Ciliwung Kini.
Hilir-Hulunya Dulu, Tak Begini
Siapa
yang tak kenal Sungai Ciliwung? Salah satu sungai yang berani-beraninya
melenggang tenang membelah kota Jakarta dari Gunung Pangrango, Jawa Barat
hingga bermuara di Teluk Jakarta. Salah satu sungai yang dulu diunggulkan
Belanda karena memiliki pelabuhan terbaik di nusantara dengan muaranya yang
cukup ‘dalam’. Salah satu sungai yang selalu menjadi muara kutukan, karena dianggap
pembawa banjir kiriman. Sungai Ciliwung memang menyimpan banyak cerita. Sebagai
saksi bisu tingkah laku budaya (cultural
behavior), peninggalan benda budaya (cultural
artifact), serta alat rekam abadi pengetahuan budaya (cultural knowledge)[1] yang
menjadi dasar pemahaman masyarakat dalam melihat perkembangan kearifan lokal
dan sudut pandangnya terhadap lingkungan.
Sayangnya,
Ciliwung kini tak sama dengan yang dulu. Ciliwung tidak dapat lagi diharapkan
sebagai sumber kehidupan. Mengacu pada evaluasi
dan hasil pelaksanaan Pemantauan Kualitas Air 33 Propinsi Tahun 2011 oleh
Pusarpedal Kementerian Lingkungan Hidup yang disampaikan dalam Rakernis PKA 33
Provinsi di Jayapura, Papua, didapatkan fakta bahwa dari 51 sungai yang
dipantau di Indonesia, 74% masuk dalam kategori tercemar berat, dan salah
satunya adalah Sungai Ciliwung.[2]
Selain itu, Pusat Penelitian Limnologi LIPI
juga menyatakan bahwa sungai Ciliwung telah terbukti mengandung merkuri sekitar
0,7 – 1,0 ppb. Kandungan merkuri tersebut semakin meningkat menjadi 1,8 – 2,8
ppb di Bendungan Katulampa. Padahal, kadar merkuri yang sekitar 0,0012 ppb saja,
telah tergolong kronis dan membahayakan biota sungai, bahkan jentik nyamuk pun
tak akan bisa hidup. Hal
ini diakibatkan pembuangan limbah rumah tangga dan pabrik, seperti deterjen,
tinja serta bahan-bahan kimia tak terurai lainnya, yang dilakukan tanpa
responsibilitas terhadap daya dukung lingkungan di masa depan.[3]
Pada dasarnya, program pelestarian Sungai Ciliwung telah
banyak dilakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Hanya saja, dalam
pelaksanaannya, program tersebut memiliki banyak kelemahan, seperti kebijakan
pendukung yang tidak fleksibel, lemahnya penegakan hukum, tidak ada ruang
penataan yang disepakati oleh seluruh pihak terkait, serta yang paling penting,
pelaksanaan setiap program yang masih sangat sentralistik.[4]
Pelaksanaan program pelestarian Ciliwung yang sentralistik ini membuat setiap
program yang ada terkesan jalan di tempat. Hal ini terjadi karena jarang sekali
ada komunikasi yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat setempat pada
proses perencanaannya. Sehingga, program-program yang ditelurkan pun tidak
kontekstual, tidak sesuai dengan kearifan dan kebudayaan masyarakat lokal.
Karenanya, tidak jarang kita melihat bahwa pemerintah bergerak sendiri, tanpa
dukungan masyarakat setempat—atau justru mendapat penolakan, dalam
mengimplementasikan program pelestarian Ciliwung. Penyebabnya, lagi-lagi karena
pemerintah gagal men-transfer kesadaran
akan kritisnya kondisi Ciliwung kepada masyarakat, karena kebijakan yang sentralistik
itu tadi.
Dengan demikian, saya melihat perlu adanya semacam mekanisme
yang berbasis masyarakat dalam upaya penyelamatan Sungai Ciliwung. Bukan
saatnya lagi bagi pemerintah untuk bekerja sendiri-sendiri dalam menyelamatkan
sungai. Responsibilitas terhadap keberlangsungan peradaban sungai Ciliwung
harus ditularkan ke masyarakat dalam skala mikro, yaitu melalui pelibatan
mereka dalam berbagai aksi penyelamatan dan perawatan. Mengutip sedikit
perkataan Fauzi Bowo, mantan Gubernur DKI Jakarta, ketika ditanyakan tentang
bagaimana seharusnya upaya penyelamatan Ciliwung dilakukan, beliau berujar, “Pola pikir semua Pemda dan masyarakat harus
diubah. Ini bukan soal daerah hulu milik siapa dan hilir punya siapa, tetapi
ini adalah ‘us’—punya kita bersama dan yang berkepentingan agar sungai ini
bersih adalah ‘we’—kita semua.”
Bentuk pelibatan masyarakat dalam
pengelolaan sungai Ciliwung dapat dilakukan dengan melakukan pengorganisasian
masyarakat setempat. Pengorganisasian masyarakat sendiri diartikan sebagai
proses membangun kekuatan dengan melibatkan konstituen sebanyak mungkin melalui
proses menemu-kenali ancaman yang ada secara bersama-sama, menemu-kenali
penyelesaian-penyelesaian yang diinginkan terhadap ancaman-ancaman yang ada,
menemu-kenali orang, struktur,
birokrasi, serta perangkat yang ada, agar proses penyelesaian yang dipilih
menjadi mungkin dilakukan, menyusun sasaran yang harus dicapai dan membangun
sebuah institusi yang secara demokratis diawasi oleh seluruh konstituen.
