivitas googling-googling di dunia maya. Bagaimana spending habit mereka selama Ramadhan di dunia nyata? Siapa tahu mereka cuma googling tanpa tindak lanjut atau googling untuk kebutuhan eksis edisi Ramadhan di social media. Siapa tahu yakan.

Ternyata, kalau manut dengan data yang dimiliki Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), saat Ramadhan, konsumsi masyarakat Indonesia naik 20 - 30%. Menurut Ibu Netty Heryawan, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat, salah satu alasannya karena banyak orang menyetok kebutuhan untuk buka puasa bersama, santunan anak yatim dan aktivitas kebaikan lainnya (Republika.co.id, 2016). Btw, kenapa lu tiba-tiba mengutip pendapat istrinya Aher deh, Lil? Ya maklum, saya kan mengais data dari Republika. Ehe.

Data-data di atas menunjukkan bahwa tingkat relijiusitas masyarakat Indonesia masih terbilang tinggi. Terlihat dari adanya respon berupa perilaku positif yang signifikan saat datang bulan suci Ramadhan. Anyway, relijiusitas tidak selalu menandakan tingkat keshalihan seseorang ya. Relijius ya relijius, bersifat keagamaan. Kalau keshalihan lebih personal, menyangkut ketaatan antara kita kepada Rabb kita. Sotoy banget gue.

Selain itu, altruisme masyarakat kita juga tinggi, hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya aktivitas 'berbagi' yang muncul selama Ramadhan, misalnya makin banyak orang berdonasi, ngadain acara bukber di panti, sahur on the road, dll. Salah satu aktivitas kebaikan yang juga lumrah dilakukan masyarakat Indonesia adalah sedekah ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa (mon maap saya belum punya data pendukungnya). Sayangnya, dorongan altruisme untuk berbagi tadi tidak dibarengi dengan pemikiran kritis tentang kepada siapa rizki kita disalurkan. Emang dasar orang Indonesia mudah merasa iba, kita pun sangat mudah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas asal-usul dan pertanggungjawabannya, misalnya ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa tak berizin atau bersertifikat yang suka datang ke kantor-kantor atau rumah-rumah.

Sebenarnya, yang ingin saya garisbawahi disini bukan legalitas lembaga tersebut. Saya sendiri kurang paham, apakah ada dalil yang menyebutkan bahwa saat kita berzakat, infaq atau shadaqah, tanggung jawab kita sampai pada memastikan bahwa lembaga pengelola benar-benar terpercaya. Atau, apakah tanggung jawab kita selesai ketika kewajiban untuk menyisihkan sebagian rizki kita tertunaikan, tanpa perlu memastikan bagaimana lembaga penyalur tersebut mengelola dana kita.

Tapi, yang mau saya bahas adalah bagaimana biasanya jurus-jurus marketing dilancarkan oleh Mbak-Mbak peminta donasi. Entah kenapa, yang saya rasa, ketika menawarkan kesempatan untuk berdonasi, Mbak-Mbak tersebut lebih sering membicarakan tentang kemungkinan pahala-pahala yang akan kita dulang dari curahan doa anak panti yang kita bantu. Tapi, mereka sedikit sekali bicara untuk apa uang tersebut akan mereka gunakan, program apa yang akan dijalankan, bagaimana pertanggungjawabannya kepada kita, dan sebagainya.

"Ayo, Mbak, shodaqoh-nya, Mbak, untuk adek-adek yatim di panti. InsyaAllah doa mereka bisa membawa kita masuk sorga."
 

Well, nggak salah juga sih menggunakan jurus 'dahsyatnya doa anak yatim' untuk mengajak lebih banyak orang bersedekah. Kan memang faktanya doa mereka demikian luar biasa. Tapi, kalau terus-menerus narasi itu yang diulang, bisa-bisa disorientasi kita. Saya pernah baca, tapi lupa dimana maapkeun, bahwa zakat, infaq dan shadaqah yang ada di dalam Islam sebenarnya merupakan sebuah skema jaminan sosial bagi umat, agar, masyarakat yang terlahir dalam berbagai kelas ini, melalui zakat, infaq dan shadaqah bisa saling menjamin pemenuhan kebutuhan dasarnya. Semacam, yang kaya ikut menjamin hajat hidupnya si miskin melalui uang yang mereka sisihkan. Dengan begitu, jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin, yang memicu kecemburuan sosial, bisa teratasi. Di sisi lain, martabat si miskin pun terjaga karena mereka tak perlu meminta-minta. Makanya, sayang sekali jika tujuan semulia itu dikerdilkan dengan dominasi narasi tentang keberkahan doa anak yatim. Walaupun, sekali lagi, nggak ada salahnya juga sih mengharap keberkahan.

Lebih jauh, menurut analisis ecek-ecek saya, dominannya penggunaan narasi doa anak yatim yang kerap digunakan lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah untuk menarik masyarakat merupakan gambaran bahwa 'doa anak yatim' telah menjadi komoditas, dengan kata lain mengalami proses komodifikasi. Seingat saya waktu masih kuliah, komodifikasi adalah sebuah proses ketika sesuatu hal yang tidak memiliki kaitan dengan pasar, tidak bernilai jual, menjadi sebuah komoditas atau barang dagangan. Kalau menurut Om Marx, Kapitalisme adalah makhluk yang paling bertanggung jawab atas fenomena komodifikasi ini. Kapitalisme membuat segalanya mungkin diperjualbelikan. Makanya, sesuatu yang awalnya tidak memiliki nilai tukar pun dipaksa untuk memiliki label harga.

Lalu, apa yang salah dari komodifikasi doa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah? Bukankah mengharap keberkahan dari doa yang mereka haturkan adalah sah-sah saja? Bukankah naif jika beribadah tanpa mengharap berkah? Nah, itu dia. Kalau di Islam kan memang kita dianjurkan untuk selalu beribadah dalam takut (khauf) dan harap (rajaa'). Tapi, harap yang gimana dulu nih?

Ketika banyak lembaga zakat, infaq dan shadaqah mengajak untuk berdonasi dengan mengiming-imingi doa anak yatim yang mereka bina, lalu kita memberikan respon dengan berdonasi karena doa tersebut, maka secara tidak langsung kita telah mengaminkan proses ini sebagai sesuatu yang transaksional, 'lu jual gue beli'. Ke depan, mereka akan melihat betapa doa anak yatim binaan mereka ampuh untuk mengajak orang berdonasi. Sehingga, bukan tidak mungkin, akan dibangun narasi-narasi lain tentang si anak yatim yang bisa menarik pasar. Akhirnya, tanpa disadari, ajakan untuk berzakat, infaq dan shadaqah menjadi ajang kontestasi anak yatim mana yang paling makbul doanya, bukan lagi soal program-program mana yang paling efektif untuk pengembangan skill mereka, fasilitas apa yang butuh dibangun untuk pengembangan kapasitas mereka, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, yang terjadi adalah objektifikasi anak yatim, dimana anak yatim menjadi objek, barang atau alat pemenuhan kebutuhan orang lain.

Terus, solusinya apa dongs? Di jaman seperti ini, kita sudah tidak bisa lagi menghindar dari paparan fenomena komodifikasi. Apalagi, komodifikasi yang berhubungan dengan isu agama, mengingat kita tinggal di negara mayoritas muslim yang rasa-rasanya cukup relijius (ingat, relijius tidak selalu berhubungan dengan keshalihan). Apapun yang berbau Islam, berlabel halal dan syariah menjadi industri, dari industri pakaian muslim, bank-bank syariah, acara reliji di televisi, sampai yang selalu membuat saya geli, detergen dengan label halal nan Islami.

Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak dalam praktik komodifikasi, kita harus selalu meluruskan niat pada setiap aktivitas kebaikan yang kita lakukan, semata-mata untuk mengharap ridha Allah, bukan karena tren, ikut-ikutan atau karena harapan mendapatkan balasan duniawi. Selain itu, selalu belajar untuk melihat bigger picture dari setiap hal, khususnya dalam hal beragama. Jangan lupa, agama bukan seperangkat ilmu praktis, yang ilmunya bisa dicomot sana-sini. Setiap ajaran dalam agama punya konteks, maka kita harus memahami konteks tersebut secara utuh agar tidak salah kaprah. Kalau kata Bang Akhyar, "Agama yang dipahami dan dijalani tanpa keutuhan hanya membuat kita melaju ke arah yang keliru".










Tulisan di awal Ramadhan yang baru sempat diselesaikan.
Selamat meresapi Ramadhan yang tinggal sisa-sisa. Semoga, semakin mendekati akhir, kita tidak hanya manis di bibir. Katanya rindu, tapi menyiakan waktu. Bismillah.


Referensi
http://www.tribunnews.com/techno/2018/05/04/lima-produk-paling-dicari-orang-indonesia-selama-ramadan-berdasar-hasil-survei-google
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/06/22/o95s43382-konsumsi-masyarakat-saat-ramadhan-naik-hingga-30-persen

Freitag, 18. Mai 2018

Bapak-Bapak

Pekerjaan saya saat ini membuat saya banyak berinteraksi dengan bapak-bapak. Sudah banyak topik diskusi kami bahas, dari urusan pekerjaan hingga pengakuan kenakalan ketika istri tidak memberikan pengawasan. Khas laki-laki.

Tapi, baru setelah satu tahun lebih bekerja, saya sadar suatu hal. Pada setiap diskusi yang terjadi di antara kami, para bapak tidak pernah alfa bercerita tentang anak mereka. Dengan ketulusan sempurna. Dan antusiasme yang paripurna.

Mereka memuji. Mereka mengunggulkan. Mereka membandingkan anak mereka dengan anak tetangga, anak teman, anak bos atau anak siapa pun, yang pasti, entah rumus perbandingannya seperti apa, anak mereka selalu menjadi juaranya.

Di banyak kesempatan, saya tidak pernah ambil pusing akan cerita-cerita tersebut. Saya lebih sering mengiyakan dengan wajah template antusias. Bagi saya, human being lah ya, membanggakan kepemilikan dan capaian pribadi. Apalagi bagi seorang laki-laki yang hidup di negara patriarkis seperti Indonesia, mampu membina sebuah keluarga ideal dengan anak-anak yang layak dibanggakan adalah sebuah pencapaian. Dan patut dipublikasikan.

Tapi, saat kemarin diskusi serupa terjadi lagi, dengan rekan kerja yang merupakan bapak beranak dua, dengan dialog yang juga hampir serupa, saya menyadari sesuatu yang lebih dalam. Narasi tentang sang anak yang diceritakan berulang-ulang oleh para bapak, sepertinya bukan semata-mata upaya untuk menuntaskan dahaga mereka akan pengakuan orang lain, bahwa hidupnya ideal karena berhasil memiliki istri yang mampu beranak-pinak menciptakan keturunan kebanggaan. Bukan pula karena upaya menciptakan kontestasi remeh-temeh untuk menunjukkan anaknya lebih bernial jual dibanding anak orang lain.

At some point, i noticed their true love for their children lie behind each stories spoken. Sederhananya, semua bapak sayang anaknya. Segala cerita mereka tentang sang anak adalah representasi ketulusan cinta si bapak tentang anak-anak mereka. Yaa, walaupun kadang ceritanya agak hiperbola. Dimana, cerita tersebut, walau lancar dituturkan ke saya, belum tentu demikian di depan anaknya. Bisa jadi, di depan anak-anaknya, para bapak justru cuek. Atau galak. Atau ragu karena menjaga wibawa. Atau kelu karena memang tak pandai menyusun kata. Atau bahkan, sesederhana tak biasa mengekspresikan rasa cinta.

Menarik ya. Fathers always have their own way to show love. We just don't understand. Or not yet understand.

Beliau memang tidak seekspresif ibu, tapi percayalah, takaran cintanya, tak kurang barang setetes dari apa yang dimiliki ibu kita.

Montag, 14. Mai 2018

Patah Hati

Kalau dipikir-pikir, selama 25 tahun hidup, saya belum pernah benar-benar patah hati. Setidaknya, dalam konteks sempit, patah hati dengan seorang laki-laki.

Tapi, kalau boleh jujur, suatu kali saya pernah patah hati dengan seorang sahabat perempuan. Err, it's not that i was falling in love with her ya (ku masih suka laki-laki). Or we fell in love with the same guy. Duh, that's too drama.

Jadi begini ceritanya.

Bagi orang-orang yang pertama mengenal saya, mereka mungkin akan berpikir bahwa saya adalah orang yang sangat mudah mingle dengan orang baru. Atau saya sangat mudah mencari teman. Atau teman saya banyak. Atau saya tidak pernah kesepian.

Sayangnya, walaupun saya mengakui bahwa saya memiliki kecenderungan ekstrovert ekstrim, asumsi-asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahwa saya sangat mudah bergaul dengan orang baru, ya. Bcz, well, i have to say, i'm so good in cari-cari topik pembicaraan. Jadi, orang seringkali merasa 'nyambung' ngobrol dengan saya. Tapi, duh, mau sampai kapan terus-terusan struggling nyari bahan obrolan? It's so exhausting.

At the end, you have to admit that you cant get along with all of your friends. Semacam seleksi alam. Pada akhirnya, mereka yang bertahan untuk menjadi temanmu, yang komunikasinya masih berlanjut walau kalian sudah jarang bertemu, adalah mereka yang memang satu frekuensi denganmu. They who by nature share the same thoughts with you. Dan susah banget men ketemu orang yang kayak gitu. Itulah kenapa, saya yang ekstrovert ini tumbuh sebagai orang yang tertutup dan tidak punya banyak teman dekat.

Tapi, kalau sekarang kamu tanya saya, apa saya punya teman dekat, i definitely can mention one. Dia adalah teman bimbel saya waktu SMA, perempuan lho. Kami berasal dari sekolah yang berbeda. Pada masa-masa awal kami berkenalan, saya dekat dengan sahabatnya yang juga mengikuti kelas bimbel yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, dia justru semakin jauh dengan sahabatnya dan saya semakin dekat dengannya.

Persahabatan kami berlanjut hingga kami kuliah. Kebetulan kami masuk ke universitas yang sama, tapi fakultas berbeda. Saya sering main ke fakultasnya, begitu pula sebaliknya. Apalagi, salah satu teman jurusan saya juga merupakan teman dekatnya saat SMA. Intinya, kami bersahabat dekat. Walaupun kami tidak setiap hari berkomunikasi, tapi tidak pernah ada hal penting yang lupa kami bagi. Dia bahkan menjadi satu-satunya teman di Jakarta yang saya kabari ketika ibu saya meninggal dunia.

Seiring dengan fase hidup yang kami jalani, persahabatan kami pun mendewasa. Beberapa ketidakcocokan mulai terasa. Keributan-keributan kecil sering terjadi. Jujur, saya sempat melewati momen-momen dimana saya tidak ingin posisi saya sebagai sahabatnya digantikan oleh orang lain. Ya, seposesif itu. Tapi, dari sana saya belajar untuk menurunkan ego. Saya belajar untuk menghormati wilayah personal seseorang yang tidak bisa saya intervensi. Saya yang cenderung cuek, belajar untuk bertanya kabar lebih dulu. Saya yang cerewet dan banyak omong, belajar untuk mendengar tanpa terdistrak sedikit pun. Aih, berasa pacaran yes. Tapi, begitu lah, selayaknya hubungan pacaran, persahabatan juga harus di-maintain agar tetap terjaga sampai jannah-Nya. Aamiin.  Lagipula, lumayan lah ini untuk modal saya menjalani hubungan dengan pasangan saat berumah tangga kelak. Wkwk.

Kini, kami tidak lagi intens berkomunikasi seperti dulu, apalagi dengan kondisi long distance friendship seperti sekarang. Tapi, kami masih sering terlibat dalam diskusi-diskusi kecil ala ala orang dewasa, kalau nggak via telfon, via whastapp, via instagram, via LINE atau saluran lain yang memungkinkan kami berkomunikasi.

Sebelum akhirnya saya pindah domisili ke Jawa Timur, dia memberikan saya kejutan perpisahan yang terasa sangat getir. Dia didiagnosis dokter dengan sebuah penyakit yang membuat imunnya tidak mampu mengenal mana teman mana lawan di dalam tubuhnya. Sehingga, ia harus menjalani sebuah operasi untuk mengangkat organ yang memproduksi imun tersebut. Akibatnya, kini dia tidak bisa terlalu lelah, tidak bisa terpapar debu dan segala hal lain yang membutuhkan imunnya bekerja.

Sepanjang perjalanan sakitnya, saya hanya dua kali menemani dia di rumah sakit. Pertama, saat kepulangan saya dari Sumba. Dia masih di-opname setelah operasinya dan saya harus menuntaskan rindu dengan air mata yang saya bendung kuat-kuat. Kedua, saat dia kontrol rutin. Saya menemani dia menunggu antrian. Selebihnya, karena keputusan untuk pindah ke Jawa Timur ini, saya jadi tidak pernah ada di sisinya ketika dia harus menghadapi rumah sakit, dokter dan segala diagnosis-diagnosis intimidatif itu.

Kemarin, sebelum saya pulang ke Jakarta, saya kabari dia. Berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama seperti yang dulu-dulu barang sebentar. Entah dengan numpang makan nasi padang di rumahnya, copy film sebanyak-banyaknya atau sekadar leyeh-leyeh sambil bergosip di sofa rumahnya.

Tapi, jawaban darinya sungguh membuat hati pilu. Dia bilang, siang sebelumnya dia sesak napas di kantor, lalu dibawa ke rumah sakit dan tidak boleh pulang oleh dokter. Saya sedih sekaligus sebal. Dia tahu saya trauma dengan rumah sakit, tapi kenapa kami harus sering-sering bertemu di sana? Jawaban darinya sungguh membuat saya tersentak, bahwa ini semua adalah ketentuan-Nya. Kali ini, saya tidak membendung tangis saya. Toh, dia nggak bisa liat juga. Saya tanyakan padanya, dia mau apa untuk saya bawakan ke rumah sakit. Dia menyebutkan beberapa hal.

Sampai di Jakarta, saya atur rencana untuk mengunjunginya di hari kedua saya disana. Pagi sebelum berangkat, saya tanyakan nomor kamarnya. Tapi, tidak ada jawaban. Saya sungguh-sungguh menyesal karena saat itu saya hanya menanti chat dibalas. Tidak ada upaya untuk menelfon dirinya atau mengontak keluarganya. Dengan alasan yang sangat nonsense--takutnya dia sudah pulang ke rumah, saya tidak beranjak ke rumah sakit. Sampai akhirnya, dia membalas pesan saya pukul 17.15. Tidak mungkin lagi kesana. Jakarta macet parah karena libur nasional, sementara saya harus mengejar kereta ke Kebumen pukul 19.00.

Akhirnya, saya pun meninggalkan Jakarta. Tanpa rasa bersalah, tanpa pamit. Sekitar tengah malam, teman dekat kami berdua, Putu namanya, menghubungi saya, mengabarkan saya bahwa sahabat saya itu masuk rumah sakit. Ia kini menginap di rumah sakit menunggui sahabat saya itu. Saya jawab bahwa saya mengetahuinya dan saya sudah berjanji akan mengunjunginya, tetapi tidak jadi karena dia tidak membalas pesan saya.

Teman saya mengatakan bahwa dia baru saja menjalani Plasmapheresis. Mungkin itu yang membuat dia tidak pegang HP seharian. Seketika perut saya langsung nyeri. Saya mengutuki diri saya yang dengan bodohnya mengharap balasan pesan dari orang sakit. Bodoh, bodoh bodoh. Kenapa saya begitu bodoh dengan tidak jadi pergi ke rumah sakit cuma karena dia tidak membalas pesan saya? Kenapa saya tidak nekat pergi ke rumah sakit saja? Toh, kalau ternyata dia sudah pulang, saya bisa menyusul ke rumahnya. Bodoh.

Detik itu saya merasa patah hati. Entah ini definisi patah hati yang lazim diucapkan kebanyakan orang atau tidak. Yang pasti, saya merasa saya tidak lagi pantas menjadi sahabatnya. Saya terlalu egois dengan pemikiran-pemikiran saya sendiri. Saya terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi pribadi. Agak lebay ya. Tapi, kalau boleh jujur, ini bukan kali pertama saya berlaku demikian. Dia sering bertanya atas hal-hal penting yang tidak saya ceritakan padanya, saya menjawab seolah kesibukannya lah yang membuat saya berlaku demikian. Padahal, di banyak kesempatan, saya yang tidak menyempatkan waktu, saya yang sibuk sendiri. Saya tidak pernah benar-benar ada di sampingnya ketika dia butuh saya, tapi saya menuntut sebaliknya.

Kini, yang bisa saya lakukan hanya melangitkan doa. Semoga sakit yang dideritanya menjadi penggugur dosa.



Saya, Dia dan Putu


Popular posts