Hal yang menurut saya sangat baik
dan menjadi modal paling penting yang ada di dalam diri startup founder adalah keyakinan diri mereka bahwa idenya mampu
menjadi solusi atas permasalahan di sekitarnya. Well, itu bagus sekali karena menumbuhkan optimisme. Sayangnya,
pada kebanyakan kasus, para startup
founder tersebut terlalu percaya diri dengan ide yang mereka bawa.
Sehingga, mereka lupa bahwa ide mereka selama ini baru berupa asumsi. Bahwa ide
mereka baru berasal dari logika pribadi, dengan anggapan, ‘sepertinya’ ide
tersebut relevan dengan permasalahan yang ingin diselesaikan. Sialnya, saya
mungkin menjadi salah satu yang selama ini menjebak diri sendiri dalam pola
pikir tersebut.
Saat
Ignition #1000StartupDigital di Surabaya beberapa pekan lalu, saya semacam
mendapat teguran dari sesi yang dibawakan Praw (Prasetya Andy W. –Head of IT Development Jakarta Smart City). Ia menyebutkan pentingnya melihat kembali apakah
permasalahan yang ingin kita selesaikan benar-benar terjadi di masyarakat,
serta apakah ide yang kita tawarkan memang benar-benar solusi yang dibutuhkan.
Jangan-jangan itu semua hanya asumsi belaka, sekadar mimpi indah yang kita
bangun karena kita ‘kebelet’ ingin
menjadi founder sebuah startup.
Oleh
karena itu, kuncinya adalah validasi, validasi, dan validasi! Kita harus dapat
memastikan bahwa setiap ide dan keputusan yang diambil berdasarkan data yang
sudah tervalidasi. Validasi ide sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Misalnya, dengan berinteraksi langsung dengan target pasar kita dan coba
menawarkan produk kita. Respon yang kita dapat dari mereka dapat menjadi
gambaran apakah permasalahan yang ingin kita selesaikan benar-benar menjadi
‘keresahan’ di kalangan mereka.
Lebih
jauh, sebagai digital startup, validasi
juga harus dilakukan terhadap basis produk kita, apakah nantinya lebih relevan
berupa app-based atau ternyata web-based saja sudah cukup untuk
mengakomodasi kebutuhan target pasar kita. Oleh karena itu, prototype produk menjadi sangat penting.
Namun, berbicara tentang prototype, do not overthink it! Jangan membayangkan
sesuatu yang kompleks dan canggih dengan berbagai fitur. Prototipe dapat
dimulai dengan produk sederhana yang memuat hanya fungsi-fungsi utama dari
produk yang ingin kita kembangkan, atau biasa dikenal dengan Minimum Viable Product (MVP). Pembuatan
MVP ini juga dapat membantu kita untuk memperkirakan berapa budget yang harus kita alokasikan untuk
mengembangkan produk kita nantinya.
Sampai
saat ini, saya masih sangat takjub ketika Koh Yansen menyebutkan bahwa pada
masa awal beroperasinya Go-Jek, produk tersebut dijalankan secara manual.
Dimana user hanya dapat melakukan order melalui website, karena saat itu Go-Jek belum memiliki aplikasi mobile. Lalu, di website tersebut, order
dari para user disampaikan kepada ojek mitra secara manual oleh customer service Go-Jek. Learning point-nya adalah sebelum
berpikir terlalu sophisticated namun
tidak feasible dan actionable, Go-Jek memilih untuk
memulai dari bentuk produk yang paling sederhana dan melihat apakah ada demand atas produk tersebut. Dari sana,
barulah dikembangkan fitur-fitur lain seperti yang kita kenal saat ini,
Go-Glam, Go-Massage, dan lain-lain.
Intinya,
kalau saya boleh mengutip signature quote-nya
kantor Kibar, asumsi itu membunuh. Jangan jadikan itu sebagai dasar dalam
mengembangkan startup kita. Selalu
lakukan validasi atas setiap keputusan yang akan kita ambil. Selamat merombak
pola pikir!