Sehingga, mampu mengembangkan kapasitas untuk menangani ancaman dan menampung
semua keinginan dan kekuatan konstituen yang ada (Dave
Beckwith dan Cristina Lopez, 1997 dalam Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL
IPB[5]).
Pada umumnya, pengorganisasian masyarakat, berdasarkan pada bentuk yang
disarankan Racelis (1994), dilakukan dengan melakukan beberapa tahapan, seperti
pengintegrasian, penyidikan sosial, program percobaan, pembuatan landasan
kerja, pertemuan teratur, permainan peran, mobilisasi atau aksi, evaluasi,
refleksi, dan terakhir terbentuklah organisasi kemasyarakatan, baik formal atau
pun informal .[6]
Beberapa
contoh pengorganisasian masyarakat daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung yang
cukup baik terlaksana adalah pembentukan Komunitas Pecinta dan Pemulih Sungai
Ciliwung oleh Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basan (ECOTON).
ECOTON sendiri seringkali mengadakan pelatihan-pelatihan bagi masyarakat
setempat terkait dengan upaya pelestarian sungai Ciliwung dalam skala mikro.
Seperti pelatihan fasilitator biotilik kesehatan Ciliwung yang dilakukan di
Desa Cisampay, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Biotilik adalah cara pemantauan
kualitas air dengan mengaduk dasar sungai menggunakan jaring, lalu mengambil
beberapa sampel air tersebut, kemudian memisahkan biota air yang nampak
bergerak-gerak pada air tersebut ke dalam plastik-plastik cetakan es batu dengan menggunakan sendok. Penggunaan
alat-alat yang cukup sederhana membuat metode ini sangat mudah, murah dan
sesuai untuk diplikasikan di masyarakat.Pada pelatihan tersebut, 66 peserta
dari berbagai elemen masyarakat setempat, baik guru, pelajar, komunitas dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), turut berpartisipasi.[7]
Asun
Sudirman sendiri, salah satu peserta pelatihan yang juga merupakan anggota
Ciliwung Institute ini, secara implisit mendukung upaya pelestarian sungai
Ciliwung dengan skala mikro melalui pengorganisasian masyarakat. Menurutnya,
konsep dan pendekatan pengendalian pencemaran dan pemulihan sungai yang ada selama
ini, jauh dari pelibatan masyarakat, sentralistik, dan eksklusif. Padahal,
Indonesia yang memiliki keanekaragaman habitat dan ekosistem, dengan pengaruh
kondisi lingkungan yang berbeda, tidak seharusnya diterapkan metode yang
seragam dalam pemantauan kualitas air dan upaya pemulihan daerah aliran
sungainya.
Intinya, sudah
bukan saatnya lagi kita saling tuding tentang siapa yang harus bertanggung
jawab atas meluapnya sungai Ciliwung, yang menyebabkan banjir selalu rutin
terjadi dan datang tepat waktu. Bukan saatnya lagi kita saling tunjuk tentang
apa salah siapa ataupun siapa salah apa, yang di hulu yang di hilir sama saja
tanggung jawabnya. Sungai yang mengalami ‘urbanisasi’ ini, dari desa hingga ke
kota tidak boleh lagi diperlakukan seragam. Setiap wilayah punya kearifan lokalnya
masing-masing. Mereka punya cara bijaknya sendiri tentang bagaimana sebaiknya memperlakukan si sungai tua ini. Maka, pengorganisasian masyarakat lokal adalah
salah satu pilihan yang harus dipertimbangkan. Karena Ciliwung yang ada kini,
hilir-hulunya dulu, tak begini.
[1] Dikutip
dari buku Ekspedisi Ciliwung; Mata Air,
Air Mata hal. 263, diterbitkan oleh Kompas Gramedia tahun 2009.
[2] Dikutip
dari artikel berjudul Pelatihan
Fasilitator Biotilik Kesehatan Ciliwung oleh ECOTON yang ditulis oleh Prigi
Arisandi, dimuat pada https://www.lingkungankita.com/media/set/?9362300027&type=1
dan diakses pada 9 Juni 2013 pkl. 03.02 WIB
[3] Dikutip
dari artikel berjudul Air Sungai Ciliwung
Mengandung Zat Berbahaya yang dimuat dalam http://www.beritabogor.com/2013/03/air-sungai-ciliwung-mengadung-zat.html,
diakses pada tanggal 16 Juni 2013 pkl. 12.48 WIB.
[4] Kompas
Gramedia, op. cit., hal. 265
[5] Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB hal.
2 diakses dari http://www.scribd.com/doc/80864332/MODUL-Pengorganisasian-Masyarakat
pada tanggal 14 Juni 2013 pkl. 08.22 WIB.
[6] Modul Pengorganisasian Masyarakat PKSPL IPB hal.
5 – 6 diakses dari http://www.scribd.com/doc/80864332/MODUL-Pengorganisasian-Masyarakat
pada tanggal 14 Juni 2013 pkl. 08.22 WIB.
[7] Dikutip
dari artikel berjudul Pelatihan
Fasilitator Biotilik Kesehatan Ciliwung oleh ECOTON yang ditulis oleh Prigi
Arisandi, dimuat pada https://www.lingkungankita.com/media/set/?9362300027&type=1
dan diakses pada 9 Juni 2013 pkl. 03.02 WIB.
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen