Mungkin kita memang patut berbangga dengan negara
tempat kita berpijak saat ini. Dengan luas lautan yang mencapai 5.8 Juta KM2 ini,
Indonesia menjadi bagian dari wilayah Marine
Mega-Biodiversity terbesar di dunia. Selain itu, yang juga tak
kalah mengagumkan, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia tahun 2010, Indonesia juga menempati urutan ke-2 negara dengan garis
pantai terpanjang di dunia, yaitu sekitar 54.716 KM, setelah posisi pertama
ditempati oleh Kanada dengan garis pantai kurang lebih 202.080 KM. Jika ditarik
perbandingkan dengan garis pantai dunia, sebuah sumber online menyatakan, bisa digambarkan bahwa panjang pantai Indonesia
sekitar 25% dari panjang pantai negara di dunia. Sehingga, tentunya dapat kita
bayangkan, bagaimana negara ini telah 'menguasai' paling tidak 1/4 pantai
dunia.
Lebih jauh, luasnya laut Indonesia membuat negara yang
memang mendapat julukan negara maritim ini menjadi sangat kaya dengan potensi
kelautannya. Dari data statistik yang dilansir oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) Republik Indonesia, tercatat ada lebih dari 8.500 spesies ikan,
555 spesies rumput laut, serta 950 spesies terumbu karang yang bernaung di
lautan kita. Berbicara tentang terumbu karang, masih berdasarkan data dari KKP
RI, tercatat bahwa luas terumbu karang yang ada di Indonesia adalah 51.000 KM2
atau sekitar 18% dari total seluruh terumbu karang yang ada di dunia. Kabarnya
juga, terumbu karang Indonesia yang luar biasa luas itu menjadikan negara ini sebagai
bagian dari kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) dunia,
yaitu kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut paling kaya di dunia,
meliputi laut-laut di enam negara kawasan Asia Pasifik, seperti Indoneia,
Filipina, Kepulauan Solomon, Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste
(Kompas.com, 2010).
Sayangnya, keistimewaan terumbu karang Indonesia
tersebut tidak semerta-merta membuat manusia segan merusaknya. Berdasarkan
laporan Reef at Risk tahun 2002,
disebutkan bahwa selama 50 tahun terakhir, proporsi penurunan kondisi terumbu
karang Indonesia telah meningkat dari 10% menjadi 50%. Lebih jauh, hasil survei
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menyatakan bahwa 37% kondisi
terumbu karang Indonesia berada dalam kategori rusak sedang dan sekitar 33%
berada dalam kondisi rusak parah. Walaupun memang, kita tidak bisa
mengeneralisasi bahwa seluruh penurunan kondisi tersebut disebabkan oleh ulah
manusia—karena tentunya banyak hal yang menjadi faktor kerusakan tersebut,
seperti arus laut itu sendiri dan pergerakan biota laut. Namun, sebagai bahan
refleksi, mungkin kita bisa melirik fakta yang dirilis oleh World Resources
Institute (2012) melalui artikelnya yang berjudul Reefs at Risk
Revisited in the Coral Triangle, bahwa ternyata, kebanyakan terumbu karang
di dunia terancam karena aktivitas manusia. Selain itu, disebutkan pula bahwa
60% dari terumbu karang yang ada menerima ancaman langsung dari manusia berupa
penangkapan yang merusak, penangkapan berlebih, pembangunan pesisir, pencemaran
dari Daerah Aliran Sungai (DAS), ataupun pencemaran yang berasal dari laut itu
sendiri. Ditambah lagi, sekitar 75% terumbu karang yang ada juga dalam kondisi
terancam akibat suhu global yang meninggi—untuk hal ini tentu kita tidak dapat
menafikan, bahwa gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkunganlah yang
menyebabkan naiknya suhu global.
Dari aspek penegakan hukum, terumbu karang pun tidak
luput dari ancaman kejahatan. Komodifikasi terumbu karang Indonesia menjadi
semacam kenisayaan yang harus dihadapi. Warna-warni terumbu karang yang indah
nampaknya tidak hanya memesonakan kita, namun juga menyilaukan mata para
oportunis untuk menjadikan terumbu karang komoditas bisnis. Seperti yang
dilansir oleh salah satu portal berita online berikut, pengeksporan terumbu
karang ilegal di Jawa dan Bali masih marak terjadi. Bahkan, terumbu karang
tersebut dijual dengan harga ekspor yang sangat murah, yaitu sekitar US$ 45 per
satuan (metrotvnews.com, 2013). Ya, meskipun ilegal, yang penting kantung
tebal—mungkin begitu menurut mereka.
Sumber: Pribadi
Padahal, aktivitas ekspor terumbu karang ilegal ini
jelas telah melanggar hukum, salah satunya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2013 tentang Ratifikasi Pengesahan Protokol Nagoya* mengenai
Akses pada Sumber Daya Genetik dan
Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya.
Protokol Nagoya sendiri berisi tentang capaian historis tentang pelaksanaan Convention on Biological Diversity (CBD)
sejak 18 tahun yang lalu. Hal ini karena pelaksanaan CBD tersebut dianggap
belum optimal karena tidak ada protokol yang menjadi bentuk konkret dari
konvensi tersebut. Oleh karena itu, Protokol Nagoya juga berisi aturan
pemberian akses dan kemauan berbagi keuntungan secara adil dan setara atas
pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati tersebut (Kompas.com, 2010).
Dengan demikian, upaya penyelamatan terumbu karang
kita menjadi harga mati. Karena sesungguhnya, pemaparan akan risiko dan ancaman
di atas hanyalah sebagian kecil dari fakta yang tercatat rapi atas kondisi
terumbu karang kini. Penanganan terhadap terumbu karang pun harus dilakukan secara
komprehensif, jangan lagi parsial. Mengingat, permasalahan terumbu karang ini
adalah persoalan multidimensional, menyangkut aspek hukum, lingkungan, ekonomi,
dan bahkan kemanusiaan yang keseluruhannya bukanlah sesuatu yang opsional.
Lebih jauh, keterlibatan semua pihak dalam upaya penyelamatan ini juga menjadi
satu faktor yang harus diperhatikan. Jangan hanya pemerintah, penegak hukum
atau pemerhati lingkungan. Tetapi yang muda yang tua, yang pekerja yang
pengusaha, semuanya harus turut ambil bagian. Terumbu karang ini punya kita
semua, bukan?
*Protokol Nagoya dalam bentuk lengkap bisa diakses di http://www.cbd.int/abs/doc/protocol/nagoya-protocol-en.pdf
*tulisan ini juga dimuat disini.