Pekerjaan saya saat ini membuat saya banyak berinteraksi dengan bapak-bapak. Sudah banyak topik diskusi kami bahas, dari urusan pekerjaan hingga pengakuan kenakalan ketika istri tidak memberikan pengawasan. Khas laki-laki.
Tapi, baru setelah satu tahun lebih bekerja, saya sadar suatu hal. Pada setiap diskusi yang terjadi di antara kami, para bapak tidak pernah alfa bercerita tentang anak mereka. Dengan ketulusan sempurna. Dan antusiasme yang paripurna.
Mereka memuji. Mereka mengunggulkan. Mereka membandingkan anak mereka dengan anak tetangga, anak teman, anak bos atau anak siapa pun, yang pasti, entah rumus perbandingannya seperti apa, anak mereka selalu menjadi juaranya.
Di banyak kesempatan, saya tidak pernah ambil pusing akan cerita-cerita tersebut. Saya lebih sering mengiyakan dengan wajah template antusias. Bagi saya, human being lah ya, membanggakan kepemilikan dan capaian pribadi. Apalagi bagi seorang laki-laki yang hidup di negara patriarkis seperti Indonesia, mampu membina sebuah keluarga ideal dengan anak-anak yang layak dibanggakan adalah sebuah pencapaian. Dan patut dipublikasikan.
Tapi, saat kemarin diskusi serupa terjadi lagi, dengan rekan kerja yang merupakan bapak beranak dua, dengan dialog yang juga hampir serupa, saya menyadari sesuatu yang lebih dalam. Narasi tentang sang anak yang diceritakan berulang-ulang oleh para bapak, sepertinya bukan semata-mata upaya untuk menuntaskan dahaga mereka akan pengakuan orang lain, bahwa hidupnya ideal karena berhasil memiliki istri yang mampu beranak-pinak menciptakan keturunan kebanggaan. Bukan pula karena upaya menciptakan kontestasi remeh-temeh untuk menunjukkan anaknya lebih bernial jual dibanding anak orang lain.
At some point, i noticed their true love for their children lie behind each stories spoken. Sederhananya, semua bapak sayang anaknya. Segala cerita mereka tentang sang anak adalah representasi ketulusan cinta si bapak tentang anak-anak mereka. Yaa, walaupun kadang ceritanya agak hiperbola. Dimana, cerita tersebut, walau lancar dituturkan ke saya, belum tentu demikian di depan anaknya. Bisa jadi, di depan anak-anaknya, para bapak justru cuek. Atau galak. Atau ragu karena menjaga wibawa. Atau kelu karena memang tak pandai menyusun kata. Atau bahkan, sesederhana tak biasa mengekspresikan rasa cinta.
Menarik ya. Fathers always have their own way to show love. We just don't understand. Or not yet understand.
Beliau memang tidak seekspresif ibu, tapi percayalah, takaran cintanya, tak kurang barang setetes dari apa yang dimiliki ibu kita.
Abonnieren
Kommentare zum Post (Atom)
Freitag, 18. Mai 2018
Bapak-Bapak
Pekerjaan saya saat ini membuat saya banyak berinteraksi dengan bapak-bapak. Sudah banyak topik diskusi kami bahas, dari urusan pekerjaan hingga pengakuan kenakalan ketika istri tidak memberikan pengawasan. Khas laki-laki.
Tapi, baru setelah satu tahun lebih bekerja, saya sadar suatu hal. Pada setiap diskusi yang terjadi di antara kami, para bapak tidak pernah alfa bercerita tentang anak mereka. Dengan ketulusan sempurna. Dan antusiasme yang paripurna.
Mereka memuji. Mereka mengunggulkan. Mereka membandingkan anak mereka dengan anak tetangga, anak teman, anak bos atau anak siapa pun, yang pasti, entah rumus perbandingannya seperti apa, anak mereka selalu menjadi juaranya.
Di banyak kesempatan, saya tidak pernah ambil pusing akan cerita-cerita tersebut. Saya lebih sering mengiyakan dengan wajah template antusias. Bagi saya, human being lah ya, membanggakan kepemilikan dan capaian pribadi. Apalagi bagi seorang laki-laki yang hidup di negara patriarkis seperti Indonesia, mampu membina sebuah keluarga ideal dengan anak-anak yang layak dibanggakan adalah sebuah pencapaian. Dan patut dipublikasikan.
Tapi, saat kemarin diskusi serupa terjadi lagi, dengan rekan kerja yang merupakan bapak beranak dua, dengan dialog yang juga hampir serupa, saya menyadari sesuatu yang lebih dalam. Narasi tentang sang anak yang diceritakan berulang-ulang oleh para bapak, sepertinya bukan semata-mata upaya untuk menuntaskan dahaga mereka akan pengakuan orang lain, bahwa hidupnya ideal karena berhasil memiliki istri yang mampu beranak-pinak menciptakan keturunan kebanggaan. Bukan pula karena upaya menciptakan kontestasi remeh-temeh untuk menunjukkan anaknya lebih bernial jual dibanding anak orang lain.
At some point, i noticed their true love for their children lie behind each stories spoken. Sederhananya, semua bapak sayang anaknya. Segala cerita mereka tentang sang anak adalah representasi ketulusan cinta si bapak tentang anak-anak mereka. Yaa, walaupun kadang ceritanya agak hiperbola. Dimana, cerita tersebut, walau lancar dituturkan ke saya, belum tentu demikian di depan anaknya. Bisa jadi, di depan anak-anaknya, para bapak justru cuek. Atau galak. Atau ragu karena menjaga wibawa. Atau kelu karena memang tak pandai menyusun kata. Atau bahkan, sesederhana tak biasa mengekspresikan rasa cinta.
Menarik ya. Fathers always have their own way to show love. We just don't understand. Or not yet understand.
Beliau memang tidak seekspresif ibu, tapi percayalah, takaran cintanya, tak kurang barang setetes dari apa yang dimiliki ibu kita.
Tapi, baru setelah satu tahun lebih bekerja, saya sadar suatu hal. Pada setiap diskusi yang terjadi di antara kami, para bapak tidak pernah alfa bercerita tentang anak mereka. Dengan ketulusan sempurna. Dan antusiasme yang paripurna.
Mereka memuji. Mereka mengunggulkan. Mereka membandingkan anak mereka dengan anak tetangga, anak teman, anak bos atau anak siapa pun, yang pasti, entah rumus perbandingannya seperti apa, anak mereka selalu menjadi juaranya.
Di banyak kesempatan, saya tidak pernah ambil pusing akan cerita-cerita tersebut. Saya lebih sering mengiyakan dengan wajah template antusias. Bagi saya, human being lah ya, membanggakan kepemilikan dan capaian pribadi. Apalagi bagi seorang laki-laki yang hidup di negara patriarkis seperti Indonesia, mampu membina sebuah keluarga ideal dengan anak-anak yang layak dibanggakan adalah sebuah pencapaian. Dan patut dipublikasikan.
Tapi, saat kemarin diskusi serupa terjadi lagi, dengan rekan kerja yang merupakan bapak beranak dua, dengan dialog yang juga hampir serupa, saya menyadari sesuatu yang lebih dalam. Narasi tentang sang anak yang diceritakan berulang-ulang oleh para bapak, sepertinya bukan semata-mata upaya untuk menuntaskan dahaga mereka akan pengakuan orang lain, bahwa hidupnya ideal karena berhasil memiliki istri yang mampu beranak-pinak menciptakan keturunan kebanggaan. Bukan pula karena upaya menciptakan kontestasi remeh-temeh untuk menunjukkan anaknya lebih bernial jual dibanding anak orang lain.
At some point, i noticed their true love for their children lie behind each stories spoken. Sederhananya, semua bapak sayang anaknya. Segala cerita mereka tentang sang anak adalah representasi ketulusan cinta si bapak tentang anak-anak mereka. Yaa, walaupun kadang ceritanya agak hiperbola. Dimana, cerita tersebut, walau lancar dituturkan ke saya, belum tentu demikian di depan anaknya. Bisa jadi, di depan anak-anaknya, para bapak justru cuek. Atau galak. Atau ragu karena menjaga wibawa. Atau kelu karena memang tak pandai menyusun kata. Atau bahkan, sesederhana tak biasa mengekspresikan rasa cinta.
Menarik ya. Fathers always have their own way to show love. We just don't understand. Or not yet understand.
Beliau memang tidak seekspresif ibu, tapi percayalah, takaran cintanya, tak kurang barang setetes dari apa yang dimiliki ibu kita.
Label:
gejolak,
hidup,
hope so,
imaji,
moment-catcher,
nglantur,
questionmark,
random,
rasa,
senyap
Abonnieren
Kommentare zum Post (Atom)
Popular posts
-
Kali ini, saya akan membagikan pengalaman saya 'berkenalan' dengan YSEALI hingga akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar program ...
-
Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, sejak saya membaca surat rekomendasi yang dibuatkan oleh referee saya, saya memil...
-
Setelah beberapa bulan penantian, finally woro-woro tentang pembukaan pendaftaran seleksi program XL Future Leaders Batch II pun dibuka. K...
-
Sekarang, saya akan berbagi langkah-langkah yang saya lakukan dalam mendaftar program YSEALI Academic Fellowship periode Fall 2018. Ingat, i...
-
Few days ago, i finally happened to visit Gunung Bromo for the very first time! Yay . Seru sekali. Saya pergi rombongan bersama teman-teman...
-
Hai guys! (tampang sok asik) So, it is my second writing. hahah yang sabar ya bacanya. Semoga gak bikin mual. Amiiiin Oke, j...
-
Oops Oops Oops... Oops Oops Oops... Oops Fugu Fugu... Oops Fugu Fugu... Bagi Anda yang merupakan penikmat iklan, pasti familiar denga...
-
Dan yak, setelah membuat kesal beberapa orang dengan blog berjudul super panjang tapi super nggak penting (Emm, atau justru tidak ada yang k...
-
Berbicara tentang nasionalisme, maka kadang pikiran kita akan langsung tertuju pada segala hal yang berkaitan dengan rasa cinta tanah air, ...
-
Sayangnya, kadang orang yang kita sayangi terlalu egois untuk menyadari bahwa dirinya berharga. Setidaknya di mata kita. Sehingga mereka d...
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen