Entah hal apa yang membuat dia begitu percaya pada saya, sampai-sampai dia membuka sebagian besar kisah romansanya pada saya--yang terlarang sekalipun. Duh, gimana ya, saya memang tumbuh di kota metropolitan Jakarta yang terkenal sangat-sangat 'liar'. Tapi, saya sangat-sangat lugu soal cinta. Pacaran pun saya tak pernah. Eh tapi, pernah sih dulu waktu SMP. Jadi, saya punya teman dekat laki-laki. Suatu hari, dia bilang suka kepada saya di koridor depan kelas. Dia menanyakan, apa saya mau jadi pacarnya, lalu saya mengangguk malu. Itu artinya kami sudah jadian ya? Tapi, anehnya, justru setelah hari itu, kita tidak pernah menghabiskan waktu bersama lagi. Hubungan kami malah semakin renggang. Sampai suatu hari, dia mengajak saya untuk mengakhiri hubungan tersebut. Well, mungkin itu cara Allah menyelamatkan saya ya.
Lebih dari itu, selama SMA, kuliah dan bekerja seperti saat ini, saya tidak pernah benar-benar menjalin hubungan serius dengan laki-laki. Urusan project, pekerjaan atau organisasi membuat saya sempat dekat dengan beberapa teman laki-laki. Tapi, setiap saya merasa ada sesuatu yang berbeda di antara kita, asiks, entah dia yang mulai memberikan perhatian lebih atau saya yang mulai berdebar di dekatnya, pasti saya memilih untuk menghindar dari hubungan tersebut. Saya masih meyakini bahwa pacaran melanggar SOP hubungan antar lawan jenis yang bukan mahram. Hehe. Jadi, sebisa mungkin, saya menahan diri untuk itu, demi izzah dan iffah saya sebagai seorang perempuan.
Eh tapi, bukan berarti saya melabel 'salah' semua orang yang berpacaran ya. Saya masih minim ilmu, mungkin teman-teman yang berpacaran punya interpretasi sendiri tentang hubungan semacam itu, Wallahu a'lam. Saya tidak ingin membawa tulisan ini ke perdebatan tersebut.
Mari kembali lagi ke perempuan yang main ke kosan. Dia masih sangat muda, satu tahun di bawah adik saya yang saat ini berumur 20 tahun. Tumbuh di kota kecil dari keluarga sederhana. Tapi, berdasarkan cerita pengalaman pacarannya, saya merasa gaya berpacarannya sudah terlampau dewasa. Fantasi seksualnya juga sedikit tidak wajar untuk ukuran anak seusianya. Saya jadi takut sendiri, apa memang demikian potret anak muda jaman sekarang? Apa kabar adik saya ya? :(
Itu baru cerita di hari Sabtu. Pada hari Minggu, saat dia kembali main ke kosan saya, dia membawa cerita yang semakin membuat saya gelisah sendiri. Walaupun, saat itu, saya sebisa mungkin untuk memasang wajah tidak terkejut, biasa saja. Dia bilang, dia pernah dekat dengan seorang pria beristri. Dia sodorkan kepada saya berbagai screenshot chat mereka. Sejujurnya, perkara ini saya sudah tahu sejak lama. Berita tentang dia dan si pria beristri sudah menjadi rahasia umum. Dia melanjutkan dengan menceritakan sejauh apa hubungan mereka. Nah, yang ini saya belum pernah dengar. Saya pun kaget dibuatnya, walaupun ekspresi yang saya tampilkan tetap ekspresi datar. Menurut pengakuan si perempuan yang main ke kosan, ia dan pria beristri sudah sering pergi bersama, menyepi berdua atau bahkan ke kamar hotel yang mereka sewa.
Saya mual. Saya tidak paham apakah yang barusan itu pengakuan jujur atau hiperbolis bercampur fantasi remaja tanggung yang hanya hampir berkepala dua. Saya tidak mampu membendung naluri judgmental saya untuk membandingkan perilaku si pria beristri dengan wajahnya yang polos (bahkan cenderung kekanakkan karena usianya yang memang hanya satu tahun di atas saya), shalatnya yang rajin (mayanlah, kalau denger adzan, doi langsung sholat), serta sikapnya yang pendiam, tak banyak bicara, tak banyak flirting seperti kebanyakan lelaki genit pada umumnya.
Saat ini, si perempuan yang main ke kosan mengaku jika hubungannya dengan pria beristri itu sudah merenggang. Hal tersebut dikarenakan beberapa chat dari pria beristri yang menyinggung perasaannya. Misalnya, ketika pria beristri sejak dirinya bukan apa-apa. Sedangkan, si perempuan yang main ke kosan baru mengenal si pria beristri ketika ia sudah ada di posisi sekarang.
Sialan, saya ikut mengumpat. Kenapa dia menghubungkan skandal tersebut dengan jabatannya? Seolah tidak akan pernah ada cinta utuh dan murni yang diberikan perempuan kepada seorang laki-laki. Seolah semua cinta perempuan transaksional. Cinta tidak sedangkal itu, Bung!
Di waktu yang lain, perkataan si suami beristri tidak kalah membuat nyeri hati. Ia mengajak si perempuan yang main ke kosan untuk tidur bersama, dengan sebelumnya memberikan disclaimer: "Tapi, kalau terjadi apa-apa, kamu tidak bisa menuntut apa-apa ke saya ya!" Cuy, lo belum pernah ke toko pecah belah kali ya? Pecah berarti membeli, woy! Lu pegang barang dagangan, dan itu pecah aja lu disuruh tanggung jawab bayar, apalagi ini lo buka segel anak orang.
Yang lucu, komentar perempuan yang main ke kosan ini tidak kalah membuat hati teriris. Dia bilang, dia sakit hati dengan perkataan pria beristri itu. "Masa dia nggak mau tanggung jawab coba, Mba! Kan kurang ajar, nggak terima aku." Saya mencoba mencerna, lalu mengklarifikasi, "Bentar-bentar, jadi kamu nggak terimanya karena apa nih? Karena dia ngajakin kamu tidur atau karena dia nggak mau tanggung jawab?" Dengan santainya, si perempuan yang main ke kosan jawab, "Yaa, karena dia nggak mau tanggung jawab lah. Emang aku cewek apaan............"
Dia meneruskan ceracaunya. Dan saya tertawa miris. Kamu sakit hati untuk hal yang salah, dek. Bahkan untuk menyentuhmu saja, sungguh dia tidak berhak, apalagi menidurimu. Perkataan pria beristri itu, sebetulnya tidak perlu diucapkan. Atau justru tidak pantas keluar dari mulutnya.
Menjelang kepulangannya, perempuan yang main ke kosan menanyakan pendapat saya. Apakah perbuatan mereka itu salah, siapa yang patut dipersalahkan, apakah sebaiknya ia menghentikan itu semua, dan berbagai pertanyaan lainnya.
Saya tersenyum tipis. Ringan, saya menjawab, "Kamu sendiri yang paling tahu jawabannya."
Bojonegoro, 30 April 2018
Lebih dari itu, selama SMA, kuliah dan bekerja seperti saat ini, saya tidak pernah benar-benar menjalin hubungan serius dengan laki-laki. Urusan project, pekerjaan atau organisasi membuat saya sempat dekat dengan beberapa teman laki-laki. Tapi, setiap saya merasa ada sesuatu yang berbeda di antara kita, asiks, entah dia yang mulai memberikan perhatian lebih atau saya yang mulai berdebar di dekatnya, pasti saya memilih untuk menghindar dari hubungan tersebut. Saya masih meyakini bahwa pacaran melanggar SOP hubungan antar lawan jenis yang bukan mahram. Hehe. Jadi, sebisa mungkin, saya menahan diri untuk itu, demi izzah dan iffah saya sebagai seorang perempuan.
Eh tapi, bukan berarti saya melabel 'salah' semua orang yang berpacaran ya. Saya masih minim ilmu, mungkin teman-teman yang berpacaran punya interpretasi sendiri tentang hubungan semacam itu, Wallahu a'lam. Saya tidak ingin membawa tulisan ini ke perdebatan tersebut.
Mari kembali lagi ke perempuan yang main ke kosan. Dia masih sangat muda, satu tahun di bawah adik saya yang saat ini berumur 20 tahun. Tumbuh di kota kecil dari keluarga sederhana. Tapi, berdasarkan cerita pengalaman pacarannya, saya merasa gaya berpacarannya sudah terlampau dewasa. Fantasi seksualnya juga sedikit tidak wajar untuk ukuran anak seusianya. Saya jadi takut sendiri, apa memang demikian potret anak muda jaman sekarang? Apa kabar adik saya ya? :(
Itu baru cerita di hari Sabtu. Pada hari Minggu, saat dia kembali main ke kosan saya, dia membawa cerita yang semakin membuat saya gelisah sendiri. Walaupun, saat itu, saya sebisa mungkin untuk memasang wajah tidak terkejut, biasa saja. Dia bilang, dia pernah dekat dengan seorang pria beristri. Dia sodorkan kepada saya berbagai screenshot chat mereka. Sejujurnya, perkara ini saya sudah tahu sejak lama. Berita tentang dia dan si pria beristri sudah menjadi rahasia umum. Dia melanjutkan dengan menceritakan sejauh apa hubungan mereka. Nah, yang ini saya belum pernah dengar. Saya pun kaget dibuatnya, walaupun ekspresi yang saya tampilkan tetap ekspresi datar. Menurut pengakuan si perempuan yang main ke kosan, ia dan pria beristri sudah sering pergi bersama, menyepi berdua atau bahkan ke kamar hotel yang mereka sewa.
Saya mual. Saya tidak paham apakah yang barusan itu pengakuan jujur atau hiperbolis bercampur fantasi remaja tanggung yang hanya hampir berkepala dua. Saya tidak mampu membendung naluri judgmental saya untuk membandingkan perilaku si pria beristri dengan wajahnya yang polos (bahkan cenderung kekanakkan karena usianya yang memang hanya satu tahun di atas saya), shalatnya yang rajin (mayanlah, kalau denger adzan, doi langsung sholat), serta sikapnya yang pendiam, tak banyak bicara, tak banyak flirting seperti kebanyakan lelaki genit pada umumnya.
Saat ini, si perempuan yang main ke kosan mengaku jika hubungannya dengan pria beristri itu sudah merenggang. Hal tersebut dikarenakan beberapa chat dari pria beristri yang menyinggung perasaannya. Misalnya, ketika pria beristri sejak dirinya bukan apa-apa. Sedangkan, si perempuan yang main ke kosan baru mengenal si pria beristri ketika ia sudah ada di posisi sekarang.
Sialan, saya ikut mengumpat. Kenapa dia menghubungkan skandal tersebut dengan jabatannya? Seolah tidak akan pernah ada cinta utuh dan murni yang diberikan perempuan kepada seorang laki-laki. Seolah semua cinta perempuan transaksional. Cinta tidak sedangkal itu, Bung!
Di waktu yang lain, perkataan si suami beristri tidak kalah membuat nyeri hati. Ia mengajak si perempuan yang main ke kosan untuk tidur bersama, dengan sebelumnya memberikan disclaimer: "Tapi, kalau terjadi apa-apa, kamu tidak bisa menuntut apa-apa ke saya ya!" Cuy, lo belum pernah ke toko pecah belah kali ya? Pecah berarti membeli, woy! Lu pegang barang dagangan, dan itu pecah aja lu disuruh tanggung jawab bayar, apalagi ini lo buka segel anak orang.
Yang lucu, komentar perempuan yang main ke kosan ini tidak kalah membuat hati teriris. Dia bilang, dia sakit hati dengan perkataan pria beristri itu. "Masa dia nggak mau tanggung jawab coba, Mba! Kan kurang ajar, nggak terima aku." Saya mencoba mencerna, lalu mengklarifikasi, "Bentar-bentar, jadi kamu nggak terimanya karena apa nih? Karena dia ngajakin kamu tidur atau karena dia nggak mau tanggung jawab?" Dengan santainya, si perempuan yang main ke kosan jawab, "Yaa, karena dia nggak mau tanggung jawab lah. Emang aku cewek apaan............"
Dia meneruskan ceracaunya. Dan saya tertawa miris. Kamu sakit hati untuk hal yang salah, dek. Bahkan untuk menyentuhmu saja, sungguh dia tidak berhak, apalagi menidurimu. Perkataan pria beristri itu, sebetulnya tidak perlu diucapkan. Atau justru tidak pantas keluar dari mulutnya.
Menjelang kepulangannya, perempuan yang main ke kosan menanyakan pendapat saya. Apakah perbuatan mereka itu salah, siapa yang patut dipersalahkan, apakah sebaiknya ia menghentikan itu semua, dan berbagai pertanyaan lainnya.
Saya tersenyum tipis. Ringan, saya menjawab, "Kamu sendiri yang paling tahu jawabannya."
Bojonegoro, 30 April 2018
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen