Donnerstag, 18. Mai 2017

Validasi, Validasi, Validasi!

Hal yang menurut saya sangat baik dan menjadi modal paling penting yang ada di dalam diri startup founder adalah keyakinan diri mereka bahwa idenya mampu menjadi solusi atas permasalahan di sekitarnya. Well, itu bagus sekali karena menumbuhkan optimisme. Sayangnya, pada kebanyakan kasus, para startup founder tersebut terlalu percaya diri dengan ide yang mereka bawa. Sehingga, mereka lupa bahwa ide mereka selama ini baru berupa asumsi. Bahwa ide mereka baru berasal dari logika pribadi, dengan anggapan, ‘sepertinya’ ide tersebut relevan dengan permasalahan yang ingin diselesaikan. Sialnya, saya mungkin menjadi salah satu yang selama ini menjebak diri sendiri dalam pola pikir tersebut.
                
Saat Ignition #1000StartupDigital di Surabaya beberapa pekan lalu, saya semacam mendapat teguran dari sesi yang dibawakan Praw (Prasetya Andy W. –Head of IT Development Jakarta Smart City). Ia menyebutkan pentingnya melihat kembali apakah permasalahan yang ingin kita selesaikan benar-benar terjadi di masyarakat, serta apakah ide yang kita tawarkan memang benar-benar solusi yang dibutuhkan. Jangan-jangan itu semua hanya asumsi belaka, sekadar mimpi indah yang kita bangun karena kita ‘kebelet’ ingin menjadi founder sebuah startup.
                
Oleh karena itu, kuncinya adalah validasi, validasi, dan validasi! Kita harus dapat memastikan bahwa setiap ide dan keputusan yang diambil berdasarkan data yang sudah tervalidasi. Validasi ide sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, dengan berinteraksi langsung dengan target pasar kita dan coba menawarkan produk kita. Respon yang kita dapat dari mereka dapat menjadi gambaran apakah permasalahan yang ingin kita selesaikan benar-benar menjadi ‘keresahan’ di kalangan mereka.
                
Lebih jauh, sebagai digital startup, validasi juga harus dilakukan terhadap basis produk kita, apakah nantinya lebih relevan berupa app-based atau ternyata web-based saja sudah cukup untuk mengakomodasi kebutuhan target pasar kita. Oleh karena itu, prototype produk menjadi sangat penting. Namun, berbicara tentang prototype, do not overthink it! Jangan membayangkan sesuatu yang kompleks dan canggih dengan berbagai fitur. Prototipe dapat dimulai dengan produk sederhana yang memuat hanya fungsi-fungsi utama dari produk yang ingin kita kembangkan, atau biasa dikenal dengan Minimum Viable Product (MVP). Pembuatan MVP ini juga dapat membantu kita untuk memperkirakan berapa budget yang harus kita alokasikan untuk mengembangkan produk kita nantinya.
                
Sampai saat ini, saya masih sangat takjub ketika Koh Yansen menyebutkan bahwa pada masa awal beroperasinya Go-Jek, produk tersebut dijalankan secara manual. Dimana user hanya dapat melakukan order melalui website, karena saat itu Go-Jek belum memiliki aplikasi mobile. Lalu, di website tersebut, order dari para user disampaikan kepada ojek mitra secara manual oleh customer service Go-Jek. Learning point-nya adalah sebelum berpikir terlalu sophisticated namun tidak feasible dan actionable, Go-Jek memilih untuk memulai dari bentuk produk yang paling sederhana dan melihat apakah ada demand atas produk tersebut. Dari sana, barulah dikembangkan fitur-fitur lain seperti yang kita kenal saat ini, Go-Glam, Go-Massage, dan lain-lain.
                
Intinya, kalau saya boleh mengutip signature quote-nya kantor Kibar, asumsi itu membunuh. Jangan jadikan itu sebagai dasar dalam mengembangkan startup kita. Selalu lakukan validasi atas setiap keputusan yang akan kita ambil. Selamat merombak pola pikir!  

Donnerstag, 18. Mai 2017

Validasi, Validasi, Validasi!

Hal yang menurut saya sangat baik dan menjadi modal paling penting yang ada di dalam diri startup founder adalah keyakinan diri mereka bahwa idenya mampu menjadi solusi atas permasalahan di sekitarnya. Well, itu bagus sekali karena menumbuhkan optimisme. Sayangnya, pada kebanyakan kasus, para startup founder tersebut terlalu percaya diri dengan ide yang mereka bawa. Sehingga, mereka lupa bahwa ide mereka selama ini baru berupa asumsi. Bahwa ide mereka baru berasal dari logika pribadi, dengan anggapan, ‘sepertinya’ ide tersebut relevan dengan permasalahan yang ingin diselesaikan. Sialnya, saya mungkin menjadi salah satu yang selama ini menjebak diri sendiri dalam pola pikir tersebut.
                
Saat Ignition #1000StartupDigital di Surabaya beberapa pekan lalu, saya semacam mendapat teguran dari sesi yang dibawakan Praw (Prasetya Andy W. –Head of IT Development Jakarta Smart City). Ia menyebutkan pentingnya melihat kembali apakah permasalahan yang ingin kita selesaikan benar-benar terjadi di masyarakat, serta apakah ide yang kita tawarkan memang benar-benar solusi yang dibutuhkan. Jangan-jangan itu semua hanya asumsi belaka, sekadar mimpi indah yang kita bangun karena kita ‘kebelet’ ingin menjadi founder sebuah startup.
                
Oleh karena itu, kuncinya adalah validasi, validasi, dan validasi! Kita harus dapat memastikan bahwa setiap ide dan keputusan yang diambil berdasarkan data yang sudah tervalidasi. Validasi ide sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, dengan berinteraksi langsung dengan target pasar kita dan coba menawarkan produk kita. Respon yang kita dapat dari mereka dapat menjadi gambaran apakah permasalahan yang ingin kita selesaikan benar-benar menjadi ‘keresahan’ di kalangan mereka.
                
Lebih jauh, sebagai digital startup, validasi juga harus dilakukan terhadap basis produk kita, apakah nantinya lebih relevan berupa app-based atau ternyata web-based saja sudah cukup untuk mengakomodasi kebutuhan target pasar kita. Oleh karena itu, prototype produk menjadi sangat penting. Namun, berbicara tentang prototype, do not overthink it! Jangan membayangkan sesuatu yang kompleks dan canggih dengan berbagai fitur. Prototipe dapat dimulai dengan produk sederhana yang memuat hanya fungsi-fungsi utama dari produk yang ingin kita kembangkan, atau biasa dikenal dengan Minimum Viable Product (MVP). Pembuatan MVP ini juga dapat membantu kita untuk memperkirakan berapa budget yang harus kita alokasikan untuk mengembangkan produk kita nantinya.
                
Sampai saat ini, saya masih sangat takjub ketika Koh Yansen menyebutkan bahwa pada masa awal beroperasinya Go-Jek, produk tersebut dijalankan secara manual. Dimana user hanya dapat melakukan order melalui website, karena saat itu Go-Jek belum memiliki aplikasi mobile. Lalu, di website tersebut, order dari para user disampaikan kepada ojek mitra secara manual oleh customer service Go-Jek. Learning point-nya adalah sebelum berpikir terlalu sophisticated namun tidak feasible dan actionable, Go-Jek memilih untuk memulai dari bentuk produk yang paling sederhana dan melihat apakah ada demand atas produk tersebut. Dari sana, barulah dikembangkan fitur-fitur lain seperti yang kita kenal saat ini, Go-Glam, Go-Massage, dan lain-lain.
                
Intinya, kalau saya boleh mengutip signature quote-nya kantor Kibar, asumsi itu membunuh. Jangan jadikan itu sebagai dasar dalam mengembangkan startup kita. Selalu lakukan validasi atas setiap keputusan yang akan kita ambil. Selamat merombak pola pikir!  

Popular posts