Tapi, kalau boleh jujur, suatu kali saya pernah patah hati dengan seorang sahabat perempuan. Err, it's not that i was falling in love with her ya (ku masih suka laki-laki). Or we fell in love with the same guy. Duh, that's too drama.
Jadi begini ceritanya.
Bagi orang-orang yang pertama mengenal saya, mereka mungkin akan berpikir bahwa saya adalah orang yang sangat mudah mingle dengan orang baru. Atau saya sangat mudah mencari teman. Atau teman saya banyak. Atau saya tidak pernah kesepian.
Sayangnya, walaupun saya mengakui bahwa saya memiliki kecenderungan ekstrovert ekstrim, asumsi-asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Bahwa saya sangat mudah bergaul dengan orang baru, ya. Bcz, well, i have to say, i'm so good in cari-cari topik pembicaraan. Jadi, orang seringkali merasa 'nyambung' ngobrol dengan saya. Tapi, duh, mau sampai kapan terus-terusan struggling nyari bahan obrolan? It's so exhausting.
At the end, you have to admit that you cant get along with all of your friends. Semacam seleksi alam. Pada akhirnya, mereka yang bertahan untuk menjadi temanmu, yang komunikasinya masih berlanjut walau kalian sudah jarang bertemu, adalah mereka yang memang satu frekuensi denganmu. They who by nature share the same thoughts with you. Dan susah banget men ketemu orang yang kayak gitu. Itulah kenapa, saya yang ekstrovert ini tumbuh sebagai orang yang tertutup dan tidak punya banyak teman dekat.
Tapi, kalau sekarang kamu tanya saya, apa saya punya teman dekat, i definitely can mention one. Dia adalah teman bimbel saya waktu SMA, perempuan lho. Kami berasal dari sekolah yang berbeda. Pada masa-masa awal kami berkenalan, saya dekat dengan sahabatnya yang juga mengikuti kelas bimbel yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu, dia justru semakin jauh dengan sahabatnya dan saya semakin dekat dengannya.
Persahabatan kami berlanjut hingga kami kuliah. Kebetulan kami masuk ke universitas yang sama, tapi fakultas berbeda. Saya sering main ke fakultasnya, begitu pula sebaliknya. Apalagi, salah satu teman jurusan saya juga merupakan teman dekatnya saat SMA. Intinya, kami bersahabat dekat. Walaupun kami tidak setiap hari berkomunikasi, tapi tidak pernah ada hal penting yang lupa kami bagi. Dia bahkan menjadi satu-satunya teman di Jakarta yang saya kabari ketika ibu saya meninggal dunia.
Seiring dengan fase hidup yang kami jalani, persahabatan kami pun mendewasa. Beberapa ketidakcocokan mulai terasa. Keributan-keributan kecil sering terjadi. Jujur, saya sempat melewati momen-momen dimana saya tidak ingin posisi saya sebagai sahabatnya digantikan oleh orang lain. Ya, seposesif itu. Tapi, dari sana saya belajar untuk menurunkan ego. Saya belajar untuk menghormati wilayah personal seseorang yang tidak bisa saya intervensi. Saya yang cenderung cuek, belajar untuk bertanya kabar lebih dulu. Saya yang cerewet dan banyak omong, belajar untuk mendengar tanpa terdistrak sedikit pun. Aih, berasa pacaran yes. Tapi, begitu lah, selayaknya hubungan pacaran, persahabatan juga harus di-maintain agar tetap terjaga sampai jannah-Nya. Aamiin. Lagipula, lumayan lah ini untuk modal saya menjalani hubungan dengan pasangan saat berumah tangga kelak. Wkwk.
Kini, kami tidak lagi intens berkomunikasi seperti dulu, apalagi dengan kondisi long distance friendship seperti sekarang. Tapi, kami masih sering terlibat dalam diskusi-diskusi kecil ala ala orang dewasa, kalau nggak via telfon, via whastapp, via instagram, via LINE atau saluran lain yang memungkinkan kami berkomunikasi.
Sebelum akhirnya saya pindah domisili ke Jawa Timur, dia memberikan saya kejutan perpisahan yang terasa sangat getir. Dia didiagnosis dokter dengan sebuah penyakit yang membuat imunnya tidak mampu mengenal mana teman mana lawan di dalam tubuhnya. Sehingga, ia harus menjalani sebuah operasi untuk mengangkat organ yang memproduksi imun tersebut. Akibatnya, kini dia tidak bisa terlalu lelah, tidak bisa terpapar debu dan segala hal lain yang membutuhkan imunnya bekerja.
Sepanjang perjalanan sakitnya, saya hanya dua kali menemani dia di rumah sakit. Pertama, saat kepulangan saya dari Sumba. Dia masih di-opname setelah operasinya dan saya harus menuntaskan rindu dengan air mata yang saya bendung kuat-kuat. Kedua, saat dia kontrol rutin. Saya menemani dia menunggu antrian. Selebihnya, karena keputusan untuk pindah ke Jawa Timur ini, saya jadi tidak pernah ada di sisinya ketika dia harus menghadapi rumah sakit, dokter dan segala diagnosis-diagnosis intimidatif itu.
Kemarin, sebelum saya pulang ke Jakarta, saya kabari dia. Berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama seperti yang dulu-dulu barang sebentar. Entah dengan numpang makan nasi padang di rumahnya, copy film sebanyak-banyaknya atau sekadar leyeh-leyeh sambil bergosip di sofa rumahnya.
Tapi, jawaban darinya sungguh membuat hati pilu. Dia bilang, siang sebelumnya dia sesak napas di kantor, lalu dibawa ke rumah sakit dan tidak boleh pulang oleh dokter. Saya sedih sekaligus sebal. Dia tahu saya trauma dengan rumah sakit, tapi kenapa kami harus sering-sering bertemu di sana? Jawaban darinya sungguh membuat saya tersentak, bahwa ini semua adalah ketentuan-Nya. Kali ini, saya tidak membendung tangis saya. Toh, dia nggak bisa liat juga. Saya tanyakan padanya, dia mau apa untuk saya bawakan ke rumah sakit. Dia menyebutkan beberapa hal.
Sampai di Jakarta, saya atur rencana untuk mengunjunginya di hari kedua saya disana. Pagi sebelum berangkat, saya tanyakan nomor kamarnya. Tapi, tidak ada jawaban. Saya sungguh-sungguh menyesal karena saat itu saya hanya menanti chat dibalas. Tidak ada upaya untuk menelfon dirinya atau mengontak keluarganya. Dengan alasan yang sangat nonsense--takutnya dia sudah pulang ke rumah, saya tidak beranjak ke rumah sakit. Sampai akhirnya, dia membalas pesan saya pukul 17.15. Tidak mungkin lagi kesana. Jakarta macet parah karena libur nasional, sementara saya harus mengejar kereta ke Kebumen pukul 19.00.
Akhirnya, saya pun meninggalkan Jakarta. Tanpa rasa bersalah, tanpa pamit. Sekitar tengah malam, teman dekat kami berdua, Putu namanya, menghubungi saya, mengabarkan saya bahwa sahabat saya itu masuk rumah sakit. Ia kini menginap di rumah sakit menunggui sahabat saya itu. Saya jawab bahwa saya mengetahuinya dan saya sudah berjanji akan mengunjunginya, tetapi tidak jadi karena dia tidak membalas pesan saya.
Teman saya mengatakan bahwa dia baru saja menjalani Plasmapheresis. Mungkin itu yang membuat dia tidak pegang HP seharian. Seketika perut saya langsung nyeri. Saya mengutuki diri saya yang dengan bodohnya mengharap balasan pesan dari orang sakit. Bodoh, bodoh bodoh. Kenapa saya begitu bodoh dengan tidak jadi pergi ke rumah sakit cuma karena dia tidak membalas pesan saya? Kenapa saya tidak nekat pergi ke rumah sakit saja? Toh, kalau ternyata dia sudah pulang, saya bisa menyusul ke rumahnya. Bodoh.
Detik itu saya merasa patah hati. Entah ini definisi patah hati yang lazim diucapkan kebanyakan orang atau tidak. Yang pasti, saya merasa saya tidak lagi pantas menjadi sahabatnya. Saya terlalu egois dengan pemikiran-pemikiran saya sendiri. Saya terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi pribadi. Agak lebay ya. Tapi, kalau boleh jujur, ini bukan kali pertama saya berlaku demikian. Dia sering bertanya atas hal-hal penting yang tidak saya ceritakan padanya, saya menjawab seolah kesibukannya lah yang membuat saya berlaku demikian. Padahal, di banyak kesempatan, saya yang tidak menyempatkan waktu, saya yang sibuk sendiri. Saya tidak pernah benar-benar ada di sampingnya ketika dia butuh saya, tapi saya menuntut sebaliknya.
Kini, yang bisa saya lakukan hanya melangitkan doa. Semoga sakit yang dideritanya menjadi penggugur dosa.
Saya, Dia dan Putu
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen