Saat di Nganjuk, saya juga membuka kelas belajar bahasa Inggris gratis bagi anak-anak SMA di sekitar kosan. Well, saya meyakini bahwa mengajar adalah salah satu cara belajar paling efektif. Lagi pula, saya juga bosan belajar sendiri, jadi ini salah satu cara mencari teman seperjuangan belajar bahasa Inggris. Ehe.
Kelas diadakan seminggu dua kali di kosan saya, setiap hari Jumat sore dan Sabtu pagi. Seru sekali, kosan saya jadi selalu rame. Kenalan saya juga jadi banyak, anak SMA semua pula isinya. Saya merasa lebih muda dari usia sesungguhnya.
Sayangnya, waktu lagi seru-serunya dan deket-deketnya sama dedek-dedek gemesh di Nganjuk, saya harus pindah penempatan. Saat itu, saya kembali lagi ke Madiun. Fokus saya pun agak bergeser, bukan lagi memikirkan IELTS dan S2, tapi merintis SiMaggie. Tiap weekend pasti bolak-balik ke Surabaya untuk ikutan program 1000 Startup Digital.
Setelah satu bulan di Madiun, saya pindah penempatan lagi ke Kediri. Karena udah lama nggak mikir soal IELTS, saya pun mulai nggak pede lagi. Tapi, saat itu saya cukup excited karena daerah penempatan saya dekat dengan Kampung Inggris yang ada di Pare, Kediri. Jadilah saya mulai cari-cari info les bahasa Inggris di Kampung Inggris tersebut. Sayangnya, setelah banyak googling dan tanya sana-sini, saya dapat info kalau les bahasa Inggris di Pare cuma ada di weekdays. Saya nggak nemu sama sekali kelas yang bukanya setiap weekend. Nggak memungkinkan banget buat saya yang kerja full time saat weekdays. Jadilah saya patah hati karena lagi-lagi nggak bisa ikutan les persiapan IELTS. Apa boleh buat, satu-satunya pilihan adalah mempersiapkan IELTS secara mandiri. Tapi, tetep, penyakit nggak istiqomah-nya muncul. Kadang belajar, lebih sering nggak.
Lalu, Desember 2017 akhir, saya pindah penempatan ke Tulungagung. Duh, memasuki tahun baru, saya semakin panik dengan mimpi-mimpi saya. Di lain sisi, persiapan saya tidak kunjung menunjukkan progress. Sampai akhirnya, di Januari tahun 2018, saya malah nekat daftar tes IELTS di bulan yang sama, tepatnya tanggal 20 Januari 2018 di Surabaya. Tanpa pikir panjang, uang pendaftaran saya transfer dan yaks seketika saya tidak punya pilihan untuk mundur atau santai-santai lagi. Waktu yang saya punya tinggal 3 minggu menuju hari H tes.
Saya tidak paham mengapa saya bisa-bisanya nekat mempertaruhkan uang dengan nominal yang tidak sedikit tersebut untuk tes IELTS. Padahal, saya tidak pernah benar-benar belajar IELTS sebagai modal untuk memenangkan pertaruhan tersebut. Well, mungkin ini dipengaruhi oleh obsesi saya terhadap kisah heroik Thariq bin Ziyad yang terkenal itu. Ketika ia memutuskan membakar kapalnya untuk menghilangkan pilihan mundur dari peperangan saat menuju Andalusia. Agar tidak ada jalan lain selain menghadapi pertarungan yang terjadi di depan mata. Walaupun, beberapa ulama sejarah melemahkan kisah tersebut dan menyatakannya sebagai kisah fiktif, tapi kisah tersebut terlanjur membekas di kepala saya.
