Donnerstag, 23. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 3]

Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, sejak saya membaca surat rekomendasi yang dibuatkan oleh referee saya, saya memiliki keyakinan besar bahwa surat itu akan mampu membawa saya untuk lolos ke tahap interview. Libur lebaran yang cukup panjang membuat saya mempersiapkan diri untuk mafhum jika akhirnya pengumuman peserta lolos ke interview memakan waktu yang lebih lama dari biasanya. Makanya, saya merasa tenang-tenang saja dengan masa penantian tanpa kepastian itu. Sampai pada momen H-sekian lebaran, berbagai kenyataan pahit datang bertubi-tubi. Kenyataan yang membuat saya bahkan tidak berselera menyantap menu-menu khas lebaran.

Pertama, karena pengumuman Fulbright sudah keluar dan saya tidak mendapatkan email notifikasi apapun (bahkan sampai tulisan ini dibuat). Dengan kata lain, saya tidak terpilih menjadi Fulbrighter 2018. Well, sebenarnya hasil ini sudah saya prediksi dari jauh hari. Saya pun sudah mempersiapkan diri atas kegagalan tersebut dengan selalu berdoa agar Allah melapangkan hati saya seluas-luasnya dalam menerima hasil tidak mengenakkan dari Fulbright. Tapi, tetap saja ya, ketika hal tersebut benar-benar terjadi, rasa kecewa tetap muncul walau secuil. 

Kedua, beberapa hari sebelumnya, email pengumuman AAS juga sudah keluar. Hanya saja, karena mungkin sinyal di rumah Mbah kurang bagus, tidak ada notifikasi email masuk kecuali jika saya sengaja update inbox email. Hasil AAS-nya tentu saja tidak menyenangkan, saya tidak lolos bahkan di tahap administrasi. Tapi, ini juga sebenarnya sudah saya prediksi, karena, qadarullah, beberapa hari setelah saya submit berkas, saya baca ulang back up jawaban esai yang saya simpan di Ms. Word. Dan saya pun baru sadar kalau ternyata saya lupa untuk menjawab satu sub-pertanyaan esai. Tetot. Menyesal sekali, tapi yasudah belum rezeki. 

Ketiga, ini yang paling membuat saya tidak bersemangat, i stumbled upon a random blog of the past YSEALI awardee. The blog said that usually the interview invitation will be sent to the selected candidates within a week after the deadline. Meanwhile, the day i read the blog has passed more than 7 days after the deadline and i haven't got any email from YSEALI committee. Fiuh, apa ini pertanda saya tidak masuk ke tahap interview ya? Hiks.

Seketika semua harapan saya runtuh. Semua optimisme yang terbangun selama pengerjaan aplikasi pupus sudah. Perjalanan YSEALI saya berhenti disini. Tidak ada lagi yang perlu dicari tahu, tidak ada lagi yang perlu dipersiapkan, pikir saya. Keyakinan saya untuk dapat melaju ke tahap interview pun saya tukar dengan keyakinan bahwa mungkin ini memang yang terbaik menurut Allah. YSEALI bukan jalan saya. Okesip, mari kita menyambut lebaran aja lah!

Setelah lebaran, saya sempat bertemu dengan beberapa teman lama. Saya ceritakan perjalanan aplikasi YSEALI saya yang bahkan sudah gagal sejak seleksi berkas. Mereka mengaminkan dengan mengatakan, "Iya, YSEALI emang ketat banget sih seleksinya. Ratusan yang daftar, susah banget buat tembus kesana."

Damn, saya mengumpat, mengutuki diri yang sebodoh itu telah menaruh harap pada sebuah program yang tidak mungkin saya tembus. Ibarat ngarep balasan cinta dari gebetan yang jelas-jelas nggak punya tempat buat kita di hatinya. Cailah.

Hari-hari saya pun berlanjut tanpa ada lagi mimpi ke Amerika. Hingga suatu siang yang sengatan panasnya masih saya ingat sampai sekarang, tanggal 3 Juli, saya sedang di lapangan untuk mendampingi Mba Arum, petugas lapangan di cabang dampingan saya yang akan melakukan proses prapencairan. Mba Arum mengajak saya beristirahat sejenak karena dia mau makan siang. Saya mengiyakan dan kami pun mampir ke warung nasi goreng. Agak aneh sih ada yang jual nasi goreng siang-siang (mon maap, ini komentar super nggak penting).

Berhubung saat itu saya sedang puasa, Mba Arum sungkan jika harus makan sambil mengobrol dengan saya. Saya pun mencari 'kesibukan'. Saya aktifkan koneksi internet dan membuka inbox gmail. Dalam beberapa detik, si inbox berusaha untuk memuat email-email baru. Saya skimming email yang masuk, dan 'deg'. Saya tertegun. Saya baca ulang. Tertulis pada subjek salah satu email yang baru masuk:

"Interview Request: YSEALI Academic Fellowship Program (Fall 2018)"

Saya klik email tersebut. Beberapa detik setelahnya jantung saya seperti ingin membuncah. Ini serius nih? Saya baca ulang email tersebut. Baik-baik. Lagi dan lagi. Dengan pelan-pelan. Dengan hati-hati.




I got an interview invitation!!!! Is it for real?!

Reflek, dengan agak heboh saya sampaikan ke Mba Arum kalau saya masuk ke tahap interview YSEALI. Mba Arum tidak paham dengan apa yang saya bicarakan. Tapi, ah, saya tidak peduli. Saya tidak dapat menahan kebahagiaan saya saat itu. Saya tidak dapat berhenti tersenyum.

Sambil menanti Mba Arum selesai makan, saya memastikan sekali lagi bahwa email tersebut nyata, bukan halusinasi saya yang kebelet pengen ke US, bukan email salah subjek dan, yang paling penting, tidak salah alamat. Alhamdulillah. Setelah yakin bahwa saya tidak sedang bermimpi, saya tenangkan diri. Saya ucap dalam hati, "Alhamdulillah, seneng secukupnya aja, Lil. Jangan terlena. Lo masih punya satu tahap lagi untuk dimenangkan. Jangan sampai mengulang kebodohan saat interview Fulbright."

Hari itu, senyum saya tidak bisa berhenti mengembang. Kepala saya juga tidak bisa berhenti berpikir, strategi apa yang harus saya lakukan dalam menghadapi interview dengan waktu persiapan yang hanya seminggu saja. Fiuh.

Ahya, sebelum itu, tidak lupa saya mengabarkan sekaligus mengucapkan terima kasih kepada orang yang secara langsung punya andil besar dalam aplikasi YSEALI saya: Kak Queen, referee saya. Terima kasih banyak, Kak!

Anyway, untuk kelolosan interview YSEALI ini, saya sengaja tidak mengabarkan banyak orang. Saya trauma masa-masa interview Fulbright. Wkwkwk. Udah ngabarin banyak orang, banyak yang ngucapin selamat, dan terlena lah saya dengan kata-kata manis mereka. Saya merasa di atas awan, eizik, lalu lupa bahwa di depan masih ada jurang yang harus saya seberangi. Huff.

Makanya, saat hari H email masuk itu, saya hanya mengabarkan Kak Queen saja. Kemudian, beberapa hari menjelang hari interview, baru deh saya bilang ke temen deket dan Bapak di Jakarta buat minta restu dan doa beliau. Nah, ini tips nih, buat yang lagi bersukacita menghadapi berita baik biar nggak terlena: sharing good news is nice, but too much is exaggerating. Sometimes, not all 'nice words' we got are good for our self-development. In most cases, those are just toxic. So, beware! ehe.


Mempersiapkan Interview

Hal paling pertama yang saya lakukan dalam mempersiapkan interview YSEALI adalah, seperti biasa, baca blog alumni. Sayangnya, kali ini saya mengalami kesulitan karena sedikit sekali alumni yang membagikan pengalaman interview YSEALI mereka. Pun jika ada, pembahasannya tidak mendalam, hanya sebatas memberikan gambaran bahwa interview dilaksanakan via Skype, kalau internet bermasalah, kita akan dikontak via telepon biasa. Selebihnya, tidak ada penjelasan detil tentang hal-hal yang akan ditanyakan selama interview, bagaimana kriteria kandidat yang mereka cari, dsb. Jadi, saya harus cari sumber belajar lain.

Selanjutnya, saya coba menghubungi alumni YSEALI untuk tanya-tanya langsung. Kebetulan, saya sempat mengenal beberapa alumni YSEALI, tapi agak sungkan untuk menghubungi mereka karena kami tidak pernah kontak-kontakan lagi. Walaupun, sebenarnya, mereka sangat terbuka kalau ada kandidat yang mau tanya-tanya sih. Tapi, saya ragu aja hahaha. Maklum, saat itu saya masih pada pemikiran: "Duh, jangan sampe banyak orang tau dulu deh. Takut gagal lagi." Padahal, nggak ada yang salah kok dari gagal berkali-kali, nggak perlu takut apalagi malu. Jadi, mindset saya ini jangan ditiru ya.

Kalau memang mau, kamu bisa menghubungi para alumni itu melalui berbagai saluran, seperti email, linkedin, instagram, dll. Saya pun sempat melihat beberapa tulisan atau vlog alumni yang memang membuka diri untuk ditanya-tanya terkait aplikasi YSEALI. So, jangan ragu ya.

Oke, balik lagi, saat kepo-kepo web YSEALI, saya menemukan sebentuk wajah familiar terpampang di web bersama alumni YSEALI lain. Dia adalah Mas Maxi- founder Riliv, sebuah startup konsultasi Psikologi dari Surabaya. Saya tahu dia sejak mengikuti rangkaian program 1000 Startup Digital. Kebetulan, dia adalah alumni program di batch sebelumnya. Ia sempat pula mengisi beberapa sesi dan menjadi mentor 1000 Startup Digital batch saya. Hem, ternyata, dia alumni YSEALI Academic Fellowship untuk tema yang sama dengan saya, Social Entrepreneurship. Lumayan lah kalau saya kontak Mas Maxi, he's not totally stranger yakaan. 

Singkat cerita, saya kontak Mas Maxi. Saya ceritakan padanya bahwa saya sedang apply YSEALI Academic Fellowship dan tepat kemarin saya mendapatkan undangan interview. Mas Maxi ini baik sekali, dia lalu menjelaskan hal-hal yang harus saya perhatikan saat interview, seperti motivasi yang benar, jangan pernah menyebut jalan-jalan sebagai tujuan, pastikan jawaban-jawaban saat interview tidak bertentangan dengan apa yang kita tulis pada esai, jabarkan rencana setelah program selesai, tunjukkan bahwa program yang kita jalankan akan sustainable, dsb.

Intinya sih, yang saya tangkap, berdasarkan pengalaman interview Fulbright dan YSEALI, dimana-mana interview itu tujuannya sama: mengkonfirmasi jawaban yang kita tulis pada aplikasi, apakah sesuai atau nggak. Karena, kalau kata Mas Dimi, konsultan IDP yang selama ini jadi counselor saya untuk apply S2, ketika kita diundang interview, artinya profil kita pada aplikasi sudah sesuai dengan apa yang mereka cari. Tinggal, saat interview itu, mereka mau gali lebih dalam, beneran sesuai atau nggak, cocok atau nggak sama program yang ditawarkan dan apa rencana setelah programnya. Jangan sampai beasiswa atau kesempatan program yang diberikan ke kita, hilang tak berbekas setelah program selesai. Idealnya sih, kita harus bisa bikin impact positif ke masyarakat, give back lah atas privilege yang udah kita nikmati.

Lanjut, setelah tanya-tanya ke Mas Maxi dan semakin mendapat gambaran mengenai interview yang akan berjalan, saya coba membuat daftar pertanyaan yang kemungkinan besar akan ditanyakan oleh para interviewer. Lalu, saya siapkan pula jawaban-jawaban dari setiap pertanyaan tersebut. Ingat, cobalah untuk mempersiapkan jawaban sespesifik mungkin, jangan normatif dan mengawang-ngawang.

Dengan modal itu, sisa-sisa hari menjelang interview saya isi dengan latihan menjawab pertanyaan. Biasanya, saya latihan di kasur, sebelum dan sesudah tidur. Sambil duduk, saya coba rekam, kadang rekam video, kadang cuma rekam suara. Nanti, rekamannya saya putar, kalau masih ada yang kurang sip, seperti bahasa tubuh yang kurang enak dilihat, mata yang tidak fokus menatap ke depan, suara yang tidak enak didengar, diksi yang kurang pas, atau bahkan senyum yang kurang greget (eyyaaa), saya ulang lagi.

Jujur, trik membuat daftar pertanyaan sekaligus jawaban dan melatihnya setiap hari sangat-sangat membantu saya dalam menghadapi interview YSEALI kemarin. Pertama, kita jadi bisa memprediksi apa yang akan menjadi pertanyaan lanjutan dan kemana arah pembicaraan selama interview. Dengan demikian, kita tidak akan terlalu kaget dengan random questions yang tiba-tiba keluar dari interviewer.

Kedua, saya jadi bisa memfokuskan pengetahuan-pengetahuan baru apa yang sebaiknya saya pelajari. Mengingat, waktu persiapan yang sempit, kita tidak bisa mempelajari semua hal baru. Kita harus pandai memilah, apa yang kita butuh pelajari yang mungkin bisa memperkaya perspektif kita saat interview.

Selain itu, interview YSEALI nanti akan full english. Kamu nggak mau dong kalau selama interview akan menggunakan diksi yang itu-itu aja? Atau bahkan kebingungan memberikan jawaban dalam bahasa Inggris, padahal kamu tahu betul jawabannya dalam bahasa Indonesia. Makanya, biar nanti jawaban kamu terdengar smooth, natural dan nggak kaku, perbanyak latihan ngomong.

Ahya, ini saya kasih contoh pertanyaan yang pasti banget keluar beserta contoh jawaban oke dan nggak oke ya:

Pertanyaan:

"Why do you want to join YSEALI?"

Tipe jawaban normatif dan ngawang-ngawang:

"Because YSEALI will be held in USA, the most powerful country in the world, it has the best university in the world dst..."

"Because YSEALI is an international youth program where I can enrich my network with other youths in Southeast Asia, I can sharpen my leadership skill, I can improve my knowledge..."

Tipe jawaban spesifik:

"Because this program will be held in USA. We all know that USA is the country where the term social entrepreneurship was first introduced. The country where the very first organization promoting social entrepreneurship was founded, like Ashoka Foundation. So, there will be no other country better for me to learn about social entrepreneurship besides USA."

"Because YSEALI offers me the opportunity to mingle with other youth from different countries and character. That experience would be beneficial for me in leading my social enterprise, as the team I lead consist of people who are coming from different background."

Gimana? Kelihatan kan perbedaannya? Salah satu tips agar jawaban kamu spesifik dan tidak normatif adalah dengan perbanyak riset, baca artikel, update isu terkini yang relevan atau apapun yang bisa memperkuat argumenmu.

Terakhir, jangan lupa untuk mempersiapkan print out form aplikasi dan recommendation letter kamu. Print out tersebut akan memudahkan kamu untuk mempelajari segala hal yang kamu dan referee-mu tulis saat apply. Ingat, usahakan jawaban-jawabanmu tidak bertentangan dengan isi form aplikasi dan surat rekomendasi ya.


Interview D-Day

Jadwal interview saya di pagi hari pukul 8.30 WIB. Alhamdulillah, karena saya sudah mencoba mempersiapkan interview sebaik yang saya bisa, saya tidak sakit perut karena tegang seperti biasanya saya menghadapi interview. Ahya, karena hari itu hari kerja, saya pun berangkat ke kantor cabang seperti biasa, lalu saya mojok ke tempat sepi, dan saya siapkan semua peralatan yang diperlukan. Siapin print out berkas, laptop sambil di-charge (walaupun keknya masih penuh wkwk), headset disambungin ke laptop dan, yang paling penting, standby Skype.

Menjelang pukul 8.30 kurang sekian menit, belum ada tanda-tanda pihak US Embassy menghubungi saya. Saya agak gelisah, walaupun sebenarnya nggak perlu gelisah haha. Tepat di pukul 8.30 WIB, pihak US Embassy mengirim pesan Skype yang mengabarkan bahwa interview akan diadakan sebentar lagi. Saya melakukan final check, segala tools saya tes dan print out form aplikasi saya tempatkan pada posisi yang mudah dijangkau, in case saya butuh baca form di tengah-tengah interview.

Saat akhirnya US Embassy benar-benar menghubungi saya via Skype, ternyata panggilannya masuk ke hp, bukan ke laptop. Duh, saya agak panik, karena pasti tidak akan nyaman sekali kalau harus Skype call via hp. Tapi, saat saya cek laptop, panggilannya nggak masuk. Okelah, biar interviewer-nya nggak terlalu lama menunggu, saya langsung pindahkan sambungan headset dan mengangkat panggilan Skype di hp. Ternyata, interviewer meminta video call. Okesip, jadi lah sepanjang interview, hp itu saya pegang di depan wajah saya. Mayan, pegel.

Di awal, para interviewer memperkenalkan diri. Jujur, sekarang saya udah lupa nama-nama mereka karena saat itu deg-degan banget. Jadi, pikiran nggak bisa diajak mikir, apalagi untuk menghafal nama interviewer. Yang pasti, ada tiga orang yang meng-interview saya, ketiganya dari US Embassy Jakarta, orang Indonesia, dua laki-laki dan satu perempuan.

Nah, ini saya share pertanyaan-pertanyaan yang keluar saat interview kemarin yaw:

1. Introduce yourself
2. Explain your academic and work background. Why your academic background is not aligned with your current work
3. Explain the social enterprise you're currently working at
4. Your plan in the next 5 years. Whether you would stay in Jombang or go back to Jakarta
5. Progress and challenges faced by your social enterprise
6. Why applying for YSEALI
7. If you are chosen to be the YSEALI awardee, what things you want to learn from the program
7. After the program, any plan to start off other project ideas?
9. If you are chosen and go to US, what about your work at office and your social enterprise
10. Any question?

Ohya, disclaimer, saat kalian interview, belum tentu juga semua pertanyaan itu yang keluar ya. Coba kira-kira kemungkinan yang lain, sesuatu yang menurut para interviewer mungkin menarik untuk digali dari dirimu. Interview diestimasikan berjalan selama 20 menit, tapi, waktu saya interview, total waktunya cuma 19 menit 54 detik.


Menanti Hasil

Saat proses interview selesai, salah satu interviewer mengatakan bahwa pengumuman hasil akan disampaikan 'by the end of next week', yang mana saya artikan frase tersebut menjadi hari Jumat tanggal 20 Juli 2018. Wah, cepat ya, pikir saya dalam hati. Menjelang tanggal tersebut, saya tidak terlalu cemas memikirkan, kebetulan saat itu saya sedang persiapan backpacking ke Jepang. Tepat di tanggal 20 Juli itu pun, saya sedang di Jepang.

Akhirnya, tanggal keramat yang dinanti tiba. Saat itu, saya sedang di Osaka, baru tiba dari Tokyo di pagi harinya. Hp saya seharian mati total, jadi tidak bisa cek-cek email. Baru bisa buka email itu kalau tidak salah menjelang jam 4 sore, setelah kami check in penginapan.

Wagelaseh, deg-degan banget waktu itu. Proses hp nyala, konek internet, sampe akhirnya bisa tarik email, terasa sangat lama. Mata saya skimming cepat, yes, ada email dari YSEALI. Duh, ternyata, itu bukan email pengumuman. Itu email pemberitahuan untuk mengumpulkan 4-pages scanned passport. Saya liat jam kirimnya, oh, jam 15, baru aja dikirim berarti, nanti deh balesnya, nggak memungkinkan juga kirim scanned passport saat itu (belakangan saya tau bahwa email tersebut dikirim sekitar jam 1 waktu Indonesia).

Saya masih ingat sekali, saat saya dan pasangan backpacking saya (Indah namanya), mengunjungi destinasi kami selanjutnya, saya nggak bisa fokus menikmati suasana saat itu. Kepikiran YSEALI, sist. Sayang banget sih, belum tentu balik lagi (semoga balik lagi sih), tapi hati bawaannya pengen segera reply email itu. Singkat cerita, saya baru bisa mengumpulkan scanned passport yang diminta hari Senin pagi ketika saya sudah kembali ke Indonesia.

Sejak itu, hari-hari saya benar-benar tidak bisa lepas dari memikirkan pengumuman YSEALI. Setiap hari mengecek email, buka facebook group YSEALI dll. Sampai pada titik dimana saya merasa 'Kok kayaknya YSEALI sudah pengumuman yaa', saya pun secara random menghubungi alumni YSEALI melalui instagram untuk menanyakan perihal pengumuman tersebut. Jawaban dari mereka lumayan membuat perut saya kram. Mereka mengatakan bahwa untuk regional Timur Indonesia dan Sumatera, peserta terpilih telah diumumkan. Sayangnya, mereka nggak paham kabar untuk regional Jakarta.

Saat itu saya baru tahu, ternyata, seleksi YSEALI ini dibedakan dalam 3 wilayah seleksi, yaitu wilayah Indonesia Timur oleh Konjen AS Surabaya, wilayah Jakarta (dan kemungkinan Jabar, Jateng, Kalimantan) oleh US Embassy Jakarta dan wilayah Sumatera oleh Konjen AS Medan. Saya sendiri tidak paham, akan masuk wilayah seleksi yang mana, mengingat KTP saya Jakarta, tapi tinggal di Jawa Timur. Walaupun saya diwawancara oleh orang-orang dari US Embassy, tapi tidak menjamin kan kalau saya masuk ke wilayah seleksi Jakarta dan sekitarnya? Di titik tersebut, saya benar-benar pasrah. Jika memang saya dimasukkan ke wilayah Timur, dan itu sudah diumumkan, berarti yaa saya nggak lolos.

Tanggal 6 Agustus, karena saya tidak dapat membendung rasa penasaran saya, saya lakukan ikhtiar terakhir. Saya email pihak US Embassy untuk menanyakan, apakah pengumuman final YSEALI sudah keluar atau belum. Saya sudah siap dengan semua jawaban, insyaAllah. Kalau memang sudah, berarti YSEALI bukan rezeki saya. Tapi, kalau memang belum, setidaknya masih ada harap yang bisa saya gantungkan.

Hingga sore, saya tidak mendapat email balasan. Well, nggak mungkin balasannya di hari yang sama juga sih. Tapi, lumayan lah, ikhtiar terakhir saya itu cukup menenangkan dan meringankan hati untuk melepaskan kalau-kalau saya memang tidak terpilih mengikuti YSEALI.

Besoknya sekitar jam 9 pagi, tanggal 8 Agustus, saya menerima telfon dengan kode Jakarta yang kombinasi angkanya cukup familiar di mata saya. Saya angkat, di seberang telfon seorang perempuan berbicara. Ia menyatakan dari US Embassy Jakarta dan mengatakan bahwa saya terpilih menjadi salah satu awardee YSEALI Academic Fellowship Fall 2018. Allahu Akbar!

Kalimat-kalimat selanjutnya yang disampaikan oleh perempuan di ujung telepon tidak lagi saya dengar dengan baik. Saya cuma ingat sekilas, bahwa kampus saya masih belum pasti, antara University of Connecticut atau Brown University. Sekilas saya pikir, apa tuh Brown, macam karakter LINE aja. Seketika, telepon pun ditutup dan saya tak habis mengucap syukur. MasyaAllah, anugerah-Mu, ya Allah!

Belakangan, saya baru tahu jika saya akhirnya ditempatkan di Brown University. Ada sedikit rasa kecewa dalam diri saya (Astaghfirullah), karena YSEALI Academic tema Social Entrepreneurship sangat identik dengan UConn (sebutan untuk University of Connecticut). Saya pun sudah sedikit membayang-bayangkan diri menjadi UConn Huskies- sebutan bagi mahasiswa UConn (cikal bakal dari logo kampusnya yang berupa Husky).

Lagipula, nama Brown terasa kurang keren dan terlalu imut. Tapi, memang dasar saya harus banyak-banyak belajar bersyukur, rasa kecewa saya itu seketika runtuh ketika mengetahui bahwa Brown University adalah salah satu kampus Ivy League. IVY LEAGUE! Sebuah kumpulan kampus bergengsi di US! Dengan acceptance rate yang hanya 9 koma sekian persen. Fall 2018 ini adalah periode pertama Brown University bergabung menjadi host institution bagi program YSEALI Academic dan satu-satunya host institute yang merupakan Ivy League. Maasya Allah!

Seketika, saya pun merasa hanya manusia yang kebetulan beruntung karena dianugerahi Allah kesempatan yang luar biasa ini. Alhamdulillah.


Pesan-Pesan

Bagi teman-teman yang tertarik untuk ikutan YSEALI atau program sejenis, saya punya beberapa pesan. Asiks.

Pertama: Cari tau apa tujuan jangka panjangmu
Sebelum kita coba berbagai hal menggiurkan di luar sana seperti YSEALI dan berbagai program serupa, ada baiknya kita coba untuk mendefinisikan apa yang sesungguhnya menjadi tujuan kita dalam jangka panjang. Misalnya, saya punya tujuan jangka panjang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa dengan cara yang membuat mereka berdaya, salah satu jalannya melalui konsep social entrepreneurship.

Nantinya, program YSEALI atau kesempatan lain yang saya temukan sepanjang perjalanan memperjuangkan mimpi, bisa saya gunakan sebagai alat bantu untuk mengakselerasi diri agar memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan jangka panjang itu. Sehingga, kita tidak akan berlebihan memandang program semacam ini. Tidak kelewat bahagia ketika diterima, pun tidak kelewat sedih ketika ditolak. Karena toh itu cuma alat bantu, bukan tujuan yang utama yang mau kita capai. Jangan sampe disorientasi!

Kedua: Hati-hati dengan euforia program ke luar negeri
Ke luar negeri itu memang menyenangkan, makanya bisa bikin kecanduan. Banyak orang berjuang mati-matian untuk ikutan program-program di luar negeri, seperti youth forum, conference, youth camp atau program lain seperti YSEALI, tanpa memahami esensi program sesungguhnya. Atau parahnya lagi, mereka tidak memahami isu yang diangkat oleh program terkait. Wes sing penting budhal luar negeri wes.

Akibatnya, setelah kembali dari youth forum X di Taiwan, berjuang lagi untuk youth camp di Australia, setelah berangkat, pergi lagi untuk conference di Inggris. Terus apa? Apa sisa perjalanan tersebut? Inferiority complex terhadap negara tetangga? Foto-foto yang instagramable?

Sebenernya, poin 'berjuang pantang menyerah untuk punya pengalaman ke luar negeri'-nya sih bagus. Tapi, signifikansi jangka panjangnya apa? Padahal, kita ke luar negeri lewat sebuah program gratis itu tanggung jawabnya besar. Ada hutang pengabdian yang harus kita bayar.

Makanya, hal itu nggak akan terjadi kalau sejak awal kita tau mimpi jangka panjang kita. Segala kesempatan yang ada akan dilihat sebagai alat bantu aja. Kalau ternyata ada kesempatan ke Amerika, kita akan liat, membantu pencapaian mimpi jangka panjang nggak nih? Kalau iya, cuss, kalau nggak, kasih kesempatan ke yang lain. Bukan malah semua program diikutin. Kalau begitu, kita bukannya makin mahir di bidang kita, tapi makin mahir bikin essay aplikasi program. Btw, saya ngomong begini bukan karena saya suci dari dosa-dosa semacam itu ya. Justru, karena saya pernah berada di posisi obsessed ikutan event-event begitu, makanya saya bisa berbagi nasihat. Ehe

Ketiga: Jangan 'memantaskan diri' untuk sebuah program
Waktu kita terbatas, fokus lah pada apa yang menjadi mimpi dan cita-cita jangka panjang kita. Jangan menghabiskan waktu untuk memantaskan diri agar bisa diterima sebuah program. Misalnya, YSEALI mencari orang yang punya kontribusi ke masyarakat, yaudah saya adakan rumah baca di desa saya deh biar bisa keterima YSEALI. Kalau sejak awal niatnya sudah ngawur begitu, selesai YSEALI belum tentu rumah bacanya masih berjalan.

Dude, we're bigger than the program. Our dream is beyond YSEALI. Bekerja keraslah untuk mimpi jangka panjang kita, bukan untuk program. Mimpi yang luhur, mimpi yang membawa kebaikan tidak hanya untuk diri kita sendiri. Dengan begitu, percaya deh, segala kesempatan akan mengikuti. Kalian mau ke Eropa, Amerika, Australia akan ada aja jalannya. Ingat, bahwa ada logika langit di atas logika manusia.

Keempat: Libatkan Allah
Pada akhirnya, kita bukan apa-apa. Kita cuma makhluk yang diatur oleh Yang Maha Kuasa. Jangan lupa untuk terus libatkan Allah atas setiap proses yang kita jalani. Dan, yang paling penting, karena ridha Allah juga ada di tangan orang tua, jangan lupa untuk terus minta doa mereka. Ah tapi, orang tua mah nggak perlu diminta juga akan selalu doain anaknya. Justru kita anak-anaknya yang sering lupain mereka :(

Sekian. Kalau kalian mau tanya-tanya lebih jauh ke saya, bisa tinggalkan komentar di bawah atau email ke lili.nurindahsari93@gmail.com

---
Ohya, siapakah Juminten?

Cek disini. Dulu, saya cuma ketawa-ketawa aja tiap denger Juminten kuliah di Washington. Nggak nyangka bisa ikut nyusulin kesana~



Mittwoch, 15. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 2]

Sekarang, saya akan berbagi langkah-langkah yang saya lakukan dalam mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018. Ingat, ini langkah yang saya lakukan, cuma referensi buat kamu, bukan langkah yang 'seharusnya' kamu lakukan ya. So, you may have your own steps in doing the application. That would be very much okay :)


1. Minta Izin ke Atasan Kantor

Kalau kamu adalah karyawan seperti saya, minta izin ke atasan di masa-masa awal sebelum daftar adalah sesuatu yang penting, karena program ini akan berjalan selama 5 pekan. Belum lagi, kamu harus mengikuti orientasi sebelum keberangkatan dan, yang paling krusial, kamu akan riweuh mengurus visa. Jadi, ada baiknya atasanmu paham dengan rencanamu itu. Dari sana, akan ketahuan, atasanmu mendukung atau tidak. Kalau mendukung, aman. Kalau tidak, kamu harus mulai berpikir, jika kamu benar-benar diterima nanti, apa kamu sudah yakin untuk menukar karirmu di tempat kerja dengan perjalanan ke US melalui YSEALI? Atau justru melepas kesempatan di YSEALI adalah pilihan terbaik? 


2. Memilih Referee

It's such a tricky part, karena siapa referee kita akan memengaruhi bagaimana kualitas surat rekomendasi yang kita submit. Walaupun, saya sendiri kurang paham seberapa besar bobot surat rekomendasi pada seleksi YSEALI. Tapi, saya cukup yakin jika surat rekomendasi saya sangat-sangat memengaruhi keputusan reviewer dalam meloloskan saya. Karena yaa kita tahu, kesempatan untuk meyakinkan reviewer melalui aplikasi sangat terbatas. Bayangin aja, kita harus meyakinkan reviewer untuk memilih aplikasi kita dibandingkan ratusan pendaftar lain dengan hanya melihat riwayat aktivitas dan esai super singkat yang tidak lebih dari 250 kata. Kalau kamu jadi reviewer, pasti kamu akan mencari pertimbangan lain kan? Nah, surat rekomendasi ini lah yang jadi salah satu referensi mereka. 

Lalu, bagaimana caranya memilih referee yang tepat? Untuk YSEALI (ini belum tentu berlaku pada program lain ya), saya sarankan pilih referee yang tidak sekadar punya nama besar. Tapi, pastikan beliau memang mengenal kita dengan baik. Sehingga, rekomendasi yang beliau berikan bisa detailed dan personalized, tidak memberikan kesan template. Misalnya, kalau kamu berada dalam sebuah organisasi kemasyarakatan, jangan langsung menyasar ketua organisasi tersebut sebagai referee-mu, hanya karena beliau cukup dikenal di masyarakat. Beliau sendiri kenal kamu dengan baik ndak? Jangan-jangan selama ini cuma saling lempar senyum doang lagi *lah berasa sama gebetan dong.

Ndak apa-apa lho kalau kita minta rekomendasi ke orang di level manajer atau bahkan officer, yang penting kalian rutin berkomunikasi dan beliau paham perkembangan diri kamu. Etapi, bukan berarti temen main yang se-level juga boleh ya, pilih mentor atau supervisor lah paling nggak. Biar isi surat rekomendasinya nggak sebatas: she is good; she is a hard worker; she is attentive to detail; dan parahnya, she is beautiful. eyyaa. 

Selain itu, pastikan referee-mu itu mengenalmu dalam lingkup kegiatan yang berkaitan dengan tema program YSEALI yang kamu pilih. Sehingga, pemaparan yang beliau sampaikan tentangmu dapat spesifik dihubungkan dengan tema program yang kamu pilih itu. Misalnya, saya memilih tema Social Entrepreneurship and Economic Development. Saya tidak meminta rekomendasi dari dekan kampus, dosen pembimbing atau atasan di kantor. Tetapi, saya minta rekomendasi dari orang yang menjadi mentor saya saat mewakili SiMaggie mengikuti sebuah program inkubasi social enterprise. Jadi, beliau paham betul dengan perjalanan saya dan SiMaggie selama ini.

Surat rekomendasi yang beliau tulis untuk saya cukup detail. Maklum, saya berada di bawah asistensinya secara langsung selama beberapa bulan. Beliau juga tahu betul bagaimana tertariknya saya dengan konsep social entrepreneurship. Semua pemahaman beliau tentang saya itu ditulis dengan menyertakan contoh konkret. Dengan begitu, saya sendiri yang membaca tulisan beliau merasa bahwa surat rekomendasi tersebut sangat meyakinkan. Sehingga, walaupun di akhir surat referee saya menulis posisinya sebagai program officer, karena isi suratnya sudah meyakinkan, posisinya tidak membuat rekomendasinya diragukan.

Entahlah, ini asumsi saya sih, yang jelas, walau jabatan referee-mu mentereng di tingkat CEO sekalipun, kalau konten surat rekomendasinya cuma common sense, sayang aja sih.

"Ya tapi kan kualitas surat rekomendasi yang ditulis referee di luar kendali kita."

Makanya, pilih referee yang tepat. Dan perbaiki hubunganmu dengan orang-orang di sekelilingmu. Dari sekarang. Jangan dateng pas butuh aja. Misalnya, ke dosen pembimbing jaman kuliah, founder startup yang dulu pernah kamu ajak kenalan, ketua organisasi X yang pernah kamu ajak kerjasama, supervisor di mantan kantor atau bahkan sekadar temen lama, jaga hubungan baik dengan mereka. Keep the relationship 'alive'. Kita nggak pernah tahu kapan kita butuh mereka.

"Kok nyambungnya kesana?"

Lha iya, kalau kamu udah lama nggak kontak-kontakan sama dosenmu atau mantan atasanmu, tau-tau kamu dateng ke doi minta surat rekomendasi. Beliau-beliau yang terhormat bisa apa selain menulis surat rekomendasi seadanya dengan template hasil searching di Google? Bukan salah mereka, kan kalian sudah lama tidak berinteraksi. They just simply have no idea what to put in the letter.

Lanjut. Setelah kamu memutuskan siapa orang yang kamu pilih untuk dimintai rekomendasi, pastikan untuk tidak menghubunginya dekat dengan deadline. Ingat, kita sedang minta bantuan orang, dan orang yang kita mintai bantuannya pasti punya urusan lain. Jangan tempatkan ia di posisi sulit karena harus kamu kejar-kejar untuk menyelesaikan apa yang menjadi kebutuhanmu.


3. Memahami dan Mengisi Form Aplikasi

Seperti yang sudah saya sebutkan pada tulisan sebelumnya, formulir aplikasi YSEALI Academic Fellowship tahun ini berupa Google Form. Artinya, ketika mengisi formulir tersebut, tidak ada pilihan 'save draft'. Oleh karena itu, sebelum mulai mengisi, saya menyarankan teman-teman untuk mempelajari baik-baik formulirnya. Kalau perlu, di-'save page' saja agar kalian bisa buka sewaktu-waktu.

Mempelajari formulir aplikasi ini penting sekali untuk mengantisipasi ketentuan-ketentuan yang tidak kalian duga. Misalnya, pada bagian akhir formulir aplikasi Fall 2018 (tidak tahu apakah ketentuan yang sama juga diminta pada periode sebelumnya), saya diminta untuk mengetik ulang surat rekomendasi pada box di Google Form. Bisa dibayangkan, mengetik ulang surat rekomendasi cukup time-consuming. Kalau hal ini tidak kamu ketahui sejak awal, mungkin kamu tidak akan menyiapkan waktu untuk itu. Akibatnya, kamu bisa jadi terlambat untuk submit aplikasi. Kesalahan yang tidak perlu.

Saat mempelajari Google Form itu pula, teman-teman bisa memilah, mana pertanyaan-pertanyaan yang bisa dijawab on the spot dan mana pertanyaan-pertanyaan yang butuh dipikir matang-matang. Untuk pertanyaan yang bisa dijawab on the spot, misalnya pertanyaan tentang data diri, detail paspor, food restrictions, dll., insyaAllah akan aman-aman saja. Kalian cukup mempersiapkan dokumen terkait, seperti KTP, Paspor, bukti kemampuan bahasa Inggris, dll. Anyway, bukti kemampuan bahasa Inggrisnya nggak harus hasil tes IELTS atau TOEFL kok. Bisa berupa bukti keikutsertaan les bahasa Inggris, acara internasional, dll. Cek sendiri nanti di formulirnya ya.

Sedangkan, untuk pertanyaan yang butuh dipikir dan dipertimbangkan matang, contohnya pengalaman organisasi, pengalaman bekerja dan magang, keanggotaan pada komunitas, dsb. Saat mengisi pertanyaan tersebut, saya sarankan kalian untuk mengetik jawaban kalian di Ms. Word atau note terlebih dahulu agar kalian punya back up data. Setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut selesai dijawab, coba eliminasi poin-poin jawaban yang tidak relevan dengan tema program yang kamu pilih. Pastikan semua jawabanmu spesifik dan mengerucut pada tema program. Tujuannya, agar reviewer bisa melihat ketertarikan dan keseriusanmu pada tema yang kamu pilih dari konsistensi pengalamanmu.

Metode yang sama bisa kamu gunakan ketika mengerjakan esai. Walaupun esai yang diminta hanya 250 kata dan sangat mungkin dikerjakan dalam waktu kurang dari satu jam, pastikan kamu membuatnya dengan sangat matang. Ketik esaimu di Ms. Word atau note, lalu minta tolong mentormu untuk proofread esaimu. Edit, baca lagi, edit, baca lagi, dan seterusnya. Ingat, 250 kata itu yang akan menentukan kamu diundang interview atau tidak. 

Saat menulis esai, kamu tidak perlu menyertakan data yang skalanya terlalu luas, misalnya data statistik angka kemiskinan di Indonesia, data jumlah pengangguran di Jakarta, dll. Fokus untuk menjelaskan dirimu, latar belakangmu, kegiatan yang kamu geluti dan apa yang kamu cari dari mengikuti program YSEALI ini. Data statistik atau analogi-analogi tidak penting akan membuat arah esaimu menjadi kabur, kuncinya fokus pada siapa kamu, spesifik dan konkret atas apa yang kamu kerjakan, serta realistis pada implementasinya.

Kalau semua pertanyaan pada formulir aplikasi sudah terjawab dan ter-back up dengan baik, kamu bisa mulai menyalin jawaban tersebut pada Google Form sesungguhnya. Pastikan tidak mepet dengan deadline ya. Selalu sediakan waktu untuk kemungkinan terburuk yang terjadi.

Meskipun, saya sendiri waktu itu submit aplikasi jam 11.43 AM while the application was due at 1 PM. Ehehe. Jangan ditiru ya, mentemen. Saat itu saya kost di Bojonegoro, nggak punya paket internet, karena kalau pun punya, sinyalnya syulit. Terus, nggak mau juga nongkrong di kafe untuk sekadar numpang internet karena saya anaknya nggak mau rugi wkwk. Kebetulan, kantor cabang saya lagi libur karena waktu itu hari libur nasional. Tapi, karena saya agak nggak tau malu, saya tetep ke kantor cabang dan duduk di emperan cabang, belum mandi, masih pake celana tidur, terus numpang submit aplikasi di sana deh. Heheu.


4. Mari Berdoa!

Setelah aplikasimu terkirim, perjuanganmu belum selesai. Selalu dampingi aplikasimu dengan doa ya. Ingat, ada 'logika langit' di samping logika manusia yang bekerja. Biasanya, proses seleksi ini akan memakan waktu kurang lebih satu bulan. Pada periode seleksi Fall 2018 sendiri, deadline aplikasi adalah 1 Juni 2018 pukul 13.00 WIB, sementara saya mendapatkan email undangan interview di tanggal 3 Juli 2018, tepat ketika saya sedang mendampingi petugas cabang di lapangan. Eyyaa, mengenang dikit.

Sedihnya, pemberitahuan apakah kita melaju ke tahap interview atau tidak hanya disampaikan kepada applicant yang lolos saja. Hal ini membuat kita jadi was-was, bahwa kabar baik yang tidak kunjung datang itu, apakah karena kita memang tidak lolos atau karena proses seleksi masih berlangsung. Tapi gapapa, justru di masa-masa ini lah kita benar-benar butuh pasrah dan husnudzan sama Allah. Saya paham betul nggak enaknya masa-masa menanti pengumuman itu, bahkan lebih tidak menyenangkan dari  menanti jodoh yang tidak kunjung datang wkwk. Makanya, tips paling mudah dari saya sih, setelah apply, lupakan dan ikhlaskan. Kalau programnya memang jadi jodoh kita, maka Alhamdulillah, kabar baik insyaAllah datang. Tapi, kalau bukan, yaa ikhlaskan. Yakin aja, Allah pasti punya rencana lain yang lebih baik untuk kita.

Selanjutnya, perjalanan saya untuk menjenguk Juminten ini belum selesai, teman-teman. Saya masih akan berbagi pengalaman ketika saya menjalani interview YSEALI. Simak disini!


Sonntag, 12. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 1]

Kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya 'berkenalan' dengan YSEALI hingga akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018 dan mendapat pengumuman diterima pada Selasa (7/8) lalu.

Pertama, tujuan saya menulis ini untuk give back, karena saat masa-masa daftar YSEALI yang penuh drama resah gelisah bahkan demam diare itu, saya benar-benar mengandalkan tulisan-tulisan di blog para alumni yang berbagi pengalaman YSEALI mereka. Saya banyak mencari clue-clue mengenai proses aplikasi, seperti kriteria kandidat terpilih, tips wawancara, linimasa program dan sebagainya dari sana. Tulisan-tulisan itu luar biasa membantu sekali lho, Mas Mbak Alumni. Terima kasih banyak.

Kedua, tulisan ini untuk refleksi saya di masa datang, that it's always my choice to take or ignore what universe has offered. Thus, i need to be fully aware of the consequences yet be respectful with the process. Kalau gagal ya dinikmati, kalau berhasil ya disyukuri, karena masa datang nanti adalah akumulasi konsekuensi dari pilihan-pilihan yang saya ambil.

Ketiga, tulisan ini untuk alarm diri sendiri, bahwa hidup itu Allah yang mengendalikan. Kadang, segala hal berjalan di luar kalkulasi manusia. Makanya, saya harus selalu melibatkan Allah pada setiap hal yang saya lakukan, sesepele apapun hal itu. Dan, yang paling penting, kalau saya inginnya banyak, doanya harus lebih banyak, syukurnya apalagi.

Okedeh, sekarang yuk mari kita mulai!


Berkenalan dengan YSEALI

YSEALI (Young Southeast Asia Leaders Initiative) merupakan sebuah program kepemudaan yang diselenggarakan dan dibiayai penuh oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan sekaligus memperkuat jaringan para pemuda di Asia Tenggara. YSEALI pertama kali diluncurkan pada tahun 2013 dan fokus pada beberapa topik utama, seperti kewarganegaraan (civic engagement), pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pendidikan (education) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth).

Program-program YSEALI sendiri beragam:
1. Professional Fellowship ke Amerika Serikat
2. Academic Fellowship ke Amerika Serikat
3. Regional Workshop (Biasanya diadakan di negara-negara Asia Tenggara)
4. Grant Funding (Lebih dikenal dengan YSEALI Seeds for the Future Grant)

Oleh karena itu, jangan heran kalau kamu mendengar temanmu lolos seleksi YSEALI tapi berangkatnya bukan ke US, karena memang tidak semua program dilaksanakan di US. Lebih lengkap tentang YSEALI bisa cek disini.

Saya lupa kapan pertama kali saya mendengar tentang YSEALI, yang pasti, saat itu saya masih kuliah dan sedang semangat-semangatnya mengikuti berbagai kegiatan kepemudaan, baik di dalam maupun di luar kampus. Kalau nggak salah, waktu itu YSEALI Academic Fellowship sedang buka pendaftaran. Saya sempat baca deskripsi programnya sepintas. Keren juga yaks, ke US lima minggu, fully funded pula. Biasanya kan program yang begitu harus cari sponsor sendiri, pikir saya.

Saat itu, aplikasi YSEALI masih menggunakan formulir Ms. Word (kalau tidak salah). Saya coba cek persyaratannya. Duh, ribet sekali, harus bikin esai, harus minta surat rekomendasi juga. Singkat cerita, saya tidak jadi mendaftar karena yakin tidak akan terpilih. Bukannya apa-apa, saya sudah sering daftar program fully funded yang 'jauh' begitu dan belum pernah tembus berangkat. Jadi, ya udah males duluan untuk coba.

Secara tidak langsung, pikiran saya itu menutup kemungkinan saya untuk mendaftar program YSEALI pada pembukaan-pembukaan selanjutnya. To be honest, that moment, I thought this program was too prestigious. It would waste my time to struggle on things that are impossible to conquer. Apalah saya, cuma sebentuk udara yang terperangkap di bubble wrap. Dipencet sedikit, terjadi letusan kecil, dan hilang tak berbekas. 

Tapi, saat itu saya tetap mendaftar sebagai YSEALI member. Jadi, update tentang program-program YSEALI selalu masuk ke email setiap bulan. Walaupun, saya pribadi sudah tidak punya lagi keinginan untuk mendaftar. Semacam berpikir, "yailah nggak mungkin berangkat, Lil". Ditambah lagi, di tahun-tahun akhir kuliah, saya sibuk dengan berbagai urusan magang dan skripsi, serta percintaan sesekali. Wkwk boong deng.

Di masa setelah kelulusan, saya bekerja di sebuah social enterprise asal Singapura dan ditempatkan di pelosok Sumba, NTT. Hidup bersama warga desa dengan budaya yang benar-benar baru, tanpa listrik, tanpa gemerlap ibukota, membuat saya menemukan kesenangan baru yang cukup menyita perhatian. Hem, apa itu YSEALI? Saya sudah lupa. 


Titik Balik

Tahun 2016 akhir, saya keluar dari social enterprise asal Singapura itu. Aaakk, sedih sekali, tapi sepertinya memang demikian jalannya. Saya lalu bergabung dengan Water.org dan ditugaskan untuk mendampingi cabang-cabang salah satu microfinance partner mereka yang berada di Jawa Timur. Kebayang nggak sih, berawal dari hidup penuh keterbatasan di pelosok Sumba, dalam waktu sekian bulan, hidup saya berubah menjadi gerilyawan di sudut-sudut kabupaten di Jawa Timur.

Pekerjaan saya itu membuat saya banyak berinteraksi dengan warga desa. Pertama sih karena sebagian besar waktu kerja saya memang dihabiskan di lapangan, bertemu dengan ibu-ibu mitra dan suaminya yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan peternak. Kedua, work load di kantor cabang juga memang nggak terlalu padat, jadi saya punya banyak waktu luang buat melipir di jam kantor dan ngobrol-ngobrol semi khozip dengan warga sekitar. Dari sana, saya banyak terpapar informasi mengenai 'drama kehidupan' yang mereka hadapi, dari masalah-masalah serius yang menyangkut ummat (asiks), semacam isu pertanian, sumber daya desa, ketersediaan akses terhadap kebutuhan dasar, sampe urusan pribadi, macam uang belanja dari suami yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup, rasa insecure si suami yang berpaling ke lain hati dan segala printilan problematika manusia.

Singkat cerita, dari ngobrol sama mitra-mitranya kantor cabang, saya kepikiran untuk menggali potensi ide social enterprise saya dengan niat idealis nan bombastis menyelesaikan persoalan petani sekaligus melawan hegemoni produk-produk serupa yang tidak ramah lingkungan. Pret banget dah. Tapi, hamdalah, di pertengahan 2017, lahirlah SiMaggie, sebuah social enterprise yang saya kembangkan bersama beberapa teman (baru) saya. Kenapa baru? Karena emang kita kenalan juga baru aja. Saya sendiri nggak paham, ada wangsit darimana sampai mereka percaya sama saya dan mau gabung. Nanti ya, saya buat tulisan khusus tentang SiMaggie.

Hari-hari setelah itu, selain bekerja, saya sibuk merintis SiMaggie. Saya sibuk mentransformasi konsep-konsep yang kami rancang di atas kertas menjadi wujud nyata. Wqwq. Saya juga sibuk bolak-balik Nganjuk-Surabaya-Nganjuk, Kediri-Surabaya-Kediri, Tulungagung-Surabaya-Tulungagung, berangkat subuh, pulang hampir tengah malam, setiap wiken, untuk belajar tentang startup, business model canvas, idea validation, dll melalui program 1000 Startup Digital. Capek banget, tapi seru. 

Dari rutinitas tersebut, semakin hari, saya merasa semakin paham apa yang saya mau, apa minat saya. Saya semakin punya gambaran di masa depan mau jadi apa. Kalau orang bilang, semacam i discovered my passion kali ya. Saya semakin merasa social entrepreneurship adalah jalan hidup saya. Isu yang saya minati pun semakin mengerucut, seputar pemberdayaan desa, pertanian dan pangan. 

Dari sana, karena merasa butuh lebih banyak sarana aktualisasi diri dalam mengembangkan SiMaggie, saya jadi banyak daftar program inkubasi dan kompetisi startup. Ada yang lolos dan menang, tapi lebih banyak yang gagal. Hahaha. Gapapa, yang penting pengalaman dan pembelajaran yang didapat selama prosesnya.

Sekitar tahun 2018 awal, keputusan saya bulat untuk kuliah lagi dan mengambil bidang spesifik social entrepreneurship. Saya merasa, dengan latar belakang pendidikan saya yang social science murni dan pengalaman dalam bisnis yang paling mentok ngurus online shop, saya agak kesulitan ketika harus mengambil keputusan-keputusan penting untuk SiMaggie. Saya bingung, variabel-variabel apa yang harus dipertimbangkan ketika akan membuat keputusan bisnis, entah itu menyangkut urusan operasional, marketing, legal, dll. Saya juga lemah dalam urusan forecasting kondisi finansial, apa sebuah bisnis masih sehat atau nggak. Padahal, itu kan krusial banget, dan SiMaggie sudah merasakan imbas dari kesalahan saya dalam mengambil keputusan finansial itu ehe. Makanya, framework dasarnya harus dipelajari lagi nih. 

Selanjutnya, karena saya tahu bahwa semua cikal bakal social entrepreneurship itu berasal dari US, termasuk Bapak Social Entrepreneurship dunia yang kita kenal, si Om Bill Drayton, juga dari US, saya pengen banget-banget belajar social entrepreneurship di negara pencetusnya langsung. Jadilah saya mulai perjalanan saya mencari beasiswa S2 dengan daftar Fulbright Scholarship biar bisa kuliah di Amerikah. Ajaibnya, aplikasi Fulbright yang saya kerjakan cuma semalam itu tembus sampe wawancara (Ya Allah, ini jangan ditiru, guys. Selayaknya makan nasi, yang dimasak matang selalu lebih enak dari yang setengah matang. Duh apasih. Intinya, makin matang aplikasi kamu, makin bagus lah pokoknya. Jangan bikin aplikasi beasiswa dalam semalam, kita bukan Roro Jonggrang).

Btw, I would not tell you whether or not my Fulbright interview went well. Bcz, of course it didn't haha (I'll write a separate post about my Fulbright journey later). Terlepas dari itu, momen wawancara Fulbright ini lah yang menjadi titik balik saya daftar YSEALI Academic Fellowship.

Alkisah, ejie, wawancara Fulbright saya berjalan dengan penuh kesuraman. Dimulai dengan minim persiapan, saya dicecar berbagai pertanyaan dari empat interviewer yang bikin gelagapan. Di akhir wawancara, kayaknya salah satu interviewer bule kasian sama saya yang keliatan hopeless banget. Lalu, dengan senyum tulus, doi nanya in English yang artinya kurang lebih: "Kamu tau YSEALI nggak? Coba kamu daftar itu". Gitu. Petuah dari si bule tidak lantas membuat saya termotivasi daftar YSEALI. Yang ada, saya justru mikir, "Duh, ini aja gue tembus Fulbright sampe interview karena beruntung. Yakali keberuntungan bisa keulang dua kali. Apalagi di YSEALI." Saya pun keluar ruang wawancara tanpa intensi sedikit pun untuk coba daftar YSEALI. Nggak mungkin tembus lah.


Memantapkan Hati

Selesai wawancara Fulbright (9/4), saya tidak mengalami masa harap-harap cemas menanti pengumuman. InsyaAllah sudah haqqul yaqin nggak akan lolos hahaha. Jadi, saya menyibukkan diri dengan hal lain. Sampai suatu siang menjelang sore di tanggal 15 Mei, saya cek gmail dan menemukan ada monthly update dari YSEALI yang menyebutkan bahwa pendaftaran YSEALI Academic Fellowship untuk Fall 2018 baru saja dibuka, deadline-nya tanggal 1 Juni 2018 (kalau kamu YSEALI member, pasti kamu juga akan dapat info ini).

Saat itu, tidak ada 'Aha' momen dimana saya merasa tertantang untuk daftar, termotivasi, terilhami atau apalah ala ala motivator. Saya cuma ingat, waktu masih kuliah, saya merasa aplikasi YSEALI sulit dan proses seleksinya ketat, lebih ketat dari legging Via Vallen. Saya pun mencoba mengingat lagi, kenapa saya merasa demikian, apa saya sudah pernah daftar dan tidak lolos atau jangan-jangan itu cuma ketakutan semu akan kegagalan aja, karena saya terlanjur berasumsi bahwa program ini nggak mungkin saya tembus (Yang saya lakukan ini mirip metode Chunking di ilmu parenting, cmiiw. Kamu bisa coba terapkan setiap kamu merasa ragu atas sesuatu. Sebelum ambil keputusan, coba breakdown dulu, kamu ragunya karena apa, penyebab ragunya dari dalam diri atau luar diri, bisa diintervensi atau nggak, dsb. Cukup memudahkan untuk assess berbagai emosi positif atau negatif di diri kita sih).

Ternyata, setelah saya ingat-ingat lagi, saya belum pernah sekali pun daftar program YSEALI yang ke US, baik Academic maupun Professional Fellowship. Pernahnya itu, saya daftar YSEALI Regional Workshop sebanyak dua kali. Pertama, YSEALI Impact XL Workshop di Myanmar, kedua, YSEALI Generation GR3EN di Brunei Darussalam. Terakhir, saya daftar YSEALI Seeds for the Future Grant, dengan project yang diajukan adalah SiMaggie. Tapi, Alhamdulillah, tiga-tiganya nggak ada yang lolos wkwkwk.

Dari sana, saya mencoba reframing pola pikir saya dan bilang ke diri sendiri, "Oke, Lil, lo belum pernah coba, berarti belum bisa bilang sulit." Setelah itu, saya ceki-ceki lebih jauh, ini program ngapain sih, kenapa banyak peminatnya (selain karena ke US gratis). Ternyata, oemji, program ini menawarkan intensive course di kampus US dengan pilihan tema yang salah satunya Social Entrepreneurship! Waw, bidang yang selama ini saya tekuni, di US pula- the country where the term social entrepreneurship was first born. Aaaakk, pengen! Saya pun kepo-kepo alumninya, banyak orang keren dan beberapa orang yang saya kenal di bidang startup pernah ikutan program ini. Hem, bisa dibilang, this is a sort of benchmark program before you embark your career choice lah. Okesip, di momen itu, saya mantapkan hati untuk daftar. 

Saat itu juga, saya coba mempelajari segala printilan tentang YSEALI, jenis-jenis programnya, kegiatan selama program, kriteria kandidat yang dipilih, dll. Saat cek eligibility criteria, saya nyaris nggak bisa apply, karena untuk Academic Fellowship, batas usianya ternyata 25 tahun, dan, kalau nggak salah, maksimal graduated 4 tahun. Ya Allah, nyarissss. Detil tentang requirement dan eligibility criteria Academic Fellowship bisa dicek disini ya. 

Anyway, saya juga sempat memastikan seribet apa aplikasinya, apakah rumit seperti yang selama ini saya asumsikan. Ternyata, sama sekali nggak ribet dong! Aplikasinya bener-bener cuma ngisi Google Form dan menyertakan satu surat rekomendasi. Udah itu aja. I-tu-a-ja. Saya juga coba ngisi Google Form-nya, biar ada gambaran isi pertanyaannya apa aja, biasanya kan beranak pinak gitu ya. Ternyata, sederhana saja, keluarga berencana, nggak beranak pinak. Di Google Form bener-bener cuma ditanyain data diri, latar belakang pendidikan, pekerjaan dan beberapa pertanyaan lain yang jawabannya bisa kamu temuin di CV kamu.

Di akhir Google Form, kita diminta untuk menulis esai singkat untuk meyakinkan kenapa kita merupakan kandidat yang paling sesuai untuk program tersebut dan apa rencana kita setelah program selesai. Esainya beneran singkat lho ya, saking singkatnya, kamu nggak boleh nulis lebih dari 250 kata. Yes, you read that right, cuma 250 kata. Well, sebagai orang yang lagi bolak-balik apply beasiswa S2, bolak-balik ngurus berkas ini itu, aplikasi YSEALI ini sungguh memudahkan pendaftarnya banget sih. Jadi, nggak ada alasan ribet atau sulit ya, mentemen.

Ahya, hari itu saya nggak langsung daftar. Saya ngumpulin sebanyak mungkin bahan belajar mengenai program untuk dibaca atau ditonton di kosan, entah berasal dari web resmi YSEALI, blog-blog alumni atau bahkan vlog-vlog selama program berlangsung. Tujuannya, saya harus paham bener-bener dulu nih sama programnya, apa yang mereka tawarkan, orang kayak gimana yang mereka cari dan apa tujuan akhir dari programnya. Saya bahkan sempat bikin mindmap sederhana tentang YSEALI ini (anaknya visual banget wk). Belajar tentang program itu penting ya untuk memudahkan kita merumuskan aplikasi dan memproyeksikan siapa orang yang tepat untuk kita mintakan surat rekomendasi.

Jangan coba-coba untuk ngisi formulir aplikasi, apalagi bikin esai, ketika kita masih buta sama program, itu namanya bunuh diri. Walaupun formulirnya sederhana, biasakan untuk pahami dulu segalanya, refleksi, bagian mana dari diri kita yang mau kita tonjolkan yang 'aligned' dengan program. Kan nggak mungkin semua jejak hidup kita dimasukin ke form. Pilah dulu, baru pelan-pelan diisi deh.

Sekarang, mari kita lanjutkan ke tulisan selanjutnya disini dan simpan dulu rasa penasaranmu tentang siapakah Juminten yang kuliah di Washington. Haha.


Dienstag, 7. August 2018

Sebagaimana Engkau

Sebagaimana Engkau menghibur Nabi Muhammad SAW, kekasih-Mu, yang kala itu dirundung kepedihan, dengan sebuah perjalanan mahadahsyat isra' mi'raj yang sungguh menyisakan pelajaran.

Seperti itu pula yang hamba rasakan atas nikmat tak terkira yang Engkau berikan. Bagai penghiburan atas duka yang kesekian.

Walau, ah, derita hamba tak serupa apalagi setara dengan perinya hati Rasul-Mu. Yang berjuang demi ummat membawa kalimat taubat.

Yang harus menerima kenyataan bahwa orang yang selama ini berbagi bahu menanggung beban, istri tercinta ibu peradaban, harus pergi, menandai akhir segala pengorbanan.

Yang harus menerima takdir bahwa paman setia yang selalu membela tanpa banyak pikir, sudi pasang badan dari mereka yang bersikap pandir, kini hidupnya telah berakhir.

Setidaknya, kisah tersebut selalu menjadi jawaban atas tanya hamba, mengapa sifat-Mu yang Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang selalu disebut berulang. Karena atas apa pun, Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tak kan Engkau biarkan hamba-Mu hidup dalam malang.

Prasangka Baik

Atas semua cita yang gagal diraih.
Tawa yang berujung tangis lirih.
Sayap yang patah. Pun hati yang payah.

Sedihlah. Seperlunya
Hancurlah. Secukupnya.
Tapi, jangan lupa, selalu sisakan ruang untuk prasangka baik pada-Nya.

Donnerstag, 23. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 3]

Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, sejak saya membaca surat rekomendasi yang dibuatkan oleh referee saya, saya memiliki keyakinan besar bahwa surat itu akan mampu membawa saya untuk lolos ke tahap interview. Libur lebaran yang cukup panjang membuat saya mempersiapkan diri untuk mafhum jika akhirnya pengumuman peserta lolos ke interview memakan waktu yang lebih lama dari biasanya. Makanya, saya merasa tenang-tenang saja dengan masa penantian tanpa kepastian itu. Sampai pada momen H-sekian lebaran, berbagai kenyataan pahit datang bertubi-tubi. Kenyataan yang membuat saya bahkan tidak berselera menyantap menu-menu khas lebaran.

Pertama, karena pengumuman Fulbright sudah keluar dan saya tidak mendapatkan email notifikasi apapun (bahkan sampai tulisan ini dibuat). Dengan kata lain, saya tidak terpilih menjadi Fulbrighter 2018. Well, sebenarnya hasil ini sudah saya prediksi dari jauh hari. Saya pun sudah mempersiapkan diri atas kegagalan tersebut dengan selalu berdoa agar Allah melapangkan hati saya seluas-luasnya dalam menerima hasil tidak mengenakkan dari Fulbright. Tapi, tetap saja ya, ketika hal tersebut benar-benar terjadi, rasa kecewa tetap muncul walau secuil. 

Kedua, beberapa hari sebelumnya, email pengumuman AAS juga sudah keluar. Hanya saja, karena mungkin sinyal di rumah Mbah kurang bagus, tidak ada notifikasi email masuk kecuali jika saya sengaja update inbox email. Hasil AAS-nya tentu saja tidak menyenangkan, saya tidak lolos bahkan di tahap administrasi. Tapi, ini juga sebenarnya sudah saya prediksi, karena, qadarullah, beberapa hari setelah saya submit berkas, saya baca ulang back up jawaban esai yang saya simpan di Ms. Word. Dan saya pun baru sadar kalau ternyata saya lupa untuk menjawab satu sub-pertanyaan esai. Tetot. Menyesal sekali, tapi yasudah belum rezeki. 

Ketiga, ini yang paling membuat saya tidak bersemangat, i stumbled upon a random blog of the past YSEALI awardee. The blog said that usually the interview invitation will be sent to the selected candidates within a week after the deadline. Meanwhile, the day i read the blog has passed more than 7 days after the deadline and i haven't got any email from YSEALI committee. Fiuh, apa ini pertanda saya tidak masuk ke tahap interview ya? Hiks.

Seketika semua harapan saya runtuh. Semua optimisme yang terbangun selama pengerjaan aplikasi pupus sudah. Perjalanan YSEALI saya berhenti disini. Tidak ada lagi yang perlu dicari tahu, tidak ada lagi yang perlu dipersiapkan, pikir saya. Keyakinan saya untuk dapat melaju ke tahap interview pun saya tukar dengan keyakinan bahwa mungkin ini memang yang terbaik menurut Allah. YSEALI bukan jalan saya. Okesip, mari kita menyambut lebaran aja lah!

Setelah lebaran, saya sempat bertemu dengan beberapa teman lama. Saya ceritakan perjalanan aplikasi YSEALI saya yang bahkan sudah gagal sejak seleksi berkas. Mereka mengaminkan dengan mengatakan, "Iya, YSEALI emang ketat banget sih seleksinya. Ratusan yang daftar, susah banget buat tembus kesana."

Damn, saya mengumpat, mengutuki diri yang sebodoh itu telah menaruh harap pada sebuah program yang tidak mungkin saya tembus. Ibarat ngarep balasan cinta dari gebetan yang jelas-jelas nggak punya tempat buat kita di hatinya. Cailah.

Hari-hari saya pun berlanjut tanpa ada lagi mimpi ke Amerika. Hingga suatu siang yang sengatan panasnya masih saya ingat sampai sekarang, tanggal 3 Juli, saya sedang di lapangan untuk mendampingi Mba Arum, petugas lapangan di cabang dampingan saya yang akan melakukan proses prapencairan. Mba Arum mengajak saya beristirahat sejenak karena dia mau makan siang. Saya mengiyakan dan kami pun mampir ke warung nasi goreng. Agak aneh sih ada yang jual nasi goreng siang-siang (mon maap, ini komentar super nggak penting).

Berhubung saat itu saya sedang puasa, Mba Arum sungkan jika harus makan sambil mengobrol dengan saya. Saya pun mencari 'kesibukan'. Saya aktifkan koneksi internet dan membuka inbox gmail. Dalam beberapa detik, si inbox berusaha untuk memuat email-email baru. Saya skimming email yang masuk, dan 'deg'. Saya tertegun. Saya baca ulang. Tertulis pada subjek salah satu email yang baru masuk:

"Interview Request: YSEALI Academic Fellowship Program (Fall 2018)"

Saya klik email tersebut. Beberapa detik setelahnya jantung saya seperti ingin membuncah. Ini serius nih? Saya baca ulang email tersebut. Baik-baik. Lagi dan lagi. Dengan pelan-pelan. Dengan hati-hati.




I got an interview invitation!!!! Is it for real?!

Reflek, dengan agak heboh saya sampaikan ke Mba Arum kalau saya masuk ke tahap interview YSEALI. Mba Arum tidak paham dengan apa yang saya bicarakan. Tapi, ah, saya tidak peduli. Saya tidak dapat menahan kebahagiaan saya saat itu. Saya tidak dapat berhenti tersenyum.

Sambil menanti Mba Arum selesai makan, saya memastikan sekali lagi bahwa email tersebut nyata, bukan halusinasi saya yang kebelet pengen ke US, bukan email salah subjek dan, yang paling penting, tidak salah alamat. Alhamdulillah. Setelah yakin bahwa saya tidak sedang bermimpi, saya tenangkan diri. Saya ucap dalam hati, "Alhamdulillah, seneng secukupnya aja, Lil. Jangan terlena. Lo masih punya satu tahap lagi untuk dimenangkan. Jangan sampai mengulang kebodohan saat interview Fulbright."

Hari itu, senyum saya tidak bisa berhenti mengembang. Kepala saya juga tidak bisa berhenti berpikir, strategi apa yang harus saya lakukan dalam menghadapi interview dengan waktu persiapan yang hanya seminggu saja. Fiuh.

Ahya, sebelum itu, tidak lupa saya mengabarkan sekaligus mengucapkan terima kasih kepada orang yang secara langsung punya andil besar dalam aplikasi YSEALI saya: Kak Queen, referee saya. Terima kasih banyak, Kak!

Anyway, untuk kelolosan interview YSEALI ini, saya sengaja tidak mengabarkan banyak orang. Saya trauma masa-masa interview Fulbright. Wkwkwk. Udah ngabarin banyak orang, banyak yang ngucapin selamat, dan terlena lah saya dengan kata-kata manis mereka. Saya merasa di atas awan, eizik, lalu lupa bahwa di depan masih ada jurang yang harus saya seberangi. Huff.

Makanya, saat hari H email masuk itu, saya hanya mengabarkan Kak Queen saja. Kemudian, beberapa hari menjelang hari interview, baru deh saya bilang ke temen deket dan Bapak di Jakarta buat minta restu dan doa beliau. Nah, ini tips nih, buat yang lagi bersukacita menghadapi berita baik biar nggak terlena: sharing good news is nice, but too much is exaggerating. Sometimes, not all 'nice words' we got are good for our self-development. In most cases, those are just toxic. So, beware! ehe.


Mempersiapkan Interview

Hal paling pertama yang saya lakukan dalam mempersiapkan interview YSEALI adalah, seperti biasa, baca blog alumni. Sayangnya, kali ini saya mengalami kesulitan karena sedikit sekali alumni yang membagikan pengalaman interview YSEALI mereka. Pun jika ada, pembahasannya tidak mendalam, hanya sebatas memberikan gambaran bahwa interview dilaksanakan via Skype, kalau internet bermasalah, kita akan dikontak via telepon biasa. Selebihnya, tidak ada penjelasan detil tentang hal-hal yang akan ditanyakan selama interview, bagaimana kriteria kandidat yang mereka cari, dsb. Jadi, saya harus cari sumber belajar lain.

Selanjutnya, saya coba menghubungi alumni YSEALI untuk tanya-tanya langsung. Kebetulan, saya sempat mengenal beberapa alumni YSEALI, tapi agak sungkan untuk menghubungi mereka karena kami tidak pernah kontak-kontakan lagi. Walaupun, sebenarnya, mereka sangat terbuka kalau ada kandidat yang mau tanya-tanya sih. Tapi, saya ragu aja hahaha. Maklum, saat itu saya masih pada pemikiran: "Duh, jangan sampe banyak orang tau dulu deh. Takut gagal lagi." Padahal, nggak ada yang salah kok dari gagal berkali-kali, nggak perlu takut apalagi malu. Jadi, mindset saya ini jangan ditiru ya.

Kalau memang mau, kamu bisa menghubungi para alumni itu melalui berbagai saluran, seperti email, linkedin, instagram, dll. Saya pun sempat melihat beberapa tulisan atau vlog alumni yang memang membuka diri untuk ditanya-tanya terkait aplikasi YSEALI. So, jangan ragu ya.

Oke, balik lagi, saat kepo-kepo web YSEALI, saya menemukan sebentuk wajah familiar terpampang di web bersama alumni YSEALI lain. Dia adalah Mas Maxi- founder Riliv, sebuah startup konsultasi Psikologi dari Surabaya. Saya tahu dia sejak mengikuti rangkaian program 1000 Startup Digital. Kebetulan, dia adalah alumni program di batch sebelumnya. Ia sempat pula mengisi beberapa sesi dan menjadi mentor 1000 Startup Digital batch saya. Hem, ternyata, dia alumni YSEALI Academic Fellowship untuk tema yang sama dengan saya, Social Entrepreneurship. Lumayan lah kalau saya kontak Mas Maxi, he's not totally stranger yakaan. 

Singkat cerita, saya kontak Mas Maxi. Saya ceritakan padanya bahwa saya sedang apply YSEALI Academic Fellowship dan tepat kemarin saya mendapatkan undangan interview. Mas Maxi ini baik sekali, dia lalu menjelaskan hal-hal yang harus saya perhatikan saat interview, seperti motivasi yang benar, jangan pernah menyebut jalan-jalan sebagai tujuan, pastikan jawaban-jawaban saat interview tidak bertentangan dengan apa yang kita tulis pada esai, jabarkan rencana setelah program selesai, tunjukkan bahwa program yang kita jalankan akan sustainable, dsb.

Intinya sih, yang saya tangkap, berdasarkan pengalaman interview Fulbright dan YSEALI, dimana-mana interview itu tujuannya sama: mengkonfirmasi jawaban yang kita tulis pada aplikasi, apakah sesuai atau nggak. Karena, kalau kata Mas Dimi, konsultan IDP yang selama ini jadi counselor saya untuk apply S2, ketika kita diundang interview, artinya profil kita pada aplikasi sudah sesuai dengan apa yang mereka cari. Tinggal, saat interview itu, mereka mau gali lebih dalam, beneran sesuai atau nggak, cocok atau nggak sama program yang ditawarkan dan apa rencana setelah programnya. Jangan sampai beasiswa atau kesempatan program yang diberikan ke kita, hilang tak berbekas setelah program selesai. Idealnya sih, kita harus bisa bikin impact positif ke masyarakat, give back lah atas privilege yang udah kita nikmati.

Lanjut, setelah tanya-tanya ke Mas Maxi dan semakin mendapat gambaran mengenai interview yang akan berjalan, saya coba membuat daftar pertanyaan yang kemungkinan besar akan ditanyakan oleh para interviewer. Lalu, saya siapkan pula jawaban-jawaban dari setiap pertanyaan tersebut. Ingat, cobalah untuk mempersiapkan jawaban sespesifik mungkin, jangan normatif dan mengawang-ngawang.

Dengan modal itu, sisa-sisa hari menjelang interview saya isi dengan latihan menjawab pertanyaan. Biasanya, saya latihan di kasur, sebelum dan sesudah tidur. Sambil duduk, saya coba rekam, kadang rekam video, kadang cuma rekam suara. Nanti, rekamannya saya putar, kalau masih ada yang kurang sip, seperti bahasa tubuh yang kurang enak dilihat, mata yang tidak fokus menatap ke depan, suara yang tidak enak didengar, diksi yang kurang pas, atau bahkan senyum yang kurang greget (eyyaaa), saya ulang lagi.

Jujur, trik membuat daftar pertanyaan sekaligus jawaban dan melatihnya setiap hari sangat-sangat membantu saya dalam menghadapi interview YSEALI kemarin. Pertama, kita jadi bisa memprediksi apa yang akan menjadi pertanyaan lanjutan dan kemana arah pembicaraan selama interview. Dengan demikian, kita tidak akan terlalu kaget dengan random questions yang tiba-tiba keluar dari interviewer.

Kedua, saya jadi bisa memfokuskan pengetahuan-pengetahuan baru apa yang sebaiknya saya pelajari. Mengingat, waktu persiapan yang sempit, kita tidak bisa mempelajari semua hal baru. Kita harus pandai memilah, apa yang kita butuh pelajari yang mungkin bisa memperkaya perspektif kita saat interview.

Selain itu, interview YSEALI nanti akan full english. Kamu nggak mau dong kalau selama interview akan menggunakan diksi yang itu-itu aja? Atau bahkan kebingungan memberikan jawaban dalam bahasa Inggris, padahal kamu tahu betul jawabannya dalam bahasa Indonesia. Makanya, biar nanti jawaban kamu terdengar smooth, natural dan nggak kaku, perbanyak latihan ngomong.

Ahya, ini saya kasih contoh pertanyaan yang pasti banget keluar beserta contoh jawaban oke dan nggak oke ya:

Pertanyaan:

"Why do you want to join YSEALI?"

Tipe jawaban normatif dan ngawang-ngawang:

"Because YSEALI will be held in USA, the most powerful country in the world, it has the best university in the world dst..."

"Because YSEALI is an international youth program where I can enrich my network with other youths in Southeast Asia, I can sharpen my leadership skill, I can improve my knowledge..."

Tipe jawaban spesifik:

"Because this program will be held in USA. We all know that USA is the country where the term social entrepreneurship was first introduced. The country where the very first organization promoting social entrepreneurship was founded, like Ashoka Foundation. So, there will be no other country better for me to learn about social entrepreneurship besides USA."

"Because YSEALI offers me the opportunity to mingle with other youth from different countries and character. That experience would be beneficial for me in leading my social enterprise, as the team I lead consist of people who are coming from different background."

Gimana? Kelihatan kan perbedaannya? Salah satu tips agar jawaban kamu spesifik dan tidak normatif adalah dengan perbanyak riset, baca artikel, update isu terkini yang relevan atau apapun yang bisa memperkuat argumenmu.

Terakhir, jangan lupa untuk mempersiapkan print out form aplikasi dan recommendation letter kamu. Print out tersebut akan memudahkan kamu untuk mempelajari segala hal yang kamu dan referee-mu tulis saat apply. Ingat, usahakan jawaban-jawabanmu tidak bertentangan dengan isi form aplikasi dan surat rekomendasi ya.


Interview D-Day

Jadwal interview saya di pagi hari pukul 8.30 WIB. Alhamdulillah, karena saya sudah mencoba mempersiapkan interview sebaik yang saya bisa, saya tidak sakit perut karena tegang seperti biasanya saya menghadapi interview. Ahya, karena hari itu hari kerja, saya pun berangkat ke kantor cabang seperti biasa, lalu saya mojok ke tempat sepi, dan saya siapkan semua peralatan yang diperlukan. Siapin print out berkas, laptop sambil di-charge (walaupun keknya masih penuh wkwk), headset disambungin ke laptop dan, yang paling penting, standby Skype.

Menjelang pukul 8.30 kurang sekian menit, belum ada tanda-tanda pihak US Embassy menghubungi saya. Saya agak gelisah, walaupun sebenarnya nggak perlu gelisah haha. Tepat di pukul 8.30 WIB, pihak US Embassy mengirim pesan Skype yang mengabarkan bahwa interview akan diadakan sebentar lagi. Saya melakukan final check, segala tools saya tes dan print out form aplikasi saya tempatkan pada posisi yang mudah dijangkau, in case saya butuh baca form di tengah-tengah interview.

Saat akhirnya US Embassy benar-benar menghubungi saya via Skype, ternyata panggilannya masuk ke hp, bukan ke laptop. Duh, saya agak panik, karena pasti tidak akan nyaman sekali kalau harus Skype call via hp. Tapi, saat saya cek laptop, panggilannya nggak masuk. Okelah, biar interviewer-nya nggak terlalu lama menunggu, saya langsung pindahkan sambungan headset dan mengangkat panggilan Skype di hp. Ternyata, interviewer meminta video call. Okesip, jadi lah sepanjang interview, hp itu saya pegang di depan wajah saya. Mayan, pegel.

Di awal, para interviewer memperkenalkan diri. Jujur, sekarang saya udah lupa nama-nama mereka karena saat itu deg-degan banget. Jadi, pikiran nggak bisa diajak mikir, apalagi untuk menghafal nama interviewer. Yang pasti, ada tiga orang yang meng-interview saya, ketiganya dari US Embassy Jakarta, orang Indonesia, dua laki-laki dan satu perempuan.

Nah, ini saya share pertanyaan-pertanyaan yang keluar saat interview kemarin yaw:

1. Introduce yourself
2. Explain your academic and work background. Why your academic background is not aligned with your current work
3. Explain the social enterprise you're currently working at
4. Your plan in the next 5 years. Whether you would stay in Jombang or go back to Jakarta
5. Progress and challenges faced by your social enterprise
6. Why applying for YSEALI
7. If you are chosen to be the YSEALI awardee, what things you want to learn from the program
7. After the program, any plan to start off other project ideas?
9. If you are chosen and go to US, what about your work at office and your social enterprise
10. Any question?

Ohya, disclaimer, saat kalian interview, belum tentu juga semua pertanyaan itu yang keluar ya. Coba kira-kira kemungkinan yang lain, sesuatu yang menurut para interviewer mungkin menarik untuk digali dari dirimu. Interview diestimasikan berjalan selama 20 menit, tapi, waktu saya interview, total waktunya cuma 19 menit 54 detik.


Menanti Hasil

Saat proses interview selesai, salah satu interviewer mengatakan bahwa pengumuman hasil akan disampaikan 'by the end of next week', yang mana saya artikan frase tersebut menjadi hari Jumat tanggal 20 Juli 2018. Wah, cepat ya, pikir saya dalam hati. Menjelang tanggal tersebut, saya tidak terlalu cemas memikirkan, kebetulan saat itu saya sedang persiapan backpacking ke Jepang. Tepat di tanggal 20 Juli itu pun, saya sedang di Jepang.

Akhirnya, tanggal keramat yang dinanti tiba. Saat itu, saya sedang di Osaka, baru tiba dari Tokyo di pagi harinya. Hp saya seharian mati total, jadi tidak bisa cek-cek email. Baru bisa buka email itu kalau tidak salah menjelang jam 4 sore, setelah kami check in penginapan.

Wagelaseh, deg-degan banget waktu itu. Proses hp nyala, konek internet, sampe akhirnya bisa tarik email, terasa sangat lama. Mata saya skimming cepat, yes, ada email dari YSEALI. Duh, ternyata, itu bukan email pengumuman. Itu email pemberitahuan untuk mengumpulkan 4-pages scanned passport. Saya liat jam kirimnya, oh, jam 15, baru aja dikirim berarti, nanti deh balesnya, nggak memungkinkan juga kirim scanned passport saat itu (belakangan saya tau bahwa email tersebut dikirim sekitar jam 1 waktu Indonesia).

Saya masih ingat sekali, saat saya dan pasangan backpacking saya (Indah namanya), mengunjungi destinasi kami selanjutnya, saya nggak bisa fokus menikmati suasana saat itu. Kepikiran YSEALI, sist. Sayang banget sih, belum tentu balik lagi (semoga balik lagi sih), tapi hati bawaannya pengen segera reply email itu. Singkat cerita, saya baru bisa mengumpulkan scanned passport yang diminta hari Senin pagi ketika saya sudah kembali ke Indonesia.

Sejak itu, hari-hari saya benar-benar tidak bisa lepas dari memikirkan pengumuman YSEALI. Setiap hari mengecek email, buka facebook group YSEALI dll. Sampai pada titik dimana saya merasa 'Kok kayaknya YSEALI sudah pengumuman yaa', saya pun secara random menghubungi alumni YSEALI melalui instagram untuk menanyakan perihal pengumuman tersebut. Jawaban dari mereka lumayan membuat perut saya kram. Mereka mengatakan bahwa untuk regional Timur Indonesia dan Sumatera, peserta terpilih telah diumumkan. Sayangnya, mereka nggak paham kabar untuk regional Jakarta.

Saat itu saya baru tahu, ternyata, seleksi YSEALI ini dibedakan dalam 3 wilayah seleksi, yaitu wilayah Indonesia Timur oleh Konjen AS Surabaya, wilayah Jakarta (dan kemungkinan Jabar, Jateng, Kalimantan) oleh US Embassy Jakarta dan wilayah Sumatera oleh Konjen AS Medan. Saya sendiri tidak paham, akan masuk wilayah seleksi yang mana, mengingat KTP saya Jakarta, tapi tinggal di Jawa Timur. Walaupun saya diwawancara oleh orang-orang dari US Embassy, tapi tidak menjamin kan kalau saya masuk ke wilayah seleksi Jakarta dan sekitarnya? Di titik tersebut, saya benar-benar pasrah. Jika memang saya dimasukkan ke wilayah Timur, dan itu sudah diumumkan, berarti yaa saya nggak lolos.

Tanggal 6 Agustus, karena saya tidak dapat membendung rasa penasaran saya, saya lakukan ikhtiar terakhir. Saya email pihak US Embassy untuk menanyakan, apakah pengumuman final YSEALI sudah keluar atau belum. Saya sudah siap dengan semua jawaban, insyaAllah. Kalau memang sudah, berarti YSEALI bukan rezeki saya. Tapi, kalau memang belum, setidaknya masih ada harap yang bisa saya gantungkan.

Hingga sore, saya tidak mendapat email balasan. Well, nggak mungkin balasannya di hari yang sama juga sih. Tapi, lumayan lah, ikhtiar terakhir saya itu cukup menenangkan dan meringankan hati untuk melepaskan kalau-kalau saya memang tidak terpilih mengikuti YSEALI.

Besoknya sekitar jam 9 pagi, tanggal 8 Agustus, saya menerima telfon dengan kode Jakarta yang kombinasi angkanya cukup familiar di mata saya. Saya angkat, di seberang telfon seorang perempuan berbicara. Ia menyatakan dari US Embassy Jakarta dan mengatakan bahwa saya terpilih menjadi salah satu awardee YSEALI Academic Fellowship Fall 2018. Allahu Akbar!

Kalimat-kalimat selanjutnya yang disampaikan oleh perempuan di ujung telepon tidak lagi saya dengar dengan baik. Saya cuma ingat sekilas, bahwa kampus saya masih belum pasti, antara University of Connecticut atau Brown University. Sekilas saya pikir, apa tuh Brown, macam karakter LINE aja. Seketika, telepon pun ditutup dan saya tak habis mengucap syukur. MasyaAllah, anugerah-Mu, ya Allah!

Belakangan, saya baru tahu jika saya akhirnya ditempatkan di Brown University. Ada sedikit rasa kecewa dalam diri saya (Astaghfirullah), karena YSEALI Academic tema Social Entrepreneurship sangat identik dengan UConn (sebutan untuk University of Connecticut). Saya pun sudah sedikit membayang-bayangkan diri menjadi UConn Huskies- sebutan bagi mahasiswa UConn (cikal bakal dari logo kampusnya yang berupa Husky).

Lagipula, nama Brown terasa kurang keren dan terlalu imut. Tapi, memang dasar saya harus banyak-banyak belajar bersyukur, rasa kecewa saya itu seketika runtuh ketika mengetahui bahwa Brown University adalah salah satu kampus Ivy League. IVY LEAGUE! Sebuah kumpulan kampus bergengsi di US! Dengan acceptance rate yang hanya 9 koma sekian persen. Fall 2018 ini adalah periode pertama Brown University bergabung menjadi host institution bagi program YSEALI Academic dan satu-satunya host institute yang merupakan Ivy League. Maasya Allah!

Seketika, saya pun merasa hanya manusia yang kebetulan beruntung karena dianugerahi Allah kesempatan yang luar biasa ini. Alhamdulillah.


Pesan-Pesan

Bagi teman-teman yang tertarik untuk ikutan YSEALI atau program sejenis, saya punya beberapa pesan. Asiks.

Pertama: Cari tau apa tujuan jangka panjangmu
Sebelum kita coba berbagai hal menggiurkan di luar sana seperti YSEALI dan berbagai program serupa, ada baiknya kita coba untuk mendefinisikan apa yang sesungguhnya menjadi tujuan kita dalam jangka panjang. Misalnya, saya punya tujuan jangka panjang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa dengan cara yang membuat mereka berdaya, salah satu jalannya melalui konsep social entrepreneurship.

Nantinya, program YSEALI atau kesempatan lain yang saya temukan sepanjang perjalanan memperjuangkan mimpi, bisa saya gunakan sebagai alat bantu untuk mengakselerasi diri agar memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan jangka panjang itu. Sehingga, kita tidak akan berlebihan memandang program semacam ini. Tidak kelewat bahagia ketika diterima, pun tidak kelewat sedih ketika ditolak. Karena toh itu cuma alat bantu, bukan tujuan yang utama yang mau kita capai. Jangan sampe disorientasi!

Kedua: Hati-hati dengan euforia program ke luar negeri
Ke luar negeri itu memang menyenangkan, makanya bisa bikin kecanduan. Banyak orang berjuang mati-matian untuk ikutan program-program di luar negeri, seperti youth forum, conference, youth camp atau program lain seperti YSEALI, tanpa memahami esensi program sesungguhnya. Atau parahnya lagi, mereka tidak memahami isu yang diangkat oleh program terkait. Wes sing penting budhal luar negeri wes.

Akibatnya, setelah kembali dari youth forum X di Taiwan, berjuang lagi untuk youth camp di Australia, setelah berangkat, pergi lagi untuk conference di Inggris. Terus apa? Apa sisa perjalanan tersebut? Inferiority complex terhadap negara tetangga? Foto-foto yang instagramable?

Sebenernya, poin 'berjuang pantang menyerah untuk punya pengalaman ke luar negeri'-nya sih bagus. Tapi, signifikansi jangka panjangnya apa? Padahal, kita ke luar negeri lewat sebuah program gratis itu tanggung jawabnya besar. Ada hutang pengabdian yang harus kita bayar.

Makanya, hal itu nggak akan terjadi kalau sejak awal kita tau mimpi jangka panjang kita. Segala kesempatan yang ada akan dilihat sebagai alat bantu aja. Kalau ternyata ada kesempatan ke Amerika, kita akan liat, membantu pencapaian mimpi jangka panjang nggak nih? Kalau iya, cuss, kalau nggak, kasih kesempatan ke yang lain. Bukan malah semua program diikutin. Kalau begitu, kita bukannya makin mahir di bidang kita, tapi makin mahir bikin essay aplikasi program. Btw, saya ngomong begini bukan karena saya suci dari dosa-dosa semacam itu ya. Justru, karena saya pernah berada di posisi obsessed ikutan event-event begitu, makanya saya bisa berbagi nasihat. Ehe

Ketiga: Jangan 'memantaskan diri' untuk sebuah program
Waktu kita terbatas, fokus lah pada apa yang menjadi mimpi dan cita-cita jangka panjang kita. Jangan menghabiskan waktu untuk memantaskan diri agar bisa diterima sebuah program. Misalnya, YSEALI mencari orang yang punya kontribusi ke masyarakat, yaudah saya adakan rumah baca di desa saya deh biar bisa keterima YSEALI. Kalau sejak awal niatnya sudah ngawur begitu, selesai YSEALI belum tentu rumah bacanya masih berjalan.

Dude, we're bigger than the program. Our dream is beyond YSEALI. Bekerja keraslah untuk mimpi jangka panjang kita, bukan untuk program. Mimpi yang luhur, mimpi yang membawa kebaikan tidak hanya untuk diri kita sendiri. Dengan begitu, percaya deh, segala kesempatan akan mengikuti. Kalian mau ke Eropa, Amerika, Australia akan ada aja jalannya. Ingat, bahwa ada logika langit di atas logika manusia.

Keempat: Libatkan Allah
Pada akhirnya, kita bukan apa-apa. Kita cuma makhluk yang diatur oleh Yang Maha Kuasa. Jangan lupa untuk terus libatkan Allah atas setiap proses yang kita jalani. Dan, yang paling penting, karena ridha Allah juga ada di tangan orang tua, jangan lupa untuk terus minta doa mereka. Ah tapi, orang tua mah nggak perlu diminta juga akan selalu doain anaknya. Justru kita anak-anaknya yang sering lupain mereka :(

Sekian. Kalau kalian mau tanya-tanya lebih jauh ke saya, bisa tinggalkan komentar di bawah atau email ke lili.nurindahsari93@gmail.com

---
Ohya, siapakah Juminten?

Cek disini. Dulu, saya cuma ketawa-ketawa aja tiap denger Juminten kuliah di Washington. Nggak nyangka bisa ikut nyusulin kesana~



Mittwoch, 15. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 2]

Sekarang, saya akan berbagi langkah-langkah yang saya lakukan dalam mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018. Ingat, ini langkah yang saya lakukan, cuma referensi buat kamu, bukan langkah yang 'seharusnya' kamu lakukan ya. So, you may have your own steps in doing the application. That would be very much okay :)


1. Minta Izin ke Atasan Kantor

Kalau kamu adalah karyawan seperti saya, minta izin ke atasan di masa-masa awal sebelum daftar adalah sesuatu yang penting, karena program ini akan berjalan selama 5 pekan. Belum lagi, kamu harus mengikuti orientasi sebelum keberangkatan dan, yang paling krusial, kamu akan riweuh mengurus visa. Jadi, ada baiknya atasanmu paham dengan rencanamu itu. Dari sana, akan ketahuan, atasanmu mendukung atau tidak. Kalau mendukung, aman. Kalau tidak, kamu harus mulai berpikir, jika kamu benar-benar diterima nanti, apa kamu sudah yakin untuk menukar karirmu di tempat kerja dengan perjalanan ke US melalui YSEALI? Atau justru melepas kesempatan di YSEALI adalah pilihan terbaik? 


2. Memilih Referee

It's such a tricky part, karena siapa referee kita akan memengaruhi bagaimana kualitas surat rekomendasi yang kita submit. Walaupun, saya sendiri kurang paham seberapa besar bobot surat rekomendasi pada seleksi YSEALI. Tapi, saya cukup yakin jika surat rekomendasi saya sangat-sangat memengaruhi keputusan reviewer dalam meloloskan saya. Karena yaa kita tahu, kesempatan untuk meyakinkan reviewer melalui aplikasi sangat terbatas. Bayangin aja, kita harus meyakinkan reviewer untuk memilih aplikasi kita dibandingkan ratusan pendaftar lain dengan hanya melihat riwayat aktivitas dan esai super singkat yang tidak lebih dari 250 kata. Kalau kamu jadi reviewer, pasti kamu akan mencari pertimbangan lain kan? Nah, surat rekomendasi ini lah yang jadi salah satu referensi mereka. 

Lalu, bagaimana caranya memilih referee yang tepat? Untuk YSEALI (ini belum tentu berlaku pada program lain ya), saya sarankan pilih referee yang tidak sekadar punya nama besar. Tapi, pastikan beliau memang mengenal kita dengan baik. Sehingga, rekomendasi yang beliau berikan bisa detailed dan personalized, tidak memberikan kesan template. Misalnya, kalau kamu berada dalam sebuah organisasi kemasyarakatan, jangan langsung menyasar ketua organisasi tersebut sebagai referee-mu, hanya karena beliau cukup dikenal di masyarakat. Beliau sendiri kenal kamu dengan baik ndak? Jangan-jangan selama ini cuma saling lempar senyum doang lagi *lah berasa sama gebetan dong.

Ndak apa-apa lho kalau kita minta rekomendasi ke orang di level manajer atau bahkan officer, yang penting kalian rutin berkomunikasi dan beliau paham perkembangan diri kamu. Etapi, bukan berarti temen main yang se-level juga boleh ya, pilih mentor atau supervisor lah paling nggak. Biar isi surat rekomendasinya nggak sebatas: she is good; she is a hard worker; she is attentive to detail; dan parahnya, she is beautiful. eyyaa. 

Selain itu, pastikan referee-mu itu mengenalmu dalam lingkup kegiatan yang berkaitan dengan tema program YSEALI yang kamu pilih. Sehingga, pemaparan yang beliau sampaikan tentangmu dapat spesifik dihubungkan dengan tema program yang kamu pilih itu. Misalnya, saya memilih tema Social Entrepreneurship and Economic Development. Saya tidak meminta rekomendasi dari dekan kampus, dosen pembimbing atau atasan di kantor. Tetapi, saya minta rekomendasi dari orang yang menjadi mentor saya saat mewakili SiMaggie mengikuti sebuah program inkubasi social enterprise. Jadi, beliau paham betul dengan perjalanan saya dan SiMaggie selama ini.

Surat rekomendasi yang beliau tulis untuk saya cukup detail. Maklum, saya berada di bawah asistensinya secara langsung selama beberapa bulan. Beliau juga tahu betul bagaimana tertariknya saya dengan konsep social entrepreneurship. Semua pemahaman beliau tentang saya itu ditulis dengan menyertakan contoh konkret. Dengan begitu, saya sendiri yang membaca tulisan beliau merasa bahwa surat rekomendasi tersebut sangat meyakinkan. Sehingga, walaupun di akhir surat referee saya menulis posisinya sebagai program officer, karena isi suratnya sudah meyakinkan, posisinya tidak membuat rekomendasinya diragukan.

Entahlah, ini asumsi saya sih, yang jelas, walau jabatan referee-mu mentereng di tingkat CEO sekalipun, kalau konten surat rekomendasinya cuma common sense, sayang aja sih.

"Ya tapi kan kualitas surat rekomendasi yang ditulis referee di luar kendali kita."

Makanya, pilih referee yang tepat. Dan perbaiki hubunganmu dengan orang-orang di sekelilingmu. Dari sekarang. Jangan dateng pas butuh aja. Misalnya, ke dosen pembimbing jaman kuliah, founder startup yang dulu pernah kamu ajak kenalan, ketua organisasi X yang pernah kamu ajak kerjasama, supervisor di mantan kantor atau bahkan sekadar temen lama, jaga hubungan baik dengan mereka. Keep the relationship 'alive'. Kita nggak pernah tahu kapan kita butuh mereka.

"Kok nyambungnya kesana?"

Lha iya, kalau kamu udah lama nggak kontak-kontakan sama dosenmu atau mantan atasanmu, tau-tau kamu dateng ke doi minta surat rekomendasi. Beliau-beliau yang terhormat bisa apa selain menulis surat rekomendasi seadanya dengan template hasil searching di Google? Bukan salah mereka, kan kalian sudah lama tidak berinteraksi. They just simply have no idea what to put in the letter.

Lanjut. Setelah kamu memutuskan siapa orang yang kamu pilih untuk dimintai rekomendasi, pastikan untuk tidak menghubunginya dekat dengan deadline. Ingat, kita sedang minta bantuan orang, dan orang yang kita mintai bantuannya pasti punya urusan lain. Jangan tempatkan ia di posisi sulit karena harus kamu kejar-kejar untuk menyelesaikan apa yang menjadi kebutuhanmu.


3. Memahami dan Mengisi Form Aplikasi

Seperti yang sudah saya sebutkan pada tulisan sebelumnya, formulir aplikasi YSEALI Academic Fellowship tahun ini berupa Google Form. Artinya, ketika mengisi formulir tersebut, tidak ada pilihan 'save draft'. Oleh karena itu, sebelum mulai mengisi, saya menyarankan teman-teman untuk mempelajari baik-baik formulirnya. Kalau perlu, di-'save page' saja agar kalian bisa buka sewaktu-waktu.

Mempelajari formulir aplikasi ini penting sekali untuk mengantisipasi ketentuan-ketentuan yang tidak kalian duga. Misalnya, pada bagian akhir formulir aplikasi Fall 2018 (tidak tahu apakah ketentuan yang sama juga diminta pada periode sebelumnya), saya diminta untuk mengetik ulang surat rekomendasi pada box di Google Form. Bisa dibayangkan, mengetik ulang surat rekomendasi cukup time-consuming. Kalau hal ini tidak kamu ketahui sejak awal, mungkin kamu tidak akan menyiapkan waktu untuk itu. Akibatnya, kamu bisa jadi terlambat untuk submit aplikasi. Kesalahan yang tidak perlu.

Saat mempelajari Google Form itu pula, teman-teman bisa memilah, mana pertanyaan-pertanyaan yang bisa dijawab on the spot dan mana pertanyaan-pertanyaan yang butuh dipikir matang-matang. Untuk pertanyaan yang bisa dijawab on the spot, misalnya pertanyaan tentang data diri, detail paspor, food restrictions, dll., insyaAllah akan aman-aman saja. Kalian cukup mempersiapkan dokumen terkait, seperti KTP, Paspor, bukti kemampuan bahasa Inggris, dll. Anyway, bukti kemampuan bahasa Inggrisnya nggak harus hasil tes IELTS atau TOEFL kok. Bisa berupa bukti keikutsertaan les bahasa Inggris, acara internasional, dll. Cek sendiri nanti di formulirnya ya.

Sedangkan, untuk pertanyaan yang butuh dipikir dan dipertimbangkan matang, contohnya pengalaman organisasi, pengalaman bekerja dan magang, keanggotaan pada komunitas, dsb. Saat mengisi pertanyaan tersebut, saya sarankan kalian untuk mengetik jawaban kalian di Ms. Word atau note terlebih dahulu agar kalian punya back up data. Setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut selesai dijawab, coba eliminasi poin-poin jawaban yang tidak relevan dengan tema program yang kamu pilih. Pastikan semua jawabanmu spesifik dan mengerucut pada tema program. Tujuannya, agar reviewer bisa melihat ketertarikan dan keseriusanmu pada tema yang kamu pilih dari konsistensi pengalamanmu.

Metode yang sama bisa kamu gunakan ketika mengerjakan esai. Walaupun esai yang diminta hanya 250 kata dan sangat mungkin dikerjakan dalam waktu kurang dari satu jam, pastikan kamu membuatnya dengan sangat matang. Ketik esaimu di Ms. Word atau note, lalu minta tolong mentormu untuk proofread esaimu. Edit, baca lagi, edit, baca lagi, dan seterusnya. Ingat, 250 kata itu yang akan menentukan kamu diundang interview atau tidak. 

Saat menulis esai, kamu tidak perlu menyertakan data yang skalanya terlalu luas, misalnya data statistik angka kemiskinan di Indonesia, data jumlah pengangguran di Jakarta, dll. Fokus untuk menjelaskan dirimu, latar belakangmu, kegiatan yang kamu geluti dan apa yang kamu cari dari mengikuti program YSEALI ini. Data statistik atau analogi-analogi tidak penting akan membuat arah esaimu menjadi kabur, kuncinya fokus pada siapa kamu, spesifik dan konkret atas apa yang kamu kerjakan, serta realistis pada implementasinya.

Kalau semua pertanyaan pada formulir aplikasi sudah terjawab dan ter-back up dengan baik, kamu bisa mulai menyalin jawaban tersebut pada Google Form sesungguhnya. Pastikan tidak mepet dengan deadline ya. Selalu sediakan waktu untuk kemungkinan terburuk yang terjadi.

Meskipun, saya sendiri waktu itu submit aplikasi jam 11.43 AM while the application was due at 1 PM. Ehehe. Jangan ditiru ya, mentemen. Saat itu saya kost di Bojonegoro, nggak punya paket internet, karena kalau pun punya, sinyalnya syulit. Terus, nggak mau juga nongkrong di kafe untuk sekadar numpang internet karena saya anaknya nggak mau rugi wkwk. Kebetulan, kantor cabang saya lagi libur karena waktu itu hari libur nasional. Tapi, karena saya agak nggak tau malu, saya tetep ke kantor cabang dan duduk di emperan cabang, belum mandi, masih pake celana tidur, terus numpang submit aplikasi di sana deh. Heheu.


4. Mari Berdoa!

Setelah aplikasimu terkirim, perjuanganmu belum selesai. Selalu dampingi aplikasimu dengan doa ya. Ingat, ada 'logika langit' di samping logika manusia yang bekerja. Biasanya, proses seleksi ini akan memakan waktu kurang lebih satu bulan. Pada periode seleksi Fall 2018 sendiri, deadline aplikasi adalah 1 Juni 2018 pukul 13.00 WIB, sementara saya mendapatkan email undangan interview di tanggal 3 Juli 2018, tepat ketika saya sedang mendampingi petugas cabang di lapangan. Eyyaa, mengenang dikit.

Sedihnya, pemberitahuan apakah kita melaju ke tahap interview atau tidak hanya disampaikan kepada applicant yang lolos saja. Hal ini membuat kita jadi was-was, bahwa kabar baik yang tidak kunjung datang itu, apakah karena kita memang tidak lolos atau karena proses seleksi masih berlangsung. Tapi gapapa, justru di masa-masa ini lah kita benar-benar butuh pasrah dan husnudzan sama Allah. Saya paham betul nggak enaknya masa-masa menanti pengumuman itu, bahkan lebih tidak menyenangkan dari  menanti jodoh yang tidak kunjung datang wkwk. Makanya, tips paling mudah dari saya sih, setelah apply, lupakan dan ikhlaskan. Kalau programnya memang jadi jodoh kita, maka Alhamdulillah, kabar baik insyaAllah datang. Tapi, kalau bukan, yaa ikhlaskan. Yakin aja, Allah pasti punya rencana lain yang lebih baik untuk kita.

Selanjutnya, perjalanan saya untuk menjenguk Juminten ini belum selesai, teman-teman. Saya masih akan berbagi pengalaman ketika saya menjalani interview YSEALI. Simak disini!


Sonntag, 12. August 2018

My YSEALI Journey: Sebuah Upaya Menjenguk Juminten yang Kuliah di Washington [Bagian 1]

Kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya 'berkenalan' dengan YSEALI hingga akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018 dan mendapat pengumuman diterima pada Selasa (7/8) lalu.

Pertama, tujuan saya menulis ini untuk give back, karena saat masa-masa daftar YSEALI yang penuh drama resah gelisah bahkan demam diare itu, saya benar-benar mengandalkan tulisan-tulisan di blog para alumni yang berbagi pengalaman YSEALI mereka. Saya banyak mencari clue-clue mengenai proses aplikasi, seperti kriteria kandidat terpilih, tips wawancara, linimasa program dan sebagainya dari sana. Tulisan-tulisan itu luar biasa membantu sekali lho, Mas Mbak Alumni. Terima kasih banyak.

Kedua, tulisan ini untuk refleksi saya di masa datang, that it's always my choice to take or ignore what universe has offered. Thus, i need to be fully aware of the consequences yet be respectful with the process. Kalau gagal ya dinikmati, kalau berhasil ya disyukuri, karena masa datang nanti adalah akumulasi konsekuensi dari pilihan-pilihan yang saya ambil.

Ketiga, tulisan ini untuk alarm diri sendiri, bahwa hidup itu Allah yang mengendalikan. Kadang, segala hal berjalan di luar kalkulasi manusia. Makanya, saya harus selalu melibatkan Allah pada setiap hal yang saya lakukan, sesepele apapun hal itu. Dan, yang paling penting, kalau saya inginnya banyak, doanya harus lebih banyak, syukurnya apalagi.

Okedeh, sekarang yuk mari kita mulai!


Berkenalan dengan YSEALI

YSEALI (Young Southeast Asia Leaders Initiative) merupakan sebuah program kepemudaan yang diselenggarakan dan dibiayai penuh oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan sekaligus memperkuat jaringan para pemuda di Asia Tenggara. YSEALI pertama kali diluncurkan pada tahun 2013 dan fokus pada beberapa topik utama, seperti kewarganegaraan (civic engagement), pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pendidikan (education) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth).

Program-program YSEALI sendiri beragam:
1. Professional Fellowship ke Amerika Serikat
2. Academic Fellowship ke Amerika Serikat
3. Regional Workshop (Biasanya diadakan di negara-negara Asia Tenggara)
4. Grant Funding (Lebih dikenal dengan YSEALI Seeds for the Future Grant)

Oleh karena itu, jangan heran kalau kamu mendengar temanmu lolos seleksi YSEALI tapi berangkatnya bukan ke US, karena memang tidak semua program dilaksanakan di US. Lebih lengkap tentang YSEALI bisa cek disini.

Saya lupa kapan pertama kali saya mendengar tentang YSEALI, yang pasti, saat itu saya masih kuliah dan sedang semangat-semangatnya mengikuti berbagai kegiatan kepemudaan, baik di dalam maupun di luar kampus. Kalau nggak salah, waktu itu YSEALI Academic Fellowship sedang buka pendaftaran. Saya sempat baca deskripsi programnya sepintas. Keren juga yaks, ke US lima minggu, fully funded pula. Biasanya kan program yang begitu harus cari sponsor sendiri, pikir saya.

Saat itu, aplikasi YSEALI masih menggunakan formulir Ms. Word (kalau tidak salah). Saya coba cek persyaratannya. Duh, ribet sekali, harus bikin esai, harus minta surat rekomendasi juga. Singkat cerita, saya tidak jadi mendaftar karena yakin tidak akan terpilih. Bukannya apa-apa, saya sudah sering daftar program fully funded yang 'jauh' begitu dan belum pernah tembus berangkat. Jadi, ya udah males duluan untuk coba.

Secara tidak langsung, pikiran saya itu menutup kemungkinan saya untuk mendaftar program YSEALI pada pembukaan-pembukaan selanjutnya. To be honest, that moment, I thought this program was too prestigious. It would waste my time to struggle on things that are impossible to conquer. Apalah saya, cuma sebentuk udara yang terperangkap di bubble wrap. Dipencet sedikit, terjadi letusan kecil, dan hilang tak berbekas. 

Tapi, saat itu saya tetap mendaftar sebagai YSEALI member. Jadi, update tentang program-program YSEALI selalu masuk ke email setiap bulan. Walaupun, saya pribadi sudah tidak punya lagi keinginan untuk mendaftar. Semacam berpikir, "yailah nggak mungkin berangkat, Lil". Ditambah lagi, di tahun-tahun akhir kuliah, saya sibuk dengan berbagai urusan magang dan skripsi, serta percintaan sesekali. Wkwk boong deng.

Di masa setelah kelulusan, saya bekerja di sebuah social enterprise asal Singapura dan ditempatkan di pelosok Sumba, NTT. Hidup bersama warga desa dengan budaya yang benar-benar baru, tanpa listrik, tanpa gemerlap ibukota, membuat saya menemukan kesenangan baru yang cukup menyita perhatian. Hem, apa itu YSEALI? Saya sudah lupa. 


Titik Balik

Tahun 2016 akhir, saya keluar dari social enterprise asal Singapura itu. Aaakk, sedih sekali, tapi sepertinya memang demikian jalannya. Saya lalu bergabung dengan Water.org dan ditugaskan untuk mendampingi cabang-cabang salah satu microfinance partner mereka yang berada di Jawa Timur. Kebayang nggak sih, berawal dari hidup penuh keterbatasan di pelosok Sumba, dalam waktu sekian bulan, hidup saya berubah menjadi gerilyawan di sudut-sudut kabupaten di Jawa Timur.

Pekerjaan saya itu membuat saya banyak berinteraksi dengan warga desa. Pertama sih karena sebagian besar waktu kerja saya memang dihabiskan di lapangan, bertemu dengan ibu-ibu mitra dan suaminya yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan peternak. Kedua, work load di kantor cabang juga memang nggak terlalu padat, jadi saya punya banyak waktu luang buat melipir di jam kantor dan ngobrol-ngobrol semi khozip dengan warga sekitar. Dari sana, saya banyak terpapar informasi mengenai 'drama kehidupan' yang mereka hadapi, dari masalah-masalah serius yang menyangkut ummat (asiks), semacam isu pertanian, sumber daya desa, ketersediaan akses terhadap kebutuhan dasar, sampe urusan pribadi, macam uang belanja dari suami yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup, rasa insecure si suami yang berpaling ke lain hati dan segala printilan problematika manusia.

Singkat cerita, dari ngobrol sama mitra-mitranya kantor cabang, saya kepikiran untuk menggali potensi ide social enterprise saya dengan niat idealis nan bombastis menyelesaikan persoalan petani sekaligus melawan hegemoni produk-produk serupa yang tidak ramah lingkungan. Pret banget dah. Tapi, hamdalah, di pertengahan 2017, lahirlah SiMaggie, sebuah social enterprise yang saya kembangkan bersama beberapa teman (baru) saya. Kenapa baru? Karena emang kita kenalan juga baru aja. Saya sendiri nggak paham, ada wangsit darimana sampai mereka percaya sama saya dan mau gabung. Nanti ya, saya buat tulisan khusus tentang SiMaggie.

Hari-hari setelah itu, selain bekerja, saya sibuk merintis SiMaggie. Saya sibuk mentransformasi konsep-konsep yang kami rancang di atas kertas menjadi wujud nyata. Wqwq. Saya juga sibuk bolak-balik Nganjuk-Surabaya-Nganjuk, Kediri-Surabaya-Kediri, Tulungagung-Surabaya-Tulungagung, berangkat subuh, pulang hampir tengah malam, setiap wiken, untuk belajar tentang startup, business model canvas, idea validation, dll melalui program 1000 Startup Digital. Capek banget, tapi seru. 

Dari rutinitas tersebut, semakin hari, saya merasa semakin paham apa yang saya mau, apa minat saya. Saya semakin punya gambaran di masa depan mau jadi apa. Kalau orang bilang, semacam i discovered my passion kali ya. Saya semakin merasa social entrepreneurship adalah jalan hidup saya. Isu yang saya minati pun semakin mengerucut, seputar pemberdayaan desa, pertanian dan pangan. 

Dari sana, karena merasa butuh lebih banyak sarana aktualisasi diri dalam mengembangkan SiMaggie, saya jadi banyak daftar program inkubasi dan kompetisi startup. Ada yang lolos dan menang, tapi lebih banyak yang gagal. Hahaha. Gapapa, yang penting pengalaman dan pembelajaran yang didapat selama prosesnya.

Sekitar tahun 2018 awal, keputusan saya bulat untuk kuliah lagi dan mengambil bidang spesifik social entrepreneurship. Saya merasa, dengan latar belakang pendidikan saya yang social science murni dan pengalaman dalam bisnis yang paling mentok ngurus online shop, saya agak kesulitan ketika harus mengambil keputusan-keputusan penting untuk SiMaggie. Saya bingung, variabel-variabel apa yang harus dipertimbangkan ketika akan membuat keputusan bisnis, entah itu menyangkut urusan operasional, marketing, legal, dll. Saya juga lemah dalam urusan forecasting kondisi finansial, apa sebuah bisnis masih sehat atau nggak. Padahal, itu kan krusial banget, dan SiMaggie sudah merasakan imbas dari kesalahan saya dalam mengambil keputusan finansial itu ehe. Makanya, framework dasarnya harus dipelajari lagi nih. 

Selanjutnya, karena saya tahu bahwa semua cikal bakal social entrepreneurship itu berasal dari US, termasuk Bapak Social Entrepreneurship dunia yang kita kenal, si Om Bill Drayton, juga dari US, saya pengen banget-banget belajar social entrepreneurship di negara pencetusnya langsung. Jadilah saya mulai perjalanan saya mencari beasiswa S2 dengan daftar Fulbright Scholarship biar bisa kuliah di Amerikah. Ajaibnya, aplikasi Fulbright yang saya kerjakan cuma semalam itu tembus sampe wawancara (Ya Allah, ini jangan ditiru, guys. Selayaknya makan nasi, yang dimasak matang selalu lebih enak dari yang setengah matang. Duh apasih. Intinya, makin matang aplikasi kamu, makin bagus lah pokoknya. Jangan bikin aplikasi beasiswa dalam semalam, kita bukan Roro Jonggrang).

Btw, I would not tell you whether or not my Fulbright interview went well. Bcz, of course it didn't haha (I'll write a separate post about my Fulbright journey later). Terlepas dari itu, momen wawancara Fulbright ini lah yang menjadi titik balik saya daftar YSEALI Academic Fellowship.

Alkisah, ejie, wawancara Fulbright saya berjalan dengan penuh kesuraman. Dimulai dengan minim persiapan, saya dicecar berbagai pertanyaan dari empat interviewer yang bikin gelagapan. Di akhir wawancara, kayaknya salah satu interviewer bule kasian sama saya yang keliatan hopeless banget. Lalu, dengan senyum tulus, doi nanya in English yang artinya kurang lebih: "Kamu tau YSEALI nggak? Coba kamu daftar itu". Gitu. Petuah dari si bule tidak lantas membuat saya termotivasi daftar YSEALI. Yang ada, saya justru mikir, "Duh, ini aja gue tembus Fulbright sampe interview karena beruntung. Yakali keberuntungan bisa keulang dua kali. Apalagi di YSEALI." Saya pun keluar ruang wawancara tanpa intensi sedikit pun untuk coba daftar YSEALI. Nggak mungkin tembus lah.


Memantapkan Hati

Selesai wawancara Fulbright (9/4), saya tidak mengalami masa harap-harap cemas menanti pengumuman. InsyaAllah sudah haqqul yaqin nggak akan lolos hahaha. Jadi, saya menyibukkan diri dengan hal lain. Sampai suatu siang menjelang sore di tanggal 15 Mei, saya cek gmail dan menemukan ada monthly update dari YSEALI yang menyebutkan bahwa pendaftaran YSEALI Academic Fellowship untuk Fall 2018 baru saja dibuka, deadline-nya tanggal 1 Juni 2018 (kalau kamu YSEALI member, pasti kamu juga akan dapat info ini).

Saat itu, tidak ada 'Aha' momen dimana saya merasa tertantang untuk daftar, termotivasi, terilhami atau apalah ala ala motivator. Saya cuma ingat, waktu masih kuliah, saya merasa aplikasi YSEALI sulit dan proses seleksinya ketat, lebih ketat dari legging Via Vallen. Saya pun mencoba mengingat lagi, kenapa saya merasa demikian, apa saya sudah pernah daftar dan tidak lolos atau jangan-jangan itu cuma ketakutan semu akan kegagalan aja, karena saya terlanjur berasumsi bahwa program ini nggak mungkin saya tembus (Yang saya lakukan ini mirip metode Chunking di ilmu parenting, cmiiw. Kamu bisa coba terapkan setiap kamu merasa ragu atas sesuatu. Sebelum ambil keputusan, coba breakdown dulu, kamu ragunya karena apa, penyebab ragunya dari dalam diri atau luar diri, bisa diintervensi atau nggak, dsb. Cukup memudahkan untuk assess berbagai emosi positif atau negatif di diri kita sih).

Ternyata, setelah saya ingat-ingat lagi, saya belum pernah sekali pun daftar program YSEALI yang ke US, baik Academic maupun Professional Fellowship. Pernahnya itu, saya daftar YSEALI Regional Workshop sebanyak dua kali. Pertama, YSEALI Impact XL Workshop di Myanmar, kedua, YSEALI Generation GR3EN di Brunei Darussalam. Terakhir, saya daftar YSEALI Seeds for the Future Grant, dengan project yang diajukan adalah SiMaggie. Tapi, Alhamdulillah, tiga-tiganya nggak ada yang lolos wkwkwk.

Dari sana, saya mencoba reframing pola pikir saya dan bilang ke diri sendiri, "Oke, Lil, lo belum pernah coba, berarti belum bisa bilang sulit." Setelah itu, saya ceki-ceki lebih jauh, ini program ngapain sih, kenapa banyak peminatnya (selain karena ke US gratis). Ternyata, oemji, program ini menawarkan intensive course di kampus US dengan pilihan tema yang salah satunya Social Entrepreneurship! Waw, bidang yang selama ini saya tekuni, di US pula- the country where the term social entrepreneurship was first born. Aaaakk, pengen! Saya pun kepo-kepo alumninya, banyak orang keren dan beberapa orang yang saya kenal di bidang startup pernah ikutan program ini. Hem, bisa dibilang, this is a sort of benchmark program before you embark your career choice lah. Okesip, di momen itu, saya mantapkan hati untuk daftar. 

Saat itu juga, saya coba mempelajari segala printilan tentang YSEALI, jenis-jenis programnya, kegiatan selama program, kriteria kandidat yang dipilih, dll. Saat cek eligibility criteria, saya nyaris nggak bisa apply, karena untuk Academic Fellowship, batas usianya ternyata 25 tahun, dan, kalau nggak salah, maksimal graduated 4 tahun. Ya Allah, nyarissss. Detil tentang requirement dan eligibility criteria Academic Fellowship bisa dicek disini ya. 

Anyway, saya juga sempat memastikan seribet apa aplikasinya, apakah rumit seperti yang selama ini saya asumsikan. Ternyata, sama sekali nggak ribet dong! Aplikasinya bener-bener cuma ngisi Google Form dan menyertakan satu surat rekomendasi. Udah itu aja. I-tu-a-ja. Saya juga coba ngisi Google Form-nya, biar ada gambaran isi pertanyaannya apa aja, biasanya kan beranak pinak gitu ya. Ternyata, sederhana saja, keluarga berencana, nggak beranak pinak. Di Google Form bener-bener cuma ditanyain data diri, latar belakang pendidikan, pekerjaan dan beberapa pertanyaan lain yang jawabannya bisa kamu temuin di CV kamu.

Di akhir Google Form, kita diminta untuk menulis esai singkat untuk meyakinkan kenapa kita merupakan kandidat yang paling sesuai untuk program tersebut dan apa rencana kita setelah program selesai. Esainya beneran singkat lho ya, saking singkatnya, kamu nggak boleh nulis lebih dari 250 kata. Yes, you read that right, cuma 250 kata. Well, sebagai orang yang lagi bolak-balik apply beasiswa S2, bolak-balik ngurus berkas ini itu, aplikasi YSEALI ini sungguh memudahkan pendaftarnya banget sih. Jadi, nggak ada alasan ribet atau sulit ya, mentemen.

Ahya, hari itu saya nggak langsung daftar. Saya ngumpulin sebanyak mungkin bahan belajar mengenai program untuk dibaca atau ditonton di kosan, entah berasal dari web resmi YSEALI, blog-blog alumni atau bahkan vlog-vlog selama program berlangsung. Tujuannya, saya harus paham bener-bener dulu nih sama programnya, apa yang mereka tawarkan, orang kayak gimana yang mereka cari dan apa tujuan akhir dari programnya. Saya bahkan sempat bikin mindmap sederhana tentang YSEALI ini (anaknya visual banget wk). Belajar tentang program itu penting ya untuk memudahkan kita merumuskan aplikasi dan memproyeksikan siapa orang yang tepat untuk kita mintakan surat rekomendasi.

Jangan coba-coba untuk ngisi formulir aplikasi, apalagi bikin esai, ketika kita masih buta sama program, itu namanya bunuh diri. Walaupun formulirnya sederhana, biasakan untuk pahami dulu segalanya, refleksi, bagian mana dari diri kita yang mau kita tonjolkan yang 'aligned' dengan program. Kan nggak mungkin semua jejak hidup kita dimasukin ke form. Pilah dulu, baru pelan-pelan diisi deh.

Sekarang, mari kita lanjutkan ke tulisan selanjutnya disini dan simpan dulu rasa penasaranmu tentang siapakah Juminten yang kuliah di Washington. Haha.


Dienstag, 7. August 2018

Sebagaimana Engkau

Sebagaimana Engkau menghibur Nabi Muhammad SAW, kekasih-Mu, yang kala itu dirundung kepedihan, dengan sebuah perjalanan mahadahsyat isra' mi'raj yang sungguh menyisakan pelajaran.

Seperti itu pula yang hamba rasakan atas nikmat tak terkira yang Engkau berikan. Bagai penghiburan atas duka yang kesekian.

Walau, ah, derita hamba tak serupa apalagi setara dengan perinya hati Rasul-Mu. Yang berjuang demi ummat membawa kalimat taubat.

Yang harus menerima kenyataan bahwa orang yang selama ini berbagi bahu menanggung beban, istri tercinta ibu peradaban, harus pergi, menandai akhir segala pengorbanan.

Yang harus menerima takdir bahwa paman setia yang selalu membela tanpa banyak pikir, sudi pasang badan dari mereka yang bersikap pandir, kini hidupnya telah berakhir.

Setidaknya, kisah tersebut selalu menjadi jawaban atas tanya hamba, mengapa sifat-Mu yang Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang selalu disebut berulang. Karena atas apa pun, Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tak kan Engkau biarkan hamba-Mu hidup dalam malang.

Prasangka Baik

Atas semua cita yang gagal diraih.
Tawa yang berujung tangis lirih.
Sayap yang patah. Pun hati yang payah.

Sedihlah. Seperlunya
Hancurlah. Secukupnya.
Tapi, jangan lupa, selalu sisakan ruang untuk prasangka baik pada-Nya.

Popular posts