Untuk sepaket sel dan organ bernama tubuh, yang berisi tulang, tempat si daging menggantungkan hidupnya.
Untuk satu jenis makhluk hidup bernama Homo sapiens, yang hidup di bumi, yang paling sempurna keadaannya.
Untuk salah satu makhluk sosial bernama manusia, yang takkan pernah bisa hidup tanpa orang lain di dunia.
Untuk lawan dari jenis perempuan bernama laki-laki, yang katanya jauh lebih kuat dari lawan jenisnya, walau menurutku sama saja.
Untuk dia yang terlalu lama berdiam di hati, meski telah kuusir berkali-kali.
Berhentilah untuk mengisi setiap dendrit yang ada di otakku.
Sungguh, kau benar-benar mengacaukan tatanan kehidupanku.
Samstag, 25. September 2010
Freitag, 24. September 2010
untitled
Aku merasa tak punya harga
Setidaknya di mata awas orang-orang yang menjadi saksi kebisuanku
Setidaknya setelah dia menodongkan jari telunjuknya pada mukaku
Menyatakan ketidaksukaannya padaku
Atas kontraku terhadap keyakinan, kepercayaan, pemikiran, dan................pendapatnya
Aneh,
Dia bilang cinta damai. Tapi lagaknya tidak santai.
Bahkan untuk hal kecil seperti pendapat, dia merasa hebat.
Padahal jelas-jelas bersifat relatif.
Yaa, mungkin dia yang terlalu ekspresif.
Setidaknya di mata awas orang-orang yang menjadi saksi kebisuanku
Setidaknya setelah dia menodongkan jari telunjuknya pada mukaku
Menyatakan ketidaksukaannya padaku
Atas kontraku terhadap keyakinan, kepercayaan, pemikiran, dan................pendapatnya
Aneh,
Dia bilang cinta damai. Tapi lagaknya tidak santai.
Bahkan untuk hal kecil seperti pendapat, dia merasa hebat.
Padahal jelas-jelas bersifat relatif.
Yaa, mungkin dia yang terlalu ekspresif.
Mittwoch, 22. September 2010
Sedikit Beda
Kamu bilang kita tidak sama.
Makanya kita tidak boleh berteman.
Ah, aku tidak percaya!
Kamu bilang kita punya banyak perbedaan.
Ah, aku tidak percaya!
Paling-paling, perbedaan kita cuma hobi.
Kamu hobi main basket, aku hobi main bekel.
Paling-paling, perbedaan kita cuma tinggi badan.
Kamu 169 cm, aku 163 cm.
Paling-paling, perbedaan kita cuma warna kesukaan.
Kamu suka abu-abu, aku suka merah jambu.
Paling-paling, perbedaan kita cuma warna kulit.
Aku sawo matang, kamu sedikit agak terang.
Paling-paling, perbedaan kita cuma artis idola.
Kamu mengidolakan Andhika Pratama, aku Dorce Gamalama.
Paling-paling, perbedaan kita cuma band favorit.
Aku suka Hijau Daun, kamu suka Green Day.
Paling-paling, perbedaan kita cuma tempat makan.
Kamu makan di restoran, aku di warteg.
Paling-paling, perbedaan kita cuma merek sepatu.
Kamu Converse, aku Cibaduyut.
Paling-paling, perbedaan kita cuma tempat nongkrong.
Kamu Citos, aku Cimol.
Paling-paling, perbedaan kita cuma makanan kesukaan.
Kamu suka sushi, aku sambel terasi.
Paling-paling, paling-paling, paling-paling...
Dan aku telah membuktikan bahwa kita tidak (terlalu banyak) berbeda.
Buktinya aku mampu menyebutkan setiap perbedaan yang ada.
Karena kita hanya sedikit beda.
*maaf ya, kalo agak aneh tulisannya. intinya sih gue pengen bilang, selama kita selalu ngeliat orang lain beda sama kita, tidak setara dengan kita, derajatnya jauh di bawah kita, maka selama itu pula kita akan melihat segala macam perbedaan tersebut sebagai sebuah batas antara kita dengan teman kita itu untuk tidak bersahabat. Makanya, kenapa kita gak mencoba untuk menggeser sedikit saja sudut pandang kita dari seseorang? Sehingga kita juga bisa ngeliat persamaan-persamaan yang yang ada di diri teman kita dengan diri kita. Selain itu, kita juga bisa lebih menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di diri orang lain. Lagian perbedaan itu indah lagi. Buktinya, apa kerennya Indonesia nanti kalo bentuk pulaunya sama semua? Apa cakepnya warna pelangi kalo isinya cuma satu warna?
Makanya kita tidak boleh berteman.
Ah, aku tidak percaya!
Kamu bilang kita punya banyak perbedaan.
Ah, aku tidak percaya!
Paling-paling, perbedaan kita cuma hobi.
Kamu hobi main basket, aku hobi main bekel.
Paling-paling, perbedaan kita cuma tinggi badan.
Kamu 169 cm, aku 163 cm.
Paling-paling, perbedaan kita cuma warna kesukaan.
Kamu suka abu-abu, aku suka merah jambu.
Paling-paling, perbedaan kita cuma warna kulit.
Aku sawo matang, kamu sedikit agak terang.
Paling-paling, perbedaan kita cuma artis idola.
Kamu mengidolakan Andhika Pratama, aku Dorce Gamalama.
Paling-paling, perbedaan kita cuma band favorit.
Aku suka Hijau Daun, kamu suka Green Day.
Paling-paling, perbedaan kita cuma tempat makan.
Kamu makan di restoran, aku di warteg.
Paling-paling, perbedaan kita cuma merek sepatu.
Kamu Converse, aku Cibaduyut.
Paling-paling, perbedaan kita cuma tempat nongkrong.
Kamu Citos, aku Cimol.
Paling-paling, perbedaan kita cuma makanan kesukaan.
Kamu suka sushi, aku sambel terasi.
Paling-paling, paling-paling, paling-paling...
Dan aku telah membuktikan bahwa kita tidak (terlalu banyak) berbeda.
Buktinya aku mampu menyebutkan setiap perbedaan yang ada.
Karena kita hanya sedikit beda.
*maaf ya, kalo agak aneh tulisannya. intinya sih gue pengen bilang, selama kita selalu ngeliat orang lain beda sama kita, tidak setara dengan kita, derajatnya jauh di bawah kita, maka selama itu pula kita akan melihat segala macam perbedaan tersebut sebagai sebuah batas antara kita dengan teman kita itu untuk tidak bersahabat. Makanya, kenapa kita gak mencoba untuk menggeser sedikit saja sudut pandang kita dari seseorang? Sehingga kita juga bisa ngeliat persamaan-persamaan yang yang ada di diri teman kita dengan diri kita. Selain itu, kita juga bisa lebih menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di diri orang lain. Lagian perbedaan itu indah lagi. Buktinya, apa kerennya Indonesia nanti kalo bentuk pulaunya sama semua? Apa cakepnya warna pelangi kalo isinya cuma satu warna?
Dienstag, 21. September 2010
Aku Ingin Seperti Debu
Aku ingin seperti debu,
yang lihai menjadi pengganggu.
Jangan tanya mengapa!
Karena aku hanya ingin seperti debu,
yang pandai membuatku seperti babu.
Sekali lagi jangan tanya mengapa!
Karena aku hanya ingin seperti debu,
yang mahir membuat hariku kelabu.
Untuk kesekian kalinya, jangan tanya mengapa!
Karena aku hanya ingin seperti debu.
Terbang. Melayang. Hinggap sekejap.
Ditiup angin, terbang lagi, melayang lagi, hinggap sekejap lagi.
Tapi kali ini berbeda, karena si debu meninggalkan noda.
yang lihai menjadi pengganggu.
Jangan tanya mengapa!
Karena aku hanya ingin seperti debu,
yang pandai membuatku seperti babu.
Sekali lagi jangan tanya mengapa!
Karena aku hanya ingin seperti debu,
yang mahir membuat hariku kelabu.
Untuk kesekian kalinya, jangan tanya mengapa!
Karena aku hanya ingin seperti debu.
Terbang. Melayang. Hinggap sekejap.
Ditiup angin, terbang lagi, melayang lagi, hinggap sekejap lagi.
Tapi kali ini berbeda, karena si debu meninggalkan noda.
Mittwoch, 15. September 2010
Masih Nasionalisme
Menyambung postingan gue sebelumnya, gue jadi mikir. Apa iya, kita udah bisa dibilang punya rasa nasionalisme ketika kita rajin ikut upacara bendera, selalu bisa ngangkat tangan dengan benar setiap kali si pemimpin upacara nyuruh kita hormat ke bendera dan selalu menundukkan kepala setiap lagu Mengheningkan Cipta dinyanyiin, atau ketika kita ikut ekskul Paskibra di sekolahan, ketika kita suka nonton film - film jaman dulu yang isinya tentang perang-perang ngelawan penjajah, ketika kita suka pake baju yang ada gambar Garuda-nya, atau baju yang made in Indonesia, apa dengan begitu kita udah bisa dibilang punya rasa nasionalisme??
Gue rasa nggak deh. Menurut gue, beberapa hal yang gue sebutin tadi itu, cuma contoh hal-hal yang dilakukan kita atau orang-orang di sekitar kita, baik secara sadar maupun gak sadar, untuk menimbulkan rasa nasionalisme. sedangkan ada nggaknya rasa nasionalisme itu sendiri, atau seberapa besar rasa nasionalisme itu, gak akan pernah bisa terukur sampai kita mengalami kejadian beresiko tinggi, dimana jika kita berfikir menggunakan akal sehat, Indonesia menjadi pilihan terakhir yan akan kita pilih, diantara alternatif lain. Nahlo, bingung deh lo. Gua juga bingung ini.
Hemmmmm, contohnya, kayak waktu gue nonton Kick Andy pas ngebahas soal lepasnya TimorTimor dari Indonesia. disana ada Ibu-ibu yang akhirnya tetap memilih untuk jadi bagian dari ratusan juta penduduk Indonesia, daripada pindah kewarganegaraan. Padahal dia tau kalo kehidupannya akan jauh lebih baik kalo dia pindah jadi warga Timortimor. Menurut gue, inilah rasa Nasionalisme yang sebenarnya. Tanpa imbalan atau iming-iming apapun. Cuma bermodalkan rasa cinta tanah air, si Ibu rela mengorbankan masadepannya dan anak-anaknya. Salut gue.
Gue rasa nggak deh. Menurut gue, beberapa hal yang gue sebutin tadi itu, cuma contoh hal-hal yang dilakukan kita atau orang-orang di sekitar kita, baik secara sadar maupun gak sadar, untuk menimbulkan rasa nasionalisme. sedangkan ada nggaknya rasa nasionalisme itu sendiri, atau seberapa besar rasa nasionalisme itu, gak akan pernah bisa terukur sampai kita mengalami kejadian beresiko tinggi, dimana jika kita berfikir menggunakan akal sehat, Indonesia menjadi pilihan terakhir yan akan kita pilih, diantara alternatif lain. Nahlo, bingung deh lo. Gua juga bingung ini.
Hemmmmm, contohnya, kayak waktu gue nonton Kick Andy pas ngebahas soal lepasnya TimorTimor dari Indonesia. disana ada Ibu-ibu yang akhirnya tetap memilih untuk jadi bagian dari ratusan juta penduduk Indonesia, daripada pindah kewarganegaraan. Padahal dia tau kalo kehidupannya akan jauh lebih baik kalo dia pindah jadi warga Timortimor. Menurut gue, inilah rasa Nasionalisme yang sebenarnya. Tanpa imbalan atau iming-iming apapun. Cuma bermodalkan rasa cinta tanah air, si Ibu rela mengorbankan masadepannya dan anak-anaknya. Salut gue.
Abonnieren
Posts (Atom)
Samstag, 25. September 2010
Untuk yang Merasa
Untuk sepaket sel dan organ bernama tubuh, yang berisi tulang, tempat si daging menggantungkan hidupnya.
Untuk satu jenis makhluk hidup bernama Homo sapiens, yang hidup di bumi, yang paling sempurna keadaannya.
Untuk salah satu makhluk sosial bernama manusia, yang takkan pernah bisa hidup tanpa orang lain di dunia.
Untuk lawan dari jenis perempuan bernama laki-laki, yang katanya jauh lebih kuat dari lawan jenisnya, walau menurutku sama saja.
Untuk dia yang terlalu lama berdiam di hati, meski telah kuusir berkali-kali.
Berhentilah untuk mengisi setiap dendrit yang ada di otakku.
Sungguh, kau benar-benar mengacaukan tatanan kehidupanku.
Untuk satu jenis makhluk hidup bernama Homo sapiens, yang hidup di bumi, yang paling sempurna keadaannya.
Untuk salah satu makhluk sosial bernama manusia, yang takkan pernah bisa hidup tanpa orang lain di dunia.
Untuk lawan dari jenis perempuan bernama laki-laki, yang katanya jauh lebih kuat dari lawan jenisnya, walau menurutku sama saja.
Untuk dia yang terlalu lama berdiam di hati, meski telah kuusir berkali-kali.
Berhentilah untuk mengisi setiap dendrit yang ada di otakku.
Sungguh, kau benar-benar mengacaukan tatanan kehidupanku.
Label:
cintabilang,
gejolak,
nglantur,
rasa
Freitag, 24. September 2010
untitled
Aku merasa tak punya harga
Setidaknya di mata awas orang-orang yang menjadi saksi kebisuanku
Setidaknya setelah dia menodongkan jari telunjuknya pada mukaku
Menyatakan ketidaksukaannya padaku
Atas kontraku terhadap keyakinan, kepercayaan, pemikiran, dan................pendapatnya
Aneh,
Dia bilang cinta damai. Tapi lagaknya tidak santai.
Bahkan untuk hal kecil seperti pendapat, dia merasa hebat.
Padahal jelas-jelas bersifat relatif.
Yaa, mungkin dia yang terlalu ekspresif.
Setidaknya di mata awas orang-orang yang menjadi saksi kebisuanku
Setidaknya setelah dia menodongkan jari telunjuknya pada mukaku
Menyatakan ketidaksukaannya padaku
Atas kontraku terhadap keyakinan, kepercayaan, pemikiran, dan................pendapatnya
Aneh,
Dia bilang cinta damai. Tapi lagaknya tidak santai.
Bahkan untuk hal kecil seperti pendapat, dia merasa hebat.
Padahal jelas-jelas bersifat relatif.
Yaa, mungkin dia yang terlalu ekspresif.
Mittwoch, 22. September 2010
Sedikit Beda
Kamu bilang kita tidak sama.
Makanya kita tidak boleh berteman.
Ah, aku tidak percaya!
Kamu bilang kita punya banyak perbedaan.
Ah, aku tidak percaya!
Paling-paling, perbedaan kita cuma hobi.
Kamu hobi main basket, aku hobi main bekel.
Paling-paling, perbedaan kita cuma tinggi badan.
Kamu 169 cm, aku 163 cm.
Paling-paling, perbedaan kita cuma warna kesukaan.
Kamu suka abu-abu, aku suka merah jambu.
Paling-paling, perbedaan kita cuma warna kulit.
Aku sawo matang, kamu sedikit agak terang.
Paling-paling, perbedaan kita cuma artis idola.
Kamu mengidolakan Andhika Pratama, aku Dorce Gamalama.
Paling-paling, perbedaan kita cuma band favorit.
Aku suka Hijau Daun, kamu suka Green Day.
Paling-paling, perbedaan kita cuma tempat makan.
Kamu makan di restoran, aku di warteg.
Paling-paling, perbedaan kita cuma merek sepatu.
Kamu Converse, aku Cibaduyut.
Paling-paling, perbedaan kita cuma tempat nongkrong.
Kamu Citos, aku Cimol.
Paling-paling, perbedaan kita cuma makanan kesukaan.
Kamu suka sushi, aku sambel terasi.
Paling-paling, paling-paling, paling-paling...
Dan aku telah membuktikan bahwa kita tidak (terlalu banyak) berbeda.
Buktinya aku mampu menyebutkan setiap perbedaan yang ada.
Karena kita hanya sedikit beda.
*maaf ya, kalo agak aneh tulisannya. intinya sih gue pengen bilang, selama kita selalu ngeliat orang lain beda sama kita, tidak setara dengan kita, derajatnya jauh di bawah kita, maka selama itu pula kita akan melihat segala macam perbedaan tersebut sebagai sebuah batas antara kita dengan teman kita itu untuk tidak bersahabat. Makanya, kenapa kita gak mencoba untuk menggeser sedikit saja sudut pandang kita dari seseorang? Sehingga kita juga bisa ngeliat persamaan-persamaan yang yang ada di diri teman kita dengan diri kita. Selain itu, kita juga bisa lebih menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di diri orang lain. Lagian perbedaan itu indah lagi. Buktinya, apa kerennya Indonesia nanti kalo bentuk pulaunya sama semua? Apa cakepnya warna pelangi kalo isinya cuma satu warna?
Makanya kita tidak boleh berteman.
Ah, aku tidak percaya!
Kamu bilang kita punya banyak perbedaan.
Ah, aku tidak percaya!
Paling-paling, perbedaan kita cuma hobi.
Kamu hobi main basket, aku hobi main bekel.
Paling-paling, perbedaan kita cuma tinggi badan.
Kamu 169 cm, aku 163 cm.
Paling-paling, perbedaan kita cuma warna kesukaan.
Kamu suka abu-abu, aku suka merah jambu.
Paling-paling, perbedaan kita cuma warna kulit.
Aku sawo matang, kamu sedikit agak terang.
Paling-paling, perbedaan kita cuma artis idola.
Kamu mengidolakan Andhika Pratama, aku Dorce Gamalama.
Paling-paling, perbedaan kita cuma band favorit.
Aku suka Hijau Daun, kamu suka Green Day.
Paling-paling, perbedaan kita cuma tempat makan.
Kamu makan di restoran, aku di warteg.
Paling-paling, perbedaan kita cuma merek sepatu.
Kamu Converse, aku Cibaduyut.
Paling-paling, perbedaan kita cuma tempat nongkrong.
Kamu Citos, aku Cimol.
Paling-paling, perbedaan kita cuma makanan kesukaan.
Kamu suka sushi, aku sambel terasi.
Paling-paling, paling-paling, paling-paling...
Dan aku telah membuktikan bahwa kita tidak (terlalu banyak) berbeda.
Buktinya aku mampu menyebutkan setiap perbedaan yang ada.
Karena kita hanya sedikit beda.
*maaf ya, kalo agak aneh tulisannya. intinya sih gue pengen bilang, selama kita selalu ngeliat orang lain beda sama kita, tidak setara dengan kita, derajatnya jauh di bawah kita, maka selama itu pula kita akan melihat segala macam perbedaan tersebut sebagai sebuah batas antara kita dengan teman kita itu untuk tidak bersahabat. Makanya, kenapa kita gak mencoba untuk menggeser sedikit saja sudut pandang kita dari seseorang? Sehingga kita juga bisa ngeliat persamaan-persamaan yang yang ada di diri teman kita dengan diri kita. Selain itu, kita juga bisa lebih menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di diri orang lain. Lagian perbedaan itu indah lagi. Buktinya, apa kerennya Indonesia nanti kalo bentuk pulaunya sama semua? Apa cakepnya warna pelangi kalo isinya cuma satu warna?
Dienstag, 21. September 2010
Aku Ingin Seperti Debu
Aku ingin seperti debu,
yang lihai menjadi pengganggu.
Jangan tanya mengapa!
Karena aku hanya ingin seperti debu,
yang pandai membuatku seperti babu.
Sekali lagi jangan tanya mengapa!
Karena aku hanya ingin seperti debu,
yang mahir membuat hariku kelabu.
Untuk kesekian kalinya, jangan tanya mengapa!
Karena aku hanya ingin seperti debu.
Terbang. Melayang. Hinggap sekejap.
Ditiup angin, terbang lagi, melayang lagi, hinggap sekejap lagi.
Tapi kali ini berbeda, karena si debu meninggalkan noda.
yang lihai menjadi pengganggu.
Jangan tanya mengapa!
Karena aku hanya ingin seperti debu,
yang pandai membuatku seperti babu.
Sekali lagi jangan tanya mengapa!
Karena aku hanya ingin seperti debu,
yang mahir membuat hariku kelabu.
Untuk kesekian kalinya, jangan tanya mengapa!
Karena aku hanya ingin seperti debu.
Terbang. Melayang. Hinggap sekejap.
Ditiup angin, terbang lagi, melayang lagi, hinggap sekejap lagi.
Tapi kali ini berbeda, karena si debu meninggalkan noda.
Mittwoch, 15. September 2010
Masih Nasionalisme
Menyambung postingan gue sebelumnya, gue jadi mikir. Apa iya, kita udah bisa dibilang punya rasa nasionalisme ketika kita rajin ikut upacara bendera, selalu bisa ngangkat tangan dengan benar setiap kali si pemimpin upacara nyuruh kita hormat ke bendera dan selalu menundukkan kepala setiap lagu Mengheningkan Cipta dinyanyiin, atau ketika kita ikut ekskul Paskibra di sekolahan, ketika kita suka nonton film - film jaman dulu yang isinya tentang perang-perang ngelawan penjajah, ketika kita suka pake baju yang ada gambar Garuda-nya, atau baju yang made in Indonesia, apa dengan begitu kita udah bisa dibilang punya rasa nasionalisme??
Gue rasa nggak deh. Menurut gue, beberapa hal yang gue sebutin tadi itu, cuma contoh hal-hal yang dilakukan kita atau orang-orang di sekitar kita, baik secara sadar maupun gak sadar, untuk menimbulkan rasa nasionalisme. sedangkan ada nggaknya rasa nasionalisme itu sendiri, atau seberapa besar rasa nasionalisme itu, gak akan pernah bisa terukur sampai kita mengalami kejadian beresiko tinggi, dimana jika kita berfikir menggunakan akal sehat, Indonesia menjadi pilihan terakhir yan akan kita pilih, diantara alternatif lain. Nahlo, bingung deh lo. Gua juga bingung ini.
Hemmmmm, contohnya, kayak waktu gue nonton Kick Andy pas ngebahas soal lepasnya TimorTimor dari Indonesia. disana ada Ibu-ibu yang akhirnya tetap memilih untuk jadi bagian dari ratusan juta penduduk Indonesia, daripada pindah kewarganegaraan. Padahal dia tau kalo kehidupannya akan jauh lebih baik kalo dia pindah jadi warga Timortimor. Menurut gue, inilah rasa Nasionalisme yang sebenarnya. Tanpa imbalan atau iming-iming apapun. Cuma bermodalkan rasa cinta tanah air, si Ibu rela mengorbankan masadepannya dan anak-anaknya. Salut gue.
Gue rasa nggak deh. Menurut gue, beberapa hal yang gue sebutin tadi itu, cuma contoh hal-hal yang dilakukan kita atau orang-orang di sekitar kita, baik secara sadar maupun gak sadar, untuk menimbulkan rasa nasionalisme. sedangkan ada nggaknya rasa nasionalisme itu sendiri, atau seberapa besar rasa nasionalisme itu, gak akan pernah bisa terukur sampai kita mengalami kejadian beresiko tinggi, dimana jika kita berfikir menggunakan akal sehat, Indonesia menjadi pilihan terakhir yan akan kita pilih, diantara alternatif lain. Nahlo, bingung deh lo. Gua juga bingung ini.
Hemmmmm, contohnya, kayak waktu gue nonton Kick Andy pas ngebahas soal lepasnya TimorTimor dari Indonesia. disana ada Ibu-ibu yang akhirnya tetap memilih untuk jadi bagian dari ratusan juta penduduk Indonesia, daripada pindah kewarganegaraan. Padahal dia tau kalo kehidupannya akan jauh lebih baik kalo dia pindah jadi warga Timortimor. Menurut gue, inilah rasa Nasionalisme yang sebenarnya. Tanpa imbalan atau iming-iming apapun. Cuma bermodalkan rasa cinta tanah air, si Ibu rela mengorbankan masadepannya dan anak-anaknya. Salut gue.
Label:
Indonesia,
nasionalisme,
tanah air
Abonnieren
Posts (Atom)
Popular posts
-
Kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya 'berkenalan' dengan YSEALI hingga akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar program ...
-
Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, sejak saya membaca surat rekomendasi yang dibuatkan oleh referee saya, saya memil...
-
Setelah beberapa bulan penantian, finally woro-woro tentang pembukaan pendaftaran seleksi program XL Future Leaders Batch II pun dibuka. K...
-
Sekarang, saya akan berbagi langkah-langkah yang saya lakukan dalam mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018. Ingat, i...
-
Few days ago, i finally happened to visit Gunung Bromo for the very first time! Yay . Seru sekali. Saya pergi rombongan bersama teman-teman...
-
Hai guys! (tampang sok asik) So, it is my second writing. hahah yang sabar ya bacanya. Semoga gak bikin mual. Amiiiin Oke, j...
-
Oops Oops Oops... Oops Oops Oops... Oops Fugu Fugu... Oops Fugu Fugu... Bagi Anda yang merupakan penikmat iklan, pasti familiar denga...
-
Dan yak, setelah membuat kesal beberapa orang dengan blog berjudul super panjang tapi super nggak penting (Emm, atau justru tidak ada yang k...
-
Berbicara tentang nasionalisme, maka kadang pikiran kita akan langsung tertuju pada segala hal yang berkaitan dengan rasa cinta tanah air, ...
-
Sayangnya, kadang orang yang kita sayangi terlalu egois untuk menyadari bahwa dirinya berharga. Setidaknya di mata kita. Sehingga mereka d...