Beberapa minggu belakangan ini nyoba untuk terus produktif ngirim-ngirim abstrak kesana-sini. Hingga, voila! jadilah abstrak pertama saya. Agak gak menantang sih ini bikinnya, karena tinggal edit-edit penelitian yang lalu untuk tugas mata kuliah Perlindungan Anak haha Tapi tetep aja ya, hasilnya gak bagus-bagus amat. Anyway, abstrak ini dikirim ke Conference on Poverty and Social Protection nih. Biar jelek, tapi semoga ya haha #semoga! ohiyak, in progress nih next abstrak. Doain yak, semoga membaik. Amin. Okay, lets enjoy this one!
---
Gambaran Viktimisasi Tahanan Anak Perempuan Rumah
Tahanan Pondok Bambu sebagai Pendukung Penolakan Penahanan Anak Perempuan
Oleh Lili Nur Indah Sari
Ada banyak pihak yang berperan untuk
menjamin berhasilnya pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Secara ideal,
masa kanak-kanak sarat akan permainan dan pembelajaran mengenai banyak hal di
mana keluarga, sekolah, dan masyarakat mengambil peran penting di dalamnya. Maka
dari itu, hilangnya satu peran dapat berpengaruh pada sempurna atau tidaknya
tumbuh kembang anak. Dalam keadaan lain, terdapat pula situasi yang bertolak
belakang dengan masa tersebut sehingga berimplikasi pada ketidaksempurnaan
pembentukan dasar kepribadian anak. Situasi tersebut salah satunya dialami oleh
anak yang berhadapan dengan hukum (children
in conflict with the law).
Mengacu kepada hal tersebut, peneliti
melihat bahwa terdapat kecenderungan permasalahan khas yang terjadi pada anak
yang berhadapan dengan hukum (ABH) terutama pada mereka yang bergender
perempuan. Terdapat kemungkinan di mana mereka cenderung memperoleh perlakuan
yang tidak seharusnya dari sejumlah pihak. Kali ini, peneliti mencoba fokus pada anak-anak yang mengalami
penahanan, lebih khusus lagi pada mereka yang bergender perempuan. Mengapa
fokus pada anak perempuan? Pada intinya, kami melihat bahwa anak perempuan
memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat disamakan dengan anak laki-laki,
seperti kebutuhan bagi pemenuhan kesehatan reproduksi. Sayangnya, sedikit
sekali penjara atau rumah tahanan yang mampu menyediakan kebutuhan tersebut
dengan baik. Selain itu, hak perempuan terhadap harga diri dan penghormatan juga
seringkali dilanggar dalam proses penahanan. Lebih luas lagi, peneliti juga
berusaha untuk sensitif terhadap peran dan fungsi pemenjaraan sendiri sebagai
bentuk penghukuman terhadap anak-anak. Peneliti mencoba melihat sejauh mana
penahanan anak tersebut efektif menangani kasus pidana yang dilakukan anak atau
hanya bentuk lain dari perampasan hak anak, bahwa kepentingan terbaik anak
harus menjadi pertimbangan utama.
Untuk menyamakan persepsi, dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dalam membatasi usia anak, pasal 1 undang-undang ini
menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selain itu, istilah ‘anak yang berhadapan dengan hukum’
dipahami sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun yang diduga,
dituduh, dan diakui telah melakukan pelanggaran hukum pidana.
Peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif dalam rangka memperoleh informasi reliabel
yang mendalam dari para informan terpilih mengenai gambaran kondisi dan situasi
anak perempuan yang berhubungan dengan hukum terkait. Berdasarkan pendekatan
yang digunakan, penelitian ini dikembangkan secara deskriptif dengan tujuan
memberikan gambaran rinci atas permasalahan yang diangkat. Untuk memperoleh informasi, tim peneliti menggunakan depth interview sebagai teknik
pengumpulan data. Informasi lain yang mendukung reliabilitas langsung diperoleh
dari sumber literatur lain yang mendukung topik permasalahan. Peneliti mengambil objek penelitian
yang berlokasi di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan kategori
tahanan yang ditempatkan pada lokasi tersebut, yaitu anak perempuan dan
perempuan dewasa, yang peneliti anggap sesuai dengan tema penelitian yang
diangkat. Peneliti mengajukan surat
izin penelitian kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, DKI Jakarta
pada Rabu, 15 November 2012. Rujukan
dari pihak terkait terdisposisi pada Selasa, 27 November 2012. Pertemuan serta depth interview dengan ketiga informan dilakukan secara bertahap
dari Senin, 3 November 2012 hingga satu minggu selanjutnya.
Harapannya, penelitian ini mampu
menggambarkan pola perlakuan masyarakat Rumah Tahanan Pondok Bambu terhadap tahanan
anak perempuan. Sehingga, peneliti mendapatkan pula gambaran kerentanan, risiko-risiko,
atau bahkan viktimisasi yang dihadapi anak perempuan yang berada di dalam
tahanan untuk kemudian gambaran ini dapat peneliti jadikan dasar atau pendukung
usulan pembuatan kebijakan yang menentang penghukuman anak dengan penahanan.
Penelitian ini melibatkan tiga informan
ABH yang ditempatkan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Anak pertama
bernama Anne (nama disamarkan), 17 tahun, sudah berada di rumah tahanan selama
dua bulan karena keterlibatannya dalam kasus pengeroyokan yang dilakukan
bersama enam orang teman lainnya. Selanjutnya,
Lissie (nama disamarkan), 17 tahun, berada di rumah tahanan selama empat bulan
karena kasus penipuan sejumlah Rp 5.000.000,00 yang ‘diduga’ melibatkan
dirinya. Informan berasal dari Makassar
dan ditempatkan di Jakarta karena pelapor berdomisili di Jakarta. Kemudian, Keirra
(nama disamarkan), 16 tahun, sudah berada di rumah tahanan selama dua bulan
karena kasus tawuran antar pelajar bersama teman lainnya yang ditahan di rumah
tahanan Salemba.
Melalui pendekatan dan wawancara yang
dilakukan selama seminggu berturut-turut, peneliti menemukan beberapa hal yang
perlu diperhatikan terkait dengan permasalahan yang diangkat. Menurut informan,
anak-anak yang melakukan tindak pidana kebanyakan berasal dari kelas menengah
bawah, hal ini juga diperkuat dengan data kepolisian setempat. Lagi-lagi,
kemiskinanlah biang keladinya, masalah ekonomi sudah semakin terasa klasik
bahkan bagi seorang anak. Ditemukan pula praktik-praktik pembayaran ‘gelap’
yang tidak legal, seperti pembayaran uang turun kamar kurang lebih Rp
3.000.000,00 bagi tahanan baru (belum termasuk uang kamar dan biaya hidup
lain). Rutan tersebut juga tidak secara khusus memperhatikan kebutuhan dasar
perempuan seperti pembalut dan pakaian dalam. Penempatan tahanan anak-anak
perempuan bersama tahanan perempuan dewasa juga sangat mempengaruhi perkembangan
mental anak yang ‘dipaksa’ untuk dewasa sebelum masanya. Di luar itu, masih
banyak temuan lain yang intinya mengantarkan pada sebuah kesimpulan yang
memperjelas bahwa penjara memang bukan tempat bagi anak-anak.
Sayangnya,
undang-undang yang berlaku di Indonesia saat ini sangat tidak sensitif anak. Berkebalikan
dengan tujuan pelaksanaan diadakannya sistem penahanan atau pemenjaraan bagi
anak, yaitu sebagai fungsi “proteksi” dan “memprioritaskan kebaikan anak”, care bukanlah apa yang anak-anak
perempuan ini dapatkan ketika mereka berada di penjara. Banyak hak anak yang terabaikan.
Penerapan pemenjaraan yang tidak sensitif gender pun semakin menambah panjang
alasan mengapa pemidanaan bentuk ini sangat tidak baik bagi anak perempuan.
Pada dasarnya memang karena perempuan
dekat dengan viktimisasi dan sangat rentan terhadap kekerasan fisik dan
seksual. Ekspektasi sosial terhadap anak perempuan serta pengalaman anak
perempuan pun berbeda dengan anak laki-laki yang menyebabkan perkembangan anak
perempuan dalam masa-masa remaja mereka dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan
yang ada, sehingga, proses peradilan anak memiliki dampak yang berbeda bagi
anak-anak perempuan dari dampak yang diterima oleh anak laki-laki. Hal ini
semakin menunjukkan ketidaklayakan tahanan sebagai muara penghukuman bagi
anak-anak. Bagaimanapun bentuknya, penjara bukanlah tempat bagi anak. Dan harus
ada perbaikan kebijakan yang melarang pemenjaraan sebagai bentuk penghukuman
bagi anak.
REFERENSI
Alemagno,
Sonia A. 2006. Juveniles
in Detention: How Do Girls Differ from
Boys. Journal of Correctional Health
Care 12. 45-51
Dirks,
Danielle. 2004. Sexual
Revictimizatoin and Retraumatization of Women in Prison. Women’s Studies Quarterly 32. 102
Dodge,
L.Mara. 1999. One
Female Prisoners is of More Trouble than Twenty Males: Women Convicts in
Illinois Prisons, 1835-1896. Oxford
Journal 32. 907-930
Dohrn,
Bernardine. 2004. All
Ellas: Girls Locked Up. Feminist
Studies 30. 302-324
Sherman,
Francine T. 2005. Detention
Reforms and Girls: Challenges and Solutions. Baltimore: The Annie E. Casey Foundation