Freitag, 18. Mai 2018

Bapak-Bapak

Pekerjaan saya saat ini membuat saya banyak berinteraksi dengan bapak-bapak. Sudah banyak topik diskusi kami bahas, dari urusan pekerjaan hingga pengakuan kenakalan ketika istri tidak memberikan pengawasan. Khas laki-laki.

Tapi, baru setelah satu tahun lebih bekerja, saya sadar suatu hal. Pada setiap diskusi yang terjadi di antara kami, para bapak tidak pernah alfa bercerita tentang anak mereka. Dengan ketulusan sempurna. Dan antusiasme yang paripurna.

Mereka memuji. Mereka mengunggulkan. Mereka membandingkan anak mereka dengan anak tetangga, anak teman, anak bos atau anak siapa pun, yang pasti, entah rumus perbandingannya seperti apa, anak mereka selalu menjadi juaranya.

Di banyak kesempatan, saya tidak pernah ambil pusing akan cerita-cerita tersebut. Saya lebih sering mengiyakan dengan wajah template antusias. Bagi saya, human being lah ya, membanggakan kepemilikan dan capaian pribadi. Apalagi bagi seorang laki-laki yang hidup di negara patriarkis seperti Indonesia, mampu membina sebuah keluarga ideal dengan anak-anak yang layak dibanggakan adalah sebuah pencapaian. Dan patut dipublikasikan.

Tapi, saat kemarin diskusi serupa terjadi lagi, dengan rekan kerja yang merupakan bapak beranak dua, dengan dialog yang juga hampir serupa, saya menyadari sesuatu yang lebih dalam. Narasi tentang sang anak yang diceritakan berulang-ulang oleh para bapak, sepertinya bukan semata-mata upaya untuk menuntaskan dahaga mereka akan pengakuan orang lain, bahwa hidupnya ideal karena berhasil memiliki istri yang mampu beranak-pinak menciptakan keturunan kebanggaan. Bukan pula karena upaya menciptakan kontestasi remeh-temeh untuk menunjukkan anaknya lebih bernial jual dibanding anak orang lain.

At some point, i noticed their true love for their children lie behind each stories spoken. Sederhananya, semua bapak sayang anaknya. Segala cerita mereka tentang sang anak adalah representasi ketulusan cinta si bapak tentang anak-anak mereka. Yaa, walaupun kadang ceritanya agak hiperbola. Dimana, cerita tersebut, walau lancar dituturkan ke saya, belum tentu demikian di depan anaknya. Bisa jadi, di depan anak-anaknya, para bapak justru cuek. Atau galak. Atau ragu karena menjaga wibawa. Atau kelu karena memang tak pandai menyusun kata. Atau bahkan, sesederhana tak biasa mengekspresikan rasa cinta.

Menarik ya. Fathers always have their own way to show love. We just don't understand. Or not yet understand.

Beliau memang tidak seekspresif ibu, tapi percayalah, takaran cintanya, tak kurang barang setetes dari apa yang dimiliki ibu kita.

Montag, 14. Mai 2018

Patah Hati

Kalau dipikir-pikir, selama 25 tahun hidup, saya belum pernah benar-benar patah hati. Setidaknya, dalam konteks sempit, patah hati dengan seorang laki-laki.

Tapi, kalau boleh jujur, suatu kali saya pernah patah hati dengan seorang sahabat perempuan. Err, it's not that i was falling in love with her ya (ku masih suka laki-laki). Or we fell in love with the same guy. Duh, that's too drama.

Jadi begini ceritanya.

Bagi orang-orang yang pertama mengenal saya, mereka mungkin akan berpikir bahwa saya adalah orang yang sangat mudah mingle dengan orang baru. Atau saya sangat mudah mencari teman. Atau teman saya banyak. Atau saya tidak pernah kesepian.

Sayangnya, walaupun saya mengakui bahwa saya memiliki kecenderungan ekstrovert ekstrim, asumsi-asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahwa saya sangat mudah bergaul dengan orang baru, ya. Bcz, well, i have to say, i'm so good in cari-cari topik pembicaraan. Jadi, orang seringkali merasa 'nyambung' ngobrol dengan saya. Tapi, duh, mau sampai kapan terus-terusan struggling nyari bahan obrolan? It's so exhausting.

At the end, you have to admit that you cant get along with all of your friends. Semacam seleksi alam. Pada akhirnya, mereka yang bertahan untuk menjadi temanmu, yang komunikasinya masih berlanjut walau kalian sudah jarang bertemu, adalah mereka yang memang satu frekuensi denganmu. They who by nature share the same thoughts with you. Dan susah banget men ketemu orang yang kayak gitu. Itulah kenapa, saya yang ekstrovert ini tumbuh sebagai orang yang tertutup dan tidak punya banyak teman dekat.

Tapi, kalau sekarang kamu tanya saya, apa saya punya teman dekat, i definitely can mention one. Dia adalah teman bimbel saya waktu SMA, perempuan lho. Kami berasal dari sekolah yang berbeda. Pada masa-masa awal kami berkenalan, saya dekat dengan sahabatnya yang juga mengikuti kelas bimbel yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, dia justru semakin jauh dengan sahabatnya dan saya semakin dekat dengannya.

Persahabatan kami berlanjut hingga kami kuliah. Kebetulan kami masuk ke universitas yang sama, tapi fakultas berbeda. Saya sering main ke fakultasnya, begitu pula sebaliknya. Apalagi, salah satu teman jurusan saya juga merupakan teman dekatnya saat SMA. Intinya, kami bersahabat dekat. Walaupun kami tidak setiap hari berkomunikasi, tapi tidak pernah ada hal penting yang lupa kami bagi. Dia bahkan menjadi satu-satunya teman di Jakarta yang saya kabari ketika ibu saya meninggal dunia.

Seiring dengan fase hidup yang kami jalani, persahabatan kami pun mendewasa. Beberapa ketidakcocokan mulai terasa. Keributan-keributan kecil sering terjadi. Jujur, saya sempat melewati momen-momen dimana saya tidak ingin posisi saya sebagai sahabatnya digantikan oleh orang lain. Ya, seposesif itu. Tapi, dari sana saya belajar untuk menurunkan ego. Saya belajar untuk menghormati wilayah personal seseorang yang tidak bisa saya intervensi. Saya yang cenderung cuek, belajar untuk bertanya kabar lebih dulu. Saya yang cerewet dan banyak omong, belajar untuk mendengar tanpa terdistrak sedikit pun. Aih, berasa pacaran yes. Tapi, begitu lah, selayaknya hubungan pacaran, persahabatan juga harus di-maintain agar tetap terjaga sampai jannah-Nya. Aamiin.  Lagipula, lumayan lah ini untuk modal saya menjalani hubungan dengan pasangan saat berumah tangga kelak. Wkwk.

Kini, kami tidak lagi intens berkomunikasi seperti dulu, apalagi dengan kondisi long distance friendship seperti sekarang. Tapi, kami masih sering terlibat dalam diskusi-diskusi kecil ala ala orang dewasa, kalau nggak via telfon, via whastapp, via instagram, via LINE atau saluran lain yang memungkinkan kami berkomunikasi.

Sebelum akhirnya saya pindah domisili ke Jawa Timur, dia memberikan saya kejutan perpisahan yang terasa sangat getir. Dia didiagnosis dokter dengan sebuah penyakit yang membuat imunnya tidak mampu mengenal mana teman mana lawan di dalam tubuhnya. Sehingga, ia harus menjalani sebuah operasi untuk mengangkat organ yang memproduksi imun tersebut. Akibatnya, kini dia tidak bisa terlalu lelah, tidak bisa terpapar debu dan segala hal lain yang membutuhkan imunnya bekerja.

Sepanjang perjalanan sakitnya, saya hanya dua kali menemani dia di rumah sakit. Pertama, saat kepulangan saya dari Sumba. Dia masih di-opname setelah operasinya dan saya harus menuntaskan rindu dengan air mata yang saya bendung kuat-kuat. Kedua, saat dia kontrol rutin. Saya menemani dia menunggu antrian. Selebihnya, karena keputusan untuk pindah ke Jawa Timur ini, saya jadi tidak pernah ada di sisinya ketika dia harus menghadapi rumah sakit, dokter dan segala diagnosis-diagnosis intimidatif itu.

Kemarin, sebelum saya pulang ke Jakarta, saya kabari dia. Berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama seperti yang dulu-dulu barang sebentar. Entah dengan numpang makan nasi padang di rumahnya, copy film sebanyak-banyaknya atau sekadar leyeh-leyeh sambil bergosip di sofa rumahnya.

Tapi, jawaban darinya sungguh membuat hati pilu. Dia bilang, siang sebelumnya dia sesak napas di kantor, lalu dibawa ke rumah sakit dan tidak boleh pulang oleh dokter. Saya sedih sekaligus sebal. Dia tahu saya trauma dengan rumah sakit, tapi kenapa kami harus sering-sering bertemu di sana? Jawaban darinya sungguh membuat saya tersentak, bahwa ini semua adalah ketentuan-Nya. Kali ini, saya tidak membendung tangis saya. Toh, dia nggak bisa liat juga. Saya tanyakan padanya, dia mau apa untuk saya bawakan ke rumah sakit. Dia menyebutkan beberapa hal.

Sampai di Jakarta, saya atur rencana untuk mengunjunginya di hari kedua saya disana. Pagi sebelum berangkat, saya tanyakan nomor kamarnya. Tapi, tidak ada jawaban. Saya sungguh-sungguh menyesal karena saat itu saya hanya menanti chat dibalas. Tidak ada upaya untuk menelfon dirinya atau mengontak keluarganya. Dengan alasan yang sangat nonsense--takutnya dia sudah pulang ke rumah, saya tidak beranjak ke rumah sakit. Sampai akhirnya, dia membalas pesan saya pukul 17.15. Tidak mungkin lagi kesana. Jakarta macet parah karena libur nasional, sementara saya harus mengejar kereta ke Kebumen pukul 19.00.

Akhirnya, saya pun meninggalkan Jakarta. Tanpa rasa bersalah, tanpa pamit. Sekitar tengah malam, teman dekat kami berdua, Putu namanya, menghubungi saya, mengabarkan saya bahwa sahabat saya itu masuk rumah sakit. Ia kini menginap di rumah sakit menunggui sahabat saya itu. Saya jawab bahwa saya mengetahuinya dan saya sudah berjanji akan mengunjunginya, tetapi tidak jadi karena dia tidak membalas pesan saya.

Teman saya mengatakan bahwa dia baru saja menjalani Plasmapheresis. Mungkin itu yang membuat dia tidak pegang HP seharian. Seketika perut saya langsung nyeri. Saya mengutuki diri saya yang dengan bodohnya mengharap balasan pesan dari orang sakit. Bodoh, bodoh bodoh. Kenapa saya begitu bodoh dengan tidak jadi pergi ke rumah sakit cuma karena dia tidak membalas pesan saya? Kenapa saya tidak nekat pergi ke rumah sakit saja? Toh, kalau ternyata dia sudah pulang, saya bisa menyusul ke rumahnya. Bodoh.

Detik itu saya merasa patah hati. Entah ini definisi patah hati yang lazim diucapkan kebanyakan orang atau tidak. Yang pasti, saya merasa saya tidak lagi pantas menjadi sahabatnya. Saya terlalu egois dengan pemikiran-pemikiran saya sendiri. Saya terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi pribadi. Agak lebay ya. Tapi, kalau boleh jujur, ini bukan kali pertama saya berlaku demikian. Dia sering bertanya atas hal-hal penting yang tidak saya ceritakan padanya, saya menjawab seolah kesibukannya lah yang membuat saya berlaku demikian. Padahal, di banyak kesempatan, saya yang tidak menyempatkan waktu, saya yang sibuk sendiri. Saya tidak pernah benar-benar ada di sampingnya ketika dia butuh saya, tapi saya menuntut sebaliknya.

Kini, yang bisa saya lakukan hanya melangitkan doa. Semoga sakit yang dideritanya menjadi penggugur dosa.



Saya, Dia dan Putu


Mandi di Taman

Malam itu, aku mandi di pancuran taman.
Kamu menghampiri, melempar tatap heran.
Aku ketus.
Kusiapkan jawaban singkat-tapi-komprehensif untuk menjelaskan mengapa aku mandi di sana.
Tapi, kamu melempar tanya yang di luar duga.
"Kenapa mandinya masih dengan kaos dan celana?"
Idealnya, kamu bertanya kenapa aku mandi di taman, pikirku.
"Bukan urusanmu.", begitu yang keluar dari mulutku.
Kamu menjawab singkat dengan hanya satu kata 'oh'.
Lalu pergi.
Aku bingung.
Terasa menggantung.
Sial.
"Hei, belum selesai!"
Aku berteriak tidak terima.
"Apanya? Mandinya? Silakan diselesaikan!"
Jawabmu membelakangiku.
Lalu melenggang.
Sedetik kemudian menghilang.
Dalam titik buta kota.
Tanpa menambah sepatah kata.
Huh

***

Air menggenang di depan pintu kost-mu.
Aku dalangnya.
Kaus dan celana basah yang masih melekat di tubuhku penyebabnya.
Aku mengetuk pintu, kasar.
Tapi juga hati-hati.
Khawatir membangunkan ibu kost-mu.
Bukan apa-apa.
Kalau dia bangun, mati aku.
Bisa ditagihnya tunggakan kost-ku.
Kamu keluar.
Berantakan.
Kamu bertanya ada apa.
Aku menjawab dengan kalimat yang sebelumnya ada di pikirku.
"Idealnya, kamu bertanya kenapa aku mandi di taman."
Kamu menghela napas lambat-lambat.
Dan membuang residunya cepat-cepat.
"Karena aku bukan perempuan ideal seperti yang selama ini kamu pikirkan."

Montag, 7. Mai 2018

Things I Don't Tell People about My IELTS Journey [Bagian Kedua]

Selanjutnya, sekitar awal bulan April 2017, saya pindah penempatan ke Nganjuk. Kertas target yang sama masih saya bawa dan saya tempel di dinding kosan yang baru. Aktivitas belajar IELTS saya pun semakin rutin, walaupun belum ada jadwal khusus dan materi yang dipelajari masih dipilah sesuka hati, bukan berdasarkan kebutuhan.

Saat di Nganjuk, saya juga membuka kelas belajar bahasa Inggris gratis bagi anak-anak SMA di sekitar kosan. Well, saya meyakini bahwa mengajar adalah salah satu cara belajar paling efektif. Lagi pula, saya juga bosan belajar sendiri, jadi ini salah satu cara mencari teman seperjuangan belajar bahasa Inggris. Ehe.

Kelas diadakan seminggu dua kali di kosan saya, setiap hari Jumat sore dan Sabtu pagi. Seru sekali, kosan saya jadi selalu rame. Kenalan saya juga jadi banyak, anak SMA semua pula isinya. Saya merasa lebih muda dari usia sesungguhnya.

Sayangnya, waktu lagi seru-serunya dan deket-deketnya sama dedek-dedek gemesh di Nganjuk, saya harus pindah penempatan. Saat itu, saya kembali lagi ke Madiun. Fokus saya pun agak bergeser, bukan lagi memikirkan IELTS dan S2, tapi merintis SiMaggie. Tiap weekend pasti bolak-balik ke Surabaya untuk ikutan program 1000 Startup Digital.

Setelah satu bulan di Madiun, saya pindah penempatan lagi ke Kediri. Karena udah lama nggak mikir soal IELTS, saya pun mulai nggak pede lagi. Tapi, saat itu saya cukup excited karena daerah penempatan saya dekat dengan Kampung Inggris yang ada di Pare, Kediri. Jadilah saya mulai cari-cari info les bahasa Inggris di Kampung Inggris tersebut. Sayangnya, setelah banyak googling dan tanya sana-sini, saya dapat info kalau les bahasa Inggris di Pare cuma ada di weekdays. Saya nggak nemu sama sekali kelas yang bukanya setiap weekend. Nggak memungkinkan banget buat saya yang kerja full time saat weekdays. Jadilah saya patah hati karena lagi-lagi nggak bisa ikutan les persiapan IELTS. Apa boleh buat, satu-satunya pilihan adalah mempersiapkan IELTS secara mandiri. Tapi, tetep, penyakit nggak istiqomah-nya muncul. Kadang belajar, lebih sering nggak.

Lalu, Desember 2017 akhir, saya pindah penempatan ke Tulungagung. Duh, memasuki tahun baru, saya semakin panik dengan mimpi-mimpi saya. Di lain sisi, persiapan saya tidak kunjung menunjukkan progress. Sampai akhirnya, di Januari tahun 2018, saya malah nekat daftar tes IELTS di bulan yang sama, tepatnya tanggal 20 Januari 2018 di Surabaya. Tanpa pikir panjang, uang pendaftaran saya transfer dan yaks seketika saya tidak punya pilihan untuk mundur atau santai-santai lagi. Waktu yang saya punya tinggal 3 minggu menuju hari H tes.

Saya tidak paham mengapa saya bisa-bisanya nekat mempertaruhkan uang dengan nominal yang tidak sedikit tersebut untuk tes IELTS. Padahal, saya tidak pernah benar-benar belajar IELTS sebagai modal untuk memenangkan pertaruhan tersebut. Well, mungkin ini dipengaruhi oleh obsesi saya terhadap kisah heroik Thariq bin Ziyad yang terkenal itu. Ketika ia memutuskan membakar kapalnya untuk menghilangkan pilihan mundur dari peperangan saat menuju Andalusia. Agar tidak ada jalan lain selain menghadapi pertarungan yang terjadi di depan mata. Walaupun, beberapa ulama sejarah melemahkan kisah tersebut dan menyatakannya sebagai kisah fiktif, tapi kisah tersebut terlanjur membekas di kepala saya.

Di sisa waktu yang ada, saya kebut latihan soal-soal yang ada di print out ebook IELTS Cambridge yang sudah sejak dulu saya bawa kemana-mana. Saya banyak membaca blog-blog yang menjelaskan secara detil tentang hal-hal yang diujikan dalam IELTS. Saya juga rajin menonton channel-channel Youtube tentang IELTS, TEDTalks dan berbagai video lain yang berbahasa Inggris yang menjadi teman baik saya dalam mempersiapkan tes, utamanya untuk section writing, speaking dan yang pasti listening. Lebih jauh soal bagaimana trik berlatih saya akan dijelaskan pada tulisan terpisah ya!

Seminggu terakhir menjelang tes IELTS, saya sudah tidak bisa konsentrasi dalam belajar. Saya sakit demam, pusing dan mules karena nervous. Setiap saya cerita ke Bapak tentang kondisi saya yang semakin mengkhawatirkan menjelang tes, beliau hanya menjawab enteng, "Udah biasa itu. Kalau Kakak mau tes, pasti sebelumnya Kakak sakit dulu." Tetot, bener juga sih kata Bapak. Ini udah kebiasaan saya sejak SD. Sebelum saya tes, ujian atau lomba, pasti saya sakit dulu. Huh, ternyata kebiasaan itu terbawa ya sampai saya sebesar sekarang.

Di hari Jumat tanggal 19 Januari 2018, saya masih masuk kantor. Sambil menunggu batas absen finger print sore pukul 17.00 WIB, saya beres-beres dan pamit ke teman-teman kantor cabang. Nggak lupa juga minta doa ke mereka supaya tes yang akan saya jalani diberikan kelancaran.

Tepat pukul 17.00 WIB, saya absen dan order Grab menuju ke perempatan jalan besar untuk menunggu Bus Harapan Jaya tujuan Surabaya. Perjalanan Surabaya - Tulungagung memakan waktu sekitar 5 jam. Di bus, saya sudah nggak bisa belajar karena mual dan ngantuk, tapi mau tidur nggak tenang rasanya.

Saya tiba di Terminal Bungurasih Surabaya sekitar jam 10 malam. Beruntungnya, Terminal Bungurasih adalah terminal besar, jadi masih ramai hingga larut malam. Saya pun segera order Go-Jek untuk mengantar saya ke kosan Hanum, karena saya akan menginap di sana. Ya Allah, semoga Engkau senantiasa memudahkan urusan Hanum, sebagaimana ia memudahkan urusan hamba-Mu ini.

Saya tiba di kosan Hanum sekitar jam setengah 11 malam. Saya mandi, bersih-bersih, terus ngobrol sama Hanum sampai jam setengah 12 malam. Saya sempat buka Youtube untuk mengejar materi writing yang belum sempat saya tonton (tetep yes deadliner). Tapi, saya sudah nggak bisa fokus dan ngantuk. Jadi, saya bobok saja.

Peserta tes diminta untuk hadir di lokasi tes pukul 08.00 pagi. Tapi, Hanum mau pulang ke Kediri dan sudah dijemput temannya sekitar jam 06.00 pagi. Jadi lah saya ikutan cabut dari kosan Hanum dan cuss langsung ke IALF, lokasi tes IELTS di Surabaya. Sampai di sana, suasana masih sangat sepi. IALF masih tutup, tetapi satu dua peserta tes sudah ada yang menunggu di lobi. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencari sarapan terlebih dahulu di pinggir jalan. Alhamdulillah, ada warung tenda yang menjual nasi bungkus di seberang IALF. Saya beli dua bungkus sekaligus, satu untuk sarapan, satu lagi untuk persiapan makan siang, agar saya nggak perlu repot-repot keluar cari makan lagi.

Sekitar jam 08.00, peserta tes diarahkan untuk antre menitipkan tas. Barang yang boleh dibawa hanya tempat minum dan ID Card. Setelah itu, satu demi satu peserta naik ke lantai dua untuk masuk ke ruang tes. Di depan ruangan, kami diminta untuk antre lagi, kali ini untuk pengambilan foto setengah badan, sidik jari dan pemeriksaan pakaian yang kami kenakan. Jadi, kalau masih ada barang-barang yang seharusnya tidak dibawa, harus langsung dititipkan. Termasuk alat tulis yang saya bawa juga harus dititipkan, karena setiap peserta akan dipinjamkan pensil serta penghapus di ruangan tes.

Tepat pukul 09.00, tes dimulai. Dibuka dengan listening, lalu reading, terakhir writing. Luar biasa jackpot, saya mendapatkan soal tes writing yang semalam belum sempat saya pelajari. Duh, Gusti. Saya mencoba mengerjakan sebisanya. Keseluruhan tes tertulis selesai sekitar pukul 12.00 WIB. Kami keluar ruangan untuk menanti jadwal speaking. Saya sendiri mendapat jadwal speaking pukul 17.00 dengan interviewer yang, dari namanya, sepertinya Chinese.

Sambil menunggu, saya makan nasi bungkus yang pagi tadi saya beli. Sambil makan, saya mengobrol dengan ibu-ibu yang sejak awal sudah saya tandai kehadirannya. Kerudungnya menjulur lebar, baju gamisnya longgar, wajahnya bareface tanpa make up sama sekali. Namanya Mba Listi. Seluruh praduga saya saat pertama kali melihat kehadirannya salah. Bahwa sepertinya kala itu adalah tes IELTS-nya yang pertama, bahwa sepertinya ia butuh IELTS score untuk melamar beasiswa master degree, bahwa toh kalau pun dia ingin melanjutkan S3, sepertinya S2-nya ia jalani di dalam negeri. Ternyata, itu salah semua. Faktanya, ia adalah seorang dosen di sebuah universitas yang ada di Kalimantan, alumni program master degree di Michigan State University. IELTS-nya kali itu bukan yang pertama, karena sekian tahun sebelumnya, ia pernah menjalani tes serupa untuk ikhtiarnya mendapatkan beasiswa kuliah S2 di luar negeri. Sampai akhirnya, Allah memuarakan takdirnya sebagai awardee Beasiswa Prestasi. Maasya Allah. Jangan pernah menilai orang dari penampilannya, Lil!

Setelah banyak mengobrol, Mba Listi pamit karena akan pulang sebentar ke rumah saudaranya di Surabaya. Makan siang saya pun sudah selesai dan saya lanjut ke musholla untuk bobok siang. Ya, kamu nggak salah baca, saya mau bobok siang. Ini serius. Saat itu, pusing kepala saya kampuh lagi, badan saya pun demam lagi. Setelah sholat dzuhur, saya pun merebahkan badan. Untung musholla-nya sepi.

Tidak lama setelah itu, datang seorang ibu yang juga peserta tes. Beliau adalah dosen FKG di salah satu universitas di Surabaya. Dengan memegang buku teks, dia melatih kemampuan speaking-nya. Kemudian, datang pula mbak-mbak yang baru saja menyelesaikan tes speaking-nya. Ia menceritakan pengalaman tes speaking-nya yang tidak begitu memuaskan. Interviewer-nya berwajah intimidatif, bicaranya tidak mudah dipahami, serta topik diskusinya terlalu spesifik dan tidak umum--tentang periode sejarah. Alamak, dia bikin saya tambah mules.

Alhamdulillah-nya, karena saya sudah tidak lagi memiliki energi untuk panik, saya hanya melempar senyum semangat kepadanya, sambil terus memberikan afirmasi positif kepada diri saya sendiri bahwa hal negatif yang terjadi padanya, bisa jadi sebaliknya pada saya.

Sekitar pukul 4 sore, saya menguat-nguatkan diri untuk berjalan keluar musholla. Dengan sedikit tertatih, asik dah drama dikit, saya naik tangga dan memasuki ruang tunggu tes. Di sana, saya sempatkan untuk sekali lagi berdoa, saya pasrahkan hasil dari segala ikhtiar yang saya lakukan. Allah yang paling tau apa yang terbaik bagi saya, kalau pun toh nilai saya kelak tidak mencukupi, Allah pasti memberikan rezeki lebih untuk saya mendaftar tes lagi.

Setelah itu, saya juga membaca-baca beberapa artikel tentang tips speaking, siapa tau ada high level vocab yang bisa saya gunakan saat tes nanti. Sekitar jam 16.40, saya dipanggil untuk masuk ke ruangan tes. Waktu tes saya lebih cepat dari jadwal. Saya masuk ruangan dengan kondisi tangan dingin. Sudah biasa, kalau lagi deg-degan, tangan saya pasti dingin. Ruangan tes juga dingin ternyata, lengkap sudah ketegangan saat itu.

Saya menyalami si mas-mas interviewer dengan gerakan tangan yang meberikan kesan bahwa saya sangat antusias. Ternyata benar, beliau Chinese. Dia menanyakan kondisi saya, saya jawab jujur kalau saya sedang tidak enak badan but still okay for an interview. Saya pasang muka excited dan senyum manis meyakinkan, seolah saya sangat menantikan momen interview tersebut.

Saat interview berjalan, berbagai kekonyolan dan keajaiban terjadi bersamaan. Si interviewer membuka sesi speaking dengan omongan super duper cepat. Semacam dia sudah jutaan kali ngomong kalimat yang sama, makanya sudah sangat hafal di luar kepala. Kalau boleh jujur, saya nggak paham apa yang dia omongin, saya cuma modal manggut-manggut dan senyum lebar saja.

Masuk ke sesi short question, si interviewer menanyakan pertanyaan yang cukup umum dan wajar. Jadi, Alhamdulillah saya bisa handle dengan baik. Setelah itu, masuk ke sesi pertanyaan yang agak lebih panjang. Lagi-lagi, karena dia ngomongnya cepet, saya nggak paham. Beberapa kali pertanyaan dari dia saya jawab dengan pertanyaan juga, "Pardon me?". Tepatnya sih sampai tiga kali untuk sebuah pertanyaan yang sama. Hingga akhirnya, karena saya tetap nggak paham, saya jawab dengan sekenanya. Wajah si babang menunjukkan ekspresi nggak puas dan kecewa dengan jawaban saya. Entahlah. Yang pasti, sesi 15 menit interview itu terasa sangat cepat sekali. Tau-tau udah selesai dan saya pun keluar ruangan. Jujur, saya tidak puas dengan hasil interview saya tersebut. Banyak pertanyaan yang tidak saya jawab dengan jawaban terbaik. Tapi, ya sudah lah, saya tidak dapat berbuat apa pun selain berdoa semoga Allah berikan hasil terbaik sesuai kebutuhan. Selanjutnya, mari move on ke urusan saya yang lain.

"Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain." (QS. Al-Insyirah: 7)

Hari itu, selesai tes IELTS, saya masih belum bisa pulang ke Tulungagung. Saya sudah janji dengan Deva, salah satu dedek gemesh yang dulu pernah ikut kelas belajar bahasa Inggris saya di Nganjuk, untuk mengisi acara English Day yang diadakan organisasi rohis di sana. Saat itu, saya benar-benar tidak paham, energi dari mana yang membuat saya tetap mampu melanjutkan perjalanan kurang lebih 4 - 5 jam dengan bus ke Nganjuk setelah lama perjalanan yang sama antara Tulungagung - Surabaya di malam sebelumnya dan tes IELTS di hari setelahnya dengan tubuh yang hampir tumbang. Pikir saya saat itu cuma satu, surat Muhammad ayat 7. Rumus sederhana yang dulu selalu diulang-ulang murabbi saya.

"Hai, orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad: 7)

Dengan niat tersebut, saya bulat-bulatkan tekad untuk berangkat ke Nganjuk, walau kala itu rasanya sudah ingin bilang ke Deva bahwa saya tidak jadi ke sana. Dengan energi yang tersisa, sekitar jam setengah 6 sore, saya bergegas ke Terminal Bungurasih dengan Go-Jek dan naik bus Mira jurusan Nganjuk - Yogyakarta. Sambil di jalan, saya terus merapalkan doa, biar Allah yang mampukan. Allah yang akan mampukan.

Sekitar jam 10 malam, saya tiba di rumah Deva. Karena sudah lama tidak bertemu, kami bertukar cerita hingga hari menjelang berganti. Maasya Allah, bangga sekali saya dengan adik-ketemu-besar saya satu ini. Di tengah kesibukannya mempersiapkan UN dan berbagai ujian masuk kampus, dia masih mau merepotkan dirinya untuk kegiatan rohis. Saya jadi malu dan belajar banyak sekali darinya. Insya Allah, apa yang ditanam di jalan Allah, balasannya langsung dari Allah ya, Dik :)

Setelah temu kangen, update kabar dan kenal-kenalan dengan keluarga Deva, kami bobok di kamar Deva yang mirip kamar-kamar di FTV. Lucu banget loh kamarnya Deva, posisinya di lantai mezzanine dan full dari kayu jati, berasa di film-film Korea gitu (Lah, kayak lo paham film Korea aja, Lil -___-).

Besoknya, pagi-pagi sekali, kami mempersiapkan materi English Day, mengatur tata letak venue acara yang berupa ruangan bekas cafe pinggir jalan milik orang tua Deva, mengangkut peralatan acara, dll. Duh, saya berasa jaman SMA dulu ngerjain proker, wkwk. Setelah itu, kami sarapan dengan menu yang sudah dibuatkan oleh mamah-nya Deva. Terima kasih, Tante!

Sekitar jam 8 pagi, satu per satu peserta acara yang masih berusia SMP dan SMA berdatangan. Acara dimulai sekitar pukul 9 pagi. Kami bermain games, belajar listening dengan mengisi lirik lagu, belajar tenses, latihan wudhu dengan hanya segelas air, dll. Seru sekali! Saya berasa muda lagi ih gaulnya sama anak-anak SMP dan SMA. Kegiatan selesai sekitar pukul 5 sore dengan kondisi suara saya habis karena teriak-teriak. Maklum, mic-nya tidak bekerja sama dengan baik, padahal lokasi kegiatan tepat di pinggir jalan besar yang banyak dilewati truk dan bus antarkota, jadilah saya teriak dikit-dikit yaks.

Setelah kegiatan selesai dan segala peralatan telah kami rapikan, Deva mengantar saya untuk naik bus menuju Tulungagung. Tapi, sebelum itu, kami makan bakso kesukaan kami berdua dulu dongs. Perjalanan menuju Tulungagung terasa sangat-sangat lama dan melelahkan, padahal cuma 3 jam perjalanan. Mungkin karena saya harus ganti bus di Kediri dengan energi yang benar-benar tinggal sisa-sisa. Apalagi besok pagi saya harus bekerja. Duh, rasanya saya ingin cepat-cepat sampai kosan dan bobok cantik.

Hari ini, kalau saya pikir-pikir lagi, sepertinya saya nggak akan kuat lah mengulang perjalanan panjang Tulungagung - Surabaya - Nganjuk - Tulungagung hanya dalam waktu 3 hari. Dimana, Alhamdulillah-nya, saya selalu hanya hampir tumbang, tidak pernah benar-benar jatuh sakit yang mengharuskan saya hanya berbaring di kasur. Seolah, energi saya selalu hanya hampir habis. Tidak benar-benar habis. Allah benar-benar kuatkan.

Kini, ketika pada akhirnya saya tahu skor IELTS saya yang ajaib itu, saya hanya bisa tersenyum malu. Ah, Allah, budi baik apa yang telah hamba lakukan sehingga hamba berhak atas skor tersebut? Sungguh, betapa saya yakin, itu semua karena doa tulus orang-orang di sekitar saya sudah mengungguli doa saya yang terhalang dosa. Well, Allah memang selalu punya kejutan bagi hambanya yang tak putus berharap, tak payah berusaha dan tak hitung-menghitung dalam berbagi. Makanya, tips selanjutnya nih untuk teman-teman yang juga akan tes IELTS, yuk ah doanya dikencengin, belajarnya dibanyakin dan hasilnya dipasrahin. Allah sudah menyimpan rencana terbaik bagi hamba-Nya.


Seqyan.

Kebumen, 12 Mei 2018
akhirnya selesai juga tulisan iniiiiiiii. Huff. Semoga bermanfaat. Untuk tips yang lebih practical, tunggu aja yes.

Freitag, 18. Mai 2018

Bapak-Bapak

Pekerjaan saya saat ini membuat saya banyak berinteraksi dengan bapak-bapak. Sudah banyak topik diskusi kami bahas, dari urusan pekerjaan hingga pengakuan kenakalan ketika istri tidak memberikan pengawasan. Khas laki-laki.

Tapi, baru setelah satu tahun lebih bekerja, saya sadar suatu hal. Pada setiap diskusi yang terjadi di antara kami, para bapak tidak pernah alfa bercerita tentang anak mereka. Dengan ketulusan sempurna. Dan antusiasme yang paripurna.

Mereka memuji. Mereka mengunggulkan. Mereka membandingkan anak mereka dengan anak tetangga, anak teman, anak bos atau anak siapa pun, yang pasti, entah rumus perbandingannya seperti apa, anak mereka selalu menjadi juaranya.

Di banyak kesempatan, saya tidak pernah ambil pusing akan cerita-cerita tersebut. Saya lebih sering mengiyakan dengan wajah template antusias. Bagi saya, human being lah ya, membanggakan kepemilikan dan capaian pribadi. Apalagi bagi seorang laki-laki yang hidup di negara patriarkis seperti Indonesia, mampu membina sebuah keluarga ideal dengan anak-anak yang layak dibanggakan adalah sebuah pencapaian. Dan patut dipublikasikan.

Tapi, saat kemarin diskusi serupa terjadi lagi, dengan rekan kerja yang merupakan bapak beranak dua, dengan dialog yang juga hampir serupa, saya menyadari sesuatu yang lebih dalam. Narasi tentang sang anak yang diceritakan berulang-ulang oleh para bapak, sepertinya bukan semata-mata upaya untuk menuntaskan dahaga mereka akan pengakuan orang lain, bahwa hidupnya ideal karena berhasil memiliki istri yang mampu beranak-pinak menciptakan keturunan kebanggaan. Bukan pula karena upaya menciptakan kontestasi remeh-temeh untuk menunjukkan anaknya lebih bernial jual dibanding anak orang lain.

At some point, i noticed their true love for their children lie behind each stories spoken. Sederhananya, semua bapak sayang anaknya. Segala cerita mereka tentang sang anak adalah representasi ketulusan cinta si bapak tentang anak-anak mereka. Yaa, walaupun kadang ceritanya agak hiperbola. Dimana, cerita tersebut, walau lancar dituturkan ke saya, belum tentu demikian di depan anaknya. Bisa jadi, di depan anak-anaknya, para bapak justru cuek. Atau galak. Atau ragu karena menjaga wibawa. Atau kelu karena memang tak pandai menyusun kata. Atau bahkan, sesederhana tak biasa mengekspresikan rasa cinta.

Menarik ya. Fathers always have their own way to show love. We just don't understand. Or not yet understand.

Beliau memang tidak seekspresif ibu, tapi percayalah, takaran cintanya, tak kurang barang setetes dari apa yang dimiliki ibu kita.

Montag, 14. Mai 2018

Patah Hati

Kalau dipikir-pikir, selama 25 tahun hidup, saya belum pernah benar-benar patah hati. Setidaknya, dalam konteks sempit, patah hati dengan seorang laki-laki.

Tapi, kalau boleh jujur, suatu kali saya pernah patah hati dengan seorang sahabat perempuan. Err, it's not that i was falling in love with her ya (ku masih suka laki-laki). Or we fell in love with the same guy. Duh, that's too drama.

Jadi begini ceritanya.

Bagi orang-orang yang pertama mengenal saya, mereka mungkin akan berpikir bahwa saya adalah orang yang sangat mudah mingle dengan orang baru. Atau saya sangat mudah mencari teman. Atau teman saya banyak. Atau saya tidak pernah kesepian.

Sayangnya, walaupun saya mengakui bahwa saya memiliki kecenderungan ekstrovert ekstrim, asumsi-asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahwa saya sangat mudah bergaul dengan orang baru, ya. Bcz, well, i have to say, i'm so good in cari-cari topik pembicaraan. Jadi, orang seringkali merasa 'nyambung' ngobrol dengan saya. Tapi, duh, mau sampai kapan terus-terusan struggling nyari bahan obrolan? It's so exhausting.

At the end, you have to admit that you cant get along with all of your friends. Semacam seleksi alam. Pada akhirnya, mereka yang bertahan untuk menjadi temanmu, yang komunikasinya masih berlanjut walau kalian sudah jarang bertemu, adalah mereka yang memang satu frekuensi denganmu. They who by nature share the same thoughts with you. Dan susah banget men ketemu orang yang kayak gitu. Itulah kenapa, saya yang ekstrovert ini tumbuh sebagai orang yang tertutup dan tidak punya banyak teman dekat.

Tapi, kalau sekarang kamu tanya saya, apa saya punya teman dekat, i definitely can mention one. Dia adalah teman bimbel saya waktu SMA, perempuan lho. Kami berasal dari sekolah yang berbeda. Pada masa-masa awal kami berkenalan, saya dekat dengan sahabatnya yang juga mengikuti kelas bimbel yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, dia justru semakin jauh dengan sahabatnya dan saya semakin dekat dengannya.

Persahabatan kami berlanjut hingga kami kuliah. Kebetulan kami masuk ke universitas yang sama, tapi fakultas berbeda. Saya sering main ke fakultasnya, begitu pula sebaliknya. Apalagi, salah satu teman jurusan saya juga merupakan teman dekatnya saat SMA. Intinya, kami bersahabat dekat. Walaupun kami tidak setiap hari berkomunikasi, tapi tidak pernah ada hal penting yang lupa kami bagi. Dia bahkan menjadi satu-satunya teman di Jakarta yang saya kabari ketika ibu saya meninggal dunia.

Seiring dengan fase hidup yang kami jalani, persahabatan kami pun mendewasa. Beberapa ketidakcocokan mulai terasa. Keributan-keributan kecil sering terjadi. Jujur, saya sempat melewati momen-momen dimana saya tidak ingin posisi saya sebagai sahabatnya digantikan oleh orang lain. Ya, seposesif itu. Tapi, dari sana saya belajar untuk menurunkan ego. Saya belajar untuk menghormati wilayah personal seseorang yang tidak bisa saya intervensi. Saya yang cenderung cuek, belajar untuk bertanya kabar lebih dulu. Saya yang cerewet dan banyak omong, belajar untuk mendengar tanpa terdistrak sedikit pun. Aih, berasa pacaran yes. Tapi, begitu lah, selayaknya hubungan pacaran, persahabatan juga harus di-maintain agar tetap terjaga sampai jannah-Nya. Aamiin.  Lagipula, lumayan lah ini untuk modal saya menjalani hubungan dengan pasangan saat berumah tangga kelak. Wkwk.

Kini, kami tidak lagi intens berkomunikasi seperti dulu, apalagi dengan kondisi long distance friendship seperti sekarang. Tapi, kami masih sering terlibat dalam diskusi-diskusi kecil ala ala orang dewasa, kalau nggak via telfon, via whastapp, via instagram, via LINE atau saluran lain yang memungkinkan kami berkomunikasi.

Sebelum akhirnya saya pindah domisili ke Jawa Timur, dia memberikan saya kejutan perpisahan yang terasa sangat getir. Dia didiagnosis dokter dengan sebuah penyakit yang membuat imunnya tidak mampu mengenal mana teman mana lawan di dalam tubuhnya. Sehingga, ia harus menjalani sebuah operasi untuk mengangkat organ yang memproduksi imun tersebut. Akibatnya, kini dia tidak bisa terlalu lelah, tidak bisa terpapar debu dan segala hal lain yang membutuhkan imunnya bekerja.

Sepanjang perjalanan sakitnya, saya hanya dua kali menemani dia di rumah sakit. Pertama, saat kepulangan saya dari Sumba. Dia masih di-opname setelah operasinya dan saya harus menuntaskan rindu dengan air mata yang saya bendung kuat-kuat. Kedua, saat dia kontrol rutin. Saya menemani dia menunggu antrian. Selebihnya, karena keputusan untuk pindah ke Jawa Timur ini, saya jadi tidak pernah ada di sisinya ketika dia harus menghadapi rumah sakit, dokter dan segala diagnosis-diagnosis intimidatif itu.

Kemarin, sebelum saya pulang ke Jakarta, saya kabari dia. Berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama seperti yang dulu-dulu barang sebentar. Entah dengan numpang makan nasi padang di rumahnya, copy film sebanyak-banyaknya atau sekadar leyeh-leyeh sambil bergosip di sofa rumahnya.

Tapi, jawaban darinya sungguh membuat hati pilu. Dia bilang, siang sebelumnya dia sesak napas di kantor, lalu dibawa ke rumah sakit dan tidak boleh pulang oleh dokter. Saya sedih sekaligus sebal. Dia tahu saya trauma dengan rumah sakit, tapi kenapa kami harus sering-sering bertemu di sana? Jawaban darinya sungguh membuat saya tersentak, bahwa ini semua adalah ketentuan-Nya. Kali ini, saya tidak membendung tangis saya. Toh, dia nggak bisa liat juga. Saya tanyakan padanya, dia mau apa untuk saya bawakan ke rumah sakit. Dia menyebutkan beberapa hal.

Sampai di Jakarta, saya atur rencana untuk mengunjunginya di hari kedua saya disana. Pagi sebelum berangkat, saya tanyakan nomor kamarnya. Tapi, tidak ada jawaban. Saya sungguh-sungguh menyesal karena saat itu saya hanya menanti chat dibalas. Tidak ada upaya untuk menelfon dirinya atau mengontak keluarganya. Dengan alasan yang sangat nonsense--takutnya dia sudah pulang ke rumah, saya tidak beranjak ke rumah sakit. Sampai akhirnya, dia membalas pesan saya pukul 17.15. Tidak mungkin lagi kesana. Jakarta macet parah karena libur nasional, sementara saya harus mengejar kereta ke Kebumen pukul 19.00.

Akhirnya, saya pun meninggalkan Jakarta. Tanpa rasa bersalah, tanpa pamit. Sekitar tengah malam, teman dekat kami berdua, Putu namanya, menghubungi saya, mengabarkan saya bahwa sahabat saya itu masuk rumah sakit. Ia kini menginap di rumah sakit menunggui sahabat saya itu. Saya jawab bahwa saya mengetahuinya dan saya sudah berjanji akan mengunjunginya, tetapi tidak jadi karena dia tidak membalas pesan saya.

Teman saya mengatakan bahwa dia baru saja menjalani Plasmapheresis. Mungkin itu yang membuat dia tidak pegang HP seharian. Seketika perut saya langsung nyeri. Saya mengutuki diri saya yang dengan bodohnya mengharap balasan pesan dari orang sakit. Bodoh, bodoh bodoh. Kenapa saya begitu bodoh dengan tidak jadi pergi ke rumah sakit cuma karena dia tidak membalas pesan saya? Kenapa saya tidak nekat pergi ke rumah sakit saja? Toh, kalau ternyata dia sudah pulang, saya bisa menyusul ke rumahnya. Bodoh.

Detik itu saya merasa patah hati. Entah ini definisi patah hati yang lazim diucapkan kebanyakan orang atau tidak. Yang pasti, saya merasa saya tidak lagi pantas menjadi sahabatnya. Saya terlalu egois dengan pemikiran-pemikiran saya sendiri. Saya terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi pribadi. Agak lebay ya. Tapi, kalau boleh jujur, ini bukan kali pertama saya berlaku demikian. Dia sering bertanya atas hal-hal penting yang tidak saya ceritakan padanya, saya menjawab seolah kesibukannya lah yang membuat saya berlaku demikian. Padahal, di banyak kesempatan, saya yang tidak menyempatkan waktu, saya yang sibuk sendiri. Saya tidak pernah benar-benar ada di sampingnya ketika dia butuh saya, tapi saya menuntut sebaliknya.

Kini, yang bisa saya lakukan hanya melangitkan doa. Semoga sakit yang dideritanya menjadi penggugur dosa.



Saya, Dia dan Putu


Mandi di Taman

Malam itu, aku mandi di pancuran taman.
Kamu menghampiri, melempar tatap heran.
Aku ketus.
Kusiapkan jawaban singkat-tapi-komprehensif untuk menjelaskan mengapa aku mandi di sana.
Tapi, kamu melempar tanya yang di luar duga.
"Kenapa mandinya masih dengan kaos dan celana?"
Idealnya, kamu bertanya kenapa aku mandi di taman, pikirku.
"Bukan urusanmu.", begitu yang keluar dari mulutku.
Kamu menjawab singkat dengan hanya satu kata 'oh'.
Lalu pergi.
Aku bingung.
Terasa menggantung.
Sial.
"Hei, belum selesai!"
Aku berteriak tidak terima.
"Apanya? Mandinya? Silakan diselesaikan!"
Jawabmu membelakangiku.
Lalu melenggang.
Sedetik kemudian menghilang.
Dalam titik buta kota.
Tanpa menambah sepatah kata.
Huh

***

Air menggenang di depan pintu kost-mu.
Aku dalangnya.
Kaus dan celana basah yang masih melekat di tubuhku penyebabnya.
Aku mengetuk pintu, kasar.
Tapi juga hati-hati.
Khawatir membangunkan ibu kost-mu.
Bukan apa-apa.
Kalau dia bangun, mati aku.
Bisa ditagihnya tunggakan kost-ku.
Kamu keluar.
Berantakan.
Kamu bertanya ada apa.
Aku menjawab dengan kalimat yang sebelumnya ada di pikirku.
"Idealnya, kamu bertanya kenapa aku mandi di taman."
Kamu menghela napas lambat-lambat.
Dan membuang residunya cepat-cepat.
"Karena aku bukan perempuan ideal seperti yang selama ini kamu pikirkan."

Montag, 7. Mai 2018

Things I Don't Tell People about My IELTS Journey [Bagian Kedua]

Selanjutnya, sekitar awal bulan April 2017, saya pindah penempatan ke Nganjuk. Kertas target yang sama masih saya bawa dan saya tempel di dinding kosan yang baru. Aktivitas belajar IELTS saya pun semakin rutin, walaupun belum ada jadwal khusus dan materi yang dipelajari masih dipilah sesuka hati, bukan berdasarkan kebutuhan.

Saat di Nganjuk, saya juga membuka kelas belajar bahasa Inggris gratis bagi anak-anak SMA di sekitar kosan. Well, saya meyakini bahwa mengajar adalah salah satu cara belajar paling efektif. Lagi pula, saya juga bosan belajar sendiri, jadi ini salah satu cara mencari teman seperjuangan belajar bahasa Inggris. Ehe.

Kelas diadakan seminggu dua kali di kosan saya, setiap hari Jumat sore dan Sabtu pagi. Seru sekali, kosan saya jadi selalu rame. Kenalan saya juga jadi banyak, anak SMA semua pula isinya. Saya merasa lebih muda dari usia sesungguhnya.

Sayangnya, waktu lagi seru-serunya dan deket-deketnya sama dedek-dedek gemesh di Nganjuk, saya harus pindah penempatan. Saat itu, saya kembali lagi ke Madiun. Fokus saya pun agak bergeser, bukan lagi memikirkan IELTS dan S2, tapi merintis SiMaggie. Tiap weekend pasti bolak-balik ke Surabaya untuk ikutan program 1000 Startup Digital.

Setelah satu bulan di Madiun, saya pindah penempatan lagi ke Kediri. Karena udah lama nggak mikir soal IELTS, saya pun mulai nggak pede lagi. Tapi, saat itu saya cukup excited karena daerah penempatan saya dekat dengan Kampung Inggris yang ada di Pare, Kediri. Jadilah saya mulai cari-cari info les bahasa Inggris di Kampung Inggris tersebut. Sayangnya, setelah banyak googling dan tanya sana-sini, saya dapat info kalau les bahasa Inggris di Pare cuma ada di weekdays. Saya nggak nemu sama sekali kelas yang bukanya setiap weekend. Nggak memungkinkan banget buat saya yang kerja full time saat weekdays. Jadilah saya patah hati karena lagi-lagi nggak bisa ikutan les persiapan IELTS. Apa boleh buat, satu-satunya pilihan adalah mempersiapkan IELTS secara mandiri. Tapi, tetep, penyakit nggak istiqomah-nya muncul. Kadang belajar, lebih sering nggak.

Lalu, Desember 2017 akhir, saya pindah penempatan ke Tulungagung. Duh, memasuki tahun baru, saya semakin panik dengan mimpi-mimpi saya. Di lain sisi, persiapan saya tidak kunjung menunjukkan progress. Sampai akhirnya, di Januari tahun 2018, saya malah nekat daftar tes IELTS di bulan yang sama, tepatnya tanggal 20 Januari 2018 di Surabaya. Tanpa pikir panjang, uang pendaftaran saya transfer dan yaks seketika saya tidak punya pilihan untuk mundur atau santai-santai lagi. Waktu yang saya punya tinggal 3 minggu menuju hari H tes.

Saya tidak paham mengapa saya bisa-bisanya nekat mempertaruhkan uang dengan nominal yang tidak sedikit tersebut untuk tes IELTS. Padahal, saya tidak pernah benar-benar belajar IELTS sebagai modal untuk memenangkan pertaruhan tersebut. Well, mungkin ini dipengaruhi oleh obsesi saya terhadap kisah heroik Thariq bin Ziyad yang terkenal itu. Ketika ia memutuskan membakar kapalnya untuk menghilangkan pilihan mundur dari peperangan saat menuju Andalusia. Agar tidak ada jalan lain selain menghadapi pertarungan yang terjadi di depan mata. Walaupun, beberapa ulama sejarah melemahkan kisah tersebut dan menyatakannya sebagai kisah fiktif, tapi kisah tersebut terlanjur membekas di kepala saya.

Di sisa waktu yang ada, saya kebut latihan soal-soal yang ada di print out ebook IELTS Cambridge yang sudah sejak dulu saya bawa kemana-mana. Saya banyak membaca blog-blog yang menjelaskan secara detil tentang hal-hal yang diujikan dalam IELTS. Saya juga rajin menonton channel-channel Youtube tentang IELTS, TEDTalks dan berbagai video lain yang berbahasa Inggris yang menjadi teman baik saya dalam mempersiapkan tes, utamanya untuk section writing, speaking dan yang pasti listening. Lebih jauh soal bagaimana trik berlatih saya akan dijelaskan pada tulisan terpisah ya!

Seminggu terakhir menjelang tes IELTS, saya sudah tidak bisa konsentrasi dalam belajar. Saya sakit demam, pusing dan mules karena nervous. Setiap saya cerita ke Bapak tentang kondisi saya yang semakin mengkhawatirkan menjelang tes, beliau hanya menjawab enteng, "Udah biasa itu. Kalau Kakak mau tes, pasti sebelumnya Kakak sakit dulu." Tetot, bener juga sih kata Bapak. Ini udah kebiasaan saya sejak SD. Sebelum saya tes, ujian atau lomba, pasti saya sakit dulu. Huh, ternyata kebiasaan itu terbawa ya sampai saya sebesar sekarang.

Di hari Jumat tanggal 19 Januari 2018, saya masih masuk kantor. Sambil menunggu batas absen finger print sore pukul 17.00 WIB, saya beres-beres dan pamit ke teman-teman kantor cabang. Nggak lupa juga minta doa ke mereka supaya tes yang akan saya jalani diberikan kelancaran.

Tepat pukul 17.00 WIB, saya absen dan order Grab menuju ke perempatan jalan besar untuk menunggu Bus Harapan Jaya tujuan Surabaya. Perjalanan Surabaya - Tulungagung memakan waktu sekitar 5 jam. Di bus, saya sudah nggak bisa belajar karena mual dan ngantuk, tapi mau tidur nggak tenang rasanya.

Saya tiba di Terminal Bungurasih Surabaya sekitar jam 10 malam. Beruntungnya, Terminal Bungurasih adalah terminal besar, jadi masih ramai hingga larut malam. Saya pun segera order Go-Jek untuk mengantar saya ke kosan Hanum, karena saya akan menginap di sana. Ya Allah, semoga Engkau senantiasa memudahkan urusan Hanum, sebagaimana ia memudahkan urusan hamba-Mu ini.

Saya tiba di kosan Hanum sekitar jam setengah 11 malam. Saya mandi, bersih-bersih, terus ngobrol sama Hanum sampai jam setengah 12 malam. Saya sempat buka Youtube untuk mengejar materi writing yang belum sempat saya tonton (tetep yes deadliner). Tapi, saya sudah nggak bisa fokus dan ngantuk. Jadi, saya bobok saja.

Peserta tes diminta untuk hadir di lokasi tes pukul 08.00 pagi. Tapi, Hanum mau pulang ke Kediri dan sudah dijemput temannya sekitar jam 06.00 pagi. Jadi lah saya ikutan cabut dari kosan Hanum dan cuss langsung ke IALF, lokasi tes IELTS di Surabaya. Sampai di sana, suasana masih sangat sepi. IALF masih tutup, tetapi satu dua peserta tes sudah ada yang menunggu di lobi. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencari sarapan terlebih dahulu di pinggir jalan. Alhamdulillah, ada warung tenda yang menjual nasi bungkus di seberang IALF. Saya beli dua bungkus sekaligus, satu untuk sarapan, satu lagi untuk persiapan makan siang, agar saya nggak perlu repot-repot keluar cari makan lagi.

Sekitar jam 08.00, peserta tes diarahkan untuk antre menitipkan tas. Barang yang boleh dibawa hanya tempat minum dan ID Card. Setelah itu, satu demi satu peserta naik ke lantai dua untuk masuk ke ruang tes. Di depan ruangan, kami diminta untuk antre lagi, kali ini untuk pengambilan foto setengah badan, sidik jari dan pemeriksaan pakaian yang kami kenakan. Jadi, kalau masih ada barang-barang yang seharusnya tidak dibawa, harus langsung dititipkan. Termasuk alat tulis yang saya bawa juga harus dititipkan, karena setiap peserta akan dipinjamkan pensil serta penghapus di ruangan tes.

Tepat pukul 09.00, tes dimulai. Dibuka dengan listening, lalu reading, terakhir writing. Luar biasa jackpot, saya mendapatkan soal tes writing yang semalam belum sempat saya pelajari. Duh, Gusti. Saya mencoba mengerjakan sebisanya. Keseluruhan tes tertulis selesai sekitar pukul 12.00 WIB. Kami keluar ruangan untuk menanti jadwal speaking. Saya sendiri mendapat jadwal speaking pukul 17.00 dengan interviewer yang, dari namanya, sepertinya Chinese.

Sambil menunggu, saya makan nasi bungkus yang pagi tadi saya beli. Sambil makan, saya mengobrol dengan ibu-ibu yang sejak awal sudah saya tandai kehadirannya. Kerudungnya menjulur lebar, baju gamisnya longgar, wajahnya bareface tanpa make up sama sekali. Namanya Mba Listi. Seluruh praduga saya saat pertama kali melihat kehadirannya salah. Bahwa sepertinya kala itu adalah tes IELTS-nya yang pertama, bahwa sepertinya ia butuh IELTS score untuk melamar beasiswa master degree, bahwa toh kalau pun dia ingin melanjutkan S3, sepertinya S2-nya ia jalani di dalam negeri. Ternyata, itu salah semua. Faktanya, ia adalah seorang dosen di sebuah universitas yang ada di Kalimantan, alumni program master degree di Michigan State University. IELTS-nya kali itu bukan yang pertama, karena sekian tahun sebelumnya, ia pernah menjalani tes serupa untuk ikhtiarnya mendapatkan beasiswa kuliah S2 di luar negeri. Sampai akhirnya, Allah memuarakan takdirnya sebagai awardee Beasiswa Prestasi. Maasya Allah. Jangan pernah menilai orang dari penampilannya, Lil!

Setelah banyak mengobrol, Mba Listi pamit karena akan pulang sebentar ke rumah saudaranya di Surabaya. Makan siang saya pun sudah selesai dan saya lanjut ke musholla untuk bobok siang. Ya, kamu nggak salah baca, saya mau bobok siang. Ini serius. Saat itu, pusing kepala saya kampuh lagi, badan saya pun demam lagi. Setelah sholat dzuhur, saya pun merebahkan badan. Untung musholla-nya sepi.

Tidak lama setelah itu, datang seorang ibu yang juga peserta tes. Beliau adalah dosen FKG di salah satu universitas di Surabaya. Dengan memegang buku teks, dia melatih kemampuan speaking-nya. Kemudian, datang pula mbak-mbak yang baru saja menyelesaikan tes speaking-nya. Ia menceritakan pengalaman tes speaking-nya yang tidak begitu memuaskan. Interviewer-nya berwajah intimidatif, bicaranya tidak mudah dipahami, serta topik diskusinya terlalu spesifik dan tidak umum--tentang periode sejarah. Alamak, dia bikin saya tambah mules.

Alhamdulillah-nya, karena saya sudah tidak lagi memiliki energi untuk panik, saya hanya melempar senyum semangat kepadanya, sambil terus memberikan afirmasi positif kepada diri saya sendiri bahwa hal negatif yang terjadi padanya, bisa jadi sebaliknya pada saya.

Sekitar pukul 4 sore, saya menguat-nguatkan diri untuk berjalan keluar musholla. Dengan sedikit tertatih, asik dah drama dikit, saya naik tangga dan memasuki ruang tunggu tes. Di sana, saya sempatkan untuk sekali lagi berdoa, saya pasrahkan hasil dari segala ikhtiar yang saya lakukan. Allah yang paling tau apa yang terbaik bagi saya, kalau pun toh nilai saya kelak tidak mencukupi, Allah pasti memberikan rezeki lebih untuk saya mendaftar tes lagi.

Setelah itu, saya juga membaca-baca beberapa artikel tentang tips speaking, siapa tau ada high level vocab yang bisa saya gunakan saat tes nanti. Sekitar jam 16.40, saya dipanggil untuk masuk ke ruangan tes. Waktu tes saya lebih cepat dari jadwal. Saya masuk ruangan dengan kondisi tangan dingin. Sudah biasa, kalau lagi deg-degan, tangan saya pasti dingin. Ruangan tes juga dingin ternyata, lengkap sudah ketegangan saat itu.

Saya menyalami si mas-mas interviewer dengan gerakan tangan yang meberikan kesan bahwa saya sangat antusias. Ternyata benar, beliau Chinese. Dia menanyakan kondisi saya, saya jawab jujur kalau saya sedang tidak enak badan but still okay for an interview. Saya pasang muka excited dan senyum manis meyakinkan, seolah saya sangat menantikan momen interview tersebut.

Saat interview berjalan, berbagai kekonyolan dan keajaiban terjadi bersamaan. Si interviewer membuka sesi speaking dengan omongan super duper cepat. Semacam dia sudah jutaan kali ngomong kalimat yang sama, makanya sudah sangat hafal di luar kepala. Kalau boleh jujur, saya nggak paham apa yang dia omongin, saya cuma modal manggut-manggut dan senyum lebar saja.

Masuk ke sesi short question, si interviewer menanyakan pertanyaan yang cukup umum dan wajar. Jadi, Alhamdulillah saya bisa handle dengan baik. Setelah itu, masuk ke sesi pertanyaan yang agak lebih panjang. Lagi-lagi, karena dia ngomongnya cepet, saya nggak paham. Beberapa kali pertanyaan dari dia saya jawab dengan pertanyaan juga, "Pardon me?". Tepatnya sih sampai tiga kali untuk sebuah pertanyaan yang sama. Hingga akhirnya, karena saya tetap nggak paham, saya jawab dengan sekenanya. Wajah si babang menunjukkan ekspresi nggak puas dan kecewa dengan jawaban saya. Entahlah. Yang pasti, sesi 15 menit interview itu terasa sangat cepat sekali. Tau-tau udah selesai dan saya pun keluar ruangan. Jujur, saya tidak puas dengan hasil interview saya tersebut. Banyak pertanyaan yang tidak saya jawab dengan jawaban terbaik. Tapi, ya sudah lah, saya tidak dapat berbuat apa pun selain berdoa semoga Allah berikan hasil terbaik sesuai kebutuhan. Selanjutnya, mari move on ke urusan saya yang lain.

"Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain." (QS. Al-Insyirah: 7)

Hari itu, selesai tes IELTS, saya masih belum bisa pulang ke Tulungagung. Saya sudah janji dengan Deva, salah satu dedek gemesh yang dulu pernah ikut kelas belajar bahasa Inggris saya di Nganjuk, untuk mengisi acara English Day yang diadakan organisasi rohis di sana. Saat itu, saya benar-benar tidak paham, energi dari mana yang membuat saya tetap mampu melanjutkan perjalanan kurang lebih 4 - 5 jam dengan bus ke Nganjuk setelah lama perjalanan yang sama antara Tulungagung - Surabaya di malam sebelumnya dan tes IELTS di hari setelahnya dengan tubuh yang hampir tumbang. Pikir saya saat itu cuma satu, surat Muhammad ayat 7. Rumus sederhana yang dulu selalu diulang-ulang murabbi saya.

"Hai, orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad: 7)

Dengan niat tersebut, saya bulat-bulatkan tekad untuk berangkat ke Nganjuk, walau kala itu rasanya sudah ingin bilang ke Deva bahwa saya tidak jadi ke sana. Dengan energi yang tersisa, sekitar jam setengah 6 sore, saya bergegas ke Terminal Bungurasih dengan Go-Jek dan naik bus Mira jurusan Nganjuk - Yogyakarta. Sambil di jalan, saya terus merapalkan doa, biar Allah yang mampukan. Allah yang akan mampukan.

Sekitar jam 10 malam, saya tiba di rumah Deva. Karena sudah lama tidak bertemu, kami bertukar cerita hingga hari menjelang berganti. Maasya Allah, bangga sekali saya dengan adik-ketemu-besar saya satu ini. Di tengah kesibukannya mempersiapkan UN dan berbagai ujian masuk kampus, dia masih mau merepotkan dirinya untuk kegiatan rohis. Saya jadi malu dan belajar banyak sekali darinya. Insya Allah, apa yang ditanam di jalan Allah, balasannya langsung dari Allah ya, Dik :)

Setelah temu kangen, update kabar dan kenal-kenalan dengan keluarga Deva, kami bobok di kamar Deva yang mirip kamar-kamar di FTV. Lucu banget loh kamarnya Deva, posisinya di lantai mezzanine dan full dari kayu jati, berasa di film-film Korea gitu (Lah, kayak lo paham film Korea aja, Lil -___-).

Besoknya, pagi-pagi sekali, kami mempersiapkan materi English Day, mengatur tata letak venue acara yang berupa ruangan bekas cafe pinggir jalan milik orang tua Deva, mengangkut peralatan acara, dll. Duh, saya berasa jaman SMA dulu ngerjain proker, wkwk. Setelah itu, kami sarapan dengan menu yang sudah dibuatkan oleh mamah-nya Deva. Terima kasih, Tante!

Sekitar jam 8 pagi, satu per satu peserta acara yang masih berusia SMP dan SMA berdatangan. Acara dimulai sekitar pukul 9 pagi. Kami bermain games, belajar listening dengan mengisi lirik lagu, belajar tenses, latihan wudhu dengan hanya segelas air, dll. Seru sekali! Saya berasa muda lagi ih gaulnya sama anak-anak SMP dan SMA. Kegiatan selesai sekitar pukul 5 sore dengan kondisi suara saya habis karena teriak-teriak. Maklum, mic-nya tidak bekerja sama dengan baik, padahal lokasi kegiatan tepat di pinggir jalan besar yang banyak dilewati truk dan bus antarkota, jadilah saya teriak dikit-dikit yaks.

Setelah kegiatan selesai dan segala peralatan telah kami rapikan, Deva mengantar saya untuk naik bus menuju Tulungagung. Tapi, sebelum itu, kami makan bakso kesukaan kami berdua dulu dongs. Perjalanan menuju Tulungagung terasa sangat-sangat lama dan melelahkan, padahal cuma 3 jam perjalanan. Mungkin karena saya harus ganti bus di Kediri dengan energi yang benar-benar tinggal sisa-sisa. Apalagi besok pagi saya harus bekerja. Duh, rasanya saya ingin cepat-cepat sampai kosan dan bobok cantik.

Hari ini, kalau saya pikir-pikir lagi, sepertinya saya nggak akan kuat lah mengulang perjalanan panjang Tulungagung - Surabaya - Nganjuk - Tulungagung hanya dalam waktu 3 hari. Dimana, Alhamdulillah-nya, saya selalu hanya hampir tumbang, tidak pernah benar-benar jatuh sakit yang mengharuskan saya hanya berbaring di kasur. Seolah, energi saya selalu hanya hampir habis. Tidak benar-benar habis. Allah benar-benar kuatkan.

Kini, ketika pada akhirnya saya tahu skor IELTS saya yang ajaib itu, saya hanya bisa tersenyum malu. Ah, Allah, budi baik apa yang telah hamba lakukan sehingga hamba berhak atas skor tersebut? Sungguh, betapa saya yakin, itu semua karena doa tulus orang-orang di sekitar saya sudah mengungguli doa saya yang terhalang dosa. Well, Allah memang selalu punya kejutan bagi hambanya yang tak putus berharap, tak payah berusaha dan tak hitung-menghitung dalam berbagi. Makanya, tips selanjutnya nih untuk teman-teman yang juga akan tes IELTS, yuk ah doanya dikencengin, belajarnya dibanyakin dan hasilnya dipasrahin. Allah sudah menyimpan rencana terbaik bagi hamba-Nya.


Seqyan.

Kebumen, 12 Mei 2018
akhirnya selesai juga tulisan iniiiiiiii. Huff. Semoga bermanfaat. Untuk tips yang lebih practical, tunggu aja yes.

Popular posts