Bulan Ramadhan memang identik dengan bulan berlimpah pahala. Dimana, setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apapun, akan diganjar pahala dengan angka konversi yang jauh lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Begitu tumpah ruahnya pahala di bulan ini, sampai-sampai, beredar hadist di masyarakat yang mengatakan bahwa di bulan Ramadhan, sekalipun kamu tidur, pahala akan terus mengalir, karena tidurnya orang berpuasa adalah ibadah. Sayangnya, tidak banyak orang tahu jika hadist yang mereka gunakan untuk menjustifikasi aktivitas tidur berlebihan mereka di bulan puasa itu dhaif.
Usut punya usut, istimewanya bulan Ramadhan ternyata mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, baik perilaku di dunia maya maupun di dunia nyata. Menurut Ariani Dwijayanti, Industry Analyst Google Indonesia, pada Ramadhan 2017, pertumbuhan pencarian aktivitas religi di Google naik hingga 34% (Tribunnews.com, 2018).
Itu baru aktivitas googling-googling di dunia maya. Bagaimana spending habit mereka selama Ramadhan di dunia nyata? Siapa tahu mereka cuma googling tanpa tindak lanjut atau googling untuk kebutuhan eksis edisi Ramadhan di social media. Siapa tahu yakan.
Ternyata, kalau manut dengan data yang dimiliki Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), saat Ramadhan, konsumsi masyarakat Indonesia naik 20 - 30%. Menurut Ibu Netty Heryawan, Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Barat, salah satu alasannya karena banyak orang menyetok kebutuhan untuk buka puasa bersama, santunan anak yatim dan aktivitas kebaikan lainnya (Republika.co.id, 2016). Btw, kenapa lu tiba-tiba mengutip pendapat istrinya Aher deh, Lil? Ya maklum, saya kan mengais data dari Republika. Ehe.
Data-data di atas menunjukkan bahwa tingkat relijiusitas masyarakat Indonesia masih terbilang tinggi. Terlihat dari adanya respon berupa perilaku positif yang signifikan saat datang bulan suci Ramadhan. Anyway, relijiusitas tidak selalu menandakan tingkat keshalihan seseorang ya. Relijius ya relijius, bersifat keagamaan. Kalau keshalihan lebih personal, menyangkut ketaatan antara kita kepada Rabb kita.
Selain itu, altruisme masyarakat kita juga tinggi, hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya aktivitas 'berbagi' yang muncul selama Ramadhan, misalnya makin banyak orang berdonasi, ngadain acara bukber di panti, sahur on the road, dll. Salah satu aktivitas kebaikan yang juga lumrah dilakukan masyarakat Indonesia adalah sedekah ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa (mon maap saya belum punya data pendukungnya). Sayangnya, dorongan altruisme untuk berbagi tadi tidak dibarengi dengan pemikiran kritis tentang kepada siapa rizki kita disalurkan. Emang dasar orang Indonesia mudah merasa iba, kita pun sangat mudah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas asal-usul dan pertanggungjawabannya, misalnya ke lembaga-lembaga yatim dan dhuafa tak berizin atau bersertifikat yang suka datang ke kantor-kantor atau rumah-rumah.
Sebenarnya, yang ingin saya garisbawahi disini bukan legalitas lembaga tersebut. Saya sendiri kurang paham, apakah ada dalil yang menyebutkan bahwa saat kita berzakat, infaq atau shadaqah, tanggung jawab kita sampai pada memastikan bahwa lembaga pengelola benar-benar terpercaya. Atau, apakah tanggung jawab kita selesai ketika kewajiban untuk menyisihkan sebagian rizki kita tertunaikan, tanpa perlu memastikan bagaimana lembaga penyalur tersebut mengelola dana kita.
Tapi, yang mau saya bahas adalah bagaimana biasanya jurus-jurus marketing dilancarkan oleh Mbak-Mbak peminta donasi. Entah kenapa, yang saya rasa, ketika menawarkan kesempatan untuk berdonasi, Mbak-Mbak tersebut lebih sering membicarakan tentang kemungkinan pahala-pahala yang akan kita dulang dari curahan doa anak panti yang kita bantu. Tapi, mereka sedikit sekali bicara untuk apa uang tersebut akan mereka gunakan, program apa yang akan dijalankan, bagaimana pertanggungjawabannya kepada kita, dan sebagainya.
"Ayo, Mbak, shodaqoh-nya, Mbak, untuk adek-adek yatim di panti. InsyaAllah doa mereka bisa membawa kita masuk sorga."
Well, nggak salah juga sih menggunakan jurus 'dahsyatnya doa anak yatim' untuk mengajak lebih banyak orang bersedekah. Kan memang faktanya doa mereka demikian luar biasa. Tapi, kalau terus-menerus narasi itu yang diulang, bisa-bisa disorientasi kita. Saya pernah baca, tapi lupa dimana maapkeun, bahwa zakat, infaq dan shadaqah yang ada di dalam Islam sebenarnya merupakan sebuah skema jaminan sosial bagi umat, agar, masyarakat yang terlahir dalam berbagai kelas ini, melalui zakat, infaq dan shadaqah bisa saling menjamin pemenuhan kebutuhan dasarnya. Semacam, yang kaya ikut menjamin hajat hidupnya si miskin melalui uang yang mereka sisihkan. Dengan begitu, jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin, yang memicu kecemburuan sosial, bisa teratasi. Di sisi lain, martabat si miskin pun terjaga karena mereka tak perlu meminta-minta. Makanya, sayang sekali jika tujuan semulia itu dikerdilkan dengan dominasi narasi tentang keberkahan doa anak yatim. Walaupun, sekali lagi, nggak ada salahnya juga sih mengharap keberkahan.
Lebih jauh, menurut analisis ecek-ecek saya, dominannya penggunaan narasi doa anak yatim yang kerap digunakan lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah untuk menarik masyarakat merupakan gambaran bahwa 'doa anak yatim' telah menjadi komoditas, dengan kata lain mengalami proses komodifikasi. Seingat saya waktu masih kuliah, komodifikasi adalah sebuah proses ketika sesuatu hal yang tidak memiliki kaitan dengan pasar, tidak bernilai jual, menjadi sebuah komoditas atau barang dagangan. Kalau menurut Om Marx, Kapitalisme adalah makhluk yang paling bertanggung jawab atas fenomena komodifikasi ini. Kapitalisme membuat segalanya mungkin diperjualbelikan. Makanya, sesuatu yang awalnya tidak memiliki nilai tukar pun dipaksa untuk memiliki label harga.
Lalu, apa yang salah dari komodifikasi doa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga zakat, infaq dan shadaqah? Bukankah mengharap keberkahan dari doa yang mereka haturkan adalah sah-sah saja? Bukankah naif jika beribadah tanpa mengharap berkah? Nah, itu dia. Kalau di Islam kan memang kita dianjurkan untuk selalu beribadah dalam takut (khauf) dan harap (rajaa'). Tapi, harap yang gimana dulu nih?
Ketika banyak lembaga zakat, infaq dan shadaqah mengajak untuk berdonasi dengan mengiming-imingi doa anak yatim yang mereka bina, lalu kita memberikan respon dengan berdonasi karena doa tersebut, maka secara tidak langsung kita telah mengaminkan proses ini sebagai sesuatu yang transaksional, 'lu jual gue beli'. Ke depan, mereka akan melihat betapa doa anak yatim binaan mereka ampuh untuk mengajak orang berdonasi. Sehingga, bukan tidak mungkin, akan dibangun narasi-narasi lain tentang si anak yatim yang bisa menarik pasar. Akhirnya, tanpa disadari, ajakan untuk berzakat, infaq dan shadaqah menjadi ajang kontestasi anak yatim mana yang paling makbul doanya, bukan lagi soal program-program mana yang paling efektif untuk pengembangan skill mereka, fasilitas apa yang butuh dibangun untuk pengembangan kapasitas mereka, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, yang terjadi adalah objektifikasi anak yatim, dimana anak yatim menjadi objek, barang atau alat pemenuhan kebutuhan orang lain.
Terus, solusinya apa dongs? Di jaman seperti ini, kita sudah tidak bisa lagi menghindar dari paparan fenomena komodifikasi. Apalagi, komodifikasi yang berhubungan dengan isu agama, mengingat kita tinggal di negara mayoritas muslim yang rasa-rasanya cukup relijius (ingat, relijius tidak selalu berhubungan dengan keshalihan). Apapun yang berbau Islam, berlabel halal dan syariah menjadi industri, dari industri pakaian muslim, bank-bank syariah, acara reliji di televisi, sampai yang selalu membuat saya geli, detergen dengan label halal nan Islami.
Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak dalam praktik komodifikasi, kita harus selalu meluruskan niat pada setiap aktivitas kebaikan yang kita lakukan, semata-mata untuk mengharap ridha Allah, bukan karena tren, ikut-ikutan atau karena harapan mendapatkan balasan duniawi. Selain itu, selalu belajar untuk melihat bigger picture dari setiap hal, khususnya dalam hal beragama. Jangan lupa, agama bukan seperangkat ilmu praktis, yang ilmunya bisa dicomot sana-sini. Setiap ajaran dalam agama punya konteks, maka kita harus memahami konteks tersebut secara utuh agar tidak salah kaprah. Kalau kata Bang Akhyar, "Agama yang dipahami dan dijalani tanpa keutuhan hanya membuat kita melaju ke arah yang keliru".
Tulisan di awal Ramadhan yang baru sempat diselesaikan.
Selamat meresapi Ramadhan yang tinggal sisa-sisa. Semoga, semakin mendekati akhir, kita tidak hanya manis di bibir. Katanya rindu, tapi menyiakan waktu. Bismillah.
Referensi
http://www.tribunnews.com/techno/2018/05/04/lima-produk-paling-dicari-orang-indonesia-selama-ramadan-berdasar-hasil-survei-google
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/06/22/o95s43382-konsumsi-masyarakat-saat-ramadhan-naik-hingga-30-persen
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen