Montag, 18. März 2013

abstrak #1


Beberapa minggu belakangan ini nyoba untuk terus produktif ngirim-ngirim abstrak kesana-sini. Hingga, voila! jadilah abstrak pertama saya. Agak gak menantang sih ini bikinnya, karena tinggal edit-edit penelitian yang lalu untuk tugas mata kuliah Perlindungan Anak haha Tapi tetep aja ya, hasilnya gak bagus-bagus amat. Anyway, abstrak ini dikirim ke Conference on Poverty and Social Protection nih. Biar jelek, tapi semoga ya haha #semoga! ohiyak, in progress nih next abstrak. Doain yak, semoga membaik. Amin. Okay, lets enjoy this one!
---
Gambaran Viktimisasi Tahanan Anak Perempuan Rumah Tahanan Pondok Bambu sebagai Pendukung Penolakan Penahanan Anak Perempuan
Oleh Lili Nur Indah Sari

Ada banyak pihak yang berperan untuk menjamin berhasilnya pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Secara ideal, masa kanak-kanak sarat akan permainan dan pembelajaran mengenai banyak hal di mana keluarga, sekolah, dan masyarakat mengambil peran penting di dalamnya. Maka dari itu, hilangnya satu peran dapat berpengaruh pada sempurna atau tidaknya tumbuh kembang anak. Dalam keadaan lain, terdapat pula situasi yang bertolak belakang dengan masa tersebut sehingga berimplikasi pada ketidaksempurnaan pembentukan dasar kepribadian anak. Situasi tersebut salah satunya dialami oleh anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law).
Mengacu kepada hal tersebut, peneliti melihat bahwa terdapat kecenderungan permasalahan khas yang terjadi pada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) terutama pada mereka yang bergender perempuan. Terdapat kemungkinan di mana mereka cenderung memperoleh perlakuan yang tidak seharusnya dari sejumlah pihak. Kali ini, peneliti mencoba fokus pada anak-anak yang mengalami penahanan, lebih khusus lagi pada mereka yang bergender perempuan. Mengapa fokus pada anak perempuan? Pada intinya, kami melihat bahwa anak perempuan memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat disamakan dengan anak laki-laki, seperti kebutuhan bagi pemenuhan kesehatan reproduksi. Sayangnya, sedikit sekali penjara atau rumah tahanan yang mampu menyediakan kebutuhan tersebut dengan baik. Selain itu, hak perempuan terhadap harga diri dan penghormatan juga seringkali dilanggar dalam proses penahanan. Lebih luas lagi, peneliti juga berusaha untuk sensitif terhadap peran dan fungsi pemenjaraan sendiri sebagai bentuk penghukuman terhadap anak-anak. Peneliti mencoba melihat sejauh mana penahanan anak tersebut efektif menangani kasus pidana yang dilakukan anak atau hanya bentuk lain dari perampasan hak anak, bahwa kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama.[1]
Untuk menyamakan persepsi, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam membatasi usia anak, pasal 1 undang-undang ini menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selain itu, istilah ‘anak yang berhadapan dengan hukum’ dipahami sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun yang diduga, dituduh, dan diakui telah melakukan pelanggaran hukum pidana[2]. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam rangka memperoleh informasi reliabel yang mendalam dari para informan terpilih mengenai gambaran kondisi dan situasi anak perempuan yang berhubungan dengan hukum terkait. Berdasarkan pendekatan yang digunakan, penelitian ini dikembangkan secara deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran rinci atas permasalahan yang diangkat. Untuk memperoleh informasi, tim peneliti menggunakan depth interview sebagai teknik pengumpulan data. Informasi lain yang mendukung reliabilitas langsung diperoleh dari sumber literatur lain yang mendukung topik permasalahan. Peneliti mengambil objek penelitian yang berlokasi di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.  Lokasi tersebut dipilih berdasarkan kategori tahanan yang ditempatkan pada lokasi tersebut, yaitu anak perempuan dan perempuan dewasa, yang peneliti anggap sesuai dengan tema penelitian yang diangkat. Peneliti mengajukan surat izin penelitian kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, DKI Jakarta pada Rabu, 15 November 2012.  Rujukan dari pihak terkait terdisposisi pada Selasa, 27 November 2012.  Pertemuan serta depth interview dengan ketiga informan dilakukan secara bertahap dari Senin, 3 November 2012 hingga satu minggu selanjutnya.
Harapannya, penelitian ini mampu menggambarkan pola perlakuan masyarakat Rumah Tahanan Pondok Bambu terhadap tahanan anak perempuan. Sehingga, peneliti mendapatkan pula gambaran kerentanan, risiko-risiko, atau bahkan viktimisasi yang dihadapi anak perempuan yang berada di dalam tahanan untuk kemudian gambaran ini dapat peneliti jadikan dasar atau pendukung usulan pembuatan kebijakan yang menentang penghukuman anak dengan penahanan.
Penelitian ini melibatkan tiga informan ABH yang ditempatkan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Anak pertama bernama Anne (nama disamarkan), 17 tahun, sudah berada di rumah tahanan selama dua bulan karena keterlibatannya dalam kasus pengeroyokan yang dilakukan bersama enam orang teman lainnya.  Selanjutnya, Lissie (nama disamarkan), 17 tahun, berada di rumah tahanan selama empat bulan karena kasus penipuan sejumlah Rp 5.000.000,00 yang ‘diduga’ melibatkan dirinya.  Informan berasal dari Makassar dan ditempatkan di Jakarta karena pelapor berdomisili di Jakarta. Kemudian, Keirra (nama disamarkan), 16 tahun, sudah berada di rumah tahanan selama dua bulan karena kasus tawuran antar pelajar bersama teman lainnya yang ditahan di rumah tahanan Salemba.
Melalui pendekatan dan wawancara yang dilakukan selama seminggu berturut-turut, peneliti menemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan permasalahan yang diangkat. Menurut informan, anak-anak yang melakukan tindak pidana kebanyakan berasal dari kelas menengah bawah, hal ini juga diperkuat dengan data kepolisian setempat. Lagi-lagi, kemiskinanlah biang keladinya, masalah ekonomi sudah semakin terasa klasik bahkan bagi seorang anak. Ditemukan pula praktik-praktik pembayaran ‘gelap’ yang tidak legal, seperti pembayaran uang turun kamar kurang lebih Rp 3.000.000,00 bagi tahanan baru (belum termasuk uang kamar dan biaya hidup lain). Rutan tersebut juga tidak secara khusus memperhatikan kebutuhan dasar perempuan seperti pembalut dan pakaian dalam. Penempatan tahanan anak-anak perempuan bersama tahanan perempuan dewasa juga sangat mempengaruhi perkembangan mental anak yang ‘dipaksa’ untuk dewasa sebelum masanya. Di luar itu, masih banyak temuan lain yang intinya mengantarkan pada sebuah kesimpulan yang memperjelas bahwa penjara memang bukan tempat bagi anak-anak.
Sayangnya, undang-undang yang berlaku di Indonesia saat ini sangat tidak sensitif anak. Berkebalikan dengan tujuan pelaksanaan diadakannya sistem penahanan atau pemenjaraan bagi anak, yaitu sebagai fungsi “proteksi” dan “memprioritaskan kebaikan anak”, care bukanlah apa yang anak-anak perempuan ini dapatkan ketika mereka berada di penjara. Banyak hak anak yang terabaikan. Penerapan pemenjaraan yang tidak sensitif gender pun semakin menambah panjang alasan mengapa pemidanaan bentuk ini sangat tidak baik bagi anak perempuan. Pada dasarnya memang karena perempuan dekat dengan viktimisasi dan sangat rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual. Ekspektasi sosial terhadap anak perempuan serta pengalaman anak perempuan pun berbeda dengan anak laki-laki yang menyebabkan perkembangan anak perempuan dalam masa-masa remaja mereka dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga, proses peradilan anak memiliki dampak yang berbeda bagi anak-anak perempuan dari dampak yang diterima oleh anak laki-laki. Hal ini semakin menunjukkan ketidaklayakan tahanan sebagai muara penghukuman bagi anak-anak. Bagaimanapun bentuknya, penjara bukanlah tempat bagi anak. Dan harus ada perbaikan kebijakan yang melarang pemenjaraan sebagai bentuk penghukuman bagi anak.


REFERENSI
Alemagno, Sonia A.  2006.  Juveniles in Detention: How Do Girls Differ from Boys.  Journal of Correctional Health Care 12.  45-51
Dirks, Danielle.  2004.  Sexual Revictimizatoin and Retraumatization of Women in Prison.  Women’s Studies Quarterly 32. 102
Dodge, L.Mara.  1999.  One Female Prisoners is of More Trouble than Twenty Males: Women Convicts in Illinois Prisons, 1835-1896.  Oxford Journal 32.  907-930
Dohrn, Bernardine.  2004.  All Ellas: Girls Locked Up.  Feminist Studies 30.  302-324
Sherman, Francine T.  2005.  Detention Reforms and Girls: Challenges and Solutions.  Baltimore: The Annie E. Casey Foundation



[1] Konvensi Hak Anak, Pasal 3. Hak-hak anak lain yang wajib dipenuhi oleh semua pihak telah terangkum dalam Konvensi Hak Anak yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989.
[2]Detrick, Sharon, et. all.  Violence against Children in Conflict with the Law (2008), pg.

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen

Montag, 18. März 2013

abstrak #1


Beberapa minggu belakangan ini nyoba untuk terus produktif ngirim-ngirim abstrak kesana-sini. Hingga, voila! jadilah abstrak pertama saya. Agak gak menantang sih ini bikinnya, karena tinggal edit-edit penelitian yang lalu untuk tugas mata kuliah Perlindungan Anak haha Tapi tetep aja ya, hasilnya gak bagus-bagus amat. Anyway, abstrak ini dikirim ke Conference on Poverty and Social Protection nih. Biar jelek, tapi semoga ya haha #semoga! ohiyak, in progress nih next abstrak. Doain yak, semoga membaik. Amin. Okay, lets enjoy this one!
---
Gambaran Viktimisasi Tahanan Anak Perempuan Rumah Tahanan Pondok Bambu sebagai Pendukung Penolakan Penahanan Anak Perempuan
Oleh Lili Nur Indah Sari

Ada banyak pihak yang berperan untuk menjamin berhasilnya pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Secara ideal, masa kanak-kanak sarat akan permainan dan pembelajaran mengenai banyak hal di mana keluarga, sekolah, dan masyarakat mengambil peran penting di dalamnya. Maka dari itu, hilangnya satu peran dapat berpengaruh pada sempurna atau tidaknya tumbuh kembang anak. Dalam keadaan lain, terdapat pula situasi yang bertolak belakang dengan masa tersebut sehingga berimplikasi pada ketidaksempurnaan pembentukan dasar kepribadian anak. Situasi tersebut salah satunya dialami oleh anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law).
Mengacu kepada hal tersebut, peneliti melihat bahwa terdapat kecenderungan permasalahan khas yang terjadi pada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) terutama pada mereka yang bergender perempuan. Terdapat kemungkinan di mana mereka cenderung memperoleh perlakuan yang tidak seharusnya dari sejumlah pihak. Kali ini, peneliti mencoba fokus pada anak-anak yang mengalami penahanan, lebih khusus lagi pada mereka yang bergender perempuan. Mengapa fokus pada anak perempuan? Pada intinya, kami melihat bahwa anak perempuan memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat disamakan dengan anak laki-laki, seperti kebutuhan bagi pemenuhan kesehatan reproduksi. Sayangnya, sedikit sekali penjara atau rumah tahanan yang mampu menyediakan kebutuhan tersebut dengan baik. Selain itu, hak perempuan terhadap harga diri dan penghormatan juga seringkali dilanggar dalam proses penahanan. Lebih luas lagi, peneliti juga berusaha untuk sensitif terhadap peran dan fungsi pemenjaraan sendiri sebagai bentuk penghukuman terhadap anak-anak. Peneliti mencoba melihat sejauh mana penahanan anak tersebut efektif menangani kasus pidana yang dilakukan anak atau hanya bentuk lain dari perampasan hak anak, bahwa kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama.[1]
Untuk menyamakan persepsi, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam membatasi usia anak, pasal 1 undang-undang ini menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selain itu, istilah ‘anak yang berhadapan dengan hukum’ dipahami sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun yang diduga, dituduh, dan diakui telah melakukan pelanggaran hukum pidana[2]. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam rangka memperoleh informasi reliabel yang mendalam dari para informan terpilih mengenai gambaran kondisi dan situasi anak perempuan yang berhubungan dengan hukum terkait. Berdasarkan pendekatan yang digunakan, penelitian ini dikembangkan secara deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran rinci atas permasalahan yang diangkat. Untuk memperoleh informasi, tim peneliti menggunakan depth interview sebagai teknik pengumpulan data. Informasi lain yang mendukung reliabilitas langsung diperoleh dari sumber literatur lain yang mendukung topik permasalahan. Peneliti mengambil objek penelitian yang berlokasi di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.  Lokasi tersebut dipilih berdasarkan kategori tahanan yang ditempatkan pada lokasi tersebut, yaitu anak perempuan dan perempuan dewasa, yang peneliti anggap sesuai dengan tema penelitian yang diangkat. Peneliti mengajukan surat izin penelitian kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, DKI Jakarta pada Rabu, 15 November 2012.  Rujukan dari pihak terkait terdisposisi pada Selasa, 27 November 2012.  Pertemuan serta depth interview dengan ketiga informan dilakukan secara bertahap dari Senin, 3 November 2012 hingga satu minggu selanjutnya.
Harapannya, penelitian ini mampu menggambarkan pola perlakuan masyarakat Rumah Tahanan Pondok Bambu terhadap tahanan anak perempuan. Sehingga, peneliti mendapatkan pula gambaran kerentanan, risiko-risiko, atau bahkan viktimisasi yang dihadapi anak perempuan yang berada di dalam tahanan untuk kemudian gambaran ini dapat peneliti jadikan dasar atau pendukung usulan pembuatan kebijakan yang menentang penghukuman anak dengan penahanan.
Penelitian ini melibatkan tiga informan ABH yang ditempatkan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Anak pertama bernama Anne (nama disamarkan), 17 tahun, sudah berada di rumah tahanan selama dua bulan karena keterlibatannya dalam kasus pengeroyokan yang dilakukan bersama enam orang teman lainnya.  Selanjutnya, Lissie (nama disamarkan), 17 tahun, berada di rumah tahanan selama empat bulan karena kasus penipuan sejumlah Rp 5.000.000,00 yang ‘diduga’ melibatkan dirinya.  Informan berasal dari Makassar dan ditempatkan di Jakarta karena pelapor berdomisili di Jakarta. Kemudian, Keirra (nama disamarkan), 16 tahun, sudah berada di rumah tahanan selama dua bulan karena kasus tawuran antar pelajar bersama teman lainnya yang ditahan di rumah tahanan Salemba.
Melalui pendekatan dan wawancara yang dilakukan selama seminggu berturut-turut, peneliti menemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan permasalahan yang diangkat. Menurut informan, anak-anak yang melakukan tindak pidana kebanyakan berasal dari kelas menengah bawah, hal ini juga diperkuat dengan data kepolisian setempat. Lagi-lagi, kemiskinanlah biang keladinya, masalah ekonomi sudah semakin terasa klasik bahkan bagi seorang anak. Ditemukan pula praktik-praktik pembayaran ‘gelap’ yang tidak legal, seperti pembayaran uang turun kamar kurang lebih Rp 3.000.000,00 bagi tahanan baru (belum termasuk uang kamar dan biaya hidup lain). Rutan tersebut juga tidak secara khusus memperhatikan kebutuhan dasar perempuan seperti pembalut dan pakaian dalam. Penempatan tahanan anak-anak perempuan bersama tahanan perempuan dewasa juga sangat mempengaruhi perkembangan mental anak yang ‘dipaksa’ untuk dewasa sebelum masanya. Di luar itu, masih banyak temuan lain yang intinya mengantarkan pada sebuah kesimpulan yang memperjelas bahwa penjara memang bukan tempat bagi anak-anak.
Sayangnya, undang-undang yang berlaku di Indonesia saat ini sangat tidak sensitif anak. Berkebalikan dengan tujuan pelaksanaan diadakannya sistem penahanan atau pemenjaraan bagi anak, yaitu sebagai fungsi “proteksi” dan “memprioritaskan kebaikan anak”, care bukanlah apa yang anak-anak perempuan ini dapatkan ketika mereka berada di penjara. Banyak hak anak yang terabaikan. Penerapan pemenjaraan yang tidak sensitif gender pun semakin menambah panjang alasan mengapa pemidanaan bentuk ini sangat tidak baik bagi anak perempuan. Pada dasarnya memang karena perempuan dekat dengan viktimisasi dan sangat rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual. Ekspektasi sosial terhadap anak perempuan serta pengalaman anak perempuan pun berbeda dengan anak laki-laki yang menyebabkan perkembangan anak perempuan dalam masa-masa remaja mereka dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga, proses peradilan anak memiliki dampak yang berbeda bagi anak-anak perempuan dari dampak yang diterima oleh anak laki-laki. Hal ini semakin menunjukkan ketidaklayakan tahanan sebagai muara penghukuman bagi anak-anak. Bagaimanapun bentuknya, penjara bukanlah tempat bagi anak. Dan harus ada perbaikan kebijakan yang melarang pemenjaraan sebagai bentuk penghukuman bagi anak.


REFERENSI
Alemagno, Sonia A.  2006.  Juveniles in Detention: How Do Girls Differ from Boys.  Journal of Correctional Health Care 12.  45-51
Dirks, Danielle.  2004.  Sexual Revictimizatoin and Retraumatization of Women in Prison.  Women’s Studies Quarterly 32. 102
Dodge, L.Mara.  1999.  One Female Prisoners is of More Trouble than Twenty Males: Women Convicts in Illinois Prisons, 1835-1896.  Oxford Journal 32.  907-930
Dohrn, Bernardine.  2004.  All Ellas: Girls Locked Up.  Feminist Studies 30.  302-324
Sherman, Francine T.  2005.  Detention Reforms and Girls: Challenges and Solutions.  Baltimore: The Annie E. Casey Foundation



[1] Konvensi Hak Anak, Pasal 3. Hak-hak anak lain yang wajib dipenuhi oleh semua pihak telah terangkum dalam Konvensi Hak Anak yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989.
[2]Detrick, Sharon, et. all.  Violence against Children in Conflict with the Law (2008), pg.

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen

Popular posts