Freitag, 18. Mai 2018

Bapak-Bapak

Pekerjaan saya saat ini membuat saya banyak berinteraksi dengan bapak-bapak. Sudah banyak topik diskusi kami bahas, dari urusan pekerjaan hingga pengakuan kenakalan ketika istri tidak memberikan pengawasan. Khas laki-laki.

Tapi, baru setelah satu tahun lebih bekerja, saya sadar suatu hal. Pada setiap diskusi yang terjadi di antara kami, para bapak tidak pernah alfa bercerita tentang anak mereka. Dengan ketulusan sempurna. Dan antusiasme yang paripurna.

Mereka memuji. Mereka mengunggulkan. Mereka membandingkan anak mereka dengan anak tetangga, anak teman, anak bos atau anak siapa pun, yang pasti, entah rumus perbandingannya seperti apa, anak mereka selalu menjadi juaranya.

Di banyak kesempatan, saya tidak pernah ambil pusing akan cerita-cerita tersebut. Saya lebih sering mengiyakan dengan wajah template antusias. Bagi saya, human being lah ya, membanggakan kepemilikan dan capaian pribadi. Apalagi bagi seorang laki-laki yang hidup di negara patriarkis seperti Indonesia, mampu membina sebuah keluarga ideal dengan anak-anak yang layak dibanggakan adalah sebuah pencapaian. Dan patut dipublikasikan.

Tapi, saat kemarin diskusi serupa terjadi lagi, dengan rekan kerja yang merupakan bapak beranak dua, dengan dialog yang juga hampir serupa, saya menyadari sesuatu yang lebih dalam. Narasi tentang sang anak yang diceritakan berulang-ulang oleh para bapak, sepertinya bukan semata-mata upaya untuk menuntaskan dahaga mereka akan pengakuan orang lain, bahwa hidupnya ideal karena berhasil memiliki istri yang mampu beranak-pinak menciptakan keturunan kebanggaan. Bukan pula karena upaya menciptakan kontestasi remeh-temeh untuk menunjukkan anaknya lebih bernial jual dibanding anak orang lain.

At some point, i noticed their true love for their children lie behind each stories spoken. Sederhananya, semua bapak sayang anaknya. Segala cerita mereka tentang sang anak adalah representasi ketulusan cinta si bapak tentang anak-anak mereka. Yaa, walaupun kadang ceritanya agak hiperbola. Dimana, cerita tersebut, walau lancar dituturkan ke saya, belum tentu demikian di depan anaknya. Bisa jadi, di depan anak-anaknya, para bapak justru cuek. Atau galak. Atau ragu karena menjaga wibawa. Atau kelu karena memang tak pandai menyusun kata. Atau bahkan, sesederhana tak biasa mengekspresikan rasa cinta.

Menarik ya. Fathers always have their own way to show love. We just don't understand. Or not yet understand.

Beliau memang tidak seekspresif ibu, tapi percayalah, takaran cintanya, tak kurang barang setetes dari apa yang dimiliki ibu kita.

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen

Freitag, 18. Mai 2018

Bapak-Bapak

Pekerjaan saya saat ini membuat saya banyak berinteraksi dengan bapak-bapak. Sudah banyak topik diskusi kami bahas, dari urusan pekerjaan hingga pengakuan kenakalan ketika istri tidak memberikan pengawasan. Khas laki-laki.

Tapi, baru setelah satu tahun lebih bekerja, saya sadar suatu hal. Pada setiap diskusi yang terjadi di antara kami, para bapak tidak pernah alfa bercerita tentang anak mereka. Dengan ketulusan sempurna. Dan antusiasme yang paripurna.

Mereka memuji. Mereka mengunggulkan. Mereka membandingkan anak mereka dengan anak tetangga, anak teman, anak bos atau anak siapa pun, yang pasti, entah rumus perbandingannya seperti apa, anak mereka selalu menjadi juaranya.

Di banyak kesempatan, saya tidak pernah ambil pusing akan cerita-cerita tersebut. Saya lebih sering mengiyakan dengan wajah template antusias. Bagi saya, human being lah ya, membanggakan kepemilikan dan capaian pribadi. Apalagi bagi seorang laki-laki yang hidup di negara patriarkis seperti Indonesia, mampu membina sebuah keluarga ideal dengan anak-anak yang layak dibanggakan adalah sebuah pencapaian. Dan patut dipublikasikan.

Tapi, saat kemarin diskusi serupa terjadi lagi, dengan rekan kerja yang merupakan bapak beranak dua, dengan dialog yang juga hampir serupa, saya menyadari sesuatu yang lebih dalam. Narasi tentang sang anak yang diceritakan berulang-ulang oleh para bapak, sepertinya bukan semata-mata upaya untuk menuntaskan dahaga mereka akan pengakuan orang lain, bahwa hidupnya ideal karena berhasil memiliki istri yang mampu beranak-pinak menciptakan keturunan kebanggaan. Bukan pula karena upaya menciptakan kontestasi remeh-temeh untuk menunjukkan anaknya lebih bernial jual dibanding anak orang lain.

At some point, i noticed their true love for their children lie behind each stories spoken. Sederhananya, semua bapak sayang anaknya. Segala cerita mereka tentang sang anak adalah representasi ketulusan cinta si bapak tentang anak-anak mereka. Yaa, walaupun kadang ceritanya agak hiperbola. Dimana, cerita tersebut, walau lancar dituturkan ke saya, belum tentu demikian di depan anaknya. Bisa jadi, di depan anak-anaknya, para bapak justru cuek. Atau galak. Atau ragu karena menjaga wibawa. Atau kelu karena memang tak pandai menyusun kata. Atau bahkan, sesederhana tak biasa mengekspresikan rasa cinta.

Menarik ya. Fathers always have their own way to show love. We just don't understand. Or not yet understand.

Beliau memang tidak seekspresif ibu, tapi percayalah, takaran cintanya, tak kurang barang setetes dari apa yang dimiliki ibu kita.

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen

Popular posts