Donnerstag, 19. September 2013

Hilang, Menghilang, Kehilangan

Pernah kehilangan seseorang? Tapi bukan kehilangan karena perpisahan, kepindahan, pertengkaran, dan sebagainya. Maksud saya, kehilangan yang selama-lamanya. Kehilangan secara harafiah. Tidak akan pernah bertemu, berbicara, bercanda lagi. Karena yang bersangkutan telah pergi, masuk ke dalam dimensi waktu yang lebih tinggi. Sederhananya sih, menghadap Illahi.

Saya, saat ini, entah kenapa merasa perasaan akan kehilangan itu dekaaaaat sekali. Terhadap seseorang yang paling dekat dengan saya, bahkan semenjak tubuh ini belum memiliki ruhnya. Ya, ibu saya.

Duh, tidak selayaknya saya menulis hal ini ya. Apalagi di blog saya, yang walaupun sepi pengunjung, tetap saja accessible. Tapi, kamu tahu, perasaan ini semakin hari semakin membuncah. Ditambah dengan maag ibu yang sepertinya semakin kronis. Yah, walaupun sebenarnya, 'giliran pergi' itu bisa datang pada siapa saja tanpa dapat diterka dari kondisi fisiknya, bahkan pada orang sehat sekalipun. Tanpa kenal ampun.

Perihal ini, setiap dari kita seharusnya memang mempersiapkan diri ya. Baik untuk menghilang ataupun kehilangan. Dunia kan memang hanya tempat untuk singgah. Toh, yang hilang sesungguhnya tidak sebenar-benarnya menghilang. Buktinya, Dia masih menyediakan alur komunikasi lain, melalui doa. Namun, yah namanya juga manusia, selalu menuntut kondisi konkret. Selalu merasa butuh konfirmasi dalam bentuk eksistensi. Dalam indera ragawi seringkali kita terbenam, dan lupa memberi ruang pada hati, yang sebenarnya merupakan indera keenam.

Kembali pada ibu, jika boleh jujur, saya sudah mempersiapkan diri untuk momen ini sejak satu atau dua tahun yang lalu. Utamanya, saat ibu saya masuk rumah sakit. Beberapa orang mungkin melihat saya saat itu tenang-tenang saja, santai, seolah tidak ada apa-apa. Tapi tidak semua pandai menangkap, bahwa dibalik itu semua, hati saya seperti hancur, saya kehilangan arah, bahkan jika boleh sedikit hiperbola, saya seperti tidak punya alasan kenapa hidup ini harus dilanjutkan. Hal ini, bisa jadi, karena mendapati keluarga dekat masuk rumah sakit adalah pengalaman pertama saya. Sehingga, saya pun maklum pada diri ini yang dengan cengeng-nya berpikir se-ngawur itu. Ditambah, pengalaman pertama itu dibuka oleh ibu saya sendiri.

Alasan lain mengapa saya menjadi setakut itu, se-disorientasi itu, karena memang nyatanya saya 'sebegitunya' dengan ibu. Maaf jika pada akhirnya saya menggunakan diksi 'sebegitunya' ya, coz it's like hard to find another word to define how's life going between me and her. Kami tidak sepenuhnya berdamai, namun tidak sepenuhnya berselisih. Saya dan ibu seringkali berbeda pendapat terhadap banyak hal, namun bahagianya, ibu selalu memberikan ruang bagi saya untuk mandiri menginterpretasi perbedaan tersebut. Kami sering bertengkar, bahkan ketika pergi car free day berdua. Namun, sedetik kemudian lupa ketika melihat tukang bubur kacang hijau langganan. Haha

Memang, terkesan tidak etis ya mempersiapkan diri untuk kepergian seseorang, apalagi yang bersangkutan adalah ibu kita sendiri, ketika orang lain berharap cemas akan kesembuhan--walaupun kita tidak pernah tahu jika sebenarnya hati mereka mengutuki harapan untuk sembuh tersebut, mengingat kemungkinannya memang kecil--maka, atas nama rasa optimis, atau ekstrimnya basabasi, sebagian orang berusaha tenang dengan keyakinan akan kesembuhan. Sedang saya? Saya hanya berusaha untuk berdamai dengan realita, berpikir yang terburuk agar nantinya tidak terpuruk. Saya hanya berusaha mempersiapkan diri lebih dini. Saya hanya ingin membiasakan hidup tanpanya. Ya, saya. Saya hanya tidak siap dengan (kemungkinan) kepergiannya.

Allahu Rabbi.

Donnerstag, 19. September 2013

Hilang, Menghilang, Kehilangan

Pernah kehilangan seseorang? Tapi bukan kehilangan karena perpisahan, kepindahan, pertengkaran, dan sebagainya. Maksud saya, kehilangan yang selama-lamanya. Kehilangan secara harafiah. Tidak akan pernah bertemu, berbicara, bercanda lagi. Karena yang bersangkutan telah pergi, masuk ke dalam dimensi waktu yang lebih tinggi. Sederhananya sih, menghadap Illahi.

Saya, saat ini, entah kenapa merasa perasaan akan kehilangan itu dekaaaaat sekali. Terhadap seseorang yang paling dekat dengan saya, bahkan semenjak tubuh ini belum memiliki ruhnya. Ya, ibu saya.

Duh, tidak selayaknya saya menulis hal ini ya. Apalagi di blog saya, yang walaupun sepi pengunjung, tetap saja accessible. Tapi, kamu tahu, perasaan ini semakin hari semakin membuncah. Ditambah dengan maag ibu yang sepertinya semakin kronis. Yah, walaupun sebenarnya, 'giliran pergi' itu bisa datang pada siapa saja tanpa dapat diterka dari kondisi fisiknya, bahkan pada orang sehat sekalipun. Tanpa kenal ampun.

Perihal ini, setiap dari kita seharusnya memang mempersiapkan diri ya. Baik untuk menghilang ataupun kehilangan. Dunia kan memang hanya tempat untuk singgah. Toh, yang hilang sesungguhnya tidak sebenar-benarnya menghilang. Buktinya, Dia masih menyediakan alur komunikasi lain, melalui doa. Namun, yah namanya juga manusia, selalu menuntut kondisi konkret. Selalu merasa butuh konfirmasi dalam bentuk eksistensi. Dalam indera ragawi seringkali kita terbenam, dan lupa memberi ruang pada hati, yang sebenarnya merupakan indera keenam.

Kembali pada ibu, jika boleh jujur, saya sudah mempersiapkan diri untuk momen ini sejak satu atau dua tahun yang lalu. Utamanya, saat ibu saya masuk rumah sakit. Beberapa orang mungkin melihat saya saat itu tenang-tenang saja, santai, seolah tidak ada apa-apa. Tapi tidak semua pandai menangkap, bahwa dibalik itu semua, hati saya seperti hancur, saya kehilangan arah, bahkan jika boleh sedikit hiperbola, saya seperti tidak punya alasan kenapa hidup ini harus dilanjutkan. Hal ini, bisa jadi, karena mendapati keluarga dekat masuk rumah sakit adalah pengalaman pertama saya. Sehingga, saya pun maklum pada diri ini yang dengan cengeng-nya berpikir se-ngawur itu. Ditambah, pengalaman pertama itu dibuka oleh ibu saya sendiri.

Alasan lain mengapa saya menjadi setakut itu, se-disorientasi itu, karena memang nyatanya saya 'sebegitunya' dengan ibu. Maaf jika pada akhirnya saya menggunakan diksi 'sebegitunya' ya, coz it's like hard to find another word to define how's life going between me and her. Kami tidak sepenuhnya berdamai, namun tidak sepenuhnya berselisih. Saya dan ibu seringkali berbeda pendapat terhadap banyak hal, namun bahagianya, ibu selalu memberikan ruang bagi saya untuk mandiri menginterpretasi perbedaan tersebut. Kami sering bertengkar, bahkan ketika pergi car free day berdua. Namun, sedetik kemudian lupa ketika melihat tukang bubur kacang hijau langganan. Haha

Memang, terkesan tidak etis ya mempersiapkan diri untuk kepergian seseorang, apalagi yang bersangkutan adalah ibu kita sendiri, ketika orang lain berharap cemas akan kesembuhan--walaupun kita tidak pernah tahu jika sebenarnya hati mereka mengutuki harapan untuk sembuh tersebut, mengingat kemungkinannya memang kecil--maka, atas nama rasa optimis, atau ekstrimnya basabasi, sebagian orang berusaha tenang dengan keyakinan akan kesembuhan. Sedang saya? Saya hanya berusaha untuk berdamai dengan realita, berpikir yang terburuk agar nantinya tidak terpuruk. Saya hanya berusaha mempersiapkan diri lebih dini. Saya hanya ingin membiasakan hidup tanpanya. Ya, saya. Saya hanya tidak siap dengan (kemungkinan) kepergiannya.

Allahu Rabbi.

Popular posts