Di sisa waktu yang ada, saya kebut latihan soal-soal yang ada di print out ebook IELTS Cambridge yang sudah sejak dulu saya bawa kemana-mana. Saya banyak membaca blog-blog yang menjelaskan secara detil tentang hal-hal yang diujikan dalam IELTS. Saya juga rajin menonton channel-channel Youtube tentang IELTS, TEDTalks dan berbagai video lain yang berbahasa Inggris yang menjadi teman baik saya dalam mempersiapkan tes, utamanya untuk section writing, speaking dan yang pasti listening. Lebih jauh soal bagaimana trik berlatih saya akan dijelaskan pada tulisan terpisah ya!
Seminggu terakhir menjelang tes IELTS, saya sudah tidak bisa konsentrasi dalam belajar. Saya sakit demam, pusing dan mules karena nervous. Setiap saya cerita ke Bapak tentang kondisi saya yang semakin mengkhawatirkan menjelang tes, beliau hanya menjawab enteng, "Udah biasa itu. Kalau Kakak mau tes, pasti sebelumnya Kakak sakit dulu." Tetot, bener juga sih kata Bapak. Ini udah kebiasaan saya sejak SD. Sebelum saya tes, ujian atau lomba, pasti saya sakit dulu. Huh, ternyata kebiasaan itu terbawa ya sampai saya sebesar sekarang.
Di hari Jumat tanggal 19 Januari 2018, saya masih masuk kantor. Sambil menunggu batas absen finger print sore pukul 17.00 WIB, saya beres-beres dan pamit ke teman-teman kantor cabang. Nggak lupa juga minta doa ke mereka supaya tes yang akan saya jalani diberikan kelancaran.
Tepat pukul 17.00 WIB, saya absen dan order Grab menuju ke perempatan jalan besar untuk menunggu Bus Harapan Jaya tujuan Surabaya. Perjalanan Surabaya - Tulungagung memakan waktu sekitar 5 jam. Di bus, saya sudah nggak bisa belajar karena mual dan ngantuk, tapi mau tidur nggak tenang rasanya.
Saya tiba di Terminal Bungurasih Surabaya sekitar jam 10 malam. Beruntungnya, Terminal Bungurasih adalah terminal besar, jadi masih ramai hingga larut malam. Saya pun segera order Go-Jek untuk mengantar saya ke kosan Hanum, karena saya akan menginap di sana. Ya Allah, semoga Engkau senantiasa memudahkan urusan Hanum, sebagaimana ia memudahkan urusan hamba-Mu ini.
Saya tiba di kosan Hanum sekitar jam setengah 11 malam. Saya mandi, bersih-bersih, terus ngobrol sama Hanum sampai jam setengah 12 malam. Saya sempat buka Youtube untuk mengejar materi writing yang belum sempat saya tonton (tetep yes deadliner). Tapi, saya sudah nggak bisa fokus dan ngantuk. Jadi, saya bobok saja.
Peserta tes diminta untuk hadir di lokasi tes pukul 08.00 pagi. Tapi, Hanum mau pulang ke Kediri dan sudah dijemput temannya sekitar jam 06.00 pagi. Jadi lah saya ikutan cabut dari kosan Hanum dan cuss langsung ke IALF, lokasi tes IELTS di Surabaya. Sampai di sana, suasana masih sangat sepi. IALF masih tutup, tetapi satu dua peserta tes sudah ada yang menunggu di lobi. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencari sarapan terlebih dahulu di pinggir jalan. Alhamdulillah, ada warung tenda yang menjual nasi bungkus di seberang IALF. Saya beli dua bungkus sekaligus, satu untuk sarapan, satu lagi untuk persiapan makan siang, agar saya nggak perlu repot-repot keluar cari makan lagi.
Sekitar jam 08.00, peserta tes diarahkan untuk antre menitipkan tas. Barang yang boleh dibawa hanya tempat minum dan ID Card. Setelah itu, satu demi satu peserta naik ke lantai dua untuk masuk ke ruang tes. Di depan ruangan, kami diminta untuk antre lagi, kali ini untuk pengambilan foto setengah badan, sidik jari dan pemeriksaan pakaian yang kami kenakan. Jadi, kalau masih ada barang-barang yang seharusnya tidak dibawa, harus langsung dititipkan. Termasuk alat tulis yang saya bawa juga harus dititipkan, karena setiap peserta akan dipinjamkan pensil serta penghapus di ruangan tes.
Tepat pukul 09.00, tes dimulai. Dibuka dengan listening, lalu reading, terakhir writing. Luar biasa jackpot, saya mendapatkan soal tes writing yang semalam belum sempat saya pelajari. Duh, Gusti. Saya mencoba mengerjakan sebisanya. Keseluruhan tes tertulis selesai sekitar pukul 12.00 WIB. Kami keluar ruangan untuk menanti jadwal speaking. Saya sendiri mendapat jadwal speaking pukul 17.00 dengan interviewer yang, dari namanya, sepertinya Chinese.
Sambil menunggu, saya makan nasi bungkus yang pagi tadi saya beli. Sambil makan, saya mengobrol dengan ibu-ibu yang sejak awal sudah saya tandai kehadirannya. Kerudungnya menjulur lebar, baju gamisnya longgar, wajahnya bareface tanpa make up sama sekali. Namanya Mba Listi. Seluruh praduga saya saat pertama kali melihat kehadirannya salah. Bahwa sepertinya kala itu adalah tes IELTS-nya yang pertama, bahwa sepertinya ia butuh IELTS score untuk melamar beasiswa master degree, bahwa toh kalau pun dia ingin melanjutkan S3, sepertinya S2-nya ia jalani di dalam negeri. Ternyata, itu salah semua. Faktanya, ia adalah seorang dosen di sebuah universitas yang ada di Kalimantan, alumni program master degree di Michigan State University. IELTS-nya kali itu bukan yang pertama, karena sekian tahun sebelumnya, ia pernah menjalani tes serupa untuk ikhtiarnya mendapatkan beasiswa kuliah S2 di luar negeri. Sampai akhirnya, Allah memuarakan takdirnya sebagai awardee Beasiswa Prestasi. Maasya Allah. Jangan pernah menilai orang dari penampilannya, Lil!
Setelah banyak mengobrol, Mba Listi pamit karena akan pulang sebentar ke rumah saudaranya di Surabaya. Makan siang saya pun sudah selesai dan saya lanjut ke musholla untuk bobok siang. Ya, kamu nggak salah baca, saya mau bobok siang. Ini serius. Saat itu, pusing kepala saya kampuh lagi, badan saya pun demam lagi. Setelah sholat dzuhur, saya pun merebahkan badan. Untung musholla-nya sepi.
Tidak lama setelah itu, datang seorang ibu yang juga peserta tes. Beliau adalah dosen FKG di salah satu universitas di Surabaya. Dengan memegang buku teks, dia melatih kemampuan speaking-nya. Kemudian, datang pula mbak-mbak yang baru saja menyelesaikan tes speaking-nya. Ia menceritakan pengalaman tes speaking-nya yang tidak begitu memuaskan. Interviewer-nya berwajah intimidatif, bicaranya tidak mudah dipahami, serta topik diskusinya terlalu spesifik dan tidak umum--tentang periode sejarah. Alamak, dia bikin saya tambah mules.
Alhamdulillah-nya, karena saya sudah tidak lagi memiliki energi untuk panik, saya hanya melempar senyum semangat kepadanya, sambil terus memberikan afirmasi positif kepada diri saya sendiri bahwa hal negatif yang terjadi padanya, bisa jadi sebaliknya pada saya.
Sekitar pukul 4 sore, saya menguat-nguatkan diri untuk berjalan keluar musholla. Dengan sedikit tertatih,
Setelah itu, saya juga membaca-baca beberapa artikel tentang tips speaking, siapa tau ada high level vocab yang bisa saya gunakan saat tes nanti. Sekitar jam 16.40, saya dipanggil untuk masuk ke ruangan tes. Waktu tes saya lebih cepat dari jadwal. Saya masuk ruangan dengan kondisi tangan dingin. Sudah biasa, kalau lagi deg-degan, tangan saya pasti dingin. Ruangan tes juga dingin ternyata, lengkap sudah ketegangan saat itu.
Saya menyalami si mas-mas interviewer dengan gerakan tangan yang meberikan kesan bahwa saya sangat antusias. Ternyata benar, beliau Chinese. Dia menanyakan kondisi saya, saya jawab jujur kalau saya sedang tidak enak badan but still okay for an interview. Saya pasang muka excited dan senyum manis meyakinkan, seolah saya sangat menantikan momen interview tersebut.
Saat interview berjalan, berbagai kekonyolan dan keajaiban terjadi bersamaan. Si interviewer membuka sesi speaking dengan omongan super duper cepat. Semacam dia sudah jutaan kali ngomong kalimat yang sama, makanya sudah sangat hafal di luar kepala. Kalau boleh jujur, saya nggak paham apa yang dia omongin, saya cuma modal manggut-manggut dan senyum lebar saja.
Masuk ke sesi short question, si interviewer menanyakan pertanyaan yang cukup umum dan wajar. Jadi, Alhamdulillah saya bisa handle dengan baik. Setelah itu, masuk ke sesi pertanyaan yang agak lebih panjang. Lagi-lagi, karena dia ngomongnya cepet, saya nggak paham. Beberapa kali pertanyaan dari dia saya jawab dengan pertanyaan juga, "Pardon me?". Tepatnya sih sampai tiga kali untuk sebuah pertanyaan yang sama. Hingga akhirnya, karena saya tetap nggak paham, saya jawab dengan sekenanya. Wajah si babang menunjukkan ekspresi nggak puas dan kecewa dengan jawaban saya. Entahlah. Yang pasti, sesi 15 menit interview itu terasa sangat cepat sekali. Tau-tau udah selesai dan saya pun keluar ruangan. Jujur, saya tidak puas dengan hasil interview saya tersebut. Banyak pertanyaan yang tidak saya jawab dengan jawaban terbaik. Tapi, ya sudah lah, saya tidak dapat berbuat apa pun selain berdoa semoga Allah berikan hasil terbaik sesuai kebutuhan. Selanjutnya, mari move on ke urusan saya yang lain.
"Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain." (QS. Al-Insyirah: 7)
Hari itu, selesai tes IELTS, saya masih belum bisa pulang ke Tulungagung. Saya sudah janji dengan Deva, salah satu dedek gemesh yang dulu pernah ikut kelas belajar bahasa Inggris saya di Nganjuk, untuk mengisi acara English Day yang diadakan organisasi rohis di sana. Saat itu, saya benar-benar tidak paham, energi dari mana yang membuat saya tetap mampu melanjutkan perjalanan kurang lebih 4 - 5 jam dengan bus ke Nganjuk setelah lama perjalanan yang sama antara Tulungagung - Surabaya di malam sebelumnya dan tes IELTS di hari setelahnya dengan tubuh yang hampir tumbang. Pikir saya saat itu cuma satu, surat Muhammad ayat 7. Rumus sederhana yang dulu selalu diulang-ulang murabbi saya.
"Hai, orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad: 7)
Dengan niat tersebut, saya bulat-bulatkan tekad untuk berangkat ke Nganjuk, walau kala itu rasanya sudah ingin bilang ke Deva bahwa saya tidak jadi ke sana. Dengan energi yang tersisa, sekitar jam setengah 6 sore, saya bergegas ke Terminal Bungurasih dengan Go-Jek dan naik bus Mira jurusan Nganjuk - Yogyakarta. Sambil di jalan, saya terus merapalkan doa, biar Allah yang mampukan. Allah yang akan mampukan.
Sekitar jam 10 malam, saya tiba di rumah Deva. Karena sudah lama tidak bertemu, kami bertukar cerita hingga hari menjelang berganti. Maasya Allah, bangga sekali saya dengan adik-ketemu-besar saya satu ini. Di tengah kesibukannya mempersiapkan UN dan berbagai ujian masuk kampus, dia masih mau merepotkan dirinya untuk kegiatan rohis. Saya jadi malu dan belajar banyak sekali darinya. Insya Allah, apa yang ditanam di jalan Allah, balasannya langsung dari Allah ya, Dik :)
Setelah temu kangen, update kabar dan kenal-kenalan dengan keluarga Deva, kami bobok di kamar Deva yang mirip kamar-kamar di FTV. Lucu banget loh kamarnya Deva, posisinya di lantai mezzanine dan full dari kayu jati, berasa di film-film Korea gitu (Lah, kayak lo paham film Korea aja, Lil -___-).
Besoknya, pagi-pagi sekali, kami mempersiapkan materi English Day, mengatur tata letak venue acara yang berupa ruangan bekas cafe pinggir jalan milik orang tua Deva, mengangkut peralatan acara, dll. Duh, saya berasa jaman SMA dulu ngerjain proker, wkwk. Setelah itu, kami sarapan dengan menu yang sudah dibuatkan oleh mamah-nya Deva. Terima kasih, Tante!
Sekitar jam 8 pagi, satu per satu peserta acara yang masih berusia SMP dan SMA berdatangan. Acara dimulai sekitar pukul 9 pagi. Kami bermain games, belajar listening dengan mengisi lirik lagu, belajar tenses, latihan wudhu dengan hanya segelas air, dll. Seru sekali! Saya berasa muda lagi ih gaulnya sama anak-anak SMP dan SMA. Kegiatan selesai sekitar pukul 5 sore dengan kondisi suara saya habis karena teriak-teriak. Maklum, mic-nya tidak bekerja sama dengan baik, padahal lokasi kegiatan tepat di pinggir jalan besar yang banyak dilewati truk dan bus antarkota, jadilah saya teriak dikit-dikit yaks.
Setelah kegiatan selesai dan segala peralatan telah kami rapikan, Deva mengantar saya untuk naik bus menuju Tulungagung. Tapi, sebelum itu, kami makan bakso kesukaan kami berdua dulu dongs. Perjalanan menuju Tulungagung terasa sangat-sangat lama dan melelahkan, padahal cuma 3 jam perjalanan. Mungkin karena saya harus ganti bus di Kediri dengan energi yang benar-benar tinggal sisa-sisa. Apalagi besok pagi saya harus bekerja. Duh, rasanya saya ingin cepat-cepat sampai kosan dan bobok cantik.
Hari ini, kalau saya pikir-pikir lagi, sepertinya saya nggak akan kuat lah mengulang perjalanan panjang Tulungagung - Surabaya - Nganjuk - Tulungagung hanya dalam waktu 3 hari. Dimana, Alhamdulillah-nya, saya selalu hanya hampir tumbang, tidak pernah benar-benar jatuh sakit yang mengharuskan saya hanya berbaring di kasur. Seolah, energi saya selalu hanya hampir habis. Tidak benar-benar habis. Allah benar-benar kuatkan.
Kini, ketika pada akhirnya saya tahu skor IELTS saya yang ajaib itu, saya hanya bisa tersenyum malu. Ah, Allah, budi baik apa yang telah hamba lakukan sehingga hamba berhak atas skor tersebut? Sungguh, betapa saya yakin, itu semua karena doa tulus orang-orang di sekitar saya sudah mengungguli doa saya yang terhalang dosa. Well, Allah memang selalu punya kejutan bagi hambanya yang tak putus berharap, tak payah berusaha dan tak hitung-menghitung dalam berbagi. Makanya, tips selanjutnya nih untuk teman-teman yang juga akan tes IELTS, yuk ah doanya dikencengin, belajarnya dibanyakin dan hasilnya dipasrahin. Allah sudah menyimpan rencana terbaik bagi hamba-Nya.
Seqyan.
Kebumen, 12 Mei 2018
akhirnya selesai juga tulisan iniiiiiiii. Huff. Semoga bermanfaat. Untuk tips yang lebih practical, tunggu aja yes.
